Setelah pulang dari rumah Gemi, Ancala sama sekali tidak bisa tidur. Waktu sudah menunjukkan pukul satu malam, tapi matanya sama sekali tidak mengantuk. Beberapa kali dia bangun dari kasurnya, lalu kembali berbaring, namun semuanya sia-sia. Kepalanya terlalu berisik oleh keriuhan. Satu buah chat masuk dan itu dari Denta. Dia mengatakan sedang berada di sebuah tempat yang biasa mereka datangi dulu. Ancala lantas memilih untuk pergi bertemu dengan Denta. Padahal ini sudah cukup malam untuk keluar rumah. Setidaknya, Ancala membutuhkan mendinginkan kepalanya. “Gue pikir lo udah tidur tadi.” Denta mengangkat tangannya menyambut Ancala. “Padahal iseng aja gue tadi.” Bukan tempat mewah yang biasa didatangi oleh orang-orang kaya pada umumnya. Itu adalah sebuah warung kopi biasa yang memang buka 24 jam. Tempat itu tentu saja banyak kenangan. Dulu saat mereka pusing dengan skripsi, maka tempat itu adalah tempat untuk mereka membuang semua penat yang ada. “Lagi nggak bisa tidur,” jawab Anca.
Gemi tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Gadis itu menatap ke arah Kala dengan kening mengernyit. Denta sungguh-sungguh nekad. Tidak pernah terbersit sedikitpun di kepala Gemi jika Denta akan secepat ini datang ke rumahnya. Dan mengatakan sesuatu yang sangat berani. “Pa,” kata Gemi. “Apa yang terjadi?” Akhirnya Gemi bertanya kepada sang ayah. Mendekat ke arah sofa. Duduk di sana menatap ke arah kedua orang tuanya, lalu ke arah Denta. “Seperti yang Denta bilang, seperti itu juga yang dikatakan oleh Denta kepada kami. Kalian memiliki hubungan? Kalian berkencan?” Ekspresi yang ditunjukkan oleh Kala tidak biasa. Tatapannya menyelidik membutuhkan jawaban dari putrinya. Binar yang duduk di samping Kala pun menunggu jawaban Gemi. “Kami tidak berkencan,” jawab Gemi tegas. “Hanya, berteman. Tapi, aku nggak tahu kedepannya seperti apa.” Gemi menoleh ke arah Denta. “Denta, tolong jangan melakukan sesuatu hal yang konyol seperti ini.” Denta tersenyum tulus. “Benar, Om, Tante. Kami memang t
“Lho, Ancala!” Gemi bisa mendengarkan suara itu disebut oleh Denta ketika dia tengah memilih baju. Kepalanya menoleh dan mendapati sepupunya itu bersama dengan Gita. Gemi mendengus, sebelum memusatkan fokusnya pada kegiatannya. Dia tak mendengarkan apa yang dibicarakan oleh Denta dan Ancala, tapi setelah itu, Gita mendekat padanya. Menyapa dengan, “Hai!” kepadanya dan itu membuat Gemi sedikit kesal. Bukankah dia sudah bilang kepada Ancala jika orang yang tengah dekat dengan lelaki itu adalah musuhnya? Lalu kenapa lelaki itu justru membiarkan Gita mendekatinya? Sial! Itu sangat menyebalkan. “Hai.” Tanpa menoleh pada Gita yang berdiri di sampingnya, Gemi hanya menjawab seadanya. Setelah itu, tidak ada yang berbicara. Aura dingin yang dikeluarkan oleh Gemi terasa menguar tak tanggung-tanggung. Sikap tak acuhnya itu membuat orang lain enggan mengajaknya mengobrol. Setelah mengambil beberapa helai pakaian, Gemi memilih menyingkir, tanpa mengatakan apa pun kepada Gita. Bahkan tanpa menc
Pertemuan malam itu, bukan malah memukul mundur Denta dan Gita, justru membuat mereka penasaran. Karena hubungan Gemi dan Ancala begitu dekat, maka Gita bahkan memberanikan diri untuk menemui Gemi. Dia tahu di mana Gemi bekerja, hasil dari bertanya kepada Ancala. Dan siang ini, gadis itu tiba-tiba muncul di lobby Abimanyu group. Gemi yang mendapatkan pemberitahuan dari resepsionis itu bahkan tidak menyangka kalau Gita mendatanginya. Baginya, itu sangat mengganggu. Meskipun sedikit kesal, Gemi tetap harus menemui Gita. “Hai, sorry ganggu!” Gita menyapa lebih dulu ketika Gemi menemuinya. Dia juga memberikan senyum ramahnya. “Hai.” Gemi hanya tersenyum kecil seperti biasa. “Ada apa? Sampai datang ke sini?” “Sudah makan siang?” tanya Gita. “Sepertinya sambil makan siang deh. Biar enak ngobrolnya.” Gemi tampak kurang nyaman. Mereka tidak cukup akrab untuk makan siang bersama. Maka Gemi bertanya, “Sebenarnya, ada hal penting apa yang ingin Mbak bicarakan?” Gita sepertinya tahu jika it
Bisa memeluk punggung Ancala lagi, seperti sebuah anugerah besar yang Gemi dapatkan. Beberapa minggu terakhir ini mereka seperti orang asing, bahkan cenderung seperti orang tidak mengenal. Menumpukan dagunya di atas pundak Ancala, kedua tangan Gemi memeluk perut lelaki itu dengan erat. Jika orang lain yang melihatnya maka mereka akan menganggap keduanya adalah pasangan yang sangat serasi. “Mau jalan ke mana sekarang?” Ancala sedikit berteriak agar Gemi bisa mendengarnya. “Putar-putar aja.” Gemi juga sedikit berteriak ketika menjawab. “Ini makanan nanti dingin, lho, Gem. Apa aku antar kamu pulang, lalu kita makan aja di rumah?” “Kita itu baru aja baikan, lho, Bang. Ngerti dikit, kek.” Pukulan ringan di punggung itu diberikan oleh Gemi membuat Ancala terkekeh kecil. “Oke … oke. Kita muter-muter dulu. Jangan tidur dulu. Awas aja tidur.” Tidak ada jawaban dari Gemi. Gadis itu justru mengeratkan pelukannya dan menumpukkan kepalanya sepenuhnya di pundak kiri Ancala. Menikmati kebersam
“Bicara yang lain, mereka udah datang.” Laksa mengedikkan kepalanya ke arah Ancala dan Gita yang berjalan mendekat ke arah mereka. Laksa meletakkan makanannya di atas meja, lalu membuka bungkusan nasi bakar itu sebelum memakannya. Gita pun melakukan hal yang sama. Empat orang yang lain menatap pergerakan itu dalam diam. Tidak ada yang bersuara, dan keheningan tiba-tiba memeluk mereka. Ancala yang menatap ada yang tidak beres pun mendongak, menatap satu per satu Laksa dan Arca. “Kenapa?” tanyanya, “nggak makan?” Reflek, Tera berdiri, lalu duduk berjongkok di samping Ancala. “Aa, Bang.” Kumat sudah manjanya member termuda dari sepupunya itu. Ancala menyuapi Tera dengan sabar. Lalu tangan Ancala mengarah pada Gemi. “Aa … juga.” “Aku udah makan. Kenyang,” tolaknya. Menjauhkan kepalanya dari tangan Ancala yang sudah ada sesuap nasi. “Aaa.” Ancala bersikeras. Tidak peduli ada Gita di sana, Ancala memilih abai dan menjadi diri sendiri. Menunjukkan jika memang seperti inilah kebiasannya
“Sejujurnya kalau masalah itu, kami menyerahkan semuanya kepada yang mau menjalani, Pak. Semua tergantung Ancala,” ucap Ramon bijaksana. “Bagaimana, Bang? Ayah serahkan keputusan sama Abang.” Urusan pernikahan adalah urusan serius. Meskipun Ancala sudah mendapatkan tuntutan untuk segera menikah, tetapi para orang tua juga tidak boleh gegabah. Menerima saja usulan orang lain untuk sebuah perjodohan. Benar memang jika saat itu, Anyelir dan ibu Gita yang memiliki ide untuk mendekatkan anak-anak mereka, tetapi hal itu bukan berarti memaksakan kehendak. “Kami akir-akhir ini memang dekat, Om, tapi saya belum berpikir sampai sejauh ini.” Jika kali ini Ancala tidak tegas, maka takutnya nanti, dia akan terjebak dalam kesulitan yang lebih panjang lagi. Tatapannya mengarah pada Gita. “Sepertinya butuh waktu untuk sampai ke sana, Git.” Ruangan itu mendadak hening. Bukankah Gita sudah mengetahui kalau Ancala mencintai orang lain? Setidaknya, Gita bisa berusaha mengambil hati Ancala lebih dulu a
“Apa sih, Mbak, datang-datang udah merengut aja.” Gemi duduk di samping Ancala, memangku bantal sofa dengan bibir tertutup rapat. Ancala belum menceritakan tentang Gita dan orang tuanya yang malam itu datang ke rumahnya membawa serta ide di kepala mereka. Ancala tidak tahu bagaimana reaksi yang akan diberikan oleh Gemi kalau tahu hal tersebut. Apakah dia akan murka, atau justru tidak peduli. “Ini lho tadi, Abang cerita ke Papa katanya Gita dan orang tuanya datang ke rumah untuk ‘ngelamar’ Abang.” Gemi segera menoleh. Tatapannya memicing, tetapi tidak ada suara yang keluar. Dia hanya memberikan kode kepada Ancala untuk menceritakannya lewat tatapan mata. “Ayo, nanti aku ceritain. Makan siang di luar sekalian. Papa nggak ikut?” Basa-basi sekali Ancala mengatakan itu. Arga menggeleng menolak. Lalu, segera saja Ancala menarik tangan Gemi untuk keluar dari ruangan tersebut. Dia akan menceritakan kejadian itu di perjalanan. Gemi tidak bertanya apa pun atau mendesak Ancala segera berbic