"Jangan, Mas! Nanti ketahuan sama calon istri kamu," lirih seorang wanita yang tak lain adalah sahabatku sendiri. Dia mendorong sedikit dada bidang lelaki yang harusnya kini duduk di depan penghulu bersamaku.
"Dia tidak akan tau. Sudahlah, ikuti saja apa yang kumau! Lagi pula, dia tidak akan ke sini. Bahkan, dia tidak akan berani membantah setiap ucapanku," balas seorang pria berjas hitam lengkap dengan bunga mawar di bagian sakunya. Dadaku perih melihat dua orang yang tengah bersembunyi di balik dinding dalam gedung ini. Teganya mereka bermain api di belakangku, di saat akad sebentar lagi akan berlangsung. Air mata sudah menganak sungai, gaun pengantin menjuntai ingin segera kulepas dan pergi saja dari sini. Namun, sayangnya aku teringat dengan kedua orang tuaku yang sudah pasti panik di dalam sana karena aku tak kunjung kembali. "Jadi, kamu akan tetap menikahi dia?" tanya April, gadis itu membelai wajah Mas Revan, lelaki yang tadi alasan ingin ke toilet. Tapi, kenyataannya malah menemui wanita itu. Aku sekarang tidak akan pernah percaya lagi arti sebuah persahabatan. Kuhapus air mata yang menghiasi wajah ini, lalu berniat menghampiri mereka. Tak peduli pernikahan ini bakal kacau sekalipun. "Aku akan menikahi dia. Tapi, aku akan tetap menikahimu, Sayang. Sebelum tujuanku terlaksana, aku masih akan menjadi lelaki baik-baik di mata Nisa," balas Mas Revan dengan yakinnya. Aku tak tahan lagi melihat kemesraan mereka berdua. Gaun panjang yang membuatku kesusahan melangkah, hampir saja terjatuh, lantas kuangkat agar bisa jalan. Setelah sampai di dekat mereka, aku langsung melayangkan tanganku dan mengenai pipi lelaki itu. Satu t4mparan keras pun membuat kulit wajahnya memerah. "Nisa! Apa-apaan kamu?" bentak lelaki itu. Matanya melotot ke arahku. Aku hanya menyeringai puas karena sudah menamparnya. "Ternyata kalian seperti ini di belakangku?" "Nisa, ini tidak seperti yang kamu kira," lanjut Mas Revan. Dan aku, sudah mu4k dengan ucapan-ucapan manis yang keluar dari mulut lelaki berkumis tipis itu. "Iya, Nisa, ini tidak seperti yang kamu bayangkan. Aku dan Revan cuman ...." Ingin sekali aku menampar wajah April juga. Namun, aku masih bisa menahannya karena berbelas kasih pada gadis yang sudah lama menjadi teman curhatku itu. "Nisa, aku bisa jelaskan ini. Kita sebentar lagi akan menikah. Ayo, kita kembali!" Revan menarik tanganku. Tapi, aku langsung menghempaskannya. "Jangan harap aku akan menikah denganmu!" balasku dengan lantang. Lalu memutar badan dan segera pergi meninggalkan dua orang yang membuat hatiku hancur di hari pernikahanku ini. Aku berlari dengan air mata yang tak bisa berhenti mengalir. Sampai di belokan, malah terjatuh dan rasanya kakiku terkilir. Aku meringis karena kesakitan sambil memijat bagian yang sakit. Sudah berusaha berdiri, tetapi tetap saja kesusahan. Pada akhirnya, aku menyerah lalu menyandarkan badan pada dinding bercat putih ini. "Kamu enggak apa-apa?" Sebuah pertanyaan datang dari sampingku duduk. "Loh, Nisa? Kamu ngapain di sini?" Salah satu pintu kamar dalam gedung ini terbuka, muncul seorang lelaki dengan kedua alis terangkat menatapku. Karena mendengar suara teriakan Mas Revan, aku pun langsung meminta lelaki itu untuk membantuku berdiri. "Bang, tolong aku, Bang! Bantu aku berdiri!" pintaku dengan kedua tangan memohon padanya. "Ya udah aku bantu," balasnya lalu menarik kedua tanganku. Namun, kedua mata lelaki itu malah makin melebar tatkala aku meminta masuk ke dalam kamar lelaki berseragam pilot itu dengan paksa. Dia seperti tak percaya saat aku langsung menutup pintu kamarnya dengan napas tersengal-sengal. Kami sama-sama mendengar suara teriakan Mas Revan di luar memanggil namaku. Kuminta lelaki di hadapanku itu untuk menutup mulutnya. Setelah kurasa keadaan aman, aku pun baru menjelaskan apa yang sudah terjadi. Mulai dari melihat calon suami dan sahabatku berkhianat, lalu meminta pertolongan sembunyi di kamar lelaki ini. "Ya udah, sekarang kamu duduk aja di sana! Aku periksa kaki kamu dulu," ucap lelaki yang merupakan tetanggaku itu. Dia membantuku duduk di tepi r4njang. Lalu dia memeriksa kakiku yang sudah berada di atas tempat tidurnya. "Kaki kamu ...." Belum sempat dia melanjutkan ucapannya, tiba-tiba pintu kamar didobrak dari luar. Ada banyak orang melihatku dan Bang Juna di atas r4njang yang sama. Padahal, keadaan tidak seperti yang mereka tuduhkan. Papa, mama, keluarga besar melihat ini semua. Dan sudah pasti, mereka pasti akan salah paham. "Juna! Kamu apakan anakku?" teriak papa dan langsung melayangkan tinjunya pada wajah Bang Juned. "Bukan, Pak!" Lelaki bertubuh tinggi tegap itu tidak melawan. Dia hanya mundur dan terus mencoba menghindar setiap pukulan tangan papa. Kedua tangannya mencoba menangkis tapi, tetap saja kena. "Papa! Jangan! Bang Juned cuman nolongin Nisa," teriakku agar papa menghentikan amarahnya. Akan tetapi, semua itu tampak percuma saja. Papa terus terbak4r emosi dan menyerang Bang Juned. "Halah! Aku liat sendiri kamu bersama laki-laki itu masuk ke kamar. Kalian ada apa-apa, kan? Sebelum aku menikahimu, kamu mau kasih dia jatah, kan?" tuding Mas Revan. Lelaki itu malah memperkeruh suasana di dalam kamar hotel ini. Sontak mataku pun terbelalak. "Enggak, Pah, Mah. Mas Revan itu bohong! Dia sebenarnya yang main api di belakang Nisa. Dia yang sudah ...." Papa menahan emosi sambil memegangi dadanya. Lalu mama memegangi papa yang hendak terjatuh. Sementara aku, tidak bisa apa-apa selain duduk saja menatap mereka semua karena kakiku tidak bisa digerakkan. "Papa kecewa sama kamu, Nisa. Pernikahan kamu tinggal beberapa menit lagi. Tapi kamu malah ...." Papa terlihat sangat sedih. Bahkan kopiah hitam yang tadi menutupi kepalanya pun kini ia banting di depan kami semua. Mama pun juga terlihat sedih. Sanak saudara terlihat membicarakanku. Mereka saling berbisik karena memergokiku dengan Bang Juna di kamar hotel. Kulihat Bang Juna sibuk mengusap sudut bibirnya yang berdarah. "Papa enggak mau tau, Nisa. Demi menutupi aib ini, kebih baik kamu nikahnya sama Juna saja! Jangan-jangan kamu juga sudah hamil!" Papa mengusap wajahnya yang basah oleh air mata. Aku mendelik mendengar ucapan papa. "Pah! Nisa enggak pernah melakukan apa pun sama Bang Juned! Iya kan, Bang?" Aku beralih pada lelaki yang kini berada di sudut ruangan itu. "Benar, Pak. Saya dan Nisa tidak ...." "Sudah! Saya kecewa sama kamu, Juna! Saya kira kamu tetangga yang baik. Ternyata malah merusak anak gadis saya. Sudah! Nikahi Nisa sekarang!" Kenapa malah jadi begini? Kutatap penuh kebencian pada Mas Revan. Kupastikan lelaki itu tidak akan pernah hidup tenang setelah ini. Dia sudah menghancurkan masa depanku! *** Karena hanya beberapa orang yang melihat adegan di kamar tadi, akhirnya mempelai laki-laki digantikan oleh seorang pilot berpangkat bar 4. Akad pun dimulai dan aku menerima sejumlah uang yang tak seberapa nilainya dari mahar yang Mas Revan akan berikan tadinya. "Saya terima nikah dan kawinnya Annisa Humaira binti Dimas Irawan dengan mas kawin dua ratus ribu rupiah, dibayar tunai," ucap Bang Juned sambil meringis, menahan sakit wajahnya yang tampak membiru. "Bagaimana para saksi, sah?" tanya penghulu. "Sah." "Sah." "Alhamdulillah," ucap mereka serentak. Hari yang seharusnya menjadi hari bahagia, kini berubah menjadi hari sekaligus mimpi buruk bagiku. Dengan kakunya, aku menerima uluran tangan Bang Juna. Lalu menciumnya. "Nisa, Papa sama mama sudah tidak mau tau lagi. Acara nikahan ini akan segera bubar. Ikut kamu sama suamimu itu! Jangan pernah pulang lagi ke rumah tanpa izin dari dia!" ucap papa dengan nada menyesakkan batin. "Pah, tapi Nisa enggak seperti itu. Dengarkan penjelasan Nisa dulu," balasku saat papa dan mama hendak pergi. "Sudahlah, Nisa! Ikuti apa kata papa kamu! Tinggallah bersama suami kamu, Nak! Biarkan papa istirahat dulu," imbuh mama sambil memegangi lengan papa. Setelah mereka pergi, kini datang Mas Revan bersama April. Mereka tersenyum miring. "Maaf, Nisa, aku tidak bisa menikahi gadis yang sudah menyerahkan kesuciannya pada lelaki lain." Lalu mereka langsung pergi. Ingin sekali kubungkam mulut mereka dengan heels yang kupakai. Namun, Bang Juned mencegah. Dia menahan langkahku. "Bang, biarkan aku memberi mereka pelajaran!" "Sudahlah, Nisa! Sekarang kamu harus ikut aku!" balasnya dan seketika membuat mataku terbelalak."Udah, jangan nangis! Udah terlanjur juga," ucap Bang Juned saat aku sesenggukan di atas tempat tidurnya. "Kita jalani aja dulu." Enak sekali dia bicara. "Bukan itu. Aku cuma masih sakit hati aja ngeliat Mas Revan sama April. Tega sekali mereka," balasku tanpa menatap lelaki yang duduk di depan cermin rias itu. "Papa juga tadi kaget, aku takut kumat aja penyakit jantungnya.""Oh, mereka. Buat apa dipikirkan? Harusnya kamu bersyukur. Enggak jadi nikah sama laki-laki model kayak dia," balas Bang Juned lagi. "Tapi malah nikah sama Bang Juned. Sama aja apes." "Juna, bukan Juned! Kamu kira aku pacarnya Mumun apa?""Ya emang namanya Juned, kan?""Junaid, Nisa! J u n a i d. Jangan sembarangan diganti-ganti nama orang! Oh ya, aku ada penerbangan lagi nanti jam sebelas malam. Kamu di sini sendirian berani, kan?" katanya lagi. "Enggak, ah. Aku pulang aja.""Kamu kan enggak boleh pulang kata papa kamu. Kamu harus ikut aku terus."Aku terdiam lagi. Memang benar apa kata lelaki itu. Kulihat la
Haduh, bagaimana ini? Aku tidak punya stok pembalut lagi. Mana Bang Juned lama sekali. Aku harus menyuruh siapa? Malu lah kalau harus minta tolong pelayan hotel. Kan mereka kebanyakan laki-laki. Saat aku berjalan ke kamar mandi sambil menahan kaki yang sakit, tiba-tiba suara ketukan pada pintu membuatku kaget. Siapa yang mengetuk? Mungkinkah Bang Juned? Katanya jam sembilan baru sampai. Perlahan kuintip dari lubang pintu setelah melangkah dengan merayap. Ternyata benar, lelaki itu yang datang. Syukurlah kalau dia sudah kembali. Pintu pun langsung kubuka dan dia masuk dengan wajah berkeringat. Lelaki itu menarik kopernya lalu meletakkan topi kerjanya di atas meja. "Kamu butuh apa, sih? Sampai buat aku enggak tenang kerjanya. Kamu tau enggak, saat aku di pesawat tadi, aku jadi enggak fokus tau!" Mengomel saja terus! Rasanya ingin aku jitak kepalanya. Pulang-pulang malah bicara panjang lebar. Bukannya tanya baik-baik, butuh apa istrinya ini. Eh, malah merembet ke mana-mana. Memangnya
"Kenapa enggak diangkat?" tanya lelaki itu. "Dari manusia paling menyebalkan." Malas sekali menyebut nama lelaki di seberang sana itu. "Revan, kan?" tanyanya lagi. Orang ini punya Kodam apa, ya? Kenapa dia bisa tahu apa pun yang aku pikirkan. Kenapa juga dia bisa peka saat aku butuh apa-apa? "Ck, biasa. Malas aku bicara tentang dia. Aku blok aja nanti.""Angkat, gih! Siapa tau penting," jawabnya lagi. "Abang enggak masalahin kalau aku angkat telpon dari mantan aku?""Ya, sebenarnya masalah. Cuman, siapa tau aja penting. Atau, biar aku saja yang angkat."Aku tak membalas dan membiarkan Bang Juned yang mengangkatnya. "Assalamualaikum?""Assalamualaikum?" Kening Bang Juned berkerut sambil menatap layar ponsel yang masih menyala itu berkali-kali. "Kenapa enggak ada suaranya, ya? Hp kamu enggak eror kan ini, Nis?" "Ck, ya enggak lah, Bang. Itu hp baru. Enak aja eror. Kayaknya yang nelpon yang eror.""Oh, mungkin saja." Dia meletakkan ponselku di atas meja dan kami kembali menikmati
Sore itu, setelah selesai kerjaan di hotel, aku dihampiri langsung oleh Revan. Lelaki berwajah oriental itu menyentuh tanganku di depan lobi. Sontak, aku pun langsung menghempaskannya. Kutarik napas dalam-dalam lalu bertanya, "Aku enggak punya banyak waktu." Dia hanya tersenyum awalnya. Setelah itu menatap ke depan dan tiba-tiba menarik tanganku. "Masuk mobil dulu, Sayang! Aku mau kasih kejutan enggak di sini."Tubuhku dia paksa masuk ke dalam mobilnya. Lalu dia masuk dan menyalakan mobil. Kendaraan roda empat ini kini melaju ke depan. Rasa-rasanya perasaanku mendadak tak enak. Apalagi melihat gelagat lelaki itu. Tatapannya agak aneh karena sejak tadi senyam-senyum tidak jelas."Sebenarnya kita mau ke mana, sih? Jangan jauh-jauh! Sekarang aku bukan lagi calon istri kamu!" Aku berusaha mengingatkan dia lagi. Namun, reaksi Revan malah diam saja. Dia fokus pada kemudinya dan menambah kecepatan laju kendaraan yang kami naiki. Kanan kiri kulihat tampak asing jalanan ini. Aku menatap jam
Pagi itu Bang Juned sudah keluar kamar lebih dulu. Sementara aku masih berpikir bagaimana caranya agar dia mau bicara denganku. Maksudku, mengatakan apa saja yang sudah dia ketahui soal aku dan Revan waktu itu. Ah, mengingat nama itu aku rasanya ingin mvntah. Menjij1kan sekali dan aku bersumpah jika bertemu dengannya lagi nanti, kupastikan akan memukulnya. "Ck, aku harus bilang gimana sama Bang Juned?" gumamku sendiri sambil mondar-mandir di depan meja rias. Tak lama setelah itu aku mencium aroma makanan yang begitu lezat. Sampai-sampai perutku pun langsung berbunyi. Aku lupa kalau sejak kemarin sore, perut belum diisi. Pintu kamar pun segera kubuka dan aroma makanan di atas kompor semakin kuat. Aroma smoky seperti daging panggang dan nasi goreng. Kepalaku menyembul dari balik dinding dapur. Kulihat memang lelaki itu sedang sibuk mengaduk masakan. Tapi, aku tak berani mendekatinya. Sampai ludah pun serasa ingin keluar karena aroma kelezatan makanan di atas meja yang sudah terlihat
"Cieee, nungguin suami, ya?" Aku terkejut mendengar sindiran yang terdengar tiba-tiba dari belakang. Aku pun langsung mengulas senyuman pada pemilik hotel tempatku kerja itu. "Bisa aja, Buk." "Selamat ya, Nis. Oh ya, jadi sekarang yang kamu nikahin itu bukan si Revan, ya?" Duh, kepo banget ini atasan. "Bukan, Buk. Ceritanya kan panjang. Kan, Bu Rizkia ada di sana waktu itu." Aku meringis kuda. "Ya udah deh, yang penting kalian bahagia. Masalah rumah tangga atau pribadi kamu, Ibu enggak mau ikut-ikutan. Cuman mau doain aja, ya." Wanita dengan penampilan feminim itu mengulas senyum padaku. Baguslah kalau dia tidak banyak tanya. Mau jawab apa nanti aku kalau begini ceritanya. Dapat suami yang katanya mau jemput, tapi malah telat setengah jam. "Makasih, Bu." Aku kembali melebarkan senyuman padanya. "Duluan ya, Nis."Aku mengangguk pada wanita yang sudah masuk ke dalam mobil mewah itu. Masih di depan lobi, aku berkali-kali menatap jam tangan yang sudah menunjukkan waktu hampir Maghr
Suara ketukannya makin kencang. Sekujur tubuhku berubah panas dingin. Aku memutuskan untuk meraih bantal dan bersiap memukulnya. Tidak. Bantal ini tidak akan membuat dia kapok. Aku harus cari alat yang bisa digunakan untuk membela diri nanti. Setelah kutemukan sebuah sapu di pojok ruangan dapur, aku pun mengendap-endap ke arah pintu utama. Tiba-tiba saja tanpa aba-aba pintu itu terbuka karena dorongan dari luar. Sontak dengan refleks pun aku memukul sosok pria yang masuk tanpa permisi itu. "Rasain, tuh! Maling!""Maling!""Rampok!" Aku sudah sekuat tenaga memukulinya sambil berteriak kencang. Namun, sepertinya hujan deras telah menelan suaraku hingga tak satu pun ada orang yang datang untuk menolong. "Maling kamu, ya! Rasakan ini!" "Eh! Nisa!""Nisa, jangan!""Jangan! Ini aku!" Tunggu! Sepertinya aku kenal dengan suara itu. Lampu segera kunyalakan semua dan menatap lelaki yang terlihat memakai mantel hujan itu. Dia ambruk di lantai sambil merintih kesakitan. "Aduh, ya Allah. Saki
Aku jadi takut ingin keluar dari kamar mandi. Lelaki itu pasti sedang menungguku. Bukannya aku menolak perintah suami, tapi aku belum siap saja kalau harus nurutin semua kemauan dia. Pasti nanti ngelunjak. Minta ini, minta itu, bisa-bisa minta yang di luar pikiranku. Setelah kubuka pintu, ternyata kamar dalam keadaan kosong. Ke mana lelaki itu? Satu jam berlalu, Bang Juned tidak ada masuk kamar lagi. Dia ke mana?Ketika gagang pintu berputar, aku pun terlonjak kaget. Jantung kembali seperti dipermainkan olehnya. Masuk ke kamar, pria itu langsung mengulas senyuman. Mana senyumannya sangat mencurigakan. Setelan baju taqwa putih dengan sarung kotak-kotak menambah kesah paripurna sosok tinggi tegap itu. Apalagi wajahnya yang terlihat segar dari sebelumnya. Meskipun masih ada bekas ulahku semalam di sudut bibirnya, dia tetap tampan. "Assalamualaikum?""Wa'alaykumsalam," jawabku seraya mengalihkan tatapan ketika dia kembali tersenyum. Aku yang masih duduk di bibir ranjang pun segera ber
Pagi ini aku sangat sibuk dengan kerjaan kantor. Bolak-balik meninggalkan Humaira yang perutnya sudah membesar, rasanya hatiku tak tenang. Dia adalah belahan jiwaku yang di mana, rasa sakit atau apa pun yang menimpanya, aku pasti juga merasakannya. Seperti sekarang ini. Tiba-tiba perutku tak enak saat sedang meeting jam dua siang. Tiba-tiba pula aku ingat perkataanku saat itu kalau andai aku bisa ikut mengurasi rasa sakit melahirkan istriku, aku siap. Tapi, beberapa hari ini rasa sakit aneh ini mulai merajai. Keringat dingin keluar melalui pori-pori saat aku sedang presentasi di depan klien dan atasan. Sampai aku dibilang gerogi juga. Padahal sedang menahan mulas. "Kamu enggak apa-apa, Jay?" tanya atasanku saat kami selesai pertemuan di sebuah gedung. "Enggak, Pak. Aman." Sebisa mungkin aku mengulas senyuman. "Pucet banget mukamu. Sakit? Atau masih ada efek gerogi? Tumben banget kamu," lanjut pria paruh baya dengan setelan jas hitam itu. "Enggak apa-apa, Pak. Saya cuman khawatir
"Enak makanannya?" tanyaku saat Humaira menikmati setiap suapan. Dia hanya mengangguk, tapi terus melahap setiap sendok makanan ke mulutnya. Malam itu, tepatnya setelah dua bulan kami tak melihat Mbak Julia datang ke rumah lagi. Hidup kami serasa di dalam surga dunia. Setiap waktu sangat berharga bagiku. Apalagi, dia sangat ingin dimanja setiap saat. "Habis ini jalan ke mana, Dek?" "Aku udah kenyang. Tapi, baiknya jangan langsung pulang," balasnya sangat menohok. Pasti ada udang di balik batu. "Uhuk." Aku hampir saja menyembur karena tersedak. "Pelan-pelan, Mas!" Dia meraih tisu, lalu mengusap bibirku. "Habisnya, kamu lucu. Masih mau jalan? Mau nyari apa?""Enggak. Cuman kan habis makan, jangan duduk aja. Jalan-jalan lagi, kata orang."Aku menahan tawa. "Pengen apa, sih? Bilang aja! Mas jabaning, kok.""Beneran?" Kedua matanya berbinar-binar. "Tuh, kan, pasti pengen sesuatu. Mau apa?" "Aku mau ... ngasih Mas ini." Dia menyodorkan kotak persegi yang ukurannya sebesar kotak nasi
Aku memeluk raga yang dingin malam itu. Dia memunggungiku karena curiga. Tak masalah dia curiga, dan memang pantas dia seperti itu karena selama ini, aku belum bisa sepenuhnya jujur. Aku tidak tega dengan Mbak Julia, karena dia yang selama ini merawat kakak kandungku yang kelakuannya seperti itu. Ingin mengabaikan, tapi selalu merasa bersalah. Takut memutuskan silaturahmi. Tadi dia menelponku karena ingin tinggal di sini. Memaksa agar aku mengizinkan dia satu atap denganku dan Mai. Tapi, aku menolaknya. Tidak masalah kalau setiap bulan aku kirim uang padanya. Asalkan di tidak meminta tinggal di sini. Namun, yang ada malah Mai yang curiga. Dia pasti mikir yang enggak-enggak. Lagipula, ini memang tugasku juga meyakinkan dia kalau aku hanya mencintai dia. "Dek ....""Hem." Dia masih menjawab meskipun dingin. "Mas minta maaf, ya.""Bukan hari lebaran."Aku ingin tertawa rasanya. "Mas tadi ditelpon Mbak Julia. Mas jujur, loh. Jangan marah dulu.""Males.""Dengerin, Dek. Mas nolak dia,
"Kalian mau ngapain sih, Mas? Aku boleh ikut enggak? Perasaanku enggak enak kalau kalian ketemuan berdua gitu."Sambil sarapan, aku mengutarakan isi hatiku pada Mas Jaya. Lelaki gagah yang tampak rapi itu mengulas senyuman. Sambil mengunyah, dia membalas, "Kamu tenang aja, Dek. Mas juga tau siapa dia. Mas enggak akan tanggapi dia."Tak lama, ponsel di dalam saku Mas Jaya bergetar. Dia menatap layar ponselnya seraya mengernyit. "Baru juga diomongin, dia udah telpon.""Siapa? Mbak Julia?" Aku langsung paham. "Iya." Mas Jaya langsung mengangkat. "Assalamualaikum? Ada apa, Mbak?"Awalnya aku acuh, tak mau dengar karena kesal duluan. Namun, setelah melihat ekspresi Mas Jaya yang kaget dengan raut tegang. "Iya, Mbak. Aku ke sana sekarang." Setelah itu dia menutup panggilan. Dia menatapku lalu berkata, "Dek, kamu mau ikut enggak?""Ke mana?" Pura-pura tidak tahu saja lah aku. "Mas Fandi meninggal. Mbak Julia bingung dan minta aku untuk ikut urus pemakaman.""Innalillahi. Serius, Mas?" Ak
"Maaf ya, Mas." Aku membuka pintu dengan wajah menunduk. Mas Jaya tersenyum membalasnya. "Enggak apa-apa. Lagian, masih banyak waktu juga. Oh ya, kita istirahat aja, ya. Aku tau, kamu pasti capek."Lelaki itu menarik tanganku dan mengajaknya ke atas tempat tidur. Dia mengangkat kakiku lalu menutupinya dengan selimut. Pintu dia kunci, lalu lampu utama dia matikan. Seperti tidak ada apa-apa. Dadaku masih berdebar-debar saat dia mulai naik ke atas tempat tidur. Aroma wangi dari parfumnya membuatku gugup. "Dek."Aku mendelik sambil menelan ludah. "Iya, Mas?""Kamu enggak mau peluk aku?" Dia mengulas senyuman. Tatapannya masih ke atas, pada langit-langit kamar setelan merebahkan diri. "Aku ... aku ...." Kenapa harus tanya, sih. Udah pasti mau lah. Tapi aku malu kalau diminta duluan. Masa laki-laki tidak paham begituan. Ya harusnya dia lah yang mulai. "Kalau enggak mau, juga enggak apa-apa. Aku tidak memaksa." Lah, malah ngambek dia. "Bukan itu." Aku bingung jadinya. Apa dia tidak paha
"Aku kenapa?" Sayup-sayup mata elang lelaki itu tak lagi taj4m. Dia terkulai lemas dia atas ranjang datar. Bibirnya semu putih pucat, menandakan keadaannya yang lemah. "Mas lagi di rumah sakit. Tadi tiba-tiba pingsan. Sekarang gimana rasanya? Apanya yang sakit?" Aku tanya dia balik. "Enggak ada. Asalkan liat kamu, semua sakitku hilang." Bibirnya melengkung manis. "Lagi sakit, bisa aja bercandanya. Lagian kenapa sih bisa sampe kena asam lambung? Mas enggak perhatiin kondisi diri sendiri, ya.""Aku kepikiran kamu terus. Aku takut kamu ....""Kenapa jadi overthinking begini sekarang?" Aku menghela napas. "Kapan kita nikahnya? Aku pengen cepet-cepet." Dia menyentuh tanganku. "Kita enggak akan nikah kalau Mas belum sembuh. Perhatikan dulu kondisi diri sendiri, sebelum mengurusi aku." "Iya-iya, Tuan Putri." Dia tertawa.Dua hari lelaki itu dalam perawatanku dan kini, agak aneh saja sifatnya. Makin manja dan ingin aku agar selalu di sampingnya. "Aku harus periksa pasien lagi, Mas." A
"Mai, kamu harus segera memutuskan. Karena ini menyangkut masa depan. Terus, ta'aruf itu juga bukan jalan yang ditempuh dengan suka-suka. Ini melibatkan Allah, Nak."Mama menyentuh pundakku saat aku melamun memikirkan semua itu di dalam kamar. Suasana pagi yang cukup dingin setelah hujan membuatku malas beranjak dari sana. "Ini lagi aku pikirkan, Mah. Kenapa harus Mas Jaya lagi?" Aku meratapi nasibku sendiri. "Kamu tau, enggak, Mai? Dulu, Mama sama papa itu terpisah beberapa bulan lamanya. Mama yakin papa kamu masih hidup. Dan saat peristiwa itu ditutup, karena tak ada harapan lagi. Tapi, Allah mentakdirkan lain. Papa kamu ternyata masih hidup dan kembali lagi. Kamu jangan salah sangka soal takdir Tuhan. Karena semua itu banyak hikmahnya. Jangan-jangan, kamu memang jodoh Jay yang sesungguhnya.""Tapi, Ma. Mau harus gimana? Pasti dia juga kaget tadinya karena ternyata, akhwat yang dia inginkan bukan yang jauh lebih baik. Tapi mantan istrinya sendiri.""Kamu itu su'udzon aja! Buktinya
"Jadi enggak ke sini?" Sebuah pesan akhirnya sampai juga padaku. Pesan singkat melalui aplikasi hijau itu dari Ustadz Firman yang kukenal belum lama ini. "Insyaallah, Ustadz. Tapi, saya deg-degan, nih. Saya takut mengecewakan akhwatnya.""Jangan khawatir, Mas. Kan saya temani nanti. Ada istri saya juga yang menemani dia.""Kalau dia enggak cocok sama saya gimana?" "Ya enggak masalah. Namanya juga masih nadzor. Mas banyakin dzikir aja. Siapa tau ini jawaban atas doa-doa Mas Jay selama ini."Menunggu pesan balasan dari ustadz itu, dadaku berdebar-debar. Seperti sedang menunggu hasil ujian saja. "Ya sudah, Ustadz. Saya berangkat sekarang.""Nah, gitu dong! Dari tadi kami tunggu ini. Sebagai laki-laki memang kita harusnya tidak mengecewakan pihak perempuan. Apa pun yang terjadi nanti, yakinlah kalau semua itu bagian dari ikhtiar kita. Semoga sukses ya, Mas.""Makasih, Ustadz."Pagi itu aku masih belum pakai baju setelah mandi karena menunggu balasan dari sang ustadz yang kebetulan memb
"Lu enggak mau nikah lagi gitu? Udah lama lu duda, Bro!" Pertanyaan menohok itu membuatku tersedak saat makan siang. Aku pun langsung meneguk minuman segar di atas mejaku. "Apaan, sih! Rese. Enggak ada kek pertanyaan yang lebih berbobot daripada itu?" Aku menghela napas. "Bukannya gitu, lu entar ada acara di kantor, enggak bawa pasangan? Lu kek orang ngenes tau enggak, Bro?" Ada saja pertanyaan seperti ini lagi. Sampai tak nafsu makan lagi aku. Kuletakkan sendok garpu lagi, lalu mengusap kedua sudut bibir. "Biarin aje. Enggak usah ngurusin gue. Lagian juga gue udah enggak minta lagi punya istri." Aku menjawab asal saja. Niatnya agar Reno, rekan kerjaku itu berhenti bicara. "Buset, dah! Lu yang bener aje? Laki-laki normal itu pasti ada saat-saatnya pengen anu," sindirnya lagi. "Anu apaan? Jangan ngawur! Aku puasa kalau lagi pengen gituan. Istighfar, nyadari kalau enggak punya istri." Lagi-lagi aku mengingat masa lalu. "Ya udah, buruan lu nyari kek biar enggak puasa terus. Lu ja