Untuk sesaat, Gemi hanya mematung di tempatnya. Tidak pernah memiliki bayangan kalau Ancala akan datang ke rumahnya bersama dengan keluarganya. Sepertinya, Ancala tengah mengujinya. Pertemuan malam itu saja belum hilang dari ingatan Gemi, sekarang lelaki itu justru berada di rumahnya. Tersenyum lebar seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Hal itu membuatnya sangat kesal. Tapi, sekali lagi Gemi tak bisa melakukan apa pun kecuali harus menyingkirkan segala macam perasaan sakit yang dirasakan. Kalau dia sekarang menunjukkan perubahan interaksi dengan Ancala, maka itu akan membuat para orang tua curiga. Karena itu, dia akhirnya mencoba tersenyum. Mengubur sebentar luka basahnya. “Bunda Anye.” Gemi mendekat pada Anyelir. Perempuan paruh baya itu mencium Gemi. “Kenapa nggak dikeringkan dulu rambutnya?” Anyelir mengelus punggung Gemi dengan pelan. “Udah dipanggil. Biar terasa seger juga, Nda.” Gemi berlalu untuk mendekati Ramon. Mencium punggung tangan laki-laki itu. Barulah dia duduk di
Kata-kata yang diucapkan oleh Kala malam itu, membuat Gemi merasa ditekan begitu kuat. Rasa sesak itu dirasakan di dalam hatinya itu begitu hebat sampai dia tak tahu bagaimana akan melanjutkan hidupnya kedepannya. Haruskan dia merelakan perasaannya begitu saja dan membiarkan Ancala hidup dengan kebahagiaannya sendiri tanpa dirinya? “Gemi!” Panggilan itu membuat gadis itu terkejut. Lamunannya tampaknya menimbulkan masalah. Dia berada di ruang meeting dan beberapa orang yang ada di divisinya tengah konsentrasi mendengarkan bosnya berbicara, sedangkan Gemi justru menunjukkan tidak fokusnya. “Maaf.” Sadar kalau dia salah, Gemi segera meminta maaf. “Fokuslah. Jangan main-main.” Peringatan itu membuat Gemi mengangguk mengerti. Meskipun dia adalah salah satu calon pemilik perusahaan, tidak ada yang memerlakukannya khusus. Atasannya pun tidak akan memarahinya jika dia membuat kesalahan. Mencoba untuk fokus, Gemi merasa waktu berjalan lambat. Di dalam pikirannya, dia berbicara sendiri. Jik
“Tidak ada lowongan pekerjaan!” Gemi menjawab cepat. “Idemu mentah.” Gemi tahu persis siapa Denta. Lelaki itu bahkan memiliki perusahaan traveling. Dia bukan pejuang rupiah yang harus sibuk mencari pekerjaan. Gemi tidak tahu bagaimana kehidupannya sebelumnya, tapi dia yakin lelaki itu memang dipersiapkan untuk menjadi pewaris keluarganya.“Aku harus pergi sekarang.” Gemi pamit. “Nomor Ancala masih sama kalau mau menghubunginya.” “Biarkan aku antar.” Denta bersiap berdiri, namun Gemi menghalau. “Kamu datang kesini pasti membutuhkan sesuatu untuk dibeli. Lanjutkan saja.” “Udah nggak lagi. Ayo, aku antar.” Denta kukuh.“Aku bawa mobil sendiri.” Gemi tak kalah kukuh. Berdiri, membawa paper bag miliknya sebelum berlalu dari sana. Namun Denta sama sekali tidak mengindahkan ucapan Gemi. Dia mengikuti Gemi dari belakang. Ada dengusan yang keluar dari mulut Gemi. Tapi dia membiarkan Denta mengikutinya. Sampai di basement, Gemi kembali mengusir lelaki itu sekali lagi. “Pergi sana. Aku mau
“Aku barusan dari kantor Ancala.” Denta mengatakan itu ketika dalam perjalanan pergi makan siang. Gemi tampak tak acuh. Gadis itu hanya melihat ke arah luar tanpa mengatakan apa pun. Menjadi pihak pendengar. “Tapi dia bilang, dia belum mau menikah. Baru tahap awal kenalan.” Denta tidak menambahi dan tidak mengurangi semua ucapan yang dikatakan oleh Ancala. Gemi begeming. Menutup matanya berpura-pura tidur. Dia sedang tidak mood untuk berbicara. Untuk pertama kalinya dia akan makan siang dengan seorang lelaki yang bukan keluarganya, rasanya aneh. Gemi adalah orang yang tertutup. Dia tidak memiliki banyak teman dan kalaupun dia punya, itu hanya perempuan. Sejak kecil sudah bersama dengan Ancala, rasa-rasanya sudah tidak membutuhkan laki-laki lain. Sayangnya, semua sekarang berubah. Keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat. Hubungannya dengan Ancala tidak memiliki masa depan. Mereka akan tetap menjadi keluarga. Hanya dengan memikirkan itu saja, Gemi merasa terluka. Merasa bodoh d
Arga bergeming. Tidak segera memberikan jawaban atas apa pun yang dikatakan oleh keponakan kesayangannya. Mungkin kalau Bening saat itu mengatakan tentang kegalauan Gemi, lelaki itu sekarang tengah berpikir apakah yang dikatakan oleh istrinya saat itu adalah benar. Maka dia yang bertanya untuk memastikan. “Sejak kapan kamu punya pacar?” tanya Arga penuh selidik. “Papa nggak akan ngelarang, kalau memang pacarmu itu memenuhi kriteria. Kalau tidak, kita bisa bicarakan ulang.” Untuk menjadi pendamping Gemi, seseorang itu harus berhadapan dengan keluarga besarnya yang memiliki banyak kriteria. Tapi yang paling susah tentu saja orang tuanya. Kala itu tidak akan mudah memberikan restu tanpa lolos dari banyak ujian darinya. Selama ini, Gemi tidak pernah memperkenalkan lelaki mana pun kepada keluarganya. Jadi dia tak benar-benar tahu bagaimana reaksi keluarganya seandainya dia membawa seorang lelaki untuk dikenalkan kepada mereka. Belum lagi semua sepupunya yang pasti akan membuat ulah. “Ak
Setelah pulang dari rumah Gemi, Ancala sama sekali tidak bisa tidur. Waktu sudah menunjukkan pukul satu malam, tapi matanya sama sekali tidak mengantuk. Beberapa kali dia bangun dari kasurnya, lalu kembali berbaring, namun semuanya sia-sia. Kepalanya terlalu berisik oleh keriuhan. Satu buah chat masuk dan itu dari Denta. Dia mengatakan sedang berada di sebuah tempat yang biasa mereka datangi dulu. Ancala lantas memilih untuk pergi bertemu dengan Denta. Padahal ini sudah cukup malam untuk keluar rumah. Setidaknya, Ancala membutuhkan mendinginkan kepalanya. “Gue pikir lo udah tidur tadi.” Denta mengangkat tangannya menyambut Ancala. “Padahal iseng aja gue tadi.” Bukan tempat mewah yang biasa didatangi oleh orang-orang kaya pada umumnya. Itu adalah sebuah warung kopi biasa yang memang buka 24 jam. Tempat itu tentu saja banyak kenangan. Dulu saat mereka pusing dengan skripsi, maka tempat itu adalah tempat untuk mereka membuang semua penat yang ada. “Lagi nggak bisa tidur,” jawab Anca.
Gemi tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Gadis itu menatap ke arah Kala dengan kening mengernyit. Denta sungguh-sungguh nekad. Tidak pernah terbersit sedikitpun di kepala Gemi jika Denta akan secepat ini datang ke rumahnya. Dan mengatakan sesuatu yang sangat berani. “Pa,” kata Gemi. “Apa yang terjadi?” Akhirnya Gemi bertanya kepada sang ayah. Mendekat ke arah sofa. Duduk di sana menatap ke arah kedua orang tuanya, lalu ke arah Denta. “Seperti yang Denta bilang, seperti itu juga yang dikatakan oleh Denta kepada kami. Kalian memiliki hubungan? Kalian berkencan?” Ekspresi yang ditunjukkan oleh Kala tidak biasa. Tatapannya menyelidik membutuhkan jawaban dari putrinya. Binar yang duduk di samping Kala pun menunggu jawaban Gemi. “Kami tidak berkencan,” jawab Gemi tegas. “Hanya, berteman. Tapi, aku nggak tahu kedepannya seperti apa.” Gemi menoleh ke arah Denta. “Denta, tolong jangan melakukan sesuatu hal yang konyol seperti ini.” Denta tersenyum tulus. “Benar, Om, Tante. Kami memang t
“Lho, Ancala!” Gemi bisa mendengarkan suara itu disebut oleh Denta ketika dia tengah memilih baju. Kepalanya menoleh dan mendapati sepupunya itu bersama dengan Gita. Gemi mendengus, sebelum memusatkan fokusnya pada kegiatannya. Dia tak mendengarkan apa yang dibicarakan oleh Denta dan Ancala, tapi setelah itu, Gita mendekat padanya. Menyapa dengan, “Hai!” kepadanya dan itu membuat Gemi sedikit kesal. Bukankah dia sudah bilang kepada Ancala jika orang yang tengah dekat dengan lelaki itu adalah musuhnya? Lalu kenapa lelaki itu justru membiarkan Gita mendekatinya? Sial! Itu sangat menyebalkan. “Hai.” Tanpa menoleh pada Gita yang berdiri di sampingnya, Gemi hanya menjawab seadanya. Setelah itu, tidak ada yang berbicara. Aura dingin yang dikeluarkan oleh Gemi terasa menguar tak tanggung-tanggung. Sikap tak acuhnya itu membuat orang lain enggan mengajaknya mengobrol. Setelah mengambil beberapa helai pakaian, Gemi memilih menyingkir, tanpa mengatakan apa pun kepada Gita. Bahkan tanpa menc