“Apa sih, Mbak, datang-datang udah merengut aja.” Gemi duduk di samping Ancala, memangku bantal sofa dengan bibir tertutup rapat. Ancala belum menceritakan tentang Gita dan orang tuanya yang malam itu datang ke rumahnya membawa serta ide di kepala mereka. Ancala tidak tahu bagaimana reaksi yang akan diberikan oleh Gemi kalau tahu hal tersebut. Apakah dia akan murka, atau justru tidak peduli. “Ini lho tadi, Abang cerita ke Papa katanya Gita dan orang tuanya datang ke rumah untuk ‘ngelamar’ Abang.” Gemi segera menoleh. Tatapannya memicing, tetapi tidak ada suara yang keluar. Dia hanya memberikan kode kepada Ancala untuk menceritakannya lewat tatapan mata. “Ayo, nanti aku ceritain. Makan siang di luar sekalian. Papa nggak ikut?” Basa-basi sekali Ancala mengatakan itu. Arga menggeleng menolak. Lalu, segera saja Ancala menarik tangan Gemi untuk keluar dari ruangan tersebut. Dia akan menceritakan kejadian itu di perjalanan. Gemi tidak bertanya apa pun atau mendesak Ancala segera berbic
Denta tidak bisa membalas ucapan Gemi lagi. Jika menurut mereka hubungan itu bukanlah aib, maka apa lagi yang bisa dia lakukan? Toh sekarang, Gemi dengan lantang mengatakan jika dia mencintai Ancala. Terlebih lagi, perasaan itu sudah tertambat begitu lama. Hubungan saudara mengembang menjadi perasaan cinta. Pantas saja ketika dia bertanya kepada Ancala saat itu tentang perasaannya dengan Gemi, lelaki itu justru terdiam cukup lama seolah ada beban berat yang menguasai hatinya. “Tolong rahasiakan ini dari siapa pun, Den.” Ancala meminta. “Gue nggak mau ini akan menjadi masalah besar.” Dengusah kasar segera saja dikeluarkan oleh lelaki itu. “Lo tahu kalau gue sekarang nggak tahu apa yang harus gue lakukan.” Denta membuka botol air mineral yang tersedia di atas meja, lalu menenggak isinya. “Jujur gue pengen marah. Tapi, masalah perasaan siapa yang bisa melarang. Hati yang memilih.” Ada kekecewaan besar yang tampak pada tatapan Denta. Lelaki itu sungguh tidak menyangka, gadis yang begit
“Ayo!” Gemi menyetujui. Arca segera beranjak dengan menarik tangan Gemi, lalu menggenggamnya. Izin kedua orang tuanya, “Bunda, Ayah, kalau nanti aku nggak pulang, artinya aku nginap.” “Nginap di mana?” Ancala sudah seperti orang kebakaran jenggot. Tatapannya melotot marah. “Nginap di rumah Papa Kala kalau nggak di rumah Papa Arga. Ayo, Mbak!” “Aku ikut!” Ancala berdiri langsung. Bukan tidak memercayai adik dan Gemi, hanya saja dia tidak ingin terjebak dengan Gita di rumahnya. Dia juga merasa tidak senang dengan kepergian Ancala dengan Gemi. Entahlah, dia hanya tak senang saja. “Bang, di sini ada Gita.” Anyelir akhirnya membuka suara. Menatap dengan penuh perhitungan kepada Ancala meskipun suaranya masih terdengar lembut. “Abang di sini aja dulu. Nanti kalau mau nyusul mereka, Abang bisa lakukan.” Gita berdiri, lalu tersenyum ramah kepada semua orang. “Tante, nggak masalah. Aku bisa ikut mereka.” Mengambil kesempatan yang belum pasti akan didapatkan lagi nanti. “Sepertinya itu b
“Kedatangan orang baru tidak seharusnya menggeser orang lama,” jawab Gemi dengan tegas. “Tidak bisa dibandingkan. Mencintai dan melindungi istri adalah kewajiban seorang suami dan tentu saja Abang harus melakukannya. Tapi kasih sayang kepada keluarga juga tidak boleh runtuh. Mereka memiliki porsinya masing-masing.” Gemi menatap Gita santai sebelum melanjutkan. “Kenapa? Kalau Mbak barangkali akan jadi istrinya Mas Anca, maka Mbak akan membatasi itu?” Kini giliran Gita yang sedikit tergagap. Gadis itu menggeleng. “Tentu saja tidak. Kalian adalah keluarga.” “Sebenarnya masalah ini menjadi perbincangan kami para sepupu,” ucap Arca, “orang yang menjadi istri Abang haruslah orang yang cukup bisa menerima sikap manja adik-adiknya. Abang adalah kakak pertama dan tertua kami. Mungkin kalau aku dan Laksa bisa menerima apa pun, tapi kami juga punya dua perempuan yang sejak dulu selalu menguasai Abang. Kalau dia nggak paham tentang sikap mereka, lebih baik kami menolaknya. Bagi kami hubungan ke
Ancala pikir setelah kejadian malam itu, ketika Gita mengetahui siapa gadis yang dicintainya, akan ada perubahan besar yang terjadi dalam hidupnya. Ternyata tidak. Lelaki itu hanya tidak pernah lagi melihat Gita datang ke rumahnya. Tidak menghubunginya, tidak juga muncul secara tiba-tiba di kantornya. Semuanya seolah aman tanpa hambatan. Suatu hari, Anyelir justru bertanya kepada Ancala tentang Gita. Perempuan itu bilang, “Bang, Gita kok nggak pernah lagi datang ke sini setelah malam itu? Apa terjadi sesuatu?” Ancala yang tengah menonton televisi itu menoleh menatap Anyelir. Sedikit salah tingkah yang dia coba sembunyikan. “Bunda bisa tanya ke dia, ‘kan? Aku soalnya juga nggak tahu.” Ancala mengedikkan bahunya tak acuh. Hal itu membuat dengusan keluar dari bibir Anyelir. “Abang ini. Memangnya nggak coba ditanyaain dia kenapa?” “Bunda, itu bukan urusanku, Bun.” “Abang nggak khawatir?” cercanya lagi.Menarik napasnya lelah, Ancala sedikit menjelaskan. “Bunda, aku waktu itu sudah m
Ancala duduk berhadapan dengan Kala. Di sampingnya ada Gemi, sedangkan Binar mengambil minum untuk mereka. Beberapa saat, tidak ada yang berbicara. Tatapan Kala mengarah lurus pada Ancala dan Gemi bergantian. Namun, kali ini tatapan yang diberikan oleh Kala adalah sebuah tatapan penilaian. Binar datang membawa nampan berisi teh hangat. Lalu duduk di samping sang suami untuk mengobrol. Waktu belum menunjukkan pukul dua belas malam, tapi Ancala sudah mengantarkan Gemi pulang. Biasanya, kalau mereka pergi, akan mengepaskan jam malam yang sudah ditentukan. “Kalian pacaran?” Pertanyaan tiba-tiba yang diberikan oleh Kala itu membuat Gemi dan Ancala mendongak. Tatapan keduanya mengarah lurus pada mata Kala. Terkejut, bengong, dan mencoba mencerna ucapan lelaki paruh baya tersebut. Binar bahkan menoleh dengan cepat ke arah sang suami dengan wajah bodoh. “Papa ini kenapa tiba-tiba tanya begitu?” Gemi yang lebih dulu bersuara. “Kenapa Papa berpikiran seperti itu?” “Karena Papa tahu kalian b
Jika masalah itu sudah sampai pada orang tua, maka sudah menjadi sebuah masalah besar yang susah untuk diselesaikan. Hari ini, di hari minggu, Kala sengaja mengumpulkan keluarganya. Hanya saja, dia tak meminta orang tuanya untuk datang. Yang dibutuhkan adalah Ramon, juga Arga sekeluarga. Para sepupu Gemi yang datang pun masih bertindak seperti biasa. Hanya saja, Gemi belum lagi ikut berkumpul bersama mereka. Tidak peduli Tera akan mengetuk pintu kamarnya berkali-kali, dia tetap berada di dalam kamar. “Ada sesuatu yang perlu kita bicarakan.” Kala memulai. Dia sengaja mengambil waktu setelah makan agar tidak mengganggu kegiatan penting tersebut. Keseriusan yang ditunjukkan oleh Kala saat ini adalah keseriusan yang tidak biasa. Sejak tadi, dia tampak memendam sesuatu yang begitu besar. Namun, dia memilih untuk tidak berbicara apa pun terkait masalah yang sekarang sedang terjadi. “Gemi dan Ancala pacaran.” Tidak ada yang menanggapinya. Tapi para anak-anak itu justru saling menatap dan
Sarapan selesai, dan Gemi tidak memiliki kegiatan apa pun. Berdiri menatap kolam renang, gadis itu melamun. Bertanya kepada dirinya sendiri apa yang akan dilakukan sekarang. Dia tak mengatakan hidupnya hancur. Meskipun dia tak bekerja, Gemi masih tetap bisa membeli apa pun yang diinginkan. Akan tetapi, dia tak memiliki keinginan untuk melakukan hal tersebut. “Gem.” Binar menyentuh pundak putrinya sebelum mengelus punggung gadis itu. “Mama bawakan buah buat kamu. Udah Mama potongkan, kamu tinggal makan.” Gemi menoleh kepada perempuan paruh baya tersebut sambil tersenyum. “Terima kasih, Ma.” Gemi lantas meninggalkan tepian kolam menuju gazebo. Duduk di sana, lalu memakan potongan buah kiwi yang sudah disediakan oleh Binar. Binar yang duduk di depan putrinya itu menatap penuh sayang kepada Gemi. Sebagai seorang ibu, dia pastilah serba salah. Di satu sisi, dia ingin membuat Gemi bahagia dengan pilihannya. Akan tetapi, di sisi lain, dia tak bisa mencoreng nama keluarga dengan tindakan ge
“Istriku.” Ancala baru saja sampai rumah ketika melihat penampilan Gemi yang sudah cantik. Meskipun hanya mengenakan daster rumahan kebanggaannya, kecantikan perempuan itu selalu terpancar. Dan inilah yang selalu disukai oleh Ancala, Gemi akan selalu menunggu kepulangannya di teras rumah sambil membaca buku. Tidak di rumah Kala, atau bahkan di rumah mereka sendiri, Gemi memiliki perpustakaan sendiri dengan koleksi buku-bukunya. Gemi tersenyum melihat Ancala yang berjalan ke arahnya. Perempuan itu beranjak untuk menerima tas kerja lelaki itu. “Suamiku capek banget kayaknya.” Ancala memeluk Gemi sambil mencium pipi perempuan itu. Bagi Ancala, energinya akan kembali ketika sudah bertemu dengan sang istri setelah seharian bekerja. Rasa lelah itu seolah menguap begitu saja. Pelukan mereka terurai. Masih dengan memeluk pinggang sang istri, Ancala sedikit menjauhkan tubuhnya untuk menatap wajah Gemi yang halus. “Makan apa malam ini?” tanyanya, “lama nggak ke angkringan. Kangen nasi
“Kalian udah datang?” Ancala mendekati istri dan kedua adiknya dengan senyum kecil. Meskipun pagi tadi dia sempat kesal, tetapi setelah Gemi sekarang datang ke kantor, perasaannya menjadi sedikit membaik. Tatapannya mengarah pada ‘tiga tamunya’ yang tidak membawa apa pun. “Jadi belanjanya?” tanyanya. Perempuan yang dimaksud oleh Laksa tadi tidak mengikuti Ancala dan kembali lebih dulu. Gemi tidak bertanya siapa perempuan tersebut karena dia tahu kalau itu adalah sekretaris Ancala. Laksa pun sebenarnya juga tahu, tetapi dia hanya pura-pura untuk mengerjai Gemi. “Bang, aku laper banget, lho.” Laksa mengadu. “Aku laper, Bang.” Ulangnya lagi. “Kalian nggak makan dulu tadi?” Ancala mengernyit aneh menatap satu per satu saudaranya. “Istri Abang ngambek karena diajak desak-desakan. Jadi, nggak memedulikan aku yang kelaparan. Tapi, aku nggak mau makan di kantin ini. Abang tolong pesankan aku makanan yang enak, ya.” Laksa memang benar-benar membuat kakak-kakaknya kesal kalau sudah me
“Gem, bangun!” Ancala menepuk paha sang istri pelan ketika sudah sampai di rumah. Mereka baru saja sampai rumah ketika Gemi tidak sadarkan diri, tidur. Sepanjang jalan, Ancala memegangi tangan Gemi takut-takut kalau istrinya itu terjatuh. Bukannya apa-apa, Gemi tidur sepanjang jalan sedangkan mereka menggunakan motor. Kebanyakan makan kepala ayam membuat Gemi lemas sepertinya. “Bang, aku nggak sanggup jalan. Gendong.” Dengan suara lemas, perempuan itu masih memeluk pinggang Ancala dengan erat takut jatuh. Matanya masih tertutup erat enggan untuk terjaga. Napas panjang Ancala terbuang kasar. Menikahi Gemi adalah impiannya, tetapi kalau sifat manja perempuan keluar, maka habislah dia. “Iya, tapi tunggu dulu deh. Aku turun dulu.” Ancala melepaskan tangan Gemi dari pinggangnya sebelum dia turun dengan pelan dari motor. Baru setelahnya menarik tangan Gemi agar istrinya itu naik ke gendongannya. Diam-diam Ancala tersenyum kecil. Terkadang istrinya itu memang menyebalkan, tetapi juga me
Perdebatan yang terjadi malam itu dianggap bukan apa-apa. Pernikahan antara Gemi dan Ancala bahkan akan segera dilakukan dalam waktu dua hari lagi. Pernikahan mewah itu akan dilakukan di outdoor di pinggir pantai. Tidak banyak yang diundang karena Gemi dan Ancala benar-benar memilih orang-orang terdekat mereka saja yang datang. Kabar pernikahan yang sudah merebak itu membuat banyak orang terkejut. Tidak pernah menyangka kalau Gemi dan Ancala akan menikah. Semua orang tahu jika Abimanyu dan Sambara group adalah saudara. Tentu saja hal itu menjadi perbincangan banyak orang. “Gimana rasanya mau menikah?” Denta datang ke rumah Ancala untuk sekedar menemani sahabatnya itu mengobrol. “Dan menikah dengan perempuan yang lo cintai?” “Setelah semua yang terjadi, tentu saja gue bahagia, Den.” Ancala memainkan kakinya yang ada di kolam renang, menimbulkan bunyi kecipak air. “Gue kira akan sulit mendapatkan restu dari para tetua.” Denial mengatakan itu merujuk pada nenek dan kakek Ancala, lela
“Kamu sudah benar-benar yakin akan menikah dengan Gemi, Bang?” Ramon meyakinkan sekali lagi kepada sang putra atas keputusan untuk meminang sang pencuri hati. Para tetua, nenek kakeknya sudah memberikan izin untuk mempersatukan dua keluarga yang seharusnya tetap menjadi keluarga yang sesungguhnya. Namun, mereka memilih untuk memberikan restu dan menyingkirkan segala ego yang ada. Dua anak manusia itu sudah tidak bisa dipisahkan, untuk apa lagi mereka menahannya dan akan berakhir buruk. “Aku udah yakin, Yah. Aku sudah berbicara dengan Gemi dan dia menerima lamaranku.” Senyum lebar tersemat di bibir Ancala dan wajah sumringah itu tidak bisa berbohong jika dia sangat bahagia. “Kalau begitu, Ayah dan Bunda akan berbicara kepada Papa Kala kalau kami akan segera melamar Gemi. Pikirkan juga kamu ingin menikah di mana? Outdoor atau indoor, masalah biaya jangan khawatir, semua biaya Ayah yang urus.” Rasa sayang Ramon yang diberikan kepada Ancala tidak surut sedikitpun sejak dulu. Lelaki it
Setelah obrolan semalam, Gemi bangun tidur dengan perasaan yang terasa ringan. Hubungannya dengan sang ayah sudah membaik dan dia sudah memaafkan apa pun yang pernah sang ayah lakukan. Semua yang dilakukan oleh sang ayah semata untuk melindungi keluarganya. Suasana hati Gemi pun terlihat sangat baik seharian ini. Meskipun Ancala sejak tadi tak kunjung menghubunginya seperti yang sudah dijanjikan semalam, dia masih baik-baik saja. Seperti yang sudah Ancala bilang semalam, lelaki itu akan membicarakan masalah kerjaan dengan sang ayah. “Jadi, kamu mau balik kerja lagi?” Gemi yang baru saja duduk di sofa di samping sang bunda, segera mendapatkan pertanyaan tersebut. “Aku akan pikirkan lagi, Ma.” Sudah kebiasaan berada di rumah selama beberapa bulan, menjadikan Gemi enggan untuk kembali beraktivitas. “Tapi, Ma, Papa ngeluarin aku dari kantor dengan alasan apa, ya?” Benar, Binar pun tampaknya belum tahu tentang masalah tersebut karena dia tak pernah bertanya dengan Kala. “Mama juga
Binar dan Kala mendengar dengan jelas ucapan putri mereka meskipun kata-kata yang diucapkan terbata-bata. Mereka mendengarkan di balik dinding hanya untuk mengetahui reaksi Gemi ketika bertemu dengan Ancala. Nyatanya, Gemi mengatakan sesuatu yang membuat orang tuanya menahan kesedihannya. “Jangan bicara yang tidak-tidak. Sekarang fokuslah pada kesembuhanmu dulu. Papa bilang, kamu masih perlu bertemu dengan psikiater. Kapan jadwalnya? Aku temani ya?” “Aku nggak butuh psikiater lagi, Bang. Obatku udah ada di sini.” Kala mendesah pasrah mendengar jawaban Ancala atas ucapan sang putri. Sudah pasti perasaan Kala sekarang dipenuhi oleh rasa penyesalan yang amat besar. Di ruang tamu, Gemi dan Ancala melepaskan pelukan mereka. Ancala mengusap air mata Gemi yang mengalir menganak sungai di wajahnya. “Aku nggak akan ke mana-mana lagi, Gemi. Aku udah pulang sekarang. Jadi, kamu nggak perlu takut aku pergi lagi.” “Memangnya, Abang dari mana kemarin?” Ancala menyodorkan minuman yang disiapka
Kala pasti tidak pernah menyangka jika Ramon akan menurunkan egonya untuk meminta putranya pulang. Dia tahu betul bagaimana Ramon menolak permintaannya saat itu. Namun, sekarang tiba-tiba Ancala sudah ada di rumahnya dan menanyakan kabar Gemi. Hal itu tentu saja membuat Kala sedikit bingung. Apa pun itu, Kala tentulah merasa senang dengan kedatangan Ancala ke rumahnya. “Keadaan Gemi sudah lebih baik. Dia sekarang sedang istirahat.” Tepat setelah itu, Binar datang dan segera duduk di samping Ancala. Perempuan paruh baya itu mengelus punggung Ancala tanpa berbicara. Kelegaan terpancar dari matanya. “Kamu dari mana saja, Bang?” tanyanya setelah itu, “Mama cariin kamu.” “Aku jalan-jalan, Ma,” jawab Ancala dengan lembut, “Mama baik-baik aja ‘kan?” “Mama baik. Anca, kamu masih mau nemuin Gemi ‘kan? Setelah waktu itu, dia murung dan tidak ingin berurusan dengan siapa pun.” “Tentu saja aku mau, Ma. Gemi adalah adikku. Kalau memang perlu, aku akan menemaninya sampai dia sembuh.” “Apa mak
“Aku harus pulang, Den. Sorry, ya.” Gemi memilih menghindar daripada harus menjawab ucapan Denta. Gadis itu berdiri, lalu buru-buru pergi meninggalkan Denta yang tampak kebingungan. “Gem!” Denta berteriak memanggil gadis itu, tetapi seolah tuli, Gemi tetap berjalan dan sesekali berlari untuk menghindari sahabat Ancala tersebut. Setelah memasuki komplek perumahannya, barulah dia berjalan dengan tenang. Gemi berpikir, kalau Denta saja tidak tahu keberadaan Ancala, itu artinya, kepergian lelaki itu dirahasiakan. Sepertinya, masalah ini benar-benar serius. Gemi berhenti di pinggir jalan, terpaku di tempatnya, lalu berpikir sejenak. Apa dia harus menghubungi Ancala? Apa lelaki itu akan menerima panggilannya kalau dia melakukannya? Kebingungan itu melanda dirinya. Gara-gara kedatangan Denta, menjadikannya berpikir lebih keras tentang Ancala. Gadis berdaster coklat itu kembali melangkah untuk kembali ke rumah. Meskipun dia banyak memikirkan banyak hal, tapi beruntung kini halusinasinya ti