“Sejujurnya kalau masalah itu, kami menyerahkan semuanya kepada yang mau menjalani, Pak. Semua tergantung Ancala,” ucap Ramon bijaksana. “Bagaimana, Bang? Ayah serahkan keputusan sama Abang.” Urusan pernikahan adalah urusan serius. Meskipun Ancala sudah mendapatkan tuntutan untuk segera menikah, tetapi para orang tua juga tidak boleh gegabah. Menerima saja usulan orang lain untuk sebuah perjodohan. Benar memang jika saat itu, Anyelir dan ibu Gita yang memiliki ide untuk mendekatkan anak-anak mereka, tetapi hal itu bukan berarti memaksakan kehendak. “Kami akir-akhir ini memang dekat, Om, tapi saya belum berpikir sampai sejauh ini.” Jika kali ini Ancala tidak tegas, maka takutnya nanti, dia akan terjebak dalam kesulitan yang lebih panjang lagi. Tatapannya mengarah pada Gita. “Sepertinya butuh waktu untuk sampai ke sana, Git.” Ruangan itu mendadak hening. Bukankah Gita sudah mengetahui kalau Ancala mencintai orang lain? Setidaknya, Gita bisa berusaha mengambil hati Ancala lebih dulu a
“Apa sih, Mbak, datang-datang udah merengut aja.” Gemi duduk di samping Ancala, memangku bantal sofa dengan bibir tertutup rapat. Ancala belum menceritakan tentang Gita dan orang tuanya yang malam itu datang ke rumahnya membawa serta ide di kepala mereka. Ancala tidak tahu bagaimana reaksi yang akan diberikan oleh Gemi kalau tahu hal tersebut. Apakah dia akan murka, atau justru tidak peduli. “Ini lho tadi, Abang cerita ke Papa katanya Gita dan orang tuanya datang ke rumah untuk ‘ngelamar’ Abang.” Gemi segera menoleh. Tatapannya memicing, tetapi tidak ada suara yang keluar. Dia hanya memberikan kode kepada Ancala untuk menceritakannya lewat tatapan mata. “Ayo, nanti aku ceritain. Makan siang di luar sekalian. Papa nggak ikut?” Basa-basi sekali Ancala mengatakan itu. Arga menggeleng menolak. Lalu, segera saja Ancala menarik tangan Gemi untuk keluar dari ruangan tersebut. Dia akan menceritakan kejadian itu di perjalanan. Gemi tidak bertanya apa pun atau mendesak Ancala segera berbic
Denta tidak bisa membalas ucapan Gemi lagi. Jika menurut mereka hubungan itu bukanlah aib, maka apa lagi yang bisa dia lakukan? Toh sekarang, Gemi dengan lantang mengatakan jika dia mencintai Ancala. Terlebih lagi, perasaan itu sudah tertambat begitu lama. Hubungan saudara mengembang menjadi perasaan cinta. Pantas saja ketika dia bertanya kepada Ancala saat itu tentang perasaannya dengan Gemi, lelaki itu justru terdiam cukup lama seolah ada beban berat yang menguasai hatinya. “Tolong rahasiakan ini dari siapa pun, Den.” Ancala meminta. “Gue nggak mau ini akan menjadi masalah besar.” Dengusah kasar segera saja dikeluarkan oleh lelaki itu. “Lo tahu kalau gue sekarang nggak tahu apa yang harus gue lakukan.” Denta membuka botol air mineral yang tersedia di atas meja, lalu menenggak isinya. “Jujur gue pengen marah. Tapi, masalah perasaan siapa yang bisa melarang. Hati yang memilih.” Ada kekecewaan besar yang tampak pada tatapan Denta. Lelaki itu sungguh tidak menyangka, gadis yang begit
“Ayo!” Gemi menyetujui. Arca segera beranjak dengan menarik tangan Gemi, lalu menggenggamnya. Izin kedua orang tuanya, “Bunda, Ayah, kalau nanti aku nggak pulang, artinya aku nginap.” “Nginap di mana?” Ancala sudah seperti orang kebakaran jenggot. Tatapannya melotot marah. “Nginap di rumah Papa Kala kalau nggak di rumah Papa Arga. Ayo, Mbak!” “Aku ikut!” Ancala berdiri langsung. Bukan tidak memercayai adik dan Gemi, hanya saja dia tidak ingin terjebak dengan Gita di rumahnya. Dia juga merasa tidak senang dengan kepergian Ancala dengan Gemi. Entahlah, dia hanya tak senang saja. “Bang, di sini ada Gita.” Anyelir akhirnya membuka suara. Menatap dengan penuh perhitungan kepada Ancala meskipun suaranya masih terdengar lembut. “Abang di sini aja dulu. Nanti kalau mau nyusul mereka, Abang bisa lakukan.” Gita berdiri, lalu tersenyum ramah kepada semua orang. “Tante, nggak masalah. Aku bisa ikut mereka.” Mengambil kesempatan yang belum pasti akan didapatkan lagi nanti. “Sepertinya itu b
“Kedatangan orang baru tidak seharusnya menggeser orang lama,” jawab Gemi dengan tegas. “Tidak bisa dibandingkan. Mencintai dan melindungi istri adalah kewajiban seorang suami dan tentu saja Abang harus melakukannya. Tapi kasih sayang kepada keluarga juga tidak boleh runtuh. Mereka memiliki porsinya masing-masing.” Gemi menatap Gita santai sebelum melanjutkan. “Kenapa? Kalau Mbak barangkali akan jadi istrinya Mas Anca, maka Mbak akan membatasi itu?” Kini giliran Gita yang sedikit tergagap. Gadis itu menggeleng. “Tentu saja tidak. Kalian adalah keluarga.” “Sebenarnya masalah ini menjadi perbincangan kami para sepupu,” ucap Arca, “orang yang menjadi istri Abang haruslah orang yang cukup bisa menerima sikap manja adik-adiknya. Abang adalah kakak pertama dan tertua kami. Mungkin kalau aku dan Laksa bisa menerima apa pun, tapi kami juga punya dua perempuan yang sejak dulu selalu menguasai Abang. Kalau dia nggak paham tentang sikap mereka, lebih baik kami menolaknya. Bagi kami hubungan ke
Ancala pikir setelah kejadian malam itu, ketika Gita mengetahui siapa gadis yang dicintainya, akan ada perubahan besar yang terjadi dalam hidupnya. Ternyata tidak. Lelaki itu hanya tidak pernah lagi melihat Gita datang ke rumahnya. Tidak menghubunginya, tidak juga muncul secara tiba-tiba di kantornya. Semuanya seolah aman tanpa hambatan. Suatu hari, Anyelir justru bertanya kepada Ancala tentang Gita. Perempuan itu bilang, “Bang, Gita kok nggak pernah lagi datang ke sini setelah malam itu? Apa terjadi sesuatu?” Ancala yang tengah menonton televisi itu menoleh menatap Anyelir. Sedikit salah tingkah yang dia coba sembunyikan. “Bunda bisa tanya ke dia, ‘kan? Aku soalnya juga nggak tahu.” Ancala mengedikkan bahunya tak acuh. Hal itu membuat dengusan keluar dari bibir Anyelir. “Abang ini. Memangnya nggak coba ditanyaain dia kenapa?” “Bunda, itu bukan urusanku, Bun.” “Abang nggak khawatir?” cercanya lagi.Menarik napasnya lelah, Ancala sedikit menjelaskan. “Bunda, aku waktu itu sudah m
Ancala duduk berhadapan dengan Kala. Di sampingnya ada Gemi, sedangkan Binar mengambil minum untuk mereka. Beberapa saat, tidak ada yang berbicara. Tatapan Kala mengarah lurus pada Ancala dan Gemi bergantian. Namun, kali ini tatapan yang diberikan oleh Kala adalah sebuah tatapan penilaian. Binar datang membawa nampan berisi teh hangat. Lalu duduk di samping sang suami untuk mengobrol. Waktu belum menunjukkan pukul dua belas malam, tapi Ancala sudah mengantarkan Gemi pulang. Biasanya, kalau mereka pergi, akan mengepaskan jam malam yang sudah ditentukan. “Kalian pacaran?” Pertanyaan tiba-tiba yang diberikan oleh Kala itu membuat Gemi dan Ancala mendongak. Tatapan keduanya mengarah lurus pada mata Kala. Terkejut, bengong, dan mencoba mencerna ucapan lelaki paruh baya tersebut. Binar bahkan menoleh dengan cepat ke arah sang suami dengan wajah bodoh. “Papa ini kenapa tiba-tiba tanya begitu?” Gemi yang lebih dulu bersuara. “Kenapa Papa berpikiran seperti itu?” “Karena Papa tahu kalian b
Jika masalah itu sudah sampai pada orang tua, maka sudah menjadi sebuah masalah besar yang susah untuk diselesaikan. Hari ini, di hari minggu, Kala sengaja mengumpulkan keluarganya. Hanya saja, dia tak meminta orang tuanya untuk datang. Yang dibutuhkan adalah Ramon, juga Arga sekeluarga. Para sepupu Gemi yang datang pun masih bertindak seperti biasa. Hanya saja, Gemi belum lagi ikut berkumpul bersama mereka. Tidak peduli Tera akan mengetuk pintu kamarnya berkali-kali, dia tetap berada di dalam kamar. “Ada sesuatu yang perlu kita bicarakan.” Kala memulai. Dia sengaja mengambil waktu setelah makan agar tidak mengganggu kegiatan penting tersebut. Keseriusan yang ditunjukkan oleh Kala saat ini adalah keseriusan yang tidak biasa. Sejak tadi, dia tampak memendam sesuatu yang begitu besar. Namun, dia memilih untuk tidak berbicara apa pun terkait masalah yang sekarang sedang terjadi. “Gemi dan Ancala pacaran.” Tidak ada yang menanggapinya. Tapi para anak-anak itu justru saling menatap dan