Share

Bab 4

Penulis: Goresan Pena93
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-22 08:34:08

"Kenapa enggak diangkat?" tanya lelaki itu.

"Dari manusia paling menyebalkan." Malas sekali menyebut nama lelaki di seberang sana itu.

"Revan, kan?" tanyanya lagi.

Orang ini punya Kodam apa, ya? Kenapa dia bisa tahu apa pun yang aku pikirkan. Kenapa juga dia bisa peka saat aku butuh apa-apa? "Ck, biasa. Malas aku bicara tentang dia. Aku blok aja nanti."

"Angkat, gih! Siapa tau penting," jawabnya lagi.

"Abang enggak masalahin kalau aku angkat telpon dari mantan aku?"

"Ya, sebenarnya masalah. Cuman, siapa tau aja penting. Atau, biar aku saja yang angkat."

Aku tak membalas dan membiarkan Bang Juned yang mengangkatnya. "Assalamualaikum?"

"Assalamualaikum?" Kening Bang Juned berkerut sambil menatap layar ponsel yang masih menyala itu berkali-kali.

"Kenapa enggak ada suaranya, ya? Hp kamu enggak eror kan ini, Nis?"

"Ck, ya enggak lah, Bang. Itu hp baru. Enak aja eror. Kayaknya yang nelpon yang eror."

"Oh, mungkin saja." Dia meletakkan ponselku di atas meja dan kami kembali menikmati makan malam ini.

***

Aku cukup tahu diri, setelah makan kubantu dia mencuci piring dan gelas. Sementara Bang Juned mengelap meja makan. "Bang, aku duluan." Sejak tadi mulutku tak berhenti menguap.

"Hem. Jangan lupa matikan lampu!" balasnya, masih terus mengelap meja.

"Iya-iya."

Akan tetapi, sampai di kamar aku malah tak jadi mengantuk. Kamar ini terlihat tak begitu luas. Apalagi tempat tidurnya. Terlihat sangat sempit jika dipakai berdua. Dan aku, memang tak mau tidur berdua dengan Bang Juned di sana.

Kutarik selimut dan bantal yang ada di atas tempat tidur lalu merebahkan di sofa panjang dalam kamar ini. Aku pun langsung terlelap karena kekenyangan sekaligus lelah. Entah sudah jam berapa sekarang, saat aku terbangun karena tenggorokan kering. Tiba-tiba saja tubuhku sudah berada di atas tempat tidur dengan selimut menutupi sekujur tubuh.

Sontak mataku langsung melotot dan segera mengecek pakaian. Untungnya masih lengkap, dan pikiranku spontan langsung mengarah ke hal-hal yang tidak wajar tadinya. Setelah menghela napas lega, kini aku melihat Bang Juned yang tidur di atas sofa panjang. Apa dia yang mengangkatku ke sini tadi?

Setelah meneguk air putih di atas nakas, tak lama kudengar suara azan dari luar. Lelaki itu mulai menggeliat. Dia langsung duduk, dan menatapku. "Udah bangun?"

"Udah. Kenapa Abang tidur di situ?" tanyaku balik.

"Maunya sih tidur di sebelah kamu. Tapi, takut kamu mukul tadi malam karena kaget."

"Ih, ya jelas kaget lah."

"Ya udah, kamu duluan gih ke kamar mandi. Siap-siap salat Subuh!"

"Abang duluan aja! Aku kan enggak sholat."

"Oh iya, aku lupa. Ya udah." Bang Juned lantas berdiri, lalu dia pergi ke kamar mandi.

Pagi yang begitu cerah, udara segar menerpa wajahku setelah membuka mata. Kulihat jendela sudah terbuka dan tampak pria gagah merapikan kancing bajunya di depan cermin. "Udah bangun kamu?"

"Bang!" Aku tersentak. "Jam berapa ini? Kenapa enggak bangunkan aku?" Aku segera turun dari kasur dan mencari handuk.

"Habisnya kamu kayak kecapekan banget. Enggak tega aku bangunkan kamu. Ditinggal mandi sebentar saja, tidur lagi. Untungnya aku enggak jadi khilaf." Dia tertawa.

"Apa? Khilaf? Awas saja kalau kesampaian!"

"Ya udah mandi buruan! Apa mau dimandiin?" Dia malah tertawa. Menyebalkan sekali baru dua hari menjadi istrinya.

Yang tadi katanya tidak bisa mengantar ke tempat kerja, nyatanya lelaki itu sanggup mengantar. Dia mengantar sampai ke depan gerbang, lalu memintaku untuk selalu berkabar dengannya nanti kalau sudah ada waktu.

"Jangan lupa makan bekalnya! Kamu kan enggak sempat sarapan tadi," katanya setelah aku melepas sabuk pengaman.

"Iya-iya, Kang Bawel."

"Panggilnya yang romantis napa, sih?" Dia mulai memasang wajah kesal.

"Iya-iya, Bang Juned."

"Dibilang aku bukan Juned. Juna! J U N A!"

"Hem. Iya-iya." Saat aku akan keluar, dia malah mengunci pintu mobilnya.

Seketika aku langsung ikut kesal. "Bukain kuncinya, Bang!"

"Salim dulu, dong! Sama suami gitu aja masa pakai diajarin? Apa malam pertama nanti juga perlu diajarin juga?"

"Heh! No! Enggak akan ada malam pertama atau seterusnya, ya!"

Andai ada sandal jepit, mungkin aku sudah menggigitnya. Lelaki ini membuatku gemas pagi-pagi. Apalagi senyumannya yang dia sengaja itu. Aku pun terpaksa menuruti apa maunya. Untung masih sebatas salim tangan, bukan yang lainnya.

"Yakin cuman cium tangan?" Dia kembali membuatku bersungut.

Lepas itu pun aku keluar dari mobil setelah dia membuka smart lock mobil. Aku berjalan dengan buru-buru karena ada janji dengan Vivian--sahabatku untuk membahas soal kerjaan. Namun, sampai di lorong gedung ini malah bertemu dengan Revan. Lelaki itu tersenyum melihatku datang.

"Nisa ...." Dia hendak memelukku. Akan tetapi, aku pun langsung menjauh.

Aku tak mau mendengarkan apa pun yang akan dia katakan. Tak sampai di situ, Revan mengejarku. Dia tak henti-hentinya menarik tanganku ketika telah mendapatkanku. "Tunggu, Nisa!"

"Apa lagi sih, Van!" bentakku saking emosinya.

"Kamu sekarang manggil aku dengan nama?" Dia kaget saat aku sudah tidak lagi memanggilnya dengan sebutan kesayangan.

"Harusnya apa?"

"Kamu udah enggak sayang lagi sama aku, Nisa?"

"Mimpi kamu, Van!"

"Nisa! Aku mau bicara!" Dia kembali menarik tanganku saat aku akan pergi.

"Apa, sih! Jangan sentuh aku!"

"Aku sama April enggak ada hubungan apa-apa, Nisa."

"Aku enggak peduli! Bukan urusanku!"

"Nisa, plis, kita balikan, ya! Aku masih mencintaimu."

"Lepaskan tanganku, Van! Atau aku teriak."

Dia langsung melepaskannya. "Oke. Aku lepaskan. Tapi, aku butuh waktu bicara denganmu. Tolonglah, Nis. Percayalah padaku."

Mungkin semua orang akan mengataiku bodoh karena masih mau mendengarkan ucapan lelaki yang sudah berkhianat ini. Siang itu setelah selesai kuliah, dia mengajakku ke sebuah restoran untuk makan siang. Meskipun aku tahu dia sudah bermain api di belakangku, perasaanku padanya belum sepenuhnya hilang.

Apa karena aku terlalu mencintainya dahulu? Hatiku menjerit saat berpikir dengan logika. Kenapa aku bisa duduk bersama dengannya di sini? Aku menunduk sejak tadi. Dan Revan, mulai menyentuh tanganku.

"Jujur, Nis, aku melakukan itu semua karena aku butuh uang. Semua itu atas permintaan seseorang yang menginginkan kehancuran hubungan kita," ucapnya dengan wajah begitu sedih.

"Apa?" Aku terkejut sejadi-jadinya. "Siapa yang menyuruh kamu?"

"Aku tidak bisa bilang. Aku diancam. Tapi, jujur aku menyesal sekali gagal menikah denganmu."

Entah benar atau tidak, rasanya sakit itu kembali menghapus kebencian di hatiku. "Kalau kamu enggak mau bilang, berarti kamu bohong!"

"Aku serius, Nisa. Percayalah padaku! Nanti sore, kamu ada acara enggak? Aku mau ajak kamu ke suatu tempat."

"Ke mana?" Aku mengernyit.

"Ada kejutan buat kamu. Yang jelas, kamu tidak akan menyesal."

Haruskah aku percaya dengan lelaki ini? Sebenarnya dia ini seperti apa? Lima tahun aku mengenalnya, rasanya belum cukup untuk menjelaskan siapa dia. Aku masih diam dan tidak memberi jawaban.

Bab terkait

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 5

    Sore itu, setelah selesai kerjaan di hotel, aku dihampiri langsung oleh Revan. Lelaki berwajah oriental itu menyentuh tanganku di depan lobi. Sontak, aku pun langsung menghempaskannya. Kutarik napas dalam-dalam lalu bertanya, "Aku enggak punya banyak waktu." Dia hanya tersenyum awalnya. Setelah itu menatap ke depan dan tiba-tiba menarik tanganku. "Masuk mobil dulu, Sayang! Aku mau kasih kejutan enggak di sini."Tubuhku dia paksa masuk ke dalam mobilnya. Lalu dia masuk dan menyalakan mobil. Kendaraan roda empat ini kini melaju ke depan. Rasa-rasanya perasaanku mendadak tak enak. Apalagi melihat gelagat lelaki itu. Tatapannya agak aneh karena sejak tadi senyam-senyum tidak jelas."Sebenarnya kita mau ke mana, sih? Jangan jauh-jauh! Sekarang aku bukan lagi calon istri kamu!" Aku berusaha mengingatkan dia lagi. Namun, reaksi Revan malah diam saja. Dia fokus pada kemudinya dan menambah kecepatan laju kendaraan yang kami naiki. Kanan kiri kulihat tampak asing jalanan ini. Aku menatap jam

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-22
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 6

    Pagi itu Bang Juned sudah keluar kamar lebih dulu. Sementara aku masih berpikir bagaimana caranya agar dia mau bicara denganku. Maksudku, mengatakan apa saja yang sudah dia ketahui soal aku dan Revan waktu itu. Ah, mengingat nama itu aku rasanya ingin mvntah. Menjij1kan sekali dan aku bersumpah jika bertemu dengannya lagi nanti, kupastikan akan memukulnya. "Ck, aku harus bilang gimana sama Bang Juned?" gumamku sendiri sambil mondar-mandir di depan meja rias. Tak lama setelah itu aku mencium aroma makanan yang begitu lezat. Sampai-sampai perutku pun langsung berbunyi. Aku lupa kalau sejak kemarin sore, perut belum diisi. Pintu kamar pun segera kubuka dan aroma makanan di atas kompor semakin kuat. Aroma smoky seperti daging panggang dan nasi goreng. Kepalaku menyembul dari balik dinding dapur. Kulihat memang lelaki itu sedang sibuk mengaduk masakan. Tapi, aku tak berani mendekatinya. Sampai ludah pun serasa ingin keluar karena aroma kelezatan makanan di atas meja yang sudah terlihat

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 7

    "Cieee, nungguin suami, ya?" Aku terkejut mendengar sindiran yang terdengar tiba-tiba dari belakang. Aku pun langsung mengulas senyuman pada pemilik hotel tempatku kerja itu. "Bisa aja, Buk." "Selamat ya, Nis. Oh ya, jadi sekarang yang kamu nikahin itu bukan si Revan, ya?" Duh, kepo banget ini atasan. "Bukan, Buk. Ceritanya kan panjang. Kan, Bu Rizkia ada di sana waktu itu." Aku meringis kuda. "Ya udah deh, yang penting kalian bahagia. Masalah rumah tangga atau pribadi kamu, Ibu enggak mau ikut-ikutan. Cuman mau doain aja, ya." Wanita dengan penampilan feminim itu mengulas senyum padaku. Baguslah kalau dia tidak banyak tanya. Mau jawab apa nanti aku kalau begini ceritanya. Dapat suami yang katanya mau jemput, tapi malah telat setengah jam. "Makasih, Bu." Aku kembali melebarkan senyuman padanya. "Duluan ya, Nis."Aku mengangguk pada wanita yang sudah masuk ke dalam mobil mewah itu. Masih di depan lobi, aku berkali-kali menatap jam tangan yang sudah menunjukkan waktu hampir Maghr

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 8

    Suara ketukannya makin kencang. Sekujur tubuhku berubah panas dingin. Aku memutuskan untuk meraih bantal dan bersiap memukulnya. Tidak. Bantal ini tidak akan membuat dia kapok. Aku harus cari alat yang bisa digunakan untuk membela diri nanti. Setelah kutemukan sebuah sapu di pojok ruangan dapur, aku pun mengendap-endap ke arah pintu utama. Tiba-tiba saja tanpa aba-aba pintu itu terbuka karena dorongan dari luar. Sontak dengan refleks pun aku memukul sosok pria yang masuk tanpa permisi itu. "Rasain, tuh! Maling!""Maling!""Rampok!" Aku sudah sekuat tenaga memukulinya sambil berteriak kencang. Namun, sepertinya hujan deras telah menelan suaraku hingga tak satu pun ada orang yang datang untuk menolong. "Maling kamu, ya! Rasakan ini!" "Eh! Nisa!""Nisa, jangan!""Jangan! Ini aku!" Tunggu! Sepertinya aku kenal dengan suara itu. Lampu segera kunyalakan semua dan menatap lelaki yang terlihat memakai mantel hujan itu. Dia ambruk di lantai sambil merintih kesakitan. "Aduh, ya Allah. Saki

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 1

    "Jangan, Mas! Nanti ketahuan sama calon istri kamu," lirih seorang wanita yang tak lain adalah sahabatku sendiri. Dia mendorong sedikit dada bidang lelaki yang harusnya kini duduk di depan penghulu bersamaku. "Dia tidak akan tau. Sudahlah, ikuti saja apa yang kumau! Lagi pula, dia tidak akan ke sini. Bahkan, dia tidak akan berani membantah setiap ucapanku," balas seorang pria berjas hitam lengkap dengan bunga mawar di bagian sakunya. Dadaku perih melihat dua orang yang tengah bersembunyi di balik dinding dalam gedung ini. Teganya mereka bermain api di belakangku, di saat akad sebentar lagi akan berlangsung. Air mata sudah menganak sungai, gaun pengantin menjuntai ingin segera kulepas dan pergi saja dari sini. Namun, sayangnya aku teringat dengan kedua orang tuaku yang sudah pasti panik di dalam sana karena aku tak kunjung kembali. "Jadi, kamu akan tetap menikahi dia?" tanya April, gadis itu membelai wajah Mas Revan, lelaki yang tadi alasan ingin ke toilet. Tapi, kenyataannya malah

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-22
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 2

    "Udah, jangan nangis! Udah terlanjur juga," ucap Bang Juned saat aku sesenggukan di atas tempat tidurnya. "Kita jalani aja dulu." Enak sekali dia bicara. "Bukan itu. Aku cuma masih sakit hati aja ngeliat Mas Revan sama April. Tega sekali mereka," balasku tanpa menatap lelaki yang duduk di depan cermin rias itu. "Papa juga tadi kaget, aku takut kumat aja penyakit jantungnya.""Oh, mereka. Buat apa dipikirkan? Harusnya kamu bersyukur. Enggak jadi nikah sama laki-laki model kayak dia," balas Bang Juned lagi. "Tapi malah nikah sama Bang Juned. Sama aja apes." "Juna, bukan Juned! Kamu kira aku pacarnya Mumun apa?""Ya emang namanya Juned, kan?""Junaid, Nisa! J u n a i d. Jangan sembarangan diganti-ganti nama orang! Oh ya, aku ada penerbangan lagi nanti jam sebelas malam. Kamu di sini sendirian berani, kan?" katanya lagi. "Enggak, ah. Aku pulang aja.""Kamu kan enggak boleh pulang kata papa kamu. Kamu harus ikut aku terus."Aku terdiam lagi. Memang benar apa kata lelaki itu. Kulihat la

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-22
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 3

    Haduh, bagaimana ini? Aku tidak punya stok pembalut lagi. Mana Bang Juned lama sekali. Aku harus menyuruh siapa? Malu lah kalau harus minta tolong pelayan hotel. Kan mereka kebanyakan laki-laki. Saat aku berjalan ke kamar mandi sambil menahan kaki yang sakit, tiba-tiba suara ketukan pada pintu membuatku kaget. Siapa yang mengetuk? Mungkinkah Bang Juned? Katanya jam sembilan baru sampai. Perlahan kuintip dari lubang pintu setelah melangkah dengan merayap. Ternyata benar, lelaki itu yang datang. Syukurlah kalau dia sudah kembali. Pintu pun langsung kubuka dan dia masuk dengan wajah berkeringat. Lelaki itu menarik kopernya lalu meletakkan topi kerjanya di atas meja. "Kamu butuh apa, sih? Sampai buat aku enggak tenang kerjanya. Kamu tau enggak, saat aku di pesawat tadi, aku jadi enggak fokus tau!" Mengomel saja terus! Rasanya ingin aku jitak kepalanya. Pulang-pulang malah bicara panjang lebar. Bukannya tanya baik-baik, butuh apa istrinya ini. Eh, malah merembet ke mana-mana. Memangnya

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-22

Bab terbaru

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 8

    Suara ketukannya makin kencang. Sekujur tubuhku berubah panas dingin. Aku memutuskan untuk meraih bantal dan bersiap memukulnya. Tidak. Bantal ini tidak akan membuat dia kapok. Aku harus cari alat yang bisa digunakan untuk membela diri nanti. Setelah kutemukan sebuah sapu di pojok ruangan dapur, aku pun mengendap-endap ke arah pintu utama. Tiba-tiba saja tanpa aba-aba pintu itu terbuka karena dorongan dari luar. Sontak dengan refleks pun aku memukul sosok pria yang masuk tanpa permisi itu. "Rasain, tuh! Maling!""Maling!""Rampok!" Aku sudah sekuat tenaga memukulinya sambil berteriak kencang. Namun, sepertinya hujan deras telah menelan suaraku hingga tak satu pun ada orang yang datang untuk menolong. "Maling kamu, ya! Rasakan ini!" "Eh! Nisa!""Nisa, jangan!""Jangan! Ini aku!" Tunggu! Sepertinya aku kenal dengan suara itu. Lampu segera kunyalakan semua dan menatap lelaki yang terlihat memakai mantel hujan itu. Dia ambruk di lantai sambil merintih kesakitan. "Aduh, ya Allah. Saki

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 7

    "Cieee, nungguin suami, ya?" Aku terkejut mendengar sindiran yang terdengar tiba-tiba dari belakang. Aku pun langsung mengulas senyuman pada pemilik hotel tempatku kerja itu. "Bisa aja, Buk." "Selamat ya, Nis. Oh ya, jadi sekarang yang kamu nikahin itu bukan si Revan, ya?" Duh, kepo banget ini atasan. "Bukan, Buk. Ceritanya kan panjang. Kan, Bu Rizkia ada di sana waktu itu." Aku meringis kuda. "Ya udah deh, yang penting kalian bahagia. Masalah rumah tangga atau pribadi kamu, Ibu enggak mau ikut-ikutan. Cuman mau doain aja, ya." Wanita dengan penampilan feminim itu mengulas senyum padaku. Baguslah kalau dia tidak banyak tanya. Mau jawab apa nanti aku kalau begini ceritanya. Dapat suami yang katanya mau jemput, tapi malah telat setengah jam. "Makasih, Bu." Aku kembali melebarkan senyuman padanya. "Duluan ya, Nis."Aku mengangguk pada wanita yang sudah masuk ke dalam mobil mewah itu. Masih di depan lobi, aku berkali-kali menatap jam tangan yang sudah menunjukkan waktu hampir Maghr

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 6

    Pagi itu Bang Juned sudah keluar kamar lebih dulu. Sementara aku masih berpikir bagaimana caranya agar dia mau bicara denganku. Maksudku, mengatakan apa saja yang sudah dia ketahui soal aku dan Revan waktu itu. Ah, mengingat nama itu aku rasanya ingin mvntah. Menjij1kan sekali dan aku bersumpah jika bertemu dengannya lagi nanti, kupastikan akan memukulnya. "Ck, aku harus bilang gimana sama Bang Juned?" gumamku sendiri sambil mondar-mandir di depan meja rias. Tak lama setelah itu aku mencium aroma makanan yang begitu lezat. Sampai-sampai perutku pun langsung berbunyi. Aku lupa kalau sejak kemarin sore, perut belum diisi. Pintu kamar pun segera kubuka dan aroma makanan di atas kompor semakin kuat. Aroma smoky seperti daging panggang dan nasi goreng. Kepalaku menyembul dari balik dinding dapur. Kulihat memang lelaki itu sedang sibuk mengaduk masakan. Tapi, aku tak berani mendekatinya. Sampai ludah pun serasa ingin keluar karena aroma kelezatan makanan di atas meja yang sudah terlihat

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 5

    Sore itu, setelah selesai kerjaan di hotel, aku dihampiri langsung oleh Revan. Lelaki berwajah oriental itu menyentuh tanganku di depan lobi. Sontak, aku pun langsung menghempaskannya. Kutarik napas dalam-dalam lalu bertanya, "Aku enggak punya banyak waktu." Dia hanya tersenyum awalnya. Setelah itu menatap ke depan dan tiba-tiba menarik tanganku. "Masuk mobil dulu, Sayang! Aku mau kasih kejutan enggak di sini."Tubuhku dia paksa masuk ke dalam mobilnya. Lalu dia masuk dan menyalakan mobil. Kendaraan roda empat ini kini melaju ke depan. Rasa-rasanya perasaanku mendadak tak enak. Apalagi melihat gelagat lelaki itu. Tatapannya agak aneh karena sejak tadi senyam-senyum tidak jelas."Sebenarnya kita mau ke mana, sih? Jangan jauh-jauh! Sekarang aku bukan lagi calon istri kamu!" Aku berusaha mengingatkan dia lagi. Namun, reaksi Revan malah diam saja. Dia fokus pada kemudinya dan menambah kecepatan laju kendaraan yang kami naiki. Kanan kiri kulihat tampak asing jalanan ini. Aku menatap jam

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 4

    "Kenapa enggak diangkat?" tanya lelaki itu. "Dari manusia paling menyebalkan." Malas sekali menyebut nama lelaki di seberang sana itu. "Revan, kan?" tanyanya lagi. Orang ini punya Kodam apa, ya? Kenapa dia bisa tahu apa pun yang aku pikirkan. Kenapa juga dia bisa peka saat aku butuh apa-apa? "Ck, biasa. Malas aku bicara tentang dia. Aku blok aja nanti.""Angkat, gih! Siapa tau penting," jawabnya lagi. "Abang enggak masalahin kalau aku angkat telpon dari mantan aku?""Ya, sebenarnya masalah. Cuman, siapa tau aja penting. Atau, biar aku saja yang angkat."Aku tak membalas dan membiarkan Bang Juned yang mengangkatnya. "Assalamualaikum?""Assalamualaikum?" Kening Bang Juned berkerut sambil menatap layar ponsel yang masih menyala itu berkali-kali. "Kenapa enggak ada suaranya, ya? Hp kamu enggak eror kan ini, Nis?" "Ck, ya enggak lah, Bang. Itu hp baru. Enak aja eror. Kayaknya yang nelpon yang eror.""Oh, mungkin saja." Dia meletakkan ponselku di atas meja dan kami kembali menikmati

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 3

    Haduh, bagaimana ini? Aku tidak punya stok pembalut lagi. Mana Bang Juned lama sekali. Aku harus menyuruh siapa? Malu lah kalau harus minta tolong pelayan hotel. Kan mereka kebanyakan laki-laki. Saat aku berjalan ke kamar mandi sambil menahan kaki yang sakit, tiba-tiba suara ketukan pada pintu membuatku kaget. Siapa yang mengetuk? Mungkinkah Bang Juned? Katanya jam sembilan baru sampai. Perlahan kuintip dari lubang pintu setelah melangkah dengan merayap. Ternyata benar, lelaki itu yang datang. Syukurlah kalau dia sudah kembali. Pintu pun langsung kubuka dan dia masuk dengan wajah berkeringat. Lelaki itu menarik kopernya lalu meletakkan topi kerjanya di atas meja. "Kamu butuh apa, sih? Sampai buat aku enggak tenang kerjanya. Kamu tau enggak, saat aku di pesawat tadi, aku jadi enggak fokus tau!" Mengomel saja terus! Rasanya ingin aku jitak kepalanya. Pulang-pulang malah bicara panjang lebar. Bukannya tanya baik-baik, butuh apa istrinya ini. Eh, malah merembet ke mana-mana. Memangnya

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 2

    "Udah, jangan nangis! Udah terlanjur juga," ucap Bang Juned saat aku sesenggukan di atas tempat tidurnya. "Kita jalani aja dulu." Enak sekali dia bicara. "Bukan itu. Aku cuma masih sakit hati aja ngeliat Mas Revan sama April. Tega sekali mereka," balasku tanpa menatap lelaki yang duduk di depan cermin rias itu. "Papa juga tadi kaget, aku takut kumat aja penyakit jantungnya.""Oh, mereka. Buat apa dipikirkan? Harusnya kamu bersyukur. Enggak jadi nikah sama laki-laki model kayak dia," balas Bang Juned lagi. "Tapi malah nikah sama Bang Juned. Sama aja apes." "Juna, bukan Juned! Kamu kira aku pacarnya Mumun apa?""Ya emang namanya Juned, kan?""Junaid, Nisa! J u n a i d. Jangan sembarangan diganti-ganti nama orang! Oh ya, aku ada penerbangan lagi nanti jam sebelas malam. Kamu di sini sendirian berani, kan?" katanya lagi. "Enggak, ah. Aku pulang aja.""Kamu kan enggak boleh pulang kata papa kamu. Kamu harus ikut aku terus."Aku terdiam lagi. Memang benar apa kata lelaki itu. Kulihat la

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 1

    "Jangan, Mas! Nanti ketahuan sama calon istri kamu," lirih seorang wanita yang tak lain adalah sahabatku sendiri. Dia mendorong sedikit dada bidang lelaki yang harusnya kini duduk di depan penghulu bersamaku. "Dia tidak akan tau. Sudahlah, ikuti saja apa yang kumau! Lagi pula, dia tidak akan ke sini. Bahkan, dia tidak akan berani membantah setiap ucapanku," balas seorang pria berjas hitam lengkap dengan bunga mawar di bagian sakunya. Dadaku perih melihat dua orang yang tengah bersembunyi di balik dinding dalam gedung ini. Teganya mereka bermain api di belakangku, di saat akad sebentar lagi akan berlangsung. Air mata sudah menganak sungai, gaun pengantin menjuntai ingin segera kulepas dan pergi saja dari sini. Namun, sayangnya aku teringat dengan kedua orang tuaku yang sudah pasti panik di dalam sana karena aku tak kunjung kembali. "Jadi, kamu akan tetap menikahi dia?" tanya April, gadis itu membelai wajah Mas Revan, lelaki yang tadi alasan ingin ke toilet. Tapi, kenyataannya malah

DMCA.com Protection Status