Share

Bab 6

Penulis: Goresan Pena93
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-10 21:17:07

Pagi itu Bang Juned sudah keluar kamar lebih dulu. Sementara aku masih berpikir bagaimana caranya agar dia mau bicara denganku. Maksudku, mengatakan apa saja yang sudah dia ketahui soal aku dan Revan waktu itu. Ah, mengingat nama itu aku rasanya ingin mvntah. Menjij1kan sekali dan aku bersumpah jika bertemu dengannya lagi nanti, kupastikan akan memukulnya.

"Ck, aku harus bilang gimana sama Bang Juned?" gumamku sendiri sambil mondar-mandir di depan meja rias.

Tak lama setelah itu aku mencium aroma makanan yang begitu lezat. Sampai-sampai perutku pun langsung berbunyi. Aku lupa kalau sejak kemarin sore, perut belum diisi. Pintu kamar pun segera kubuka dan aroma makanan di atas kompor semakin kuat. Aroma smoky seperti daging panggang dan nasi goreng.

Kepalaku menyembul dari balik dinding dapur. Kulihat memang lelaki itu sedang sibuk mengaduk masakan. Tapi, aku tak berani mendekatinya. Sampai ludah pun serasa ingin keluar karena aroma kelezatan makanan di atas meja yang sudah terlihat siap santap itu.

"Ayo duduk! Ngapain di situ?" ucap lelaki itu tanpa menoleh ke belakang. Sejak kapan dia tahu kalau aku ada di sini?

Dengan langkah ragu, aku pun langsung berjalan ke dekat meja makan. "Mau aku bantuin, Bang?"

"Bantuin cuci piring, tuh, nanti!"

Dih, ketus banget dia. Aku pun langsung duduk dan memanjangkan sedikit sabarku agar bisa mengorek informasi darinya. Agar hidupku juga bisa lebih tenang. "Bang ...."

"Udah, makan dulu! Bukannya nanti kamu kerja?" Dia pun ikut duduk.

Bahkan di luar dugaanku, dia mengambilkan nasi goreng di piring untukku. Apa ini tidak kebalik? "Bang ...."

"Ck, makan dulu, tuh! Bicaranya nanti aja."

"Abang! Aku cuman mau tanya. Aku enggak bisa tunda-tunda lagi."

Dia mendelik. "Apa? Soal kamu diapain aja sama laki-laki itu?"

Aku menghempaskan napas dengan kasar. "Iya!"

Sejenak kulihat dia memejamkan mata sambil menghela napas panjang. "Aku datang karena aku khawatir sama kamu. Sudah berkali-kali ditelpon tapi enggak diangkat."

"Terus, kenapa Abang bisa tau aku di apartemen itu?" desakku lagi.

"Ya aku lacak lah nomor kamu."

"Abang, kita nikah karena terpaksa. Abang juga udah kena pukul sama papa. Abang enggak dendam? Masih mau peduli sama aku?"

"Kalau aku mau, aku udah tinggalin kamu sejak awal." Dia lanjut mengunyah makanan di depannya.

"Kenapa enggak tinggalin aja? Lagian kita juga sama-sama enggak punya perasaan satu sama lain."

"Gimana mau ninggalin, orang kamunya ngangenin."

Buset, dah! Seketika itu sendok di tanganku terjatuh di lantai. Jantungku serasa ingin copot dan pikiranku melayang. Bisa-bisanya orang lagi serius malah diledekin. Tapi, dia sendiri malah senyam-senyum begitu.

"Kenapa pipimu merah kayak tomat rebus begitu?" celetuknya lagi.

"Tau ah, Abang, malah godain. Aku lagi serius, Bang. Abang bawa aku pulang, apa saat itu aku lagi di ...." Aku mendadak tak mampu berkata lagi. Malu sekali, ingin kusembunyikan saja mukaku di bawah meja rasanya.

"Hem. Aku datang di saat yang tepat. Kamu masih dalam keadaan pakaian lengkap. Tapi, aku enggak tau kamu udah dicium apa belum sama dia."

"Hiih!" Kuusap seluruh permukaan wajah dan tubuhku.

Sementara Bang Juned malah tertawa saja seperti tidak punya rasa cemburu atau marah. Apa jangan-jangan dia hanya mempermainkan aku? Awas saja nanti kalau giliran dia bikin kesal. Tidak akan kumaafkan juga.

Pagi itu kami sarapan berdua sampai selesai. Sesuai kesepakatan, kubantu dia cuci piring sampai selesai. Ternyata, lelah juga mengerjakan apa-apa sendiri. Di rumah papa dulu aku tidak pernah melakukan ini. Keringat bercucuran dari kening, tapi lelaki itu hanya menatapku dengan santai sambil senyam-senyum.

"Apaan sih, Bang! Udah sana mandi duluan! Bukannya harus ke bandara nanti?"

"Hari ini aku berangkat sore. Nanti malam enggak pulang. Kamu di rumah sendirian berani, kan?"

"Aku mending pulang kalau harus di rumah ini sendirian," balasku bersama dengan kelar semua kerjaan.

"Eh, enggak boleh pulang! Harus di sini nungguin aku pulang. Ini kan rumah kamu juga."

"Aku takut. Gimana nanti kalau orang tua Abang datang? Aku harus gimana?"

"Ya bilang aja kalau kamu itu istriku. Aku sudah bicara sama mereka. Dan mereka memang menunggu saat-saat itu."

"Saat apa?" Aku mengangkat dua alis seraya menghentikan langkah.

"Ya saat aku punya istri. Mereka sudah tua. Sudah saatnya punya cucu."

"Heh! Kagaaaak!" Aku langsung menutup telinga lalu berlari menjauhi lelaki yang tertawa melihat ekspresiku itu.

***

Akhirnya, sampai lagi aku di hotel. Tempatku kerja setelah lulus kuliah setahun lalu. Bang Juned juga yang mengantar. Namun, seperti biasanya. Dia tidak membukakan smart lock mobilnya sebelum aku cium tangannya.

"Jangan drama lagi dong, Bang! Malu aku diliatin temen kerja."

"Ya udah, sekarang aku enggak apa-apa kalau kamu enggak mau cium tangan. Tapi, sebagai gantinya, cium pipi juga boleh." Dia tertawa lagi. Lelaki dengan lesung pipi itu menggodaku dengan alisnya yang tebal naik turun.

"Bang, plis! Aku enggak pernah suka sama Abang. Aku enggak bisa melakukan itu," balasku lagi.

"Cinta itu harus dipupuk, Nisa! Bukan dibiarkan kering. Kamu hanya belum terbiasa aja. Nanti kalau udah biasa dan kena racun cinta, kamu pasti bakal bucin juga sama aku."

Astaga, ada apa dengan lelaki ini? Kenapa dia selebay itu? Aku terus berusaha membuka pintu mobil yang masih terkunci itu. Tapi, sepertinya percuma saja.

"Udahlah, pilih mana, cium tangan apa cium pipi? Cium yang lain juga aku enggak nolak." Dia terus membuatku mati kutu.

Tak ada pilihan lain. Akhirnya, aku meraih tangannya lalu buru-buru mencium punggung tangan berotot itu. "Dah, buruan bukain pintunya!"

"Nanti sore mau dijemput jam berapa?" Malah nanya lagi.

"Terserah Abang." Aku hendak membuka pintu, tapi dia mencekal tanganku.

Tiba-tiba dia menarik kepalaku lalu melayangkan kecupan pada keningku. Sontak, mataku pun langsung mendelik. Ingin sekali protes, tapi suaraku serasa tercekat di tenggorokan. Beberapa saat kami saling menatap dan waktu seperti terhenti begitu saja.

Baru kali ini aku menatap wajah lelaki itu dengan sejelas-jelasnya. Kedua alisnya tebal dan hitam pekat, senyumnya lumayan manis, dan hidungnya bangir sekali.

Astaga, bibit unggulkah dia sebenarnya? Tapi kenapa dia menyebalkan sekali ? Ah, apa yang ada di kepalaku? Kenapa jadi begini? Rusak pikiran gara-gara dia.

"Kenapa melamun? Apa aku seganteng itu?"

"Dih! Ge er! Udahlah, Bang! Buruan buka kuncinya!"

Dia tersenyum, lalu segera menekan smart lock mobilnya. Aku pun langsung keluar dari mobil itu sambil berlari dan mencoba menyadarkan diri yang mulai terganggu dengan sikap lelaki itu.

Dasar, Bang Juna! Kenapa aku jadi kepikiran dia terus, sih? Deg-degan pula saat menoleh ke belakang. Dia masih menatapku sambil mengulas senyum.

Bab terkait

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 7

    "Cieee, nungguin suami, ya?" Aku terkejut mendengar sindiran yang terdengar tiba-tiba dari belakang. Aku pun langsung mengulas senyuman pada pemilik hotel tempatku kerja itu. "Bisa aja, Buk." "Selamat ya, Nis. Oh ya, jadi sekarang yang kamu nikahin itu bukan si Revan, ya?" Duh, kepo banget ini atasan. "Bukan, Buk. Ceritanya kan panjang. Kan, Bu Rizkia ada di sana waktu itu." Aku meringis kuda. "Ya udah deh, yang penting kalian bahagia. Masalah rumah tangga atau pribadi kamu, Ibu enggak mau ikut-ikutan. Cuman mau doain aja, ya." Wanita dengan penampilan feminim itu mengulas senyum padaku. Baguslah kalau dia tidak banyak tanya. Mau jawab apa nanti aku kalau begini ceritanya. Dapat suami yang katanya mau jemput, tapi malah telat setengah jam. "Makasih, Bu." Aku kembali melebarkan senyuman padanya. "Duluan ya, Nis."Aku mengangguk pada wanita yang sudah masuk ke dalam mobil mewah itu. Masih di depan lobi, aku berkali-kali menatap jam tangan yang sudah menunjukkan waktu hampir Maghr

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 8

    Suara ketukannya makin kencang. Sekujur tubuhku berubah panas dingin. Aku memutuskan untuk meraih bantal dan bersiap memukulnya. Tidak. Bantal ini tidak akan membuat dia kapok. Aku harus cari alat yang bisa digunakan untuk membela diri nanti. Setelah kutemukan sebuah sapu di pojok ruangan dapur, aku pun mengendap-endap ke arah pintu utama. Tiba-tiba saja tanpa aba-aba pintu itu terbuka karena dorongan dari luar. Sontak dengan refleks pun aku memukul sosok pria yang masuk tanpa permisi itu. "Rasain, tuh! Maling!""Maling!""Rampok!" Aku sudah sekuat tenaga memukulinya sambil berteriak kencang. Namun, sepertinya hujan deras telah menelan suaraku hingga tak satu pun ada orang yang datang untuk menolong. "Maling kamu, ya! Rasakan ini!" "Eh! Nisa!""Nisa, jangan!""Jangan! Ini aku!" Tunggu! Sepertinya aku kenal dengan suara itu. Lampu segera kunyalakan semua dan menatap lelaki yang terlihat memakai mantel hujan itu. Dia ambruk di lantai sambil merintih kesakitan. "Aduh, ya Allah. Saki

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 9

    Aku jadi takut ingin keluar dari kamar mandi. Lelaki itu pasti sedang menungguku. Bukannya aku menolak perintah suami, tapi aku belum siap saja kalau harus nurutin semua kemauan dia. Pasti nanti ngelunjak. Minta ini, minta itu, bisa-bisa minta yang di luar pikiranku. Setelah kubuka pintu, ternyata kamar dalam keadaan kosong. Ke mana lelaki itu? Satu jam berlalu, Bang Juned tidak ada masuk kamar lagi. Dia ke mana?Ketika gagang pintu berputar, aku pun terlonjak kaget. Jantung kembali seperti dipermainkan olehnya. Masuk ke kamar, pria itu langsung mengulas senyuman. Mana senyumannya sangat mencurigakan. Setelan baju taqwa putih dengan sarung kotak-kotak menambah kesah paripurna sosok tinggi tegap itu. Apalagi wajahnya yang terlihat segar dari sebelumnya. Meskipun masih ada bekas ulahku semalam di sudut bibirnya, dia tetap tampan. "Assalamualaikum?""Wa'alaykumsalam," jawabku seraya mengalihkan tatapan ketika dia kembali tersenyum. Aku yang masih duduk di bibir ranjang pun segera ber

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-11
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 10

    "Pokoknya aku enggak mau nanti kalau mama kamu ngasih jamu-jamuan, Bang." Aku masih terus mengomel sepanjang mengantar Bang Juna sampai di depan gerbang rumah. Mobil jemputan sudah menunggunya, tapi Bang Juna masih berdiri menatapku. "Ya gimana mau dibikinin jamu tapi kamunya enggak mau aku ajakin. Baru dipegang aja panas dingin gitu." Dia tertawa kecil."Ogah. Enggak mau aku." "Ya udah, aku berangkat dulu, ya. Nanti kalau aku telpon, tolong diangkat!""Mau apa emangnya?""Mau nanya kabar kamu lah. Masa mau apa. Orang cuman ditelpon doang.""Ih, kirain mau apa." Aku menepuk lengannya karena kesal. "Habisnya kalau bilang langsung pasti kamu enggak percaya.""Idih, apaan, sih. Mulai lagi, deh. Ya udah sana berangkat!" "Iya-iya. Pengen banget, sih, aku segera pergi. Kamu enggak suka deket-deket aku?""Lah, udah ditungguin sama sopir itu loh, Bang. Enggak enak lah."Masih saja dia tertawa. Tiba-tiba dia mencubit pipiku sebelum melangkah. "Bang! Rese," gerutuku. "Daaa. Assalamualaikum

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-11
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 11

    Kugendong Nisa lalu membawanya pulang ke rumahnya. Tidak mungkin kubawa ke rumahku karena di sana ada papa mama. Bisa-bisa malah jadi masalah baru nanti. Apalagi Nisa adalah menantu kesayangan mereka. Gadis itu masih menangis sambil berpegangan pada leherku. Kubawa dia masuk ke kamar, lalu menurunkannya di atas ranjang. Saat aku hendak meninggalkannya sebentar, tiba-tiba dia mendadak memegang tanganku. "Abang, jangan tinggalkan aku!" Aku tersenyum lembut, lalu duduk di dekatnya. Kuusap air mata yang membuat matanya sembab itu. "Aku hanya mau ambil minum dulu. Kamu tunggu sebentar di sini!"Dia menggeleng kepalanya. "Aku takut."Kuraih tubuhnya, lalu memeluk dan memberikan kehangatan. "Jangan takut! Aku akan ada di sini menemanimu. Mau cerita sekarang apa nanti aja?""Sekarang." Dia mendongak. Lalu merenggangkan pelukanku. "Tadi aku resign."Aku langsung membenahi posisi duduk. Memilih duduk di sebelahnya sambil menyelimuti setengah badan. Kuminta dia merebahkan kepalanya pada dada

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 12

    Bang Juna mendekatiku setelah aku bilang ingin keluar. Dia pasti protes. Padahal kan aku izin keluar karena memang ada perlu. Lelaki berkulit putih itu menatapku lekat. "Mau ke mana, sih?"Aku belum bisa menjawabnya karena sikapnya yang makin mendekat itu membuatku jantungan. "Bang, mundur!" Kudorong tubuhnya yang hampir membuat kotor pikiranku. Aku bangkit meski badan masih terasa sakit semua. "Kamu masih sakit," ungkapnya lagi. "Aku ada urusan sama kakakku. Kami ada kerjasama barengan."Tangannya yang dingin itu menyentuh keningku. "Kamu yakin bakal kuat? Badan kamu aja masih demam.""Enggak apa-apa.""Nanti kalau pingsan gimana? Aku pulangnya malem, loh.""Abang enggak usah khawatir. Aku kan pergi sama kakak aku.""Biar dia ke sini aja."Di saat aku tengah kecewa dengan seorang pria yang akan menjadi suamiku waktu itu, Allah hadirkan lelaki ini yang jauh lebih baik dan lebih tampan. Tak sadar, aku sudah menatapnya lebih lama. Dia menyentuh pipiku hingga aku sadar. "Eh, em. Ya u

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 13

    Pandanganku kabur, perutku sakit. Saat membuka mata lebar-lebar, yang pertama kali kulihat adalah Bang Juna. Laki-laki itu tampak cemas sambil menggenggam tanganku. "Nisa, kamu udah enakan? Tadi kamu pingsan," ujarnya sambil membelai kepalaku. "Bang ... sakit banget perutku. Nyeri." Aku tak bisa banyak gerak. "Ini di mana?""Di rumah sakit. Kamu tau enggak? Kalau masih sakit, jangan minum kopi. Apalagi kamu punya riwayat asam lambung. Hem." Dia membuang napas dengan kasar. "Asam lambung, ya? Iya. Aku memang punya riwayat. Tapi, itu pun sudah lama dan aku enggak pernah ngalami lagi. Kenapa tiba-tiba kumat lagi, ya?""Kamu minum kopi saat badan lagi sakit. Pencernaan kamu lagi enggak baik," balasnya lagi. "Ya maaf deh kalau bikin Abang jadi repot." "Bukan gitu, Sayang. Aku cuman enggak mau liat kamu begini." Dia mencium tanganku. "Abang yang bawa aku ke sini?""Bukan. Tapi orang yang punya toko kue tempat kami ngopi tadi. Dia udah bawa kamu ke sini duluan. Baru ngabarin aku lewat

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 14

    "Bang!" Aku sudah berteriak memanggil pria itu. Namun, riuh suasana bandara ini sepertinya berhasil melebur suaraku di tengah-tengah mereka. Kulihat lelaki itu melangkah dengan wajah lelah. Dia berjalan menjauh sambil menarik koper hitamnya. Namun, kenapa wanita bersanggul itu tetap ikut dengannya? Mau ke mana mereka? Aku berusaha mengejar mereka, tapi keburu mereka masuk ke dalam taksi dan pergi entah ke mana. Aku mencoba menelpon Bang Juna. Tapi, tiba-tiba saja terdengar suara operator yang terdengar mengecewakan. Nomor Bang Juna tidak aktif. Mau ke mana mereka? Ya Allah, sudah hilang pula. Cepat sekali mobilnya. Aku masih bingung mencari kendaraan. Tak lama kemudian, sebuah taksi dari ujung sana berhenti di depanku. Aku pun segera meminta sang sopir untuk jalan dan mengejar taksi di depan sana. "Cepetan dikit, Pak! Keburu hilang nanti!" Aku gusar sambil terus mengomel. "Ya sabar, Mbak. Ini macet. Nanti malah ditilang polisi kalau ngebut. Bisa celaka juga kalau nabrak," balas

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12

Bab terbaru

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 104

    Pagi ini aku sangat sibuk dengan kerjaan kantor. Bolak-balik meninggalkan Humaira yang perutnya sudah membesar, rasanya hatiku tak tenang. Dia adalah belahan jiwaku yang di mana, rasa sakit atau apa pun yang menimpanya, aku pasti juga merasakannya. Seperti sekarang ini. Tiba-tiba perutku tak enak saat sedang meeting jam dua siang. Tiba-tiba pula aku ingat perkataanku saat itu kalau andai aku bisa ikut mengurasi rasa sakit melahirkan istriku, aku siap. Tapi, beberapa hari ini rasa sakit aneh ini mulai merajai. Keringat dingin keluar melalui pori-pori saat aku sedang presentasi di depan klien dan atasan. Sampai aku dibilang gerogi juga. Padahal sedang menahan mulas. "Kamu enggak apa-apa, Jay?" tanya atasanku saat kami selesai pertemuan di sebuah gedung. "Enggak, Pak. Aman." Sebisa mungkin aku mengulas senyuman. "Pucet banget mukamu. Sakit? Atau masih ada efek gerogi? Tumben banget kamu," lanjut pria paruh baya dengan setelan jas hitam itu. "Enggak apa-apa, Pak. Saya cuman khawatir

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 103

    "Enak makanannya?" tanyaku saat Humaira menikmati setiap suapan. Dia hanya mengangguk, tapi terus melahap setiap sendok makanan ke mulutnya. Malam itu, tepatnya setelah dua bulan kami tak melihat Mbak Julia datang ke rumah lagi. Hidup kami serasa di dalam surga dunia. Setiap waktu sangat berharga bagiku. Apalagi, dia sangat ingin dimanja setiap saat. "Habis ini jalan ke mana, Dek?" "Aku udah kenyang. Tapi, baiknya jangan langsung pulang," balasnya sangat menohok. Pasti ada udang di balik batu. "Uhuk." Aku hampir saja menyembur karena tersedak. "Pelan-pelan, Mas!" Dia meraih tisu, lalu mengusap bibirku. "Habisnya, kamu lucu. Masih mau jalan? Mau nyari apa?""Enggak. Cuman kan habis makan, jangan duduk aja. Jalan-jalan lagi, kata orang."Aku menahan tawa. "Pengen apa, sih? Bilang aja! Mas jabaning, kok.""Beneran?" Kedua matanya berbinar-binar. "Tuh, kan, pasti pengen sesuatu. Mau apa?" "Aku mau ... ngasih Mas ini." Dia menyodorkan kotak persegi yang ukurannya sebesar kotak nasi

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 102

    Aku memeluk raga yang dingin malam itu. Dia memunggungiku karena curiga. Tak masalah dia curiga, dan memang pantas dia seperti itu karena selama ini, aku belum bisa sepenuhnya jujur. Aku tidak tega dengan Mbak Julia, karena dia yang selama ini merawat kakak kandungku yang kelakuannya seperti itu. Ingin mengabaikan, tapi selalu merasa bersalah. Takut memutuskan silaturahmi. Tadi dia menelponku karena ingin tinggal di sini. Memaksa agar aku mengizinkan dia satu atap denganku dan Mai. Tapi, aku menolaknya. Tidak masalah kalau setiap bulan aku kirim uang padanya. Asalkan di tidak meminta tinggal di sini. Namun, yang ada malah Mai yang curiga. Dia pasti mikir yang enggak-enggak. Lagipula, ini memang tugasku juga meyakinkan dia kalau aku hanya mencintai dia. "Dek ....""Hem." Dia masih menjawab meskipun dingin. "Mas minta maaf, ya.""Bukan hari lebaran."Aku ingin tertawa rasanya. "Mas tadi ditelpon Mbak Julia. Mas jujur, loh. Jangan marah dulu.""Males.""Dengerin, Dek. Mas nolak dia,

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 101

    "Kalian mau ngapain sih, Mas? Aku boleh ikut enggak? Perasaanku enggak enak kalau kalian ketemuan berdua gitu."Sambil sarapan, aku mengutarakan isi hatiku pada Mas Jaya. Lelaki gagah yang tampak rapi itu mengulas senyuman. Sambil mengunyah, dia membalas, "Kamu tenang aja, Dek. Mas juga tau siapa dia. Mas enggak akan tanggapi dia."Tak lama, ponsel di dalam saku Mas Jaya bergetar. Dia menatap layar ponselnya seraya mengernyit. "Baru juga diomongin, dia udah telpon.""Siapa? Mbak Julia?" Aku langsung paham. "Iya." Mas Jaya langsung mengangkat. "Assalamualaikum? Ada apa, Mbak?"Awalnya aku acuh, tak mau dengar karena kesal duluan. Namun, setelah melihat ekspresi Mas Jaya yang kaget dengan raut tegang. "Iya, Mbak. Aku ke sana sekarang." Setelah itu dia menutup panggilan. Dia menatapku lalu berkata, "Dek, kamu mau ikut enggak?""Ke mana?" Pura-pura tidak tahu saja lah aku. "Mas Fandi meninggal. Mbak Julia bingung dan minta aku untuk ikut urus pemakaman.""Innalillahi. Serius, Mas?" Ak

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 100

    "Maaf ya, Mas." Aku membuka pintu dengan wajah menunduk. Mas Jaya tersenyum membalasnya. "Enggak apa-apa. Lagian, masih banyak waktu juga. Oh ya, kita istirahat aja, ya. Aku tau, kamu pasti capek."Lelaki itu menarik tanganku dan mengajaknya ke atas tempat tidur. Dia mengangkat kakiku lalu menutupinya dengan selimut. Pintu dia kunci, lalu lampu utama dia matikan. Seperti tidak ada apa-apa. Dadaku masih berdebar-debar saat dia mulai naik ke atas tempat tidur. Aroma wangi dari parfumnya membuatku gugup. "Dek."Aku mendelik sambil menelan ludah. "Iya, Mas?""Kamu enggak mau peluk aku?" Dia mengulas senyuman. Tatapannya masih ke atas, pada langit-langit kamar setelan merebahkan diri. "Aku ... aku ...." Kenapa harus tanya, sih. Udah pasti mau lah. Tapi aku malu kalau diminta duluan. Masa laki-laki tidak paham begituan. Ya harusnya dia lah yang mulai. "Kalau enggak mau, juga enggak apa-apa. Aku tidak memaksa." Lah, malah ngambek dia. "Bukan itu." Aku bingung jadinya. Apa dia tidak paha

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 99

    "Aku kenapa?" Sayup-sayup mata elang lelaki itu tak lagi taj4m. Dia terkulai lemas dia atas ranjang datar. Bibirnya semu putih pucat, menandakan keadaannya yang lemah. "Mas lagi di rumah sakit. Tadi tiba-tiba pingsan. Sekarang gimana rasanya? Apanya yang sakit?" Aku tanya dia balik. "Enggak ada. Asalkan liat kamu, semua sakitku hilang." Bibirnya melengkung manis. "Lagi sakit, bisa aja bercandanya. Lagian kenapa sih bisa sampe kena asam lambung? Mas enggak perhatiin kondisi diri sendiri, ya.""Aku kepikiran kamu terus. Aku takut kamu ....""Kenapa jadi overthinking begini sekarang?" Aku menghela napas. "Kapan kita nikahnya? Aku pengen cepet-cepet." Dia menyentuh tanganku. "Kita enggak akan nikah kalau Mas belum sembuh. Perhatikan dulu kondisi diri sendiri, sebelum mengurusi aku." "Iya-iya, Tuan Putri." Dia tertawa.Dua hari lelaki itu dalam perawatanku dan kini, agak aneh saja sifatnya. Makin manja dan ingin aku agar selalu di sampingnya. "Aku harus periksa pasien lagi, Mas." A

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 98

    "Mai, kamu harus segera memutuskan. Karena ini menyangkut masa depan. Terus, ta'aruf itu juga bukan jalan yang ditempuh dengan suka-suka. Ini melibatkan Allah, Nak."Mama menyentuh pundakku saat aku melamun memikirkan semua itu di dalam kamar. Suasana pagi yang cukup dingin setelah hujan membuatku malas beranjak dari sana. "Ini lagi aku pikirkan, Mah. Kenapa harus Mas Jaya lagi?" Aku meratapi nasibku sendiri. "Kamu tau, enggak, Mai? Dulu, Mama sama papa itu terpisah beberapa bulan lamanya. Mama yakin papa kamu masih hidup. Dan saat peristiwa itu ditutup, karena tak ada harapan lagi. Tapi, Allah mentakdirkan lain. Papa kamu ternyata masih hidup dan kembali lagi. Kamu jangan salah sangka soal takdir Tuhan. Karena semua itu banyak hikmahnya. Jangan-jangan, kamu memang jodoh Jay yang sesungguhnya.""Tapi, Ma. Mau harus gimana? Pasti dia juga kaget tadinya karena ternyata, akhwat yang dia inginkan bukan yang jauh lebih baik. Tapi mantan istrinya sendiri.""Kamu itu su'udzon aja! Buktinya

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 97

    "Jadi enggak ke sini?" Sebuah pesan akhirnya sampai juga padaku. Pesan singkat melalui aplikasi hijau itu dari Ustadz Firman yang kukenal belum lama ini. "Insyaallah, Ustadz. Tapi, saya deg-degan, nih. Saya takut mengecewakan akhwatnya.""Jangan khawatir, Mas. Kan saya temani nanti. Ada istri saya juga yang menemani dia.""Kalau dia enggak cocok sama saya gimana?" "Ya enggak masalah. Namanya juga masih nadzor. Mas banyakin dzikir aja. Siapa tau ini jawaban atas doa-doa Mas Jay selama ini."Menunggu pesan balasan dari ustadz itu, dadaku berdebar-debar. Seperti sedang menunggu hasil ujian saja. "Ya sudah, Ustadz. Saya berangkat sekarang.""Nah, gitu dong! Dari tadi kami tunggu ini. Sebagai laki-laki memang kita harusnya tidak mengecewakan pihak perempuan. Apa pun yang terjadi nanti, yakinlah kalau semua itu bagian dari ikhtiar kita. Semoga sukses ya, Mas.""Makasih, Ustadz."Pagi itu aku masih belum pakai baju setelah mandi karena menunggu balasan dari sang ustadz yang kebetulan memb

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 96

    "Lu enggak mau nikah lagi gitu? Udah lama lu duda, Bro!" Pertanyaan menohok itu membuatku tersedak saat makan siang. Aku pun langsung meneguk minuman segar di atas mejaku. "Apaan, sih! Rese. Enggak ada kek pertanyaan yang lebih berbobot daripada itu?" Aku menghela napas. "Bukannya gitu, lu entar ada acara di kantor, enggak bawa pasangan? Lu kek orang ngenes tau enggak, Bro?" Ada saja pertanyaan seperti ini lagi. Sampai tak nafsu makan lagi aku. Kuletakkan sendok garpu lagi, lalu mengusap kedua sudut bibir. "Biarin aje. Enggak usah ngurusin gue. Lagian juga gue udah enggak minta lagi punya istri." Aku menjawab asal saja. Niatnya agar Reno, rekan kerjaku itu berhenti bicara. "Buset, dah! Lu yang bener aje? Laki-laki normal itu pasti ada saat-saatnya pengen anu," sindirnya lagi. "Anu apaan? Jangan ngawur! Aku puasa kalau lagi pengen gituan. Istighfar, nyadari kalau enggak punya istri." Lagi-lagi aku mengingat masa lalu. "Ya udah, buruan lu nyari kek biar enggak puasa terus. Lu ja

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status