Acara di rumah baru Binar berjalan dengan meriah. Semua orang merasakan kebahagiaan yang sama dengan yang dirasakan oleh Binar. Tapi yang membuat Binar merasa tidak senang adalah ketika Melina seolah mengambil kesempatan untuk bisa dekat dengan Arga. “Mbak Bi.” Saat Binar duduk seorang diri di sofa dan melihat orang-orang tengah sibuk dengan aktivitasnya sendiri-sendiri, Melina mendekati Binar dan duduk di samping perempuan itu. Tampak jelas jika ada yang ingin dia katakan. “Bang Arga itu beneran jomblo?” Begitu tanyanya dengan ekspresi mendamba. “Ganteng gitu masa’ sih masih jomblo?” Tatapannya mengarah pada sosok Arga yang duduk bersama Kala dan Ramon. Binar mengernyit aneh mendengar pertanyaan itu dari sang adik. Ada pikiran yang terasa familiar. Mungkin saja, Melina ingin dijodohkan dengan adik iparnya tersebut. “Mbak ….” “Aku nggak tahu. Bisa jadi dia punya pacar dan sengaja disembunyikan dulu. Aku belum terlalu dekat dengannya.” “Mbak Bi, kalau aku deketin dia gimana?” M
Gemi tersenyum lebar saat Kala mengajaknya bicara. Bayi empat bulan itu sepertinya sedang dalam mood yang sangat baik. Seolah kebahagiaan tengah menyerbunya. Berada di dekapan Binar tangannya bergerak-gerak ringan. “Hari ini Gemi akan kerja. Nanti kerjanya yang benar ya. Pastikan nggak ada kesalahan atau Papa akan menghukum Gemi.” Sambil memegang kemudi, Kala terus berbicara. Sesekali dia menoleh pada Gemi yang ada di sebelah kirinya. “Papa akan mengecek pekerjaan Gemi secara berkala. Jadi, Gemi nggak boleh buat kesalahan.” Lagi, senyum lebarnya terlihat memperlihatkan gusinya. Bayi itu seolah mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh sang ayah. Binar yang melihat itu hanya bisa tersenyum lebar. “Nanti, Gemi bantu Ibu ngetik ya. Terus ngecek apa-apa saja yang perlu cek. Dokumen kerja sama dengan perusahaan lain, bisa juga bantuin Ibu marahi Om Anton kalau berbuat ulah.” Reaksi yang sama ditunjukkan. Senyumnya sungguh membuat Binar gemas luar biasa. Binar mencium pipi gembil put
Binar tidak tidur sepanjang malam. Dia mengkhawatirkan Gemi begitu besar. Tetesan air matanya tak hentinya jatuh dari netranya. Dia terus mendekap Gemi dalam pelukannya. Setelah memastikan putri kecilnya itu bisa tidur, dia bahkan tidak berani meletakkan Gemi di box bayinya. Kala juga terjaga. Lelaki itu tentu saja tidak akan tidur sedangkan Binar terjaga. Meskipun tidak ada yang bicara di antara mereka, tapi Kala tetap menemani Binar mengurus Gemi. “Kamu tidur aja, biar aku yang jaga Gemi. Kamu kecapekan nanti.” Seharian ini, Binar benar-benar bekerja keras di kantor, dan sekarang hari sudah larut malam bahkan dia belum kembali tidur. “Percuma, Mas. Aku nggak akan bisa tidur.” Memikirkan putrinya sakit karena dirinya saja membuat jantung Binar terasa tak karuan, bagaimana mungkin dia bisa dengan mudah tidur sedangkan Gemi sedang tidak sehat. “Kalau begitu, biar aku gantikan gendong Gemi.” Kala sudah berdiri di samping Binar untuk menggantikan istrinya. Sayangnya Binar kera
“Aku nggak mau, Bu,” tolak Binar dengan cepat. “Kalau Arga tertarik dengan Melina saat pertemuan saat itu, seharusnya dia yang maju untuk mendekati. Lagian, kenapa Ibu jadi minta aku nyomblangin Melina ke adiknya lelaki yang Ibu benci setengah mati?” “Karena beda orang beda sifat dan sikap. Ibu lihat Arga itu lebih dewasa dari kakaknya. Nggak ada salahnya dong kalau Melina sama Arga.” Jawaban itu terdengar tak punya malu di telinga Binar. Namun sekali lagi, Binar tidak ingin menanggapi terlalu serius. Dia tidak ingin membuat dirinya terbebani dengan keinginan adiknya. “Kalau kamu bisa bahagia dengan seorang suami pengusaha, seharusnya kamu juga bisa membantu adikmu untuk bisa sampai di titik itu dong.” “Kalau aku bisa sampai di titik sekarang dengan usahaku sendiri, seharusnya Melina juga bisa dong. Kenapa harus menyulitkan orang lain untuk sampai ke atas?” Ringannya ucapan Binar membuat ekspresi Melina berubah seketika. Sejak dulu tidak pernah dekat, tapi saat sekarang Binar
“Saya ingin hak asuh Ancala jatuh pada kami.” Salah satu dari tiga orang yang tengah duduk berhadapan itu terdengar. Lebih tepatnya, seorang perempuan paruh baya yang berbicara. Perempuan dengan wajah jutek itu menatap Anyelir seperti seorang musuh yang ingin dilenyapkan dari muka bumi. “Seharusnya kamu memberikan Ancala pada kami sejak awal agar kita tidak lagi berurusan. Ancala adalah cucu kami, jadi kami berhak atas anak itu.” Dan kali ini suara lelaki paruh baya itu yang bersuara. Anyelir sejak tadi tidak mengatakan sepatah katapun dan hanya memerhatikan pasangan tersebut dengan serius. Ada sebuah emosi yang menelisik masuk ke dalam hatinya yang mati-matian Anyelir tahan agar dia tak berteriak di depan wajah-wajah menyebalkan itu. “Kenapa kamu hanya diam saja?” Lagi, perempuan paruh baya itu bersuara. “Kamu masih tidak ingin menyerahkan Ancala kepada kami!” Matanya melotot dan nada suaranya meninggi di akhir kalimat membuat beberapa orang yang berada di sekitar meja mereka
“Salam dulu sama Om.” Anyelir mendekatkan Ancala di depan Ramon agar bocah laki-laki berusia tiga tahun itu menjabat tangan Ramon. Ramon yang melihat Ancala pun tersenyum kecil. Bocah kecil itu tampan sekali, juga ramah, dan juga penurut. Terlihat ketika Anyelir memerintahkan, dia segera melakukannya. “Hai, Boy. Siapa namanya?” Ramon mencoba beramah tamah dengan bocah tersebut.“Ancala, Om.” “Ancala. Baru pulang sekolah?” Ancala mengangguk. “Iya.” Sambil naik ke atas kursi dengan dibantu oleh Anyelir. Mereka berada di restoran privat untuk membicarakan lebih jauh tentang kondisi Anyelir sekarang untuk mendapatkan hak asuh Ancala. Perhatian Ramon sejak tadi tidak beralih dari Ancala yang berada tepat di depannya. Dia belum tahu berapa usia Ancala tapi bocah itu pasti mendapatkan didikan yang baik sehingga membuat bocah itu menjadi mandiri. Bahkan dia sama sekali tidak rewel dan makan sendiri tanpa ada drama yang berarti. “Berapa usianya?” tanya Ramon pada akhirnya. “Dia terlihat
“Bunda!” “Anyelir.” Di waktu bersamaan, panggilan itu masuk ke dalam telinga Anyelir membuat perempuan itu memelankan langkahnya. Ada sebuah kekhawatiran yang muncul di dalam hatinya. Hal pertama yang dia pastikan adalah keberadaan Ancala. Kemudian dia bisa bernapas lega ketika bocah itu masih ada di dalam sebuah ruangan bersama dengan pengawasnya. Tangan kecilnya melambai menunjukkan keberadaan dirinya. Anyelir bernapas lega dan barulah dia mencari sumber suara lain yang tadi memanggilnya. Tapi belum juga dia sempat mengalihkan tatapannya, sosok tinggi itu mendekat. “Hai!” Begitu sapa orang itu lagi. Anyelir segera mendongak mengeluarkan senyum kecil. “Hai.” Tampak tidak nyaman ketika berdekatan dengan lelaki itu. “Udah lama?” “Baru aja. Pengen ketemu sama Ancala.” Anyelir mengangguk. “Kalau begitu ayo.” Anyelir berjalan lebih dulu diikuti oleh lelaki itu. Tidak ada yang mereka bicarakan sampai mereka masuk ke dalam taman bermain dan bertemu dengan Ancala. Bocah kecil it
Dalam sejarah hidupnya, Anyelir tidak pernah merasakan jantungnya hampir melompat keluar seperti sekarang. Apa yang dikatakan oleh Ancala tadi, ayah? Bagaimana bisa bocah kecil itu memanggil orang yang baru dilihatnya sekali dengan sebutan ayah? Lalu siapa yang mengajarinya memanggil orang lain dengan sembrono seperti itu? Tapi, “Ayah?” Suara itu menyadarkan Anyelir dari keterkejutan. Kalau Erik tidak bersuara, dia pasti akan terus melamun. Erik menatap Anyelir. “An, bisa kamu jelaskan?” Anyelir ingin meluruskan kesalahan yang dilakukan oleh Ancala, tapi lidahnya seolah kelu ketika menatap sosok Ramon di depannya. Wajah Ramon pun tampak cengo, namun tak lama setelah itu, dia tersenyum kepada Ancala. Tanpa memedulikan keadaan di sekitarnya, Ramon bersuara dengan cepat. “Ancala baru makan?” tanyanya sambil berjongkok mensejajarkan tingginya dengan bocah tiga tahun tersebut. “Iya. Ayah, Anca capek.” Bocah itu terlalu polos ketika mengangkat kedua tangannya tanda ingin digendong. Ram