“Kedatangan orang baru tidak seharusnya menggeser orang lama,” jawab Gemi dengan tegas. “Tidak bisa dibandingkan. Mencintai dan melindungi istri adalah kewajiban seorang suami dan tentu saja Abang harus melakukannya. Tapi kasih sayang kepada keluarga juga tidak boleh runtuh. Mereka memiliki porsinya masing-masing.” Gemi menatap Gita santai sebelum melanjutkan. “Kenapa? Kalau Mbak barangkali akan jadi istrinya Mas Anca, maka Mbak akan membatasi itu?” Kini giliran Gita yang sedikit tergagap. Gadis itu menggeleng. “Tentu saja tidak. Kalian adalah keluarga.” “Sebenarnya masalah ini menjadi perbincangan kami para sepupu,” ucap Arca, “orang yang menjadi istri Abang haruslah orang yang cukup bisa menerima sikap manja adik-adiknya. Abang adalah kakak pertama dan tertua kami. Mungkin kalau aku dan Laksa bisa menerima apa pun, tapi kami juga punya dua perempuan yang sejak dulu selalu menguasai Abang. Kalau dia nggak paham tentang sikap mereka, lebih baik kami menolaknya. Bagi kami hubungan ke
Ancala pikir setelah kejadian malam itu, ketika Gita mengetahui siapa gadis yang dicintainya, akan ada perubahan besar yang terjadi dalam hidupnya. Ternyata tidak. Lelaki itu hanya tidak pernah lagi melihat Gita datang ke rumahnya. Tidak menghubunginya, tidak juga muncul secara tiba-tiba di kantornya. Semuanya seolah aman tanpa hambatan. Suatu hari, Anyelir justru bertanya kepada Ancala tentang Gita. Perempuan itu bilang, “Bang, Gita kok nggak pernah lagi datang ke sini setelah malam itu? Apa terjadi sesuatu?” Ancala yang tengah menonton televisi itu menoleh menatap Anyelir. Sedikit salah tingkah yang dia coba sembunyikan. “Bunda bisa tanya ke dia, ‘kan? Aku soalnya juga nggak tahu.” Ancala mengedikkan bahunya tak acuh. Hal itu membuat dengusan keluar dari bibir Anyelir. “Abang ini. Memangnya nggak coba ditanyaain dia kenapa?” “Bunda, itu bukan urusanku, Bun.” “Abang nggak khawatir?” cercanya lagi.Menarik napasnya lelah, Ancala sedikit menjelaskan. “Bunda, aku waktu itu sudah m
Ancala duduk berhadapan dengan Kala. Di sampingnya ada Gemi, sedangkan Binar mengambil minum untuk mereka. Beberapa saat, tidak ada yang berbicara. Tatapan Kala mengarah lurus pada Ancala dan Gemi bergantian. Namun, kali ini tatapan yang diberikan oleh Kala adalah sebuah tatapan penilaian. Binar datang membawa nampan berisi teh hangat. Lalu duduk di samping sang suami untuk mengobrol. Waktu belum menunjukkan pukul dua belas malam, tapi Ancala sudah mengantarkan Gemi pulang. Biasanya, kalau mereka pergi, akan mengepaskan jam malam yang sudah ditentukan. “Kalian pacaran?” Pertanyaan tiba-tiba yang diberikan oleh Kala itu membuat Gemi dan Ancala mendongak. Tatapan keduanya mengarah lurus pada mata Kala. Terkejut, bengong, dan mencoba mencerna ucapan lelaki paruh baya tersebut. Binar bahkan menoleh dengan cepat ke arah sang suami dengan wajah bodoh. “Papa ini kenapa tiba-tiba tanya begitu?” Gemi yang lebih dulu bersuara. “Kenapa Papa berpikiran seperti itu?” “Karena Papa tahu kalian b
Jika masalah itu sudah sampai pada orang tua, maka sudah menjadi sebuah masalah besar yang susah untuk diselesaikan. Hari ini, di hari minggu, Kala sengaja mengumpulkan keluarganya. Hanya saja, dia tak meminta orang tuanya untuk datang. Yang dibutuhkan adalah Ramon, juga Arga sekeluarga. Para sepupu Gemi yang datang pun masih bertindak seperti biasa. Hanya saja, Gemi belum lagi ikut berkumpul bersama mereka. Tidak peduli Tera akan mengetuk pintu kamarnya berkali-kali, dia tetap berada di dalam kamar. “Ada sesuatu yang perlu kita bicarakan.” Kala memulai. Dia sengaja mengambil waktu setelah makan agar tidak mengganggu kegiatan penting tersebut. Keseriusan yang ditunjukkan oleh Kala saat ini adalah keseriusan yang tidak biasa. Sejak tadi, dia tampak memendam sesuatu yang begitu besar. Namun, dia memilih untuk tidak berbicara apa pun terkait masalah yang sekarang sedang terjadi. “Gemi dan Ancala pacaran.” Tidak ada yang menanggapinya. Tapi para anak-anak itu justru saling menatap dan
Sarapan selesai, dan Gemi tidak memiliki kegiatan apa pun. Berdiri menatap kolam renang, gadis itu melamun. Bertanya kepada dirinya sendiri apa yang akan dilakukan sekarang. Dia tak mengatakan hidupnya hancur. Meskipun dia tak bekerja, Gemi masih tetap bisa membeli apa pun yang diinginkan. Akan tetapi, dia tak memiliki keinginan untuk melakukan hal tersebut. “Gem.” Binar menyentuh pundak putrinya sebelum mengelus punggung gadis itu. “Mama bawakan buah buat kamu. Udah Mama potongkan, kamu tinggal makan.” Gemi menoleh kepada perempuan paruh baya tersebut sambil tersenyum. “Terima kasih, Ma.” Gemi lantas meninggalkan tepian kolam menuju gazebo. Duduk di sana, lalu memakan potongan buah kiwi yang sudah disediakan oleh Binar. Binar yang duduk di depan putrinya itu menatap penuh sayang kepada Gemi. Sebagai seorang ibu, dia pastilah serba salah. Di satu sisi, dia ingin membuat Gemi bahagia dengan pilihannya. Akan tetapi, di sisi lain, dia tak bisa mencoreng nama keluarga dengan tindakan ge
Ancala hari-hari ini tidak bisa bekerja dengan baik setelah kejadian malam itu. Ramon dan ibunya sempat bertanya panjang lebar tentang hubungannya dengan Gemi yang langsung dijawab lunas dengan penjelasannya. Ramon tidak menunjukkan kemarahan yang berarti. Bahkan setelah lelaki itu tahu apa yang sebenarnya terjadi, Ramon tidak menghakiminya seperti yang dilakukan oleh Kala. Menghisap rokoknya kuat-kuat, Ancala berharap asapnya bisa bergelung di dalam jantungnya dan menghentikan detakannya. Dia berharap bisa menyudahi hidup ini dengan hal konyol seperti itu. Terlalu lemah? Dia hanya tidak bisa berpikir jernih untuk menghadapi semuanya. “Ehem.” Deheman itu terdengar di sampingnya. Mendongak, Ancala mendapati Denta ada si sana. Lelaki itu duduk tanpa diminta, lalu mengambil rokok Ancala di atas meja sebelum dinyalakan. Beberapa waktu, mereka hanya diam. Hanya menikmati nikotin yang disesapnya. Mereka duduk berdampingan, tetapi seperti asing. Mereka berteman, tetapi seperti musuh. Tamp
“Apa kamu bilang?” Kala melotot marah mendengar ucapan Ramon. “Kamu sudah gila!” “Terserah kamu mau bilang aku gila atau apa. Aku hanya ingin membuat anakku bahagia. Apa pun akan aku lakukan.” “Termasuk mengobrak-abrik tatanan keluarga?” “Aku tidak mengobrak-abriknya. Kita paham betul siapa Ancala dan apa hubungannya dengan keluarga ini!” Ramon sungguh santai ketika menanggapi sikap berapi-api yang ditunjukkan oleh Kala. Ramon bukan orang yang akan meledakkan amarahnya dengan mudah, tetapi ketika dia sudah merasa perlu mengeluarkannya, maka sudah bisa dipastikan kalau Kala pun mungkin akan kalah. “Ingat! Orang yang tidak memiliki ikatan darah kepada orang lain itu berhak menikah. Hukum agama dan hukum negara tidak melarang.” Kala mungkin tidak pernah menyangka kalau Ramon akan dengan gamblang membenarkan perbuatan anak-anak mereka. Ramon adalah orang yang taat terhadap aturan. Termasuk aturan dalam keluarga, tetapi sekarang justru melakukan hal yang sebaliknya. Kala tentu saja me
“Mas ini jangan aneh-aneh, ah!” Anyelir melotot pada Ramon yang asyik menyetir. “Mas Kala itu nggak akan membiarkan putrinya begitu saja.” “Sebenarnya yang menjadi masalah itu bukan hanya Kala, Bunda, tapi juga Gemi. Meskipun kita bisa menyelamatkan dia dari rumah Kala, belum tentu dia bersedia untuk pergi. Karakter putri kita itu nggak bisa ditebak. Meskipun dingin begitu, dia anak penurut. Apalagi kalau sama bapaknya.” “Lama-lama aku pusing mikiran Ancala, Mas. Kenapa juga dia harus jatuh cinta sama Gemi.” “Perasaan itu nggak mudah ditebak, Bun. Tapi aku salut sama mereka. Mereka bisa bertahan sampai sejauh ini, lho, dan harus nyerah karena memang nggak bisa melupakan perasaan mereka. Putraku sudah besar sekarang.” Ramon tersenyum bangga. “Dulu aku ketemu dia bahkan masih setinggi kakiku. Manggil aku ayah untuk pertama kalinya. Dari sanalah aku mulai jatuh hati sama dia.” “Dan bagiku itu sangat menjengkelkan.” Sambar Anyelir. “Nggak ikut punya akan kok malah mau diambil. Mas itu