"Jangan, Mas! Nanti ketahuan sama calon istri kamu," lirih seorang wanita yang tak lain adalah sahabatku sendiri. Dia mendorong sedikit dada bidang lelaki yang harusnya kini duduk di depan penghulu bersamaku. "Dia tidak akan tau. Sudahlah, ikuti saja apa yang kumau! Lagi pula, dia tidak akan ke sini. Bahkan, dia tidak akan berani membantah setiap ucapanku," balas seorang pria berjas hitam lengkap dengan bunga mawar di bagian sakunya. Dadaku perih melihat dua orang yang tengah bersembunyi di balik dinding dalam gedung ini. Teganya mereka bermain api di belakangku, di saat akad sebentar lagi akan berlangsung. Air mata sudah menganak sungai, gaun pengantin menjuntai ingin segera kulepas dan pergi saja dari sini. Namun, sayangnya aku teringat dengan kedua orang tuaku yang sudah pasti panik di dalam sana karena aku tak kunjung kembali. "Jadi, kamu akan tetap menikahi dia?" tanya April, gadis itu membelai wajah Mas Revan, lelaki yang tadi alasan ingin ke toilet. Tapi, kenyataannya malah
"Udah, jangan nangis! Udah terlanjur juga," ucap Bang Juned saat aku sesenggukan di atas tempat tidurnya. "Kita jalani aja dulu." Enak sekali dia bicara. "Bukan itu. Aku cuma masih sakit hati aja ngeliat Mas Revan sama April. Tega sekali mereka," balasku tanpa menatap lelaki yang duduk di depan cermin rias itu. "Papa juga tadi kaget, aku takut kumat aja penyakit jantungnya.""Oh, mereka. Buat apa dipikirkan? Harusnya kamu bersyukur. Enggak jadi nikah sama laki-laki model kayak dia," balas Bang Juned lagi. "Tapi malah nikah sama Bang Juned. Sama aja apes." "Juna, bukan Juned! Kamu kira aku pacarnya Mumun apa?""Ya emang namanya Juned, kan?""Junaid, Nisa! J u n a i d. Jangan sembarangan diganti-ganti nama orang! Oh ya, aku ada penerbangan lagi nanti jam sebelas malam. Kamu di sini sendirian berani, kan?" katanya lagi. "Enggak, ah. Aku pulang aja.""Kamu kan enggak boleh pulang kata papa kamu. Kamu harus ikut aku terus."Aku terdiam lagi. Memang benar apa kata lelaki itu. Kulihat la
Haduh, bagaimana ini? Aku tidak punya stok pembalut lagi. Mana Bang Juned lama sekali. Aku harus menyuruh siapa? Malu lah kalau harus minta tolong pelayan hotel. Kan mereka kebanyakan laki-laki. Saat aku berjalan ke kamar mandi sambil menahan kaki yang sakit, tiba-tiba suara ketukan pada pintu membuatku kaget. Siapa yang mengetuk? Mungkinkah Bang Juned? Katanya jam sembilan baru sampai. Perlahan kuintip dari lubang pintu setelah melangkah dengan merayap. Ternyata benar, lelaki itu yang datang. Syukurlah kalau dia sudah kembali. Pintu pun langsung kubuka dan dia masuk dengan wajah berkeringat. Lelaki itu menarik kopernya lalu meletakkan topi kerjanya di atas meja. "Kamu butuh apa, sih? Sampai buat aku enggak tenang kerjanya. Kamu tau enggak, saat aku di pesawat tadi, aku jadi enggak fokus tau!" Mengomel saja terus! Rasanya ingin aku jitak kepalanya. Pulang-pulang malah bicara panjang lebar. Bukannya tanya baik-baik, butuh apa istrinya ini. Eh, malah merembet ke mana-mana. Memangnya
"Kenapa enggak diangkat?" tanya lelaki itu. "Dari manusia paling menyebalkan." Malas sekali menyebut nama lelaki di seberang sana itu. "Revan, kan?" tanyanya lagi. Orang ini punya Kodam apa, ya? Kenapa dia bisa tahu apa pun yang aku pikirkan. Kenapa juga dia bisa peka saat aku butuh apa-apa? "Ck, biasa. Malas aku bicara tentang dia. Aku blok aja nanti.""Angkat, gih! Siapa tau penting," jawabnya lagi. "Abang enggak masalahin kalau aku angkat telpon dari mantan aku?""Ya, sebenarnya masalah. Cuman, siapa tau aja penting. Atau, biar aku saja yang angkat."Aku tak membalas dan membiarkan Bang Juned yang mengangkatnya. "Assalamualaikum?""Assalamualaikum?" Kening Bang Juned berkerut sambil menatap layar ponsel yang masih menyala itu berkali-kali. "Kenapa enggak ada suaranya, ya? Hp kamu enggak eror kan ini, Nis?" "Ck, ya enggak lah, Bang. Itu hp baru. Enak aja eror. Kayaknya yang nelpon yang eror.""Oh, mungkin saja." Dia meletakkan ponselku di atas meja dan kami kembali menikmati
Sore itu, setelah selesai kerjaan di hotel, aku dihampiri langsung oleh Revan. Lelaki berwajah oriental itu menyentuh tanganku di depan lobi. Sontak, aku pun langsung menghempaskannya. Kutarik napas dalam-dalam lalu bertanya, "Aku enggak punya banyak waktu." Dia hanya tersenyum awalnya. Setelah itu menatap ke depan dan tiba-tiba menarik tanganku. "Masuk mobil dulu, Sayang! Aku mau kasih kejutan enggak di sini."Tubuhku dia paksa masuk ke dalam mobilnya. Lalu dia masuk dan menyalakan mobil. Kendaraan roda empat ini kini melaju ke depan. Rasa-rasanya perasaanku mendadak tak enak. Apalagi melihat gelagat lelaki itu. Tatapannya agak aneh karena sejak tadi senyam-senyum tidak jelas."Sebenarnya kita mau ke mana, sih? Jangan jauh-jauh! Sekarang aku bukan lagi calon istri kamu!" Aku berusaha mengingatkan dia lagi. Namun, reaksi Revan malah diam saja. Dia fokus pada kemudinya dan menambah kecepatan laju kendaraan yang kami naiki. Kanan kiri kulihat tampak asing jalanan ini. Aku menatap jam
Pagi itu Bang Juned sudah keluar kamar lebih dulu. Sementara aku masih berpikir bagaimana caranya agar dia mau bicara denganku. Maksudku, mengatakan apa saja yang sudah dia ketahui soal aku dan Revan waktu itu. Ah, mengingat nama itu aku rasanya ingin mvntah. Menjij1kan sekali dan aku bersumpah jika bertemu dengannya lagi nanti, kupastikan akan memukulnya. "Ck, aku harus bilang gimana sama Bang Juned?" gumamku sendiri sambil mondar-mandir di depan meja rias. Tak lama setelah itu aku mencium aroma makanan yang begitu lezat. Sampai-sampai perutku pun langsung berbunyi. Aku lupa kalau sejak kemarin sore, perut belum diisi. Pintu kamar pun segera kubuka dan aroma makanan di atas kompor semakin kuat. Aroma smoky seperti daging panggang dan nasi goreng. Kepalaku menyembul dari balik dinding dapur. Kulihat memang lelaki itu sedang sibuk mengaduk masakan. Tapi, aku tak berani mendekatinya. Sampai ludah pun serasa ingin keluar karena aroma kelezatan makanan di atas meja yang sudah terlihat
"Cieee, nungguin suami, ya?" Aku terkejut mendengar sindiran yang terdengar tiba-tiba dari belakang. Aku pun langsung mengulas senyuman pada pemilik hotel tempatku kerja itu. "Bisa aja, Buk." "Selamat ya, Nis. Oh ya, jadi sekarang yang kamu nikahin itu bukan si Revan, ya?" Duh, kepo banget ini atasan. "Bukan, Buk. Ceritanya kan panjang. Kan, Bu Rizkia ada di sana waktu itu." Aku meringis kuda. "Ya udah deh, yang penting kalian bahagia. Masalah rumah tangga atau pribadi kamu, Ibu enggak mau ikut-ikutan. Cuman mau doain aja, ya." Wanita dengan penampilan feminim itu mengulas senyum padaku. Baguslah kalau dia tidak banyak tanya. Mau jawab apa nanti aku kalau begini ceritanya. Dapat suami yang katanya mau jemput, tapi malah telat setengah jam. "Makasih, Bu." Aku kembali melebarkan senyuman padanya. "Duluan ya, Nis."Aku mengangguk pada wanita yang sudah masuk ke dalam mobil mewah itu. Masih di depan lobi, aku berkali-kali menatap jam tangan yang sudah menunjukkan waktu hampir Maghr
Suara ketukannya makin kencang. Sekujur tubuhku berubah panas dingin. Aku memutuskan untuk meraih bantal dan bersiap memukulnya. Tidak. Bantal ini tidak akan membuat dia kapok. Aku harus cari alat yang bisa digunakan untuk membela diri nanti. Setelah kutemukan sebuah sapu di pojok ruangan dapur, aku pun mengendap-endap ke arah pintu utama. Tiba-tiba saja tanpa aba-aba pintu itu terbuka karena dorongan dari luar. Sontak dengan refleks pun aku memukul sosok pria yang masuk tanpa permisi itu. "Rasain, tuh! Maling!""Maling!""Rampok!" Aku sudah sekuat tenaga memukulinya sambil berteriak kencang. Namun, sepertinya hujan deras telah menelan suaraku hingga tak satu pun ada orang yang datang untuk menolong. "Maling kamu, ya! Rasakan ini!" "Eh! Nisa!""Nisa, jangan!""Jangan! Ini aku!" Tunggu! Sepertinya aku kenal dengan suara itu. Lampu segera kunyalakan semua dan menatap lelaki yang terlihat memakai mantel hujan itu. Dia ambruk di lantai sambil merintih kesakitan. "Aduh, ya Allah. Saki
Pagi ini aku sangat sibuk dengan kerjaan kantor. Bolak-balik meninggalkan Humaira yang perutnya sudah membesar, rasanya hatiku tak tenang. Dia adalah belahan jiwaku yang di mana, rasa sakit atau apa pun yang menimpanya, aku pasti juga merasakannya. Seperti sekarang ini. Tiba-tiba perutku tak enak saat sedang meeting jam dua siang. Tiba-tiba pula aku ingat perkataanku saat itu kalau andai aku bisa ikut mengurasi rasa sakit melahirkan istriku, aku siap. Tapi, beberapa hari ini rasa sakit aneh ini mulai merajai. Keringat dingin keluar melalui pori-pori saat aku sedang presentasi di depan klien dan atasan. Sampai aku dibilang gerogi juga. Padahal sedang menahan mulas. "Kamu enggak apa-apa, Jay?" tanya atasanku saat kami selesai pertemuan di sebuah gedung. "Enggak, Pak. Aman." Sebisa mungkin aku mengulas senyuman. "Pucet banget mukamu. Sakit? Atau masih ada efek gerogi? Tumben banget kamu," lanjut pria paruh baya dengan setelan jas hitam itu. "Enggak apa-apa, Pak. Saya cuman khawatir
"Enak makanannya?" tanyaku saat Humaira menikmati setiap suapan. Dia hanya mengangguk, tapi terus melahap setiap sendok makanan ke mulutnya. Malam itu, tepatnya setelah dua bulan kami tak melihat Mbak Julia datang ke rumah lagi. Hidup kami serasa di dalam surga dunia. Setiap waktu sangat berharga bagiku. Apalagi, dia sangat ingin dimanja setiap saat. "Habis ini jalan ke mana, Dek?" "Aku udah kenyang. Tapi, baiknya jangan langsung pulang," balasnya sangat menohok. Pasti ada udang di balik batu. "Uhuk." Aku hampir saja menyembur karena tersedak. "Pelan-pelan, Mas!" Dia meraih tisu, lalu mengusap bibirku. "Habisnya, kamu lucu. Masih mau jalan? Mau nyari apa?""Enggak. Cuman kan habis makan, jangan duduk aja. Jalan-jalan lagi, kata orang."Aku menahan tawa. "Pengen apa, sih? Bilang aja! Mas jabaning, kok.""Beneran?" Kedua matanya berbinar-binar. "Tuh, kan, pasti pengen sesuatu. Mau apa?" "Aku mau ... ngasih Mas ini." Dia menyodorkan kotak persegi yang ukurannya sebesar kotak nasi
Aku memeluk raga yang dingin malam itu. Dia memunggungiku karena curiga. Tak masalah dia curiga, dan memang pantas dia seperti itu karena selama ini, aku belum bisa sepenuhnya jujur. Aku tidak tega dengan Mbak Julia, karena dia yang selama ini merawat kakak kandungku yang kelakuannya seperti itu. Ingin mengabaikan, tapi selalu merasa bersalah. Takut memutuskan silaturahmi. Tadi dia menelponku karena ingin tinggal di sini. Memaksa agar aku mengizinkan dia satu atap denganku dan Mai. Tapi, aku menolaknya. Tidak masalah kalau setiap bulan aku kirim uang padanya. Asalkan di tidak meminta tinggal di sini. Namun, yang ada malah Mai yang curiga. Dia pasti mikir yang enggak-enggak. Lagipula, ini memang tugasku juga meyakinkan dia kalau aku hanya mencintai dia. "Dek ....""Hem." Dia masih menjawab meskipun dingin. "Mas minta maaf, ya.""Bukan hari lebaran."Aku ingin tertawa rasanya. "Mas tadi ditelpon Mbak Julia. Mas jujur, loh. Jangan marah dulu.""Males.""Dengerin, Dek. Mas nolak dia,
"Kalian mau ngapain sih, Mas? Aku boleh ikut enggak? Perasaanku enggak enak kalau kalian ketemuan berdua gitu."Sambil sarapan, aku mengutarakan isi hatiku pada Mas Jaya. Lelaki gagah yang tampak rapi itu mengulas senyuman. Sambil mengunyah, dia membalas, "Kamu tenang aja, Dek. Mas juga tau siapa dia. Mas enggak akan tanggapi dia."Tak lama, ponsel di dalam saku Mas Jaya bergetar. Dia menatap layar ponselnya seraya mengernyit. "Baru juga diomongin, dia udah telpon.""Siapa? Mbak Julia?" Aku langsung paham. "Iya." Mas Jaya langsung mengangkat. "Assalamualaikum? Ada apa, Mbak?"Awalnya aku acuh, tak mau dengar karena kesal duluan. Namun, setelah melihat ekspresi Mas Jaya yang kaget dengan raut tegang. "Iya, Mbak. Aku ke sana sekarang." Setelah itu dia menutup panggilan. Dia menatapku lalu berkata, "Dek, kamu mau ikut enggak?""Ke mana?" Pura-pura tidak tahu saja lah aku. "Mas Fandi meninggal. Mbak Julia bingung dan minta aku untuk ikut urus pemakaman.""Innalillahi. Serius, Mas?" Ak
"Maaf ya, Mas." Aku membuka pintu dengan wajah menunduk. Mas Jaya tersenyum membalasnya. "Enggak apa-apa. Lagian, masih banyak waktu juga. Oh ya, kita istirahat aja, ya. Aku tau, kamu pasti capek."Lelaki itu menarik tanganku dan mengajaknya ke atas tempat tidur. Dia mengangkat kakiku lalu menutupinya dengan selimut. Pintu dia kunci, lalu lampu utama dia matikan. Seperti tidak ada apa-apa. Dadaku masih berdebar-debar saat dia mulai naik ke atas tempat tidur. Aroma wangi dari parfumnya membuatku gugup. "Dek."Aku mendelik sambil menelan ludah. "Iya, Mas?""Kamu enggak mau peluk aku?" Dia mengulas senyuman. Tatapannya masih ke atas, pada langit-langit kamar setelan merebahkan diri. "Aku ... aku ...." Kenapa harus tanya, sih. Udah pasti mau lah. Tapi aku malu kalau diminta duluan. Masa laki-laki tidak paham begituan. Ya harusnya dia lah yang mulai. "Kalau enggak mau, juga enggak apa-apa. Aku tidak memaksa." Lah, malah ngambek dia. "Bukan itu." Aku bingung jadinya. Apa dia tidak paha
"Aku kenapa?" Sayup-sayup mata elang lelaki itu tak lagi taj4m. Dia terkulai lemas dia atas ranjang datar. Bibirnya semu putih pucat, menandakan keadaannya yang lemah. "Mas lagi di rumah sakit. Tadi tiba-tiba pingsan. Sekarang gimana rasanya? Apanya yang sakit?" Aku tanya dia balik. "Enggak ada. Asalkan liat kamu, semua sakitku hilang." Bibirnya melengkung manis. "Lagi sakit, bisa aja bercandanya. Lagian kenapa sih bisa sampe kena asam lambung? Mas enggak perhatiin kondisi diri sendiri, ya.""Aku kepikiran kamu terus. Aku takut kamu ....""Kenapa jadi overthinking begini sekarang?" Aku menghela napas. "Kapan kita nikahnya? Aku pengen cepet-cepet." Dia menyentuh tanganku. "Kita enggak akan nikah kalau Mas belum sembuh. Perhatikan dulu kondisi diri sendiri, sebelum mengurusi aku." "Iya-iya, Tuan Putri." Dia tertawa.Dua hari lelaki itu dalam perawatanku dan kini, agak aneh saja sifatnya. Makin manja dan ingin aku agar selalu di sampingnya. "Aku harus periksa pasien lagi, Mas." A
"Mai, kamu harus segera memutuskan. Karena ini menyangkut masa depan. Terus, ta'aruf itu juga bukan jalan yang ditempuh dengan suka-suka. Ini melibatkan Allah, Nak."Mama menyentuh pundakku saat aku melamun memikirkan semua itu di dalam kamar. Suasana pagi yang cukup dingin setelah hujan membuatku malas beranjak dari sana. "Ini lagi aku pikirkan, Mah. Kenapa harus Mas Jaya lagi?" Aku meratapi nasibku sendiri. "Kamu tau, enggak, Mai? Dulu, Mama sama papa itu terpisah beberapa bulan lamanya. Mama yakin papa kamu masih hidup. Dan saat peristiwa itu ditutup, karena tak ada harapan lagi. Tapi, Allah mentakdirkan lain. Papa kamu ternyata masih hidup dan kembali lagi. Kamu jangan salah sangka soal takdir Tuhan. Karena semua itu banyak hikmahnya. Jangan-jangan, kamu memang jodoh Jay yang sesungguhnya.""Tapi, Ma. Mau harus gimana? Pasti dia juga kaget tadinya karena ternyata, akhwat yang dia inginkan bukan yang jauh lebih baik. Tapi mantan istrinya sendiri.""Kamu itu su'udzon aja! Buktinya
"Jadi enggak ke sini?" Sebuah pesan akhirnya sampai juga padaku. Pesan singkat melalui aplikasi hijau itu dari Ustadz Firman yang kukenal belum lama ini. "Insyaallah, Ustadz. Tapi, saya deg-degan, nih. Saya takut mengecewakan akhwatnya.""Jangan khawatir, Mas. Kan saya temani nanti. Ada istri saya juga yang menemani dia.""Kalau dia enggak cocok sama saya gimana?" "Ya enggak masalah. Namanya juga masih nadzor. Mas banyakin dzikir aja. Siapa tau ini jawaban atas doa-doa Mas Jay selama ini."Menunggu pesan balasan dari ustadz itu, dadaku berdebar-debar. Seperti sedang menunggu hasil ujian saja. "Ya sudah, Ustadz. Saya berangkat sekarang.""Nah, gitu dong! Dari tadi kami tunggu ini. Sebagai laki-laki memang kita harusnya tidak mengecewakan pihak perempuan. Apa pun yang terjadi nanti, yakinlah kalau semua itu bagian dari ikhtiar kita. Semoga sukses ya, Mas.""Makasih, Ustadz."Pagi itu aku masih belum pakai baju setelah mandi karena menunggu balasan dari sang ustadz yang kebetulan memb
"Lu enggak mau nikah lagi gitu? Udah lama lu duda, Bro!" Pertanyaan menohok itu membuatku tersedak saat makan siang. Aku pun langsung meneguk minuman segar di atas mejaku. "Apaan, sih! Rese. Enggak ada kek pertanyaan yang lebih berbobot daripada itu?" Aku menghela napas. "Bukannya gitu, lu entar ada acara di kantor, enggak bawa pasangan? Lu kek orang ngenes tau enggak, Bro?" Ada saja pertanyaan seperti ini lagi. Sampai tak nafsu makan lagi aku. Kuletakkan sendok garpu lagi, lalu mengusap kedua sudut bibir. "Biarin aje. Enggak usah ngurusin gue. Lagian juga gue udah enggak minta lagi punya istri." Aku menjawab asal saja. Niatnya agar Reno, rekan kerjaku itu berhenti bicara. "Buset, dah! Lu yang bener aje? Laki-laki normal itu pasti ada saat-saatnya pengen anu," sindirnya lagi. "Anu apaan? Jangan ngawur! Aku puasa kalau lagi pengen gituan. Istighfar, nyadari kalau enggak punya istri." Lagi-lagi aku mengingat masa lalu. "Ya udah, buruan lu nyari kek biar enggak puasa terus. Lu ja