“Aku barusan dari kantor Ancala.” Denta mengatakan itu ketika dalam perjalanan pergi makan siang. Gemi tampak tak acuh. Gadis itu hanya melihat ke arah luar tanpa mengatakan apa pun. Menjadi pihak pendengar. “Tapi dia bilang, dia belum mau menikah. Baru tahap awal kenalan.” Denta tidak menambahi dan tidak mengurangi semua ucapan yang dikatakan oleh Ancala. Gemi begeming. Menutup matanya berpura-pura tidur. Dia sedang tidak mood untuk berbicara. Untuk pertama kalinya dia akan makan siang dengan seorang lelaki yang bukan keluarganya, rasanya aneh. Gemi adalah orang yang tertutup. Dia tidak memiliki banyak teman dan kalaupun dia punya, itu hanya perempuan. Sejak kecil sudah bersama dengan Ancala, rasa-rasanya sudah tidak membutuhkan laki-laki lain. Sayangnya, semua sekarang berubah. Keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat. Hubungannya dengan Ancala tidak memiliki masa depan. Mereka akan tetap menjadi keluarga. Hanya dengan memikirkan itu saja, Gemi merasa terluka. Merasa bodoh d
Arga bergeming. Tidak segera memberikan jawaban atas apa pun yang dikatakan oleh keponakan kesayangannya. Mungkin kalau Bening saat itu mengatakan tentang kegalauan Gemi, lelaki itu sekarang tengah berpikir apakah yang dikatakan oleh istrinya saat itu adalah benar. Maka dia yang bertanya untuk memastikan. “Sejak kapan kamu punya pacar?” tanya Arga penuh selidik. “Papa nggak akan ngelarang, kalau memang pacarmu itu memenuhi kriteria. Kalau tidak, kita bisa bicarakan ulang.” Untuk menjadi pendamping Gemi, seseorang itu harus berhadapan dengan keluarga besarnya yang memiliki banyak kriteria. Tapi yang paling susah tentu saja orang tuanya. Kala itu tidak akan mudah memberikan restu tanpa lolos dari banyak ujian darinya. Selama ini, Gemi tidak pernah memperkenalkan lelaki mana pun kepada keluarganya. Jadi dia tak benar-benar tahu bagaimana reaksi keluarganya seandainya dia membawa seorang lelaki untuk dikenalkan kepada mereka. Belum lagi semua sepupunya yang pasti akan membuat ulah. “Ak
Setelah pulang dari rumah Gemi, Ancala sama sekali tidak bisa tidur. Waktu sudah menunjukkan pukul satu malam, tapi matanya sama sekali tidak mengantuk. Beberapa kali dia bangun dari kasurnya, lalu kembali berbaring, namun semuanya sia-sia. Kepalanya terlalu berisik oleh keriuhan. Satu buah chat masuk dan itu dari Denta. Dia mengatakan sedang berada di sebuah tempat yang biasa mereka datangi dulu. Ancala lantas memilih untuk pergi bertemu dengan Denta. Padahal ini sudah cukup malam untuk keluar rumah. Setidaknya, Ancala membutuhkan mendinginkan kepalanya. “Gue pikir lo udah tidur tadi.” Denta mengangkat tangannya menyambut Ancala. “Padahal iseng aja gue tadi.” Bukan tempat mewah yang biasa didatangi oleh orang-orang kaya pada umumnya. Itu adalah sebuah warung kopi biasa yang memang buka 24 jam. Tempat itu tentu saja banyak kenangan. Dulu saat mereka pusing dengan skripsi, maka tempat itu adalah tempat untuk mereka membuang semua penat yang ada. “Lagi nggak bisa tidur,” jawab Anca.
Gemi tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Gadis itu menatap ke arah Kala dengan kening mengernyit. Denta sungguh-sungguh nekad. Tidak pernah terbersit sedikitpun di kepala Gemi jika Denta akan secepat ini datang ke rumahnya. Dan mengatakan sesuatu yang sangat berani. “Pa,” kata Gemi. “Apa yang terjadi?” Akhirnya Gemi bertanya kepada sang ayah. Mendekat ke arah sofa. Duduk di sana menatap ke arah kedua orang tuanya, lalu ke arah Denta. “Seperti yang Denta bilang, seperti itu juga yang dikatakan oleh Denta kepada kami. Kalian memiliki hubungan? Kalian berkencan?” Ekspresi yang ditunjukkan oleh Kala tidak biasa. Tatapannya menyelidik membutuhkan jawaban dari putrinya. Binar yang duduk di samping Kala pun menunggu jawaban Gemi. “Kami tidak berkencan,” jawab Gemi tegas. “Hanya, berteman. Tapi, aku nggak tahu kedepannya seperti apa.” Gemi menoleh ke arah Denta. “Denta, tolong jangan melakukan sesuatu hal yang konyol seperti ini.” Denta tersenyum tulus. “Benar, Om, Tante. Kami memang t
“Lho, Ancala!” Gemi bisa mendengarkan suara itu disebut oleh Denta ketika dia tengah memilih baju. Kepalanya menoleh dan mendapati sepupunya itu bersama dengan Gita. Gemi mendengus, sebelum memusatkan fokusnya pada kegiatannya. Dia tak mendengarkan apa yang dibicarakan oleh Denta dan Ancala, tapi setelah itu, Gita mendekat padanya. Menyapa dengan, “Hai!” kepadanya dan itu membuat Gemi sedikit kesal. Bukankah dia sudah bilang kepada Ancala jika orang yang tengah dekat dengan lelaki itu adalah musuhnya? Lalu kenapa lelaki itu justru membiarkan Gita mendekatinya? Sial! Itu sangat menyebalkan. “Hai.” Tanpa menoleh pada Gita yang berdiri di sampingnya, Gemi hanya menjawab seadanya. Setelah itu, tidak ada yang berbicara. Aura dingin yang dikeluarkan oleh Gemi terasa menguar tak tanggung-tanggung. Sikap tak acuhnya itu membuat orang lain enggan mengajaknya mengobrol. Setelah mengambil beberapa helai pakaian, Gemi memilih menyingkir, tanpa mengatakan apa pun kepada Gita. Bahkan tanpa menc
Pertemuan malam itu, bukan malah memukul mundur Denta dan Gita, justru membuat mereka penasaran. Karena hubungan Gemi dan Ancala begitu dekat, maka Gita bahkan memberanikan diri untuk menemui Gemi. Dia tahu di mana Gemi bekerja, hasil dari bertanya kepada Ancala. Dan siang ini, gadis itu tiba-tiba muncul di lobby Abimanyu group. Gemi yang mendapatkan pemberitahuan dari resepsionis itu bahkan tidak menyangka kalau Gita mendatanginya. Baginya, itu sangat mengganggu. Meskipun sedikit kesal, Gemi tetap harus menemui Gita. “Hai, sorry ganggu!” Gita menyapa lebih dulu ketika Gemi menemuinya. Dia juga memberikan senyum ramahnya. “Hai.” Gemi hanya tersenyum kecil seperti biasa. “Ada apa? Sampai datang ke sini?” “Sudah makan siang?” tanya Gita. “Sepertinya sambil makan siang deh. Biar enak ngobrolnya.” Gemi tampak kurang nyaman. Mereka tidak cukup akrab untuk makan siang bersama. Maka Gemi bertanya, “Sebenarnya, ada hal penting apa yang ingin Mbak bicarakan?” Gita sepertinya tahu jika it
Bisa memeluk punggung Ancala lagi, seperti sebuah anugerah besar yang Gemi dapatkan. Beberapa minggu terakhir ini mereka seperti orang asing, bahkan cenderung seperti orang tidak mengenal. Menumpukan dagunya di atas pundak Ancala, kedua tangan Gemi memeluk perut lelaki itu dengan erat. Jika orang lain yang melihatnya maka mereka akan menganggap keduanya adalah pasangan yang sangat serasi. “Mau jalan ke mana sekarang?” Ancala sedikit berteriak agar Gemi bisa mendengarnya. “Putar-putar aja.” Gemi juga sedikit berteriak ketika menjawab. “Ini makanan nanti dingin, lho, Gem. Apa aku antar kamu pulang, lalu kita makan aja di rumah?” “Kita itu baru aja baikan, lho, Bang. Ngerti dikit, kek.” Pukulan ringan di punggung itu diberikan oleh Gemi membuat Ancala terkekeh kecil. “Oke … oke. Kita muter-muter dulu. Jangan tidur dulu. Awas aja tidur.” Tidak ada jawaban dari Gemi. Gadis itu justru mengeratkan pelukannya dan menumpukkan kepalanya sepenuhnya di pundak kiri Ancala. Menikmati kebersam
“Bicara yang lain, mereka udah datang.” Laksa mengedikkan kepalanya ke arah Ancala dan Gita yang berjalan mendekat ke arah mereka. Laksa meletakkan makanannya di atas meja, lalu membuka bungkusan nasi bakar itu sebelum memakannya. Gita pun melakukan hal yang sama. Empat orang yang lain menatap pergerakan itu dalam diam. Tidak ada yang bersuara, dan keheningan tiba-tiba memeluk mereka. Ancala yang menatap ada yang tidak beres pun mendongak, menatap satu per satu Laksa dan Arca. “Kenapa?” tanyanya, “nggak makan?” Reflek, Tera berdiri, lalu duduk berjongkok di samping Ancala. “Aa, Bang.” Kumat sudah manjanya member termuda dari sepupunya itu. Ancala menyuapi Tera dengan sabar. Lalu tangan Ancala mengarah pada Gemi. “Aa … juga.” “Aku udah makan. Kenyang,” tolaknya. Menjauhkan kepalanya dari tangan Ancala yang sudah ada sesuap nasi. “Aaa.” Ancala bersikeras. Tidak peduli ada Gita di sana, Ancala memilih abai dan menjadi diri sendiri. Menunjukkan jika memang seperti inilah kebiasannya
“Istriku.” Ancala baru saja sampai rumah ketika melihat penampilan Gemi yang sudah cantik. Meskipun hanya mengenakan daster rumahan kebanggaannya, kecantikan perempuan itu selalu terpancar. Dan inilah yang selalu disukai oleh Ancala, Gemi akan selalu menunggu kepulangannya di teras rumah sambil membaca buku. Tidak di rumah Kala, atau bahkan di rumah mereka sendiri, Gemi memiliki perpustakaan sendiri dengan koleksi buku-bukunya. Gemi tersenyum melihat Ancala yang berjalan ke arahnya. Perempuan itu beranjak untuk menerima tas kerja lelaki itu. “Suamiku capek banget kayaknya.” Ancala memeluk Gemi sambil mencium pipi perempuan itu. Bagi Ancala, energinya akan kembali ketika sudah bertemu dengan sang istri setelah seharian bekerja. Rasa lelah itu seolah menguap begitu saja. Pelukan mereka terurai. Masih dengan memeluk pinggang sang istri, Ancala sedikit menjauhkan tubuhnya untuk menatap wajah Gemi yang halus. “Makan apa malam ini?” tanyanya, “lama nggak ke angkringan. Kangen nasi
“Kalian udah datang?” Ancala mendekati istri dan kedua adiknya dengan senyum kecil. Meskipun pagi tadi dia sempat kesal, tetapi setelah Gemi sekarang datang ke kantor, perasaannya menjadi sedikit membaik. Tatapannya mengarah pada ‘tiga tamunya’ yang tidak membawa apa pun. “Jadi belanjanya?” tanyanya. Perempuan yang dimaksud oleh Laksa tadi tidak mengikuti Ancala dan kembali lebih dulu. Gemi tidak bertanya siapa perempuan tersebut karena dia tahu kalau itu adalah sekretaris Ancala. Laksa pun sebenarnya juga tahu, tetapi dia hanya pura-pura untuk mengerjai Gemi. “Bang, aku laper banget, lho.” Laksa mengadu. “Aku laper, Bang.” Ulangnya lagi. “Kalian nggak makan dulu tadi?” Ancala mengernyit aneh menatap satu per satu saudaranya. “Istri Abang ngambek karena diajak desak-desakan. Jadi, nggak memedulikan aku yang kelaparan. Tapi, aku nggak mau makan di kantin ini. Abang tolong pesankan aku makanan yang enak, ya.” Laksa memang benar-benar membuat kakak-kakaknya kesal kalau sudah me
“Gem, bangun!” Ancala menepuk paha sang istri pelan ketika sudah sampai di rumah. Mereka baru saja sampai rumah ketika Gemi tidak sadarkan diri, tidur. Sepanjang jalan, Ancala memegangi tangan Gemi takut-takut kalau istrinya itu terjatuh. Bukannya apa-apa, Gemi tidur sepanjang jalan sedangkan mereka menggunakan motor. Kebanyakan makan kepala ayam membuat Gemi lemas sepertinya. “Bang, aku nggak sanggup jalan. Gendong.” Dengan suara lemas, perempuan itu masih memeluk pinggang Ancala dengan erat takut jatuh. Matanya masih tertutup erat enggan untuk terjaga. Napas panjang Ancala terbuang kasar. Menikahi Gemi adalah impiannya, tetapi kalau sifat manja perempuan keluar, maka habislah dia. “Iya, tapi tunggu dulu deh. Aku turun dulu.” Ancala melepaskan tangan Gemi dari pinggangnya sebelum dia turun dengan pelan dari motor. Baru setelahnya menarik tangan Gemi agar istrinya itu naik ke gendongannya. Diam-diam Ancala tersenyum kecil. Terkadang istrinya itu memang menyebalkan, tetapi juga me
Perdebatan yang terjadi malam itu dianggap bukan apa-apa. Pernikahan antara Gemi dan Ancala bahkan akan segera dilakukan dalam waktu dua hari lagi. Pernikahan mewah itu akan dilakukan di outdoor di pinggir pantai. Tidak banyak yang diundang karena Gemi dan Ancala benar-benar memilih orang-orang terdekat mereka saja yang datang. Kabar pernikahan yang sudah merebak itu membuat banyak orang terkejut. Tidak pernah menyangka kalau Gemi dan Ancala akan menikah. Semua orang tahu jika Abimanyu dan Sambara group adalah saudara. Tentu saja hal itu menjadi perbincangan banyak orang. “Gimana rasanya mau menikah?” Denta datang ke rumah Ancala untuk sekedar menemani sahabatnya itu mengobrol. “Dan menikah dengan perempuan yang lo cintai?” “Setelah semua yang terjadi, tentu saja gue bahagia, Den.” Ancala memainkan kakinya yang ada di kolam renang, menimbulkan bunyi kecipak air. “Gue kira akan sulit mendapatkan restu dari para tetua.” Denial mengatakan itu merujuk pada nenek dan kakek Ancala, lela
“Kamu sudah benar-benar yakin akan menikah dengan Gemi, Bang?” Ramon meyakinkan sekali lagi kepada sang putra atas keputusan untuk meminang sang pencuri hati. Para tetua, nenek kakeknya sudah memberikan izin untuk mempersatukan dua keluarga yang seharusnya tetap menjadi keluarga yang sesungguhnya. Namun, mereka memilih untuk memberikan restu dan menyingkirkan segala ego yang ada. Dua anak manusia itu sudah tidak bisa dipisahkan, untuk apa lagi mereka menahannya dan akan berakhir buruk. “Aku udah yakin, Yah. Aku sudah berbicara dengan Gemi dan dia menerima lamaranku.” Senyum lebar tersemat di bibir Ancala dan wajah sumringah itu tidak bisa berbohong jika dia sangat bahagia. “Kalau begitu, Ayah dan Bunda akan berbicara kepada Papa Kala kalau kami akan segera melamar Gemi. Pikirkan juga kamu ingin menikah di mana? Outdoor atau indoor, masalah biaya jangan khawatir, semua biaya Ayah yang urus.” Rasa sayang Ramon yang diberikan kepada Ancala tidak surut sedikitpun sejak dulu. Lelaki it
Setelah obrolan semalam, Gemi bangun tidur dengan perasaan yang terasa ringan. Hubungannya dengan sang ayah sudah membaik dan dia sudah memaafkan apa pun yang pernah sang ayah lakukan. Semua yang dilakukan oleh sang ayah semata untuk melindungi keluarganya. Suasana hati Gemi pun terlihat sangat baik seharian ini. Meskipun Ancala sejak tadi tak kunjung menghubunginya seperti yang sudah dijanjikan semalam, dia masih baik-baik saja. Seperti yang sudah Ancala bilang semalam, lelaki itu akan membicarakan masalah kerjaan dengan sang ayah. “Jadi, kamu mau balik kerja lagi?” Gemi yang baru saja duduk di sofa di samping sang bunda, segera mendapatkan pertanyaan tersebut. “Aku akan pikirkan lagi, Ma.” Sudah kebiasaan berada di rumah selama beberapa bulan, menjadikan Gemi enggan untuk kembali beraktivitas. “Tapi, Ma, Papa ngeluarin aku dari kantor dengan alasan apa, ya?” Benar, Binar pun tampaknya belum tahu tentang masalah tersebut karena dia tak pernah bertanya dengan Kala. “Mama juga
Binar dan Kala mendengar dengan jelas ucapan putri mereka meskipun kata-kata yang diucapkan terbata-bata. Mereka mendengarkan di balik dinding hanya untuk mengetahui reaksi Gemi ketika bertemu dengan Ancala. Nyatanya, Gemi mengatakan sesuatu yang membuat orang tuanya menahan kesedihannya. “Jangan bicara yang tidak-tidak. Sekarang fokuslah pada kesembuhanmu dulu. Papa bilang, kamu masih perlu bertemu dengan psikiater. Kapan jadwalnya? Aku temani ya?” “Aku nggak butuh psikiater lagi, Bang. Obatku udah ada di sini.” Kala mendesah pasrah mendengar jawaban Ancala atas ucapan sang putri. Sudah pasti perasaan Kala sekarang dipenuhi oleh rasa penyesalan yang amat besar. Di ruang tamu, Gemi dan Ancala melepaskan pelukan mereka. Ancala mengusap air mata Gemi yang mengalir menganak sungai di wajahnya. “Aku nggak akan ke mana-mana lagi, Gemi. Aku udah pulang sekarang. Jadi, kamu nggak perlu takut aku pergi lagi.” “Memangnya, Abang dari mana kemarin?” Ancala menyodorkan minuman yang disiapka
Kala pasti tidak pernah menyangka jika Ramon akan menurunkan egonya untuk meminta putranya pulang. Dia tahu betul bagaimana Ramon menolak permintaannya saat itu. Namun, sekarang tiba-tiba Ancala sudah ada di rumahnya dan menanyakan kabar Gemi. Hal itu tentu saja membuat Kala sedikit bingung. Apa pun itu, Kala tentulah merasa senang dengan kedatangan Ancala ke rumahnya. “Keadaan Gemi sudah lebih baik. Dia sekarang sedang istirahat.” Tepat setelah itu, Binar datang dan segera duduk di samping Ancala. Perempuan paruh baya itu mengelus punggung Ancala tanpa berbicara. Kelegaan terpancar dari matanya. “Kamu dari mana saja, Bang?” tanyanya setelah itu, “Mama cariin kamu.” “Aku jalan-jalan, Ma,” jawab Ancala dengan lembut, “Mama baik-baik aja ‘kan?” “Mama baik. Anca, kamu masih mau nemuin Gemi ‘kan? Setelah waktu itu, dia murung dan tidak ingin berurusan dengan siapa pun.” “Tentu saja aku mau, Ma. Gemi adalah adikku. Kalau memang perlu, aku akan menemaninya sampai dia sembuh.” “Apa mak
“Aku harus pulang, Den. Sorry, ya.” Gemi memilih menghindar daripada harus menjawab ucapan Denta. Gadis itu berdiri, lalu buru-buru pergi meninggalkan Denta yang tampak kebingungan. “Gem!” Denta berteriak memanggil gadis itu, tetapi seolah tuli, Gemi tetap berjalan dan sesekali berlari untuk menghindari sahabat Ancala tersebut. Setelah memasuki komplek perumahannya, barulah dia berjalan dengan tenang. Gemi berpikir, kalau Denta saja tidak tahu keberadaan Ancala, itu artinya, kepergian lelaki itu dirahasiakan. Sepertinya, masalah ini benar-benar serius. Gemi berhenti di pinggir jalan, terpaku di tempatnya, lalu berpikir sejenak. Apa dia harus menghubungi Ancala? Apa lelaki itu akan menerima panggilannya kalau dia melakukannya? Kebingungan itu melanda dirinya. Gara-gara kedatangan Denta, menjadikannya berpikir lebih keras tentang Ancala. Gadis berdaster coklat itu kembali melangkah untuk kembali ke rumah. Meskipun dia banyak memikirkan banyak hal, tapi beruntung kini halusinasinya ti