Share

Bab 3

Penulis: Goresan Pena93
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-22 08:33:42

Haduh, bagaimana ini? Aku tidak punya stok pembalut lagi. Mana Bang Juned lama sekali. Aku harus menyuruh siapa? Malu lah kalau harus minta tolong pelayan hotel. Kan mereka kebanyakan laki-laki.

Saat aku berjalan ke kamar mandi sambil menahan kaki yang sakit, tiba-tiba suara ketukan pada pintu membuatku kaget. Siapa yang mengetuk? Mungkinkah Bang Juned? Katanya jam sembilan baru sampai.

Perlahan kuintip dari lubang pintu setelah melangkah dengan merayap. Ternyata benar, lelaki itu yang datang. Syukurlah kalau dia sudah kembali. Pintu pun langsung kubuka dan dia masuk dengan wajah berkeringat. Lelaki itu menarik kopernya lalu meletakkan topi kerjanya di atas meja.

"Kamu butuh apa, sih? Sampai buat aku enggak tenang kerjanya. Kamu tau enggak, saat aku di pesawat tadi, aku jadi enggak fokus tau!"

Mengomel saja terus! Rasanya ingin aku jitak kepalanya. Pulang-pulang malah bicara panjang lebar. Bukannya tanya baik-baik, butuh apa istrinya ini. Eh, malah merembet ke mana-mana. Memangnya aku mau tinggal di sini!

"Kok diem? Kamu sakit gigi?" tanyanya lagi dan seketika itu emosiku langsung meledak-ledak.

"Pulang-pulang bukannya nanya yang baik malah ngomel. Abang ini sebenarnya niat enggak sih nawarin bantuan?"

"Iya-iya, maaf. Habisnya aku juga capek. Kebawa emosi karena inget kamu terus tadi. Dari semalam malahan," balasnya dengan tangan terus bergerak melepas atribut yang melekat pada bajunya. "Kamu butuh apa? Kan bisa tinggal panggil pelayan hotel."

"Kakiku masih sakit. Aku enggak mungkin juga panggil pelayan minta tolong belikan pembalut. Malu!"

Namun, setelah aku bilang apa adanya, lelaki itu malah tertawa sampai menyembur. "Oh, jadi kalau sama aku enggak malu? Ya udah, aku keluar dulu. Aku belikan satu keranjang nanti apa yang kamu butuhkan itu."

Setelah dia ganti pakaian dengan kaus santai warna hitam dari dalam kopernya, lelaki itu langsung keluar lagi. Aku pun bergegas ke kamar mandi karena rasanya sungguh sangat tidak nyaman. Hampir setengah jam aku menunggu di kamar mandi, tapi Bang Juned belum juga datang. Nyari pembalut saja sudah seperti mencari cacing dalam lubang. Lama sekali, apa saja yang dia cari?

"Assalamualaikum?"

Kudengar suaranya dari luar. Sepertinya tadi dia bawa kartu kamarnya.

"Nisa."

"Nis, kamu di mana? Yang mana sih yang kamu maksud? Aku beli macem-macem, nih!"

"Aku di kamar mandi, Bang! Bawa sini satu bungkus!" balasku dengan nada kencang agar dia tidak bertanya ulang.

Lelaki itu melangkah ke arah kamar mandi saat kepalaku menyembul keluar pintu. "Nih, yang mana?"

"Astaghfirullah. Banyak banget belinya? Ya enggak satu keranjang gini juga kali, Bang." Aku melotot melihat satu kantong plastik besar yang dia bawa padaku.

"Habisnya aku enggak tau yang biasanya kamu pakai merek apa," jawabnya lagi.

Astaga, dia juga membeli yang kecil sekali. Ini bukan buat datang bulan. Aku berdecak dalam hati. Lalu membawa satu kantong plastik itu masuk dan mengunci pintunya. Kupilih salah satu merek yang memang biasa dipakai. Setelah mandi dan membersihkan diri, aku baru ingat kenapa harus lupa membawa baju.

Setelah berpikir panjang, akhirnya dengan terpaksa aku meminta tolong lelaki itu lagi. Dia tidak menolak, tapi hanya mengomel karena katanya lelah. Aku tidak menapik juga keluh kesahnya, memang dia baru saja pulang kerja. Sudah pasti lelah dan mungkin saja lapar.

Setelah bersih dan rapi, aku berjalan ke dekat meja. Kulihat berbagai makanan masih utuh di sana. Sementara Bang Juned sudah tertidur dengan AC yang menyala sangat dingin. Aku pun mulai menyantap makanan yang ada sendirian.

"Nisa!" panggil lelaki itu.

"Ya." Sebenarnya aku kaget, karena kukira dia tidur. Tapi, aku bersikap biasa saja.

"Sore ini kita keluar dari hotel. Siapkan barang-barangmu!"

"Mau ke mana?" tanyaku balik sambil mengunyah pastri berisi selai coklat.

"Ke rumah aku lah. Ke mana lagi? Kamu mau di sini terus?"

"Rumah Abang? Sebelah rumah aku itu?" Aku langsung menolehnya.

"Ya memangnya ada rumahku selain itu? Kita kan memang tetanggaan." Dia tertawa.

"Oke. Berarti aku bisa pulang kapan saja."

"Ternyata, jodohmu enggak jauh-jauh, Nis. Sebatas tembok saja." Dia kembali tertawa.

Aku tidak menjawab apa yang dia katakan. Hanya menyipitkan mata karena sindirannya itu memang benar. Setelah obrolan siang itu, sorenya kami benar-benar pulang ke rumahnya. Saat taksi berhenti di depan rumah Bang Juned, yang kulihat malah rumah sebelahnya. Terlihat sepi sekali. Apa papa mama keluar?

"Ayo, Nis! Turun!" bisik Bang Juned.

"Iya-iya, bawel!"

Aku dan dia mulai menurunkan koper. Lalu dengan langkah malas, aku pun berjalan di belakang lelaki berkemeja putih itu. Seumur-umur, aku baru kali pertama masuk ke rumah yang lebih kecil dari rumah papa mama ini. Namun, rumahnya terlihat rapi. Halaman juga bersih, tapi tak ada terlihat pembantu di sini.

"Bawa koper kamu ke kamar!" pintanya sambil menunjuk salah satu kamar yang pintunya masih tertutup.

"Bang, boleh enggak kita beda kamar?" tanyaku dengan ragu.

"Memangnya kenapa? Adanya selain kamar ini, ada di belakang buat gudang. Mau kamu tidur di gudang?"

"Ck, yang bener aja? Masa enggak ada? Abang tinggal di sini enggak bosan apa di kamar terus?"

"Udahlah, Nis. Nikmati saja kehidupan ini. Kamu harus bersyukur punya suami yang bisa kasih kamu tempat tinggal."

Aku tak mendengarkan Bang Juned yang masih berceramah itu. Koper besar yang isinya semua barang-barang pun langsung kubawa masuk ke kamar. Begitu melihat isi kamar lelaki 35 tahun itu, aku langsung melongo. Mata terbelalak dan mulut ternganga.

"Kenapa?" Tiba-tiba Bang Juned sudah ada di belakangku.

"Ini kamar siapa yang rawat, Bang?"

"Ya aku lah. Masa kamu. Kamu aja baru masuk. Kenapa? Bersih? Rapi? Enggak kayak kamar kamu, kan?" Dia tertawa sambil jalan. Dasar.

Kamarnya bernuansa putih. Semua barang yang ada di dalam pun berwarna putih. Bersih, dan sangat jauh dengan kamarku. Kenapa bisa ada laki-laki serajin dia? "Pasti orangnya cerewet," gumamku saat memasukinya.

"Udah! Liatin apa, sih? Masuk aja! Masukin bajumu ke lemari itu!" Lelaki beralis tebal itu menunjuk satu lemari dengan bagian depan kaca besar.

"Nanti aja lah, Bang. Aku capek."

"Hem, biar aku aja kalau gitu," balasnya sambil membuka resleting koperku.

"Wait! Jangan!" Aku langsung mencegah tangannya. Bisa-bisa dia melihat barang rahasiaku.

***

Malam itu, aku sibuk dengan ponselku karena ada laporan masuk. Karena aku sendiri yang sekarang baru belajar membuka lahan usaha di bidang kafe dan resto bersama kakak tertua, tapi fokus kerja malah di perhotelan. Kudengar suara bising di luar sana saat sedang fokus. Seperti benda-benda berbenturan, konsentrasiku langsung terganggu. Kudorong kursi ke belakang, lalu keluar dari kamar.

"Abang ngapain?" tanyaku setelah sampai di dapur. Lelaki itu tampak begitu sibuk.

"Aku enggak mau nanti malam kamu berisik karena kelaparan. Jadi, aku masakin aja. Ayo, makan!"

"Abang masak? Demi apa? Emang bisa?"

"Memang kenapa? Sudah biasa aku begini. Harusnya kamu yang masakin suami. Tapi aku tau kamu pasti enggak bisa masak." Terus saja dia mengomel sambil menatap piring di meja.

"Aku bisa masak. Masak mie rebus," jawabku lagi sembari tertawa lepas.

Aku pun langsung duduk di kursi makan bersama lelaki itu. Dia ternyata pandai juga masak masakan yang kuanggap susah dan ribet ini. Seperti ayam goreng mentega, cah kangkung, dan juga shabu-shabu.

"Bang, besok aku ada kerjaan. Bisa anterin, enggak?" tanyaku memecah keheningan sesaat diantara kami. "Aku enggak bisa bawa mobil. Biasanya pakai motor atau ojol."

"Enggak tau. Aku jam lima ada jadwal penerbangan."

"Hah? Jam lima?"

"Iya. Kenapa?"

"Jam lima aku masih tidur. Habis Subuh aku tidur lagi."

"Pantesan dekil."

"Apaan sih." Kesal rasanya dibilang seperti itu.

Saat kami sedang menikmati makan malam, tiba-tiba ponselku bergetar. Ada panggilan masuk dari seseorang. Namun, lelaki di depanku itu rupanya peka. "Dari mantan kamu?"

Bab terkait

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 4

    "Kenapa enggak diangkat?" tanya lelaki itu. "Dari manusia paling menyebalkan." Malas sekali menyebut nama lelaki di seberang sana itu. "Revan, kan?" tanyanya lagi. Orang ini punya Kodam apa, ya? Kenapa dia bisa tahu apa pun yang aku pikirkan. Kenapa juga dia bisa peka saat aku butuh apa-apa? "Ck, biasa. Malas aku bicara tentang dia. Aku blok aja nanti.""Angkat, gih! Siapa tau penting," jawabnya lagi. "Abang enggak masalahin kalau aku angkat telpon dari mantan aku?""Ya, sebenarnya masalah. Cuman, siapa tau aja penting. Atau, biar aku saja yang angkat."Aku tak membalas dan membiarkan Bang Juned yang mengangkatnya. "Assalamualaikum?""Assalamualaikum?" Kening Bang Juned berkerut sambil menatap layar ponsel yang masih menyala itu berkali-kali. "Kenapa enggak ada suaranya, ya? Hp kamu enggak eror kan ini, Nis?" "Ck, ya enggak lah, Bang. Itu hp baru. Enak aja eror. Kayaknya yang nelpon yang eror.""Oh, mungkin saja." Dia meletakkan ponselku di atas meja dan kami kembali menikmati

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-22
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 5

    Sore itu, setelah selesai kerjaan di hotel, aku dihampiri langsung oleh Revan. Lelaki berwajah oriental itu menyentuh tanganku di depan lobi. Sontak, aku pun langsung menghempaskannya. Kutarik napas dalam-dalam lalu bertanya, "Aku enggak punya banyak waktu." Dia hanya tersenyum awalnya. Setelah itu menatap ke depan dan tiba-tiba menarik tanganku. "Masuk mobil dulu, Sayang! Aku mau kasih kejutan enggak di sini."Tubuhku dia paksa masuk ke dalam mobilnya. Lalu dia masuk dan menyalakan mobil. Kendaraan roda empat ini kini melaju ke depan. Rasa-rasanya perasaanku mendadak tak enak. Apalagi melihat gelagat lelaki itu. Tatapannya agak aneh karena sejak tadi senyam-senyum tidak jelas."Sebenarnya kita mau ke mana, sih? Jangan jauh-jauh! Sekarang aku bukan lagi calon istri kamu!" Aku berusaha mengingatkan dia lagi. Namun, reaksi Revan malah diam saja. Dia fokus pada kemudinya dan menambah kecepatan laju kendaraan yang kami naiki. Kanan kiri kulihat tampak asing jalanan ini. Aku menatap jam

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-22
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 6

    Pagi itu Bang Juned sudah keluar kamar lebih dulu. Sementara aku masih berpikir bagaimana caranya agar dia mau bicara denganku. Maksudku, mengatakan apa saja yang sudah dia ketahui soal aku dan Revan waktu itu. Ah, mengingat nama itu aku rasanya ingin mvntah. Menjij1kan sekali dan aku bersumpah jika bertemu dengannya lagi nanti, kupastikan akan memukulnya. "Ck, aku harus bilang gimana sama Bang Juned?" gumamku sendiri sambil mondar-mandir di depan meja rias. Tak lama setelah itu aku mencium aroma makanan yang begitu lezat. Sampai-sampai perutku pun langsung berbunyi. Aku lupa kalau sejak kemarin sore, perut belum diisi. Pintu kamar pun segera kubuka dan aroma makanan di atas kompor semakin kuat. Aroma smoky seperti daging panggang dan nasi goreng. Kepalaku menyembul dari balik dinding dapur. Kulihat memang lelaki itu sedang sibuk mengaduk masakan. Tapi, aku tak berani mendekatinya. Sampai ludah pun serasa ingin keluar karena aroma kelezatan makanan di atas meja yang sudah terlihat

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 7

    "Cieee, nungguin suami, ya?" Aku terkejut mendengar sindiran yang terdengar tiba-tiba dari belakang. Aku pun langsung mengulas senyuman pada pemilik hotel tempatku kerja itu. "Bisa aja, Buk." "Selamat ya, Nis. Oh ya, jadi sekarang yang kamu nikahin itu bukan si Revan, ya?" Duh, kepo banget ini atasan. "Bukan, Buk. Ceritanya kan panjang. Kan, Bu Rizkia ada di sana waktu itu." Aku meringis kuda. "Ya udah deh, yang penting kalian bahagia. Masalah rumah tangga atau pribadi kamu, Ibu enggak mau ikut-ikutan. Cuman mau doain aja, ya." Wanita dengan penampilan feminim itu mengulas senyum padaku. Baguslah kalau dia tidak banyak tanya. Mau jawab apa nanti aku kalau begini ceritanya. Dapat suami yang katanya mau jemput, tapi malah telat setengah jam. "Makasih, Bu." Aku kembali melebarkan senyuman padanya. "Duluan ya, Nis."Aku mengangguk pada wanita yang sudah masuk ke dalam mobil mewah itu. Masih di depan lobi, aku berkali-kali menatap jam tangan yang sudah menunjukkan waktu hampir Maghr

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 8

    Suara ketukannya makin kencang. Sekujur tubuhku berubah panas dingin. Aku memutuskan untuk meraih bantal dan bersiap memukulnya. Tidak. Bantal ini tidak akan membuat dia kapok. Aku harus cari alat yang bisa digunakan untuk membela diri nanti. Setelah kutemukan sebuah sapu di pojok ruangan dapur, aku pun mengendap-endap ke arah pintu utama. Tiba-tiba saja tanpa aba-aba pintu itu terbuka karena dorongan dari luar. Sontak dengan refleks pun aku memukul sosok pria yang masuk tanpa permisi itu. "Rasain, tuh! Maling!""Maling!""Rampok!" Aku sudah sekuat tenaga memukulinya sambil berteriak kencang. Namun, sepertinya hujan deras telah menelan suaraku hingga tak satu pun ada orang yang datang untuk menolong. "Maling kamu, ya! Rasakan ini!" "Eh! Nisa!""Nisa, jangan!""Jangan! Ini aku!" Tunggu! Sepertinya aku kenal dengan suara itu. Lampu segera kunyalakan semua dan menatap lelaki yang terlihat memakai mantel hujan itu. Dia ambruk di lantai sambil merintih kesakitan. "Aduh, ya Allah. Saki

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 1

    "Jangan, Mas! Nanti ketahuan sama calon istri kamu," lirih seorang wanita yang tak lain adalah sahabatku sendiri. Dia mendorong sedikit dada bidang lelaki yang harusnya kini duduk di depan penghulu bersamaku. "Dia tidak akan tau. Sudahlah, ikuti saja apa yang kumau! Lagi pula, dia tidak akan ke sini. Bahkan, dia tidak akan berani membantah setiap ucapanku," balas seorang pria berjas hitam lengkap dengan bunga mawar di bagian sakunya. Dadaku perih melihat dua orang yang tengah bersembunyi di balik dinding dalam gedung ini. Teganya mereka bermain api di belakangku, di saat akad sebentar lagi akan berlangsung. Air mata sudah menganak sungai, gaun pengantin menjuntai ingin segera kulepas dan pergi saja dari sini. Namun, sayangnya aku teringat dengan kedua orang tuaku yang sudah pasti panik di dalam sana karena aku tak kunjung kembali. "Jadi, kamu akan tetap menikahi dia?" tanya April, gadis itu membelai wajah Mas Revan, lelaki yang tadi alasan ingin ke toilet. Tapi, kenyataannya malah

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-22
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 2

    "Udah, jangan nangis! Udah terlanjur juga," ucap Bang Juned saat aku sesenggukan di atas tempat tidurnya. "Kita jalani aja dulu." Enak sekali dia bicara. "Bukan itu. Aku cuma masih sakit hati aja ngeliat Mas Revan sama April. Tega sekali mereka," balasku tanpa menatap lelaki yang duduk di depan cermin rias itu. "Papa juga tadi kaget, aku takut kumat aja penyakit jantungnya.""Oh, mereka. Buat apa dipikirkan? Harusnya kamu bersyukur. Enggak jadi nikah sama laki-laki model kayak dia," balas Bang Juned lagi. "Tapi malah nikah sama Bang Juned. Sama aja apes." "Juna, bukan Juned! Kamu kira aku pacarnya Mumun apa?""Ya emang namanya Juned, kan?""Junaid, Nisa! J u n a i d. Jangan sembarangan diganti-ganti nama orang! Oh ya, aku ada penerbangan lagi nanti jam sebelas malam. Kamu di sini sendirian berani, kan?" katanya lagi. "Enggak, ah. Aku pulang aja.""Kamu kan enggak boleh pulang kata papa kamu. Kamu harus ikut aku terus."Aku terdiam lagi. Memang benar apa kata lelaki itu. Kulihat la

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-22

Bab terbaru

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 8

    Suara ketukannya makin kencang. Sekujur tubuhku berubah panas dingin. Aku memutuskan untuk meraih bantal dan bersiap memukulnya. Tidak. Bantal ini tidak akan membuat dia kapok. Aku harus cari alat yang bisa digunakan untuk membela diri nanti. Setelah kutemukan sebuah sapu di pojok ruangan dapur, aku pun mengendap-endap ke arah pintu utama. Tiba-tiba saja tanpa aba-aba pintu itu terbuka karena dorongan dari luar. Sontak dengan refleks pun aku memukul sosok pria yang masuk tanpa permisi itu. "Rasain, tuh! Maling!""Maling!""Rampok!" Aku sudah sekuat tenaga memukulinya sambil berteriak kencang. Namun, sepertinya hujan deras telah menelan suaraku hingga tak satu pun ada orang yang datang untuk menolong. "Maling kamu, ya! Rasakan ini!" "Eh! Nisa!""Nisa, jangan!""Jangan! Ini aku!" Tunggu! Sepertinya aku kenal dengan suara itu. Lampu segera kunyalakan semua dan menatap lelaki yang terlihat memakai mantel hujan itu. Dia ambruk di lantai sambil merintih kesakitan. "Aduh, ya Allah. Saki

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 7

    "Cieee, nungguin suami, ya?" Aku terkejut mendengar sindiran yang terdengar tiba-tiba dari belakang. Aku pun langsung mengulas senyuman pada pemilik hotel tempatku kerja itu. "Bisa aja, Buk." "Selamat ya, Nis. Oh ya, jadi sekarang yang kamu nikahin itu bukan si Revan, ya?" Duh, kepo banget ini atasan. "Bukan, Buk. Ceritanya kan panjang. Kan, Bu Rizkia ada di sana waktu itu." Aku meringis kuda. "Ya udah deh, yang penting kalian bahagia. Masalah rumah tangga atau pribadi kamu, Ibu enggak mau ikut-ikutan. Cuman mau doain aja, ya." Wanita dengan penampilan feminim itu mengulas senyum padaku. Baguslah kalau dia tidak banyak tanya. Mau jawab apa nanti aku kalau begini ceritanya. Dapat suami yang katanya mau jemput, tapi malah telat setengah jam. "Makasih, Bu." Aku kembali melebarkan senyuman padanya. "Duluan ya, Nis."Aku mengangguk pada wanita yang sudah masuk ke dalam mobil mewah itu. Masih di depan lobi, aku berkali-kali menatap jam tangan yang sudah menunjukkan waktu hampir Maghr

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 6

    Pagi itu Bang Juned sudah keluar kamar lebih dulu. Sementara aku masih berpikir bagaimana caranya agar dia mau bicara denganku. Maksudku, mengatakan apa saja yang sudah dia ketahui soal aku dan Revan waktu itu. Ah, mengingat nama itu aku rasanya ingin mvntah. Menjij1kan sekali dan aku bersumpah jika bertemu dengannya lagi nanti, kupastikan akan memukulnya. "Ck, aku harus bilang gimana sama Bang Juned?" gumamku sendiri sambil mondar-mandir di depan meja rias. Tak lama setelah itu aku mencium aroma makanan yang begitu lezat. Sampai-sampai perutku pun langsung berbunyi. Aku lupa kalau sejak kemarin sore, perut belum diisi. Pintu kamar pun segera kubuka dan aroma makanan di atas kompor semakin kuat. Aroma smoky seperti daging panggang dan nasi goreng. Kepalaku menyembul dari balik dinding dapur. Kulihat memang lelaki itu sedang sibuk mengaduk masakan. Tapi, aku tak berani mendekatinya. Sampai ludah pun serasa ingin keluar karena aroma kelezatan makanan di atas meja yang sudah terlihat

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 5

    Sore itu, setelah selesai kerjaan di hotel, aku dihampiri langsung oleh Revan. Lelaki berwajah oriental itu menyentuh tanganku di depan lobi. Sontak, aku pun langsung menghempaskannya. Kutarik napas dalam-dalam lalu bertanya, "Aku enggak punya banyak waktu." Dia hanya tersenyum awalnya. Setelah itu menatap ke depan dan tiba-tiba menarik tanganku. "Masuk mobil dulu, Sayang! Aku mau kasih kejutan enggak di sini."Tubuhku dia paksa masuk ke dalam mobilnya. Lalu dia masuk dan menyalakan mobil. Kendaraan roda empat ini kini melaju ke depan. Rasa-rasanya perasaanku mendadak tak enak. Apalagi melihat gelagat lelaki itu. Tatapannya agak aneh karena sejak tadi senyam-senyum tidak jelas."Sebenarnya kita mau ke mana, sih? Jangan jauh-jauh! Sekarang aku bukan lagi calon istri kamu!" Aku berusaha mengingatkan dia lagi. Namun, reaksi Revan malah diam saja. Dia fokus pada kemudinya dan menambah kecepatan laju kendaraan yang kami naiki. Kanan kiri kulihat tampak asing jalanan ini. Aku menatap jam

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 4

    "Kenapa enggak diangkat?" tanya lelaki itu. "Dari manusia paling menyebalkan." Malas sekali menyebut nama lelaki di seberang sana itu. "Revan, kan?" tanyanya lagi. Orang ini punya Kodam apa, ya? Kenapa dia bisa tahu apa pun yang aku pikirkan. Kenapa juga dia bisa peka saat aku butuh apa-apa? "Ck, biasa. Malas aku bicara tentang dia. Aku blok aja nanti.""Angkat, gih! Siapa tau penting," jawabnya lagi. "Abang enggak masalahin kalau aku angkat telpon dari mantan aku?""Ya, sebenarnya masalah. Cuman, siapa tau aja penting. Atau, biar aku saja yang angkat."Aku tak membalas dan membiarkan Bang Juned yang mengangkatnya. "Assalamualaikum?""Assalamualaikum?" Kening Bang Juned berkerut sambil menatap layar ponsel yang masih menyala itu berkali-kali. "Kenapa enggak ada suaranya, ya? Hp kamu enggak eror kan ini, Nis?" "Ck, ya enggak lah, Bang. Itu hp baru. Enak aja eror. Kayaknya yang nelpon yang eror.""Oh, mungkin saja." Dia meletakkan ponselku di atas meja dan kami kembali menikmati

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 3

    Haduh, bagaimana ini? Aku tidak punya stok pembalut lagi. Mana Bang Juned lama sekali. Aku harus menyuruh siapa? Malu lah kalau harus minta tolong pelayan hotel. Kan mereka kebanyakan laki-laki. Saat aku berjalan ke kamar mandi sambil menahan kaki yang sakit, tiba-tiba suara ketukan pada pintu membuatku kaget. Siapa yang mengetuk? Mungkinkah Bang Juned? Katanya jam sembilan baru sampai. Perlahan kuintip dari lubang pintu setelah melangkah dengan merayap. Ternyata benar, lelaki itu yang datang. Syukurlah kalau dia sudah kembali. Pintu pun langsung kubuka dan dia masuk dengan wajah berkeringat. Lelaki itu menarik kopernya lalu meletakkan topi kerjanya di atas meja. "Kamu butuh apa, sih? Sampai buat aku enggak tenang kerjanya. Kamu tau enggak, saat aku di pesawat tadi, aku jadi enggak fokus tau!" Mengomel saja terus! Rasanya ingin aku jitak kepalanya. Pulang-pulang malah bicara panjang lebar. Bukannya tanya baik-baik, butuh apa istrinya ini. Eh, malah merembet ke mana-mana. Memangnya

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 2

    "Udah, jangan nangis! Udah terlanjur juga," ucap Bang Juned saat aku sesenggukan di atas tempat tidurnya. "Kita jalani aja dulu." Enak sekali dia bicara. "Bukan itu. Aku cuma masih sakit hati aja ngeliat Mas Revan sama April. Tega sekali mereka," balasku tanpa menatap lelaki yang duduk di depan cermin rias itu. "Papa juga tadi kaget, aku takut kumat aja penyakit jantungnya.""Oh, mereka. Buat apa dipikirkan? Harusnya kamu bersyukur. Enggak jadi nikah sama laki-laki model kayak dia," balas Bang Juned lagi. "Tapi malah nikah sama Bang Juned. Sama aja apes." "Juna, bukan Juned! Kamu kira aku pacarnya Mumun apa?""Ya emang namanya Juned, kan?""Junaid, Nisa! J u n a i d. Jangan sembarangan diganti-ganti nama orang! Oh ya, aku ada penerbangan lagi nanti jam sebelas malam. Kamu di sini sendirian berani, kan?" katanya lagi. "Enggak, ah. Aku pulang aja.""Kamu kan enggak boleh pulang kata papa kamu. Kamu harus ikut aku terus."Aku terdiam lagi. Memang benar apa kata lelaki itu. Kulihat la

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 1

    "Jangan, Mas! Nanti ketahuan sama calon istri kamu," lirih seorang wanita yang tak lain adalah sahabatku sendiri. Dia mendorong sedikit dada bidang lelaki yang harusnya kini duduk di depan penghulu bersamaku. "Dia tidak akan tau. Sudahlah, ikuti saja apa yang kumau! Lagi pula, dia tidak akan ke sini. Bahkan, dia tidak akan berani membantah setiap ucapanku," balas seorang pria berjas hitam lengkap dengan bunga mawar di bagian sakunya. Dadaku perih melihat dua orang yang tengah bersembunyi di balik dinding dalam gedung ini. Teganya mereka bermain api di belakangku, di saat akad sebentar lagi akan berlangsung. Air mata sudah menganak sungai, gaun pengantin menjuntai ingin segera kulepas dan pergi saja dari sini. Namun, sayangnya aku teringat dengan kedua orang tuaku yang sudah pasti panik di dalam sana karena aku tak kunjung kembali. "Jadi, kamu akan tetap menikahi dia?" tanya April, gadis itu membelai wajah Mas Revan, lelaki yang tadi alasan ingin ke toilet. Tapi, kenyataannya malah

DMCA.com Protection Status