Share

Bab 2

Penulis: Goresan Pena93
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-22 08:33:14

"Udah, jangan nangis! Udah terlanjur juga," ucap Bang Juned saat aku sesenggukan di atas tempat tidurnya. "Kita jalani aja dulu." Enak sekali dia bicara.

"Bukan itu. Aku cuma masih sakit hati aja ngeliat Mas Revan sama April. Tega sekali mereka," balasku tanpa menatap lelaki yang duduk di depan cermin rias itu. "Papa juga tadi kaget, aku takut kumat aja penyakit jantungnya."

"Oh, mereka. Buat apa dipikirkan? Harusnya kamu bersyukur. Enggak jadi nikah sama laki-laki model kayak dia," balas Bang Juned lagi.

"Tapi malah nikah sama Bang Juned. Sama aja apes."

"Juna, bukan Juned! Kamu kira aku pacarnya Mumun apa?"

"Ya emang namanya Juned, kan?"

"Junaid, Nisa! J u n a i d. Jangan sembarangan diganti-ganti nama orang! Oh ya, aku ada penerbangan lagi nanti jam sebelas malam. Kamu di sini sendirian berani, kan?" katanya lagi.

"Enggak, ah. Aku pulang aja."

"Kamu kan enggak boleh pulang kata papa kamu. Kamu harus ikut aku terus."

Aku terdiam lagi. Memang benar apa kata lelaki itu. Kulihat lagi pria berkaus hitam yang masih menatap wajahnya kanan kiri itu. "Aku mau minta maaf, Bang. Papa udah nonjok Abang. Padahal kan Abang cuman nolong aku."

"Ya gimana lagi. Udah terlanjur bonyok juga. Besok pagi, aku akan kenalkan kamu sama orang tuaku. Semoga mereka enggak kena serangan jantung aja punya mantu kayak kamu."

Aku langsung mendelik. "Maksud Abang apa? Begini-begini, aku udah punya usaha sendiri. Udah enggak minta duit sama orang tua lagi."

"Iya-iya, percaya kalau kamu memang udah mandiri." Bang Juned berdiri. Lalu berjalan mendekatiku. "Minggir, aku mau istirahat dulu. Bentar lagi bangunin aku, ya! Jam 10."

"Enggak mau. Bangun aja sendiri."

"Kalau kamu enggak mau, berarti kamu mau yang lain. Ingat, Nisa, aku suami kamu sekarang. Boleh kan minta apa aja?" Dia tertawa.

Dasar laki-laki sama saja. "Awas aja kalo Abang berani nyentuh aku! Aku suruh tanggung jawab!"

"Aku kan udah tanggung jawab. Aku udah nikahin kamu. Kurang apa lagi?" Dia malah tertawa lagi. "Ada yang kurang? Oh, atau kurang nafkah batin?" Dia malah cengingisan.

Astaga, kenapa dengan isi kepala lelaki itu? Kenapa malah mengarah ke sana? Aku menelan ludah susah payah karena tiba-tiba lelaki itu langsung merebahkan diri di sebelahku duduk. Sementara aku sendiri, tidak bisa banyak bergerak karena kaki belum pulih.

***

Sebenarnya dia baik. Dia mau menikah denganku meskipun tuduhan tadi itu tidak benar. Dia juga bukan lelaki kasar seperti Revan yang setiap kali aku menolak kecupan darinya, dia langsung marah dan berkata kasar. Entah mengapa aku bisa jatuh cinta padanya dulu. Padahal dia berperangai buruk.

Sekarang, ada lelaki yang merupakan tetanggaku sendiri. Yang kini terlelap dengan wajah tanpa dosa itu. Ingin sekali kubantu mengobati luka lebam pada wajahnya itu, tapi takut dia malah bangun. Sebentar lagi pukul sepuluh malam, dia harus kerja lagi.

Perlahan, kusentuh lengannya dengan hati-hati. Tapi, lelaki itu tak kunjung membuka matanya. "Bang! Bang Juned! Bangun!"

"Hem. Jam berapa?" Suaranya serak. Khas seperti orang bangun tidur.

"Jam sepuluh kurang lima," balasku sambil merapikan jilbab.

Lelaki beralis tebal itu langsung bangun. Dia meraih rolex mewah di atas nakas dekatnya tidur tadi. "Makasih ya, sudah dibangunin. Aku siap-siap dulu."

Kubiarkan lelaki itu pergi ke kamar mandi. Giliranku kini yang mengantuk sekarang. Tapi, tetap tidak bisa tidur karena masih ada lelaki itu di kamar ini. Setelah pria itu keluar dengan seragam putih lalu berdiri di depan kaca lagi dan memasang atribut kerjanya, dia terlihat menelpon seseorang.

"Dua bungkus ya, Mas. Sama kentang goreng, air mineral satu liter. Sama buah deh kalau masih ada. Ya, makasih." Ponsel dia letakkan lagi di atas mejanya.

"Bang Juned pulangnya kapan?" tanyaku memecah keheningan yang tercipta di kamar ini.

"Besok kayaknya. Penerbangan malam ini ke luar kota. Ke Banjarmasin. Jadi, aku kayaknya nginep di sana. Enggak mungkin pulang ke sini malam ini."

"Jadi, aku di sini sendirian beneran?" tanyaku dengan ragu.

"Iya. Makanya aku pesankan makan. Biar kamu enggak kelaparan, terus nelpon aku saat terbang. Enggak bakalan aku angkat," balas lelaki itu. Dia terlihat sudah siap dengan koper sedang yang dia tarik.

"Ya udah."

"Kamu harus belajar berani. Mau aku bawakan apa nanti kalau pulang?" Dia tertawa.

"Enggak usah! Aku bisa beli sendiri."

Kulihat pundaknya luruh. Lalu berjalan ke arahku. Dia juga membuka dompetnya, lalu menyerahkan salah satu kartu ATM di dalam dompetnya. "Nih, kalau butuh apa-apa. Tinggal gesek aja. PINnya nanti aku wa. Oh ya, nomor kamu berapa?"

"Enggak usah! Itu buat Abang aja. Aku punya ATM sendiri."

"Bukan gitu, Nisa. Ini kan bagian dari menafkahi istri."

Andai dia tahu, kalau aku sebenarnya tidak siap menjadi istrinya. Siapa tahu dia sudah punya pacar. Atau calon istri gitu. Kan aku jadi tidak enak. Bisa dikira merebut dia dari wanita lain nanti.

"Loh, kenapa diam saja? Ambil, nih!"

"Enggak, ah. Abang bawa aja!"

"Aku enggak ada kes, Nisa. Bagi nomor wa kamu, gih!"

Akhirnya, setelah drama panjang itu, aku memberikan apa yang dia minta. Lalu, pria itu berjalan keluar untuk berangkat kerja. Kini, di hotel ini, di gedung yang seharusnya masih ada pesta pernikahan ini, aku sendirian dengan kaki terbungkus perban elastis.

Teringat lagi soal Revan dan April. Mereka benar-benar membuatku kecewa. Ditambah fitnahan mereka terhadapku dan Bang Juned. Tak berapa lama, grup pertemanan mulai gaduh saat kulihat. Mereka membahasku. Ada April juga di sana yang membuat suasana makin membuatku malu.

Bertubi-tubi notif tag dari teman muncul. Mereka bertanya-tanya soal kejadian yang menimpaku. Bukan Revan yang menjadi suamiku. Aku pun langsung keluar dari grup itu karena saking malunya. Aku tak sanggup membalas atau menjelaskan pada mereka apa yang sebenarnya terjadi.

Pagi itu, aku terbangun dengan perut yang terasa begitu sakit. Saat kulihat tanggalan kecil di atas meja, aku teringat sesuatu. Pasti aku halangan karena sudah tanggalnya. Siapa yang bisa kumintai tolong membeli pembalut? Sementara di kamar ini tidak ada siapa-siapa. Ah, rasanya menyesal menolak bantuan Bang Juned semalam.

"Bang, kapan pulang?" Terpaksa aku mengirim pesan pada Bang Juned. Hanya dia yang sekarang bisa diandalkan.

"Kenapa? Kangen?"

Aku mendelik membaca pesan balasan dari nomor lelaki itu. Bisa-bisanya dia membalas seperti itu. Mataku tak sengaja melihat foto profilnya yang terlihat gagah itu. Ah, sampai kapan pun aku tidak akan pernah suka sama dia.

"Bilang aja kalau kangen! Aku masih di kamar hotel. Mungkin nanti siang pulangnya. Sabar, ya!"

"Aku cuman mau minta tolong!"

"Apa? Minta tolong ngapain? Gendong kamu?"

"Abaaaang!"

"Iya, Sayang. Sabar, ya!"

"Aku cuman mau minta tolong beliin sesuatu. Bukan kangen!"

"Iya-iya. Bentar lagi Abang pulang. Kamu yang sabar nunggunya."

Aku makin kesal saat dia mengirim emoji love berkali-kali. "Ya udah! Gak jadi!" Benar-benar membuatku emosi saja lelaki ini.

"Ngambek, ya? Pasti lagi dapet."

Astaga, kenapa dia bisa tahu? Apa dia punya tuyul yang bisa melihat aku di sini sedang apa saja? Atau, dia punya kodam?

Bab terkait

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 3

    Haduh, bagaimana ini? Aku tidak punya stok pembalut lagi. Mana Bang Juned lama sekali. Aku harus menyuruh siapa? Malu lah kalau harus minta tolong pelayan hotel. Kan mereka kebanyakan laki-laki. Saat aku berjalan ke kamar mandi sambil menahan kaki yang sakit, tiba-tiba suara ketukan pada pintu membuatku kaget. Siapa yang mengetuk? Mungkinkah Bang Juned? Katanya jam sembilan baru sampai. Perlahan kuintip dari lubang pintu setelah melangkah dengan merayap. Ternyata benar, lelaki itu yang datang. Syukurlah kalau dia sudah kembali. Pintu pun langsung kubuka dan dia masuk dengan wajah berkeringat. Lelaki itu menarik kopernya lalu meletakkan topi kerjanya di atas meja. "Kamu butuh apa, sih? Sampai buat aku enggak tenang kerjanya. Kamu tau enggak, saat aku di pesawat tadi, aku jadi enggak fokus tau!" Mengomel saja terus! Rasanya ingin aku jitak kepalanya. Pulang-pulang malah bicara panjang lebar. Bukannya tanya baik-baik, butuh apa istrinya ini. Eh, malah merembet ke mana-mana. Memangnya

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-22
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 4

    "Kenapa enggak diangkat?" tanya lelaki itu. "Dari manusia paling menyebalkan." Malas sekali menyebut nama lelaki di seberang sana itu. "Revan, kan?" tanyanya lagi. Orang ini punya Kodam apa, ya? Kenapa dia bisa tahu apa pun yang aku pikirkan. Kenapa juga dia bisa peka saat aku butuh apa-apa? "Ck, biasa. Malas aku bicara tentang dia. Aku blok aja nanti.""Angkat, gih! Siapa tau penting," jawabnya lagi. "Abang enggak masalahin kalau aku angkat telpon dari mantan aku?""Ya, sebenarnya masalah. Cuman, siapa tau aja penting. Atau, biar aku saja yang angkat."Aku tak membalas dan membiarkan Bang Juned yang mengangkatnya. "Assalamualaikum?""Assalamualaikum?" Kening Bang Juned berkerut sambil menatap layar ponsel yang masih menyala itu berkali-kali. "Kenapa enggak ada suaranya, ya? Hp kamu enggak eror kan ini, Nis?" "Ck, ya enggak lah, Bang. Itu hp baru. Enak aja eror. Kayaknya yang nelpon yang eror.""Oh, mungkin saja." Dia meletakkan ponselku di atas meja dan kami kembali menikmati

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-22
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 5

    Sore itu, setelah selesai kerjaan di hotel, aku dihampiri langsung oleh Revan. Lelaki berwajah oriental itu menyentuh tanganku di depan lobi. Sontak, aku pun langsung menghempaskannya. Kutarik napas dalam-dalam lalu bertanya, "Aku enggak punya banyak waktu." Dia hanya tersenyum awalnya. Setelah itu menatap ke depan dan tiba-tiba menarik tanganku. "Masuk mobil dulu, Sayang! Aku mau kasih kejutan enggak di sini."Tubuhku dia paksa masuk ke dalam mobilnya. Lalu dia masuk dan menyalakan mobil. Kendaraan roda empat ini kini melaju ke depan. Rasa-rasanya perasaanku mendadak tak enak. Apalagi melihat gelagat lelaki itu. Tatapannya agak aneh karena sejak tadi senyam-senyum tidak jelas."Sebenarnya kita mau ke mana, sih? Jangan jauh-jauh! Sekarang aku bukan lagi calon istri kamu!" Aku berusaha mengingatkan dia lagi. Namun, reaksi Revan malah diam saja. Dia fokus pada kemudinya dan menambah kecepatan laju kendaraan yang kami naiki. Kanan kiri kulihat tampak asing jalanan ini. Aku menatap jam

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-22
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 6

    Pagi itu Bang Juned sudah keluar kamar lebih dulu. Sementara aku masih berpikir bagaimana caranya agar dia mau bicara denganku. Maksudku, mengatakan apa saja yang sudah dia ketahui soal aku dan Revan waktu itu. Ah, mengingat nama itu aku rasanya ingin mvntah. Menjij1kan sekali dan aku bersumpah jika bertemu dengannya lagi nanti, kupastikan akan memukulnya. "Ck, aku harus bilang gimana sama Bang Juned?" gumamku sendiri sambil mondar-mandir di depan meja rias. Tak lama setelah itu aku mencium aroma makanan yang begitu lezat. Sampai-sampai perutku pun langsung berbunyi. Aku lupa kalau sejak kemarin sore, perut belum diisi. Pintu kamar pun segera kubuka dan aroma makanan di atas kompor semakin kuat. Aroma smoky seperti daging panggang dan nasi goreng. Kepalaku menyembul dari balik dinding dapur. Kulihat memang lelaki itu sedang sibuk mengaduk masakan. Tapi, aku tak berani mendekatinya. Sampai ludah pun serasa ingin keluar karena aroma kelezatan makanan di atas meja yang sudah terlihat

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 7

    "Cieee, nungguin suami, ya?" Aku terkejut mendengar sindiran yang terdengar tiba-tiba dari belakang. Aku pun langsung mengulas senyuman pada pemilik hotel tempatku kerja itu. "Bisa aja, Buk." "Selamat ya, Nis. Oh ya, jadi sekarang yang kamu nikahin itu bukan si Revan, ya?" Duh, kepo banget ini atasan. "Bukan, Buk. Ceritanya kan panjang. Kan, Bu Rizkia ada di sana waktu itu." Aku meringis kuda. "Ya udah deh, yang penting kalian bahagia. Masalah rumah tangga atau pribadi kamu, Ibu enggak mau ikut-ikutan. Cuman mau doain aja, ya." Wanita dengan penampilan feminim itu mengulas senyum padaku. Baguslah kalau dia tidak banyak tanya. Mau jawab apa nanti aku kalau begini ceritanya. Dapat suami yang katanya mau jemput, tapi malah telat setengah jam. "Makasih, Bu." Aku kembali melebarkan senyuman padanya. "Duluan ya, Nis."Aku mengangguk pada wanita yang sudah masuk ke dalam mobil mewah itu. Masih di depan lobi, aku berkali-kali menatap jam tangan yang sudah menunjukkan waktu hampir Maghr

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 8

    Suara ketukannya makin kencang. Sekujur tubuhku berubah panas dingin. Aku memutuskan untuk meraih bantal dan bersiap memukulnya. Tidak. Bantal ini tidak akan membuat dia kapok. Aku harus cari alat yang bisa digunakan untuk membela diri nanti. Setelah kutemukan sebuah sapu di pojok ruangan dapur, aku pun mengendap-endap ke arah pintu utama. Tiba-tiba saja tanpa aba-aba pintu itu terbuka karena dorongan dari luar. Sontak dengan refleks pun aku memukul sosok pria yang masuk tanpa permisi itu. "Rasain, tuh! Maling!""Maling!""Rampok!" Aku sudah sekuat tenaga memukulinya sambil berteriak kencang. Namun, sepertinya hujan deras telah menelan suaraku hingga tak satu pun ada orang yang datang untuk menolong. "Maling kamu, ya! Rasakan ini!" "Eh! Nisa!""Nisa, jangan!""Jangan! Ini aku!" Tunggu! Sepertinya aku kenal dengan suara itu. Lampu segera kunyalakan semua dan menatap lelaki yang terlihat memakai mantel hujan itu. Dia ambruk di lantai sambil merintih kesakitan. "Aduh, ya Allah. Saki

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 1

    "Jangan, Mas! Nanti ketahuan sama calon istri kamu," lirih seorang wanita yang tak lain adalah sahabatku sendiri. Dia mendorong sedikit dada bidang lelaki yang harusnya kini duduk di depan penghulu bersamaku. "Dia tidak akan tau. Sudahlah, ikuti saja apa yang kumau! Lagi pula, dia tidak akan ke sini. Bahkan, dia tidak akan berani membantah setiap ucapanku," balas seorang pria berjas hitam lengkap dengan bunga mawar di bagian sakunya. Dadaku perih melihat dua orang yang tengah bersembunyi di balik dinding dalam gedung ini. Teganya mereka bermain api di belakangku, di saat akad sebentar lagi akan berlangsung. Air mata sudah menganak sungai, gaun pengantin menjuntai ingin segera kulepas dan pergi saja dari sini. Namun, sayangnya aku teringat dengan kedua orang tuaku yang sudah pasti panik di dalam sana karena aku tak kunjung kembali. "Jadi, kamu akan tetap menikahi dia?" tanya April, gadis itu membelai wajah Mas Revan, lelaki yang tadi alasan ingin ke toilet. Tapi, kenyataannya malah

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-22

Bab terbaru

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 8

    Suara ketukannya makin kencang. Sekujur tubuhku berubah panas dingin. Aku memutuskan untuk meraih bantal dan bersiap memukulnya. Tidak. Bantal ini tidak akan membuat dia kapok. Aku harus cari alat yang bisa digunakan untuk membela diri nanti. Setelah kutemukan sebuah sapu di pojok ruangan dapur, aku pun mengendap-endap ke arah pintu utama. Tiba-tiba saja tanpa aba-aba pintu itu terbuka karena dorongan dari luar. Sontak dengan refleks pun aku memukul sosok pria yang masuk tanpa permisi itu. "Rasain, tuh! Maling!""Maling!""Rampok!" Aku sudah sekuat tenaga memukulinya sambil berteriak kencang. Namun, sepertinya hujan deras telah menelan suaraku hingga tak satu pun ada orang yang datang untuk menolong. "Maling kamu, ya! Rasakan ini!" "Eh! Nisa!""Nisa, jangan!""Jangan! Ini aku!" Tunggu! Sepertinya aku kenal dengan suara itu. Lampu segera kunyalakan semua dan menatap lelaki yang terlihat memakai mantel hujan itu. Dia ambruk di lantai sambil merintih kesakitan. "Aduh, ya Allah. Saki

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 7

    "Cieee, nungguin suami, ya?" Aku terkejut mendengar sindiran yang terdengar tiba-tiba dari belakang. Aku pun langsung mengulas senyuman pada pemilik hotel tempatku kerja itu. "Bisa aja, Buk." "Selamat ya, Nis. Oh ya, jadi sekarang yang kamu nikahin itu bukan si Revan, ya?" Duh, kepo banget ini atasan. "Bukan, Buk. Ceritanya kan panjang. Kan, Bu Rizkia ada di sana waktu itu." Aku meringis kuda. "Ya udah deh, yang penting kalian bahagia. Masalah rumah tangga atau pribadi kamu, Ibu enggak mau ikut-ikutan. Cuman mau doain aja, ya." Wanita dengan penampilan feminim itu mengulas senyum padaku. Baguslah kalau dia tidak banyak tanya. Mau jawab apa nanti aku kalau begini ceritanya. Dapat suami yang katanya mau jemput, tapi malah telat setengah jam. "Makasih, Bu." Aku kembali melebarkan senyuman padanya. "Duluan ya, Nis."Aku mengangguk pada wanita yang sudah masuk ke dalam mobil mewah itu. Masih di depan lobi, aku berkali-kali menatap jam tangan yang sudah menunjukkan waktu hampir Maghr

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 6

    Pagi itu Bang Juned sudah keluar kamar lebih dulu. Sementara aku masih berpikir bagaimana caranya agar dia mau bicara denganku. Maksudku, mengatakan apa saja yang sudah dia ketahui soal aku dan Revan waktu itu. Ah, mengingat nama itu aku rasanya ingin mvntah. Menjij1kan sekali dan aku bersumpah jika bertemu dengannya lagi nanti, kupastikan akan memukulnya. "Ck, aku harus bilang gimana sama Bang Juned?" gumamku sendiri sambil mondar-mandir di depan meja rias. Tak lama setelah itu aku mencium aroma makanan yang begitu lezat. Sampai-sampai perutku pun langsung berbunyi. Aku lupa kalau sejak kemarin sore, perut belum diisi. Pintu kamar pun segera kubuka dan aroma makanan di atas kompor semakin kuat. Aroma smoky seperti daging panggang dan nasi goreng. Kepalaku menyembul dari balik dinding dapur. Kulihat memang lelaki itu sedang sibuk mengaduk masakan. Tapi, aku tak berani mendekatinya. Sampai ludah pun serasa ingin keluar karena aroma kelezatan makanan di atas meja yang sudah terlihat

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 5

    Sore itu, setelah selesai kerjaan di hotel, aku dihampiri langsung oleh Revan. Lelaki berwajah oriental itu menyentuh tanganku di depan lobi. Sontak, aku pun langsung menghempaskannya. Kutarik napas dalam-dalam lalu bertanya, "Aku enggak punya banyak waktu." Dia hanya tersenyum awalnya. Setelah itu menatap ke depan dan tiba-tiba menarik tanganku. "Masuk mobil dulu, Sayang! Aku mau kasih kejutan enggak di sini."Tubuhku dia paksa masuk ke dalam mobilnya. Lalu dia masuk dan menyalakan mobil. Kendaraan roda empat ini kini melaju ke depan. Rasa-rasanya perasaanku mendadak tak enak. Apalagi melihat gelagat lelaki itu. Tatapannya agak aneh karena sejak tadi senyam-senyum tidak jelas."Sebenarnya kita mau ke mana, sih? Jangan jauh-jauh! Sekarang aku bukan lagi calon istri kamu!" Aku berusaha mengingatkan dia lagi. Namun, reaksi Revan malah diam saja. Dia fokus pada kemudinya dan menambah kecepatan laju kendaraan yang kami naiki. Kanan kiri kulihat tampak asing jalanan ini. Aku menatap jam

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 4

    "Kenapa enggak diangkat?" tanya lelaki itu. "Dari manusia paling menyebalkan." Malas sekali menyebut nama lelaki di seberang sana itu. "Revan, kan?" tanyanya lagi. Orang ini punya Kodam apa, ya? Kenapa dia bisa tahu apa pun yang aku pikirkan. Kenapa juga dia bisa peka saat aku butuh apa-apa? "Ck, biasa. Malas aku bicara tentang dia. Aku blok aja nanti.""Angkat, gih! Siapa tau penting," jawabnya lagi. "Abang enggak masalahin kalau aku angkat telpon dari mantan aku?""Ya, sebenarnya masalah. Cuman, siapa tau aja penting. Atau, biar aku saja yang angkat."Aku tak membalas dan membiarkan Bang Juned yang mengangkatnya. "Assalamualaikum?""Assalamualaikum?" Kening Bang Juned berkerut sambil menatap layar ponsel yang masih menyala itu berkali-kali. "Kenapa enggak ada suaranya, ya? Hp kamu enggak eror kan ini, Nis?" "Ck, ya enggak lah, Bang. Itu hp baru. Enak aja eror. Kayaknya yang nelpon yang eror.""Oh, mungkin saja." Dia meletakkan ponselku di atas meja dan kami kembali menikmati

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 3

    Haduh, bagaimana ini? Aku tidak punya stok pembalut lagi. Mana Bang Juned lama sekali. Aku harus menyuruh siapa? Malu lah kalau harus minta tolong pelayan hotel. Kan mereka kebanyakan laki-laki. Saat aku berjalan ke kamar mandi sambil menahan kaki yang sakit, tiba-tiba suara ketukan pada pintu membuatku kaget. Siapa yang mengetuk? Mungkinkah Bang Juned? Katanya jam sembilan baru sampai. Perlahan kuintip dari lubang pintu setelah melangkah dengan merayap. Ternyata benar, lelaki itu yang datang. Syukurlah kalau dia sudah kembali. Pintu pun langsung kubuka dan dia masuk dengan wajah berkeringat. Lelaki itu menarik kopernya lalu meletakkan topi kerjanya di atas meja. "Kamu butuh apa, sih? Sampai buat aku enggak tenang kerjanya. Kamu tau enggak, saat aku di pesawat tadi, aku jadi enggak fokus tau!" Mengomel saja terus! Rasanya ingin aku jitak kepalanya. Pulang-pulang malah bicara panjang lebar. Bukannya tanya baik-baik, butuh apa istrinya ini. Eh, malah merembet ke mana-mana. Memangnya

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 2

    "Udah, jangan nangis! Udah terlanjur juga," ucap Bang Juned saat aku sesenggukan di atas tempat tidurnya. "Kita jalani aja dulu." Enak sekali dia bicara. "Bukan itu. Aku cuma masih sakit hati aja ngeliat Mas Revan sama April. Tega sekali mereka," balasku tanpa menatap lelaki yang duduk di depan cermin rias itu. "Papa juga tadi kaget, aku takut kumat aja penyakit jantungnya.""Oh, mereka. Buat apa dipikirkan? Harusnya kamu bersyukur. Enggak jadi nikah sama laki-laki model kayak dia," balas Bang Juned lagi. "Tapi malah nikah sama Bang Juned. Sama aja apes." "Juna, bukan Juned! Kamu kira aku pacarnya Mumun apa?""Ya emang namanya Juned, kan?""Junaid, Nisa! J u n a i d. Jangan sembarangan diganti-ganti nama orang! Oh ya, aku ada penerbangan lagi nanti jam sebelas malam. Kamu di sini sendirian berani, kan?" katanya lagi. "Enggak, ah. Aku pulang aja.""Kamu kan enggak boleh pulang kata papa kamu. Kamu harus ikut aku terus."Aku terdiam lagi. Memang benar apa kata lelaki itu. Kulihat la

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 1

    "Jangan, Mas! Nanti ketahuan sama calon istri kamu," lirih seorang wanita yang tak lain adalah sahabatku sendiri. Dia mendorong sedikit dada bidang lelaki yang harusnya kini duduk di depan penghulu bersamaku. "Dia tidak akan tau. Sudahlah, ikuti saja apa yang kumau! Lagi pula, dia tidak akan ke sini. Bahkan, dia tidak akan berani membantah setiap ucapanku," balas seorang pria berjas hitam lengkap dengan bunga mawar di bagian sakunya. Dadaku perih melihat dua orang yang tengah bersembunyi di balik dinding dalam gedung ini. Teganya mereka bermain api di belakangku, di saat akad sebentar lagi akan berlangsung. Air mata sudah menganak sungai, gaun pengantin menjuntai ingin segera kulepas dan pergi saja dari sini. Namun, sayangnya aku teringat dengan kedua orang tuaku yang sudah pasti panik di dalam sana karena aku tak kunjung kembali. "Jadi, kamu akan tetap menikahi dia?" tanya April, gadis itu membelai wajah Mas Revan, lelaki yang tadi alasan ingin ke toilet. Tapi, kenyataannya malah

DMCA.com Protection Status