Share

Bab 4

Penulis: Goresan Pena93
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-22 08:34:08

"Kenapa enggak diangkat?" tanya lelaki itu.

"Dari manusia paling menyebalkan." Malas sekali menyebut nama lelaki di seberang sana itu.

"Revan, kan?" tanyanya lagi.

Orang ini punya Kodam apa, ya? Kenapa dia bisa tahu apa pun yang aku pikirkan. Kenapa juga dia bisa peka saat aku butuh apa-apa? "Ck, biasa. Malas aku bicara tentang dia. Aku blok aja nanti."

"Angkat, gih! Siapa tau penting," jawabnya lagi.

"Abang enggak masalahin kalau aku angkat telpon dari mantan aku?"

"Ya, sebenarnya masalah. Cuman, siapa tau aja penting. Atau, biar aku saja yang angkat."

Aku tak membalas dan membiarkan Bang Juned yang mengangkatnya. "Assalamualaikum?"

"Assalamualaikum?" Kening Bang Juned berkerut sambil menatap layar ponsel yang masih menyala itu berkali-kali.

"Kenapa enggak ada suaranya, ya? Hp kamu enggak eror kan ini, Nis?"

"Ck, ya enggak lah, Bang. Itu hp baru. Enak aja eror. Kayaknya yang nelpon yang eror."

"Oh, mungkin saja." Dia meletakkan ponselku di atas meja dan kami kembali menikmati makan malam ini.

***

Aku cukup tahu diri, setelah makan kubantu dia mencuci piring dan gelas. Sementara Bang Juned mengelap meja makan. "Bang, aku duluan." Sejak tadi mulutku tak berhenti menguap.

"Hem. Jangan lupa matikan lampu!" balasnya, masih terus mengelap meja.

"Iya-iya."

Akan tetapi, sampai di kamar aku malah tak jadi mengantuk. Kamar ini terlihat tak begitu luas. Apalagi tempat tidurnya. Terlihat sangat sempit jika dipakai berdua. Dan aku, memang tak mau tidur berdua dengan Bang Juned di sana.

Kutarik selimut dan bantal yang ada di atas tempat tidur lalu merebahkan di sofa panjang dalam kamar ini. Aku pun langsung terlelap karena kekenyangan sekaligus lelah. Entah sudah jam berapa sekarang, saat aku terbangun karena tenggorokan kering. Tiba-tiba saja tubuhku sudah berada di atas tempat tidur dengan selimut menutupi sekujur tubuh.

Sontak mataku langsung melotot dan segera mengecek pakaian. Untungnya masih lengkap, dan pikiranku spontan langsung mengarah ke hal-hal yang tidak wajar tadinya. Setelah menghela napas lega, kini aku melihat Bang Juned yang tidur di atas sofa panjang. Apa dia yang mengangkatku ke sini tadi?

Setelah meneguk air putih di atas nakas, tak lama kudengar suara azan dari luar. Lelaki itu mulai menggeliat. Dia langsung duduk, dan menatapku. "Udah bangun?"

"Udah. Kenapa Abang tidur di situ?" tanyaku balik.

"Maunya sih tidur di sebelah kamu. Tapi, takut kamu mukul tadi malam karena kaget."

"Ih, ya jelas kaget lah."

"Ya udah, kamu duluan gih ke kamar mandi. Siap-siap salat Subuh!"

"Abang duluan aja! Aku kan enggak sholat."

"Oh iya, aku lupa. Ya udah." Bang Juned lantas berdiri, lalu dia pergi ke kamar mandi.

Pagi yang begitu cerah, udara segar menerpa wajahku setelah membuka mata. Kulihat jendela sudah terbuka dan tampak pria gagah merapikan kancing bajunya di depan cermin. "Udah bangun kamu?"

"Bang!" Aku tersentak. "Jam berapa ini? Kenapa enggak bangunkan aku?" Aku segera turun dari kasur dan mencari handuk.

"Habisnya kamu kayak kecapekan banget. Enggak tega aku bangunkan kamu. Ditinggal mandi sebentar saja, tidur lagi. Untungnya aku enggak jadi khilaf." Dia tertawa.

"Apa? Khilaf? Awas saja kalau kesampaian!"

"Ya udah mandi buruan! Apa mau dimandiin?" Dia malah tertawa. Menyebalkan sekali baru dua hari menjadi istrinya.

Yang tadi katanya tidak bisa mengantar ke tempat kerja, nyatanya lelaki itu sanggup mengantar. Dia mengantar sampai ke depan gerbang, lalu memintaku untuk selalu berkabar dengannya nanti kalau sudah ada waktu.

"Jangan lupa makan bekalnya! Kamu kan enggak sempat sarapan tadi," katanya setelah aku melepas sabuk pengaman.

"Iya-iya, Kang Bawel."

"Panggilnya yang romantis napa, sih?" Dia mulai memasang wajah kesal.

"Iya-iya, Bang Juned."

"Dibilang aku bukan Juned. Juna! J U N A!"

"Hem. Iya-iya." Saat aku akan keluar, dia malah mengunci pintu mobilnya.

Seketika aku langsung ikut kesal. "Bukain kuncinya, Bang!"

"Salim dulu, dong! Sama suami gitu aja masa pakai diajarin? Apa malam pertama nanti juga perlu diajarin juga?"

"Heh! No! Enggak akan ada malam pertama atau seterusnya, ya!"

Andai ada sandal jepit, mungkin aku sudah menggigitnya. Lelaki ini membuatku gemas pagi-pagi. Apalagi senyumannya yang dia sengaja itu. Aku pun terpaksa menuruti apa maunya. Untung masih sebatas salim tangan, bukan yang lainnya.

"Yakin cuman cium tangan?" Dia kembali membuatku bersungut.

Lepas itu pun aku keluar dari mobil setelah dia membuka smart lock mobil. Aku berjalan dengan buru-buru karena ada janji dengan Vivian--sahabatku untuk membahas soal kerjaan. Namun, sampai di lorong gedung ini malah bertemu dengan Revan. Lelaki itu tersenyum melihatku datang.

"Nisa ...." Dia hendak memelukku. Akan tetapi, aku pun langsung menjauh.

Aku tak mau mendengarkan apa pun yang akan dia katakan. Tak sampai di situ, Revan mengejarku. Dia tak henti-hentinya menarik tanganku ketika telah mendapatkanku. "Tunggu, Nisa!"

"Apa lagi sih, Van!" bentakku saking emosinya.

"Kamu sekarang manggil aku dengan nama?" Dia kaget saat aku sudah tidak lagi memanggilnya dengan sebutan kesayangan.

"Harusnya apa?"

"Kamu udah enggak sayang lagi sama aku, Nisa?"

"Mimpi kamu, Van!"

"Nisa! Aku mau bicara!" Dia kembali menarik tanganku saat aku akan pergi.

"Apa, sih! Jangan sentuh aku!"

"Aku sama April enggak ada hubungan apa-apa, Nisa."

"Aku enggak peduli! Bukan urusanku!"

"Nisa, plis, kita balikan, ya! Aku masih mencintaimu."

"Lepaskan tanganku, Van! Atau aku teriak."

Dia langsung melepaskannya. "Oke. Aku lepaskan. Tapi, aku butuh waktu bicara denganmu. Tolonglah, Nis. Percayalah padaku."

Mungkin semua orang akan mengataiku bodoh karena masih mau mendengarkan ucapan lelaki yang sudah berkhianat ini. Siang itu setelah selesai kuliah, dia mengajakku ke sebuah restoran untuk makan siang. Meskipun aku tahu dia sudah bermain api di belakangku, perasaanku padanya belum sepenuhnya hilang.

Apa karena aku terlalu mencintainya dahulu? Hatiku menjerit saat berpikir dengan logika. Kenapa aku bisa duduk bersama dengannya di sini? Aku menunduk sejak tadi. Dan Revan, mulai menyentuh tanganku.

"Jujur, Nis, aku melakukan itu semua karena aku butuh uang. Semua itu atas permintaan seseorang yang menginginkan kehancuran hubungan kita," ucapnya dengan wajah begitu sedih.

"Apa?" Aku terkejut sejadi-jadinya. "Siapa yang menyuruh kamu?"

"Aku tidak bisa bilang. Aku diancam. Tapi, jujur aku menyesal sekali gagal menikah denganmu."

Entah benar atau tidak, rasanya sakit itu kembali menghapus kebencian di hatiku. "Kalau kamu enggak mau bilang, berarti kamu bohong!"

"Aku serius, Nisa. Percayalah padaku! Nanti sore, kamu ada acara enggak? Aku mau ajak kamu ke suatu tempat."

"Ke mana?" Aku mengernyit.

"Ada kejutan buat kamu. Yang jelas, kamu tidak akan menyesal."

Haruskah aku percaya dengan lelaki ini? Sebenarnya dia ini seperti apa? Lima tahun aku mengenalnya, rasanya belum cukup untuk menjelaskan siapa dia. Aku masih diam dan tidak memberi jawaban.

Bab terkait

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 5

    Sore itu, setelah selesai kerjaan di hotel, aku dihampiri langsung oleh Revan. Lelaki berwajah oriental itu menyentuh tanganku di depan lobi. Sontak, aku pun langsung menghempaskannya. Kutarik napas dalam-dalam lalu bertanya, "Aku enggak punya banyak waktu." Dia hanya tersenyum awalnya. Setelah itu menatap ke depan dan tiba-tiba menarik tanganku. "Masuk mobil dulu, Sayang! Aku mau kasih kejutan enggak di sini."Tubuhku dia paksa masuk ke dalam mobilnya. Lalu dia masuk dan menyalakan mobil. Kendaraan roda empat ini kini melaju ke depan. Rasa-rasanya perasaanku mendadak tak enak. Apalagi melihat gelagat lelaki itu. Tatapannya agak aneh karena sejak tadi senyam-senyum tidak jelas."Sebenarnya kita mau ke mana, sih? Jangan jauh-jauh! Sekarang aku bukan lagi calon istri kamu!" Aku berusaha mengingatkan dia lagi. Namun, reaksi Revan malah diam saja. Dia fokus pada kemudinya dan menambah kecepatan laju kendaraan yang kami naiki. Kanan kiri kulihat tampak asing jalanan ini. Aku menatap jam

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-22
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 6

    Pagi itu Bang Juned sudah keluar kamar lebih dulu. Sementara aku masih berpikir bagaimana caranya agar dia mau bicara denganku. Maksudku, mengatakan apa saja yang sudah dia ketahui soal aku dan Revan waktu itu. Ah, mengingat nama itu aku rasanya ingin mvntah. Menjij1kan sekali dan aku bersumpah jika bertemu dengannya lagi nanti, kupastikan akan memukulnya. "Ck, aku harus bilang gimana sama Bang Juned?" gumamku sendiri sambil mondar-mandir di depan meja rias. Tak lama setelah itu aku mencium aroma makanan yang begitu lezat. Sampai-sampai perutku pun langsung berbunyi. Aku lupa kalau sejak kemarin sore, perut belum diisi. Pintu kamar pun segera kubuka dan aroma makanan di atas kompor semakin kuat. Aroma smoky seperti daging panggang dan nasi goreng. Kepalaku menyembul dari balik dinding dapur. Kulihat memang lelaki itu sedang sibuk mengaduk masakan. Tapi, aku tak berani mendekatinya. Sampai ludah pun serasa ingin keluar karena aroma kelezatan makanan di atas meja yang sudah terlihat

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 7

    "Cieee, nungguin suami, ya?" Aku terkejut mendengar sindiran yang terdengar tiba-tiba dari belakang. Aku pun langsung mengulas senyuman pada pemilik hotel tempatku kerja itu. "Bisa aja, Buk." "Selamat ya, Nis. Oh ya, jadi sekarang yang kamu nikahin itu bukan si Revan, ya?" Duh, kepo banget ini atasan. "Bukan, Buk. Ceritanya kan panjang. Kan, Bu Rizkia ada di sana waktu itu." Aku meringis kuda. "Ya udah deh, yang penting kalian bahagia. Masalah rumah tangga atau pribadi kamu, Ibu enggak mau ikut-ikutan. Cuman mau doain aja, ya." Wanita dengan penampilan feminim itu mengulas senyum padaku. Baguslah kalau dia tidak banyak tanya. Mau jawab apa nanti aku kalau begini ceritanya. Dapat suami yang katanya mau jemput, tapi malah telat setengah jam. "Makasih, Bu." Aku kembali melebarkan senyuman padanya. "Duluan ya, Nis."Aku mengangguk pada wanita yang sudah masuk ke dalam mobil mewah itu. Masih di depan lobi, aku berkali-kali menatap jam tangan yang sudah menunjukkan waktu hampir Maghr

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 8

    Suara ketukannya makin kencang. Sekujur tubuhku berubah panas dingin. Aku memutuskan untuk meraih bantal dan bersiap memukulnya. Tidak. Bantal ini tidak akan membuat dia kapok. Aku harus cari alat yang bisa digunakan untuk membela diri nanti. Setelah kutemukan sebuah sapu di pojok ruangan dapur, aku pun mengendap-endap ke arah pintu utama. Tiba-tiba saja tanpa aba-aba pintu itu terbuka karena dorongan dari luar. Sontak dengan refleks pun aku memukul sosok pria yang masuk tanpa permisi itu. "Rasain, tuh! Maling!""Maling!""Rampok!" Aku sudah sekuat tenaga memukulinya sambil berteriak kencang. Namun, sepertinya hujan deras telah menelan suaraku hingga tak satu pun ada orang yang datang untuk menolong. "Maling kamu, ya! Rasakan ini!" "Eh! Nisa!""Nisa, jangan!""Jangan! Ini aku!" Tunggu! Sepertinya aku kenal dengan suara itu. Lampu segera kunyalakan semua dan menatap lelaki yang terlihat memakai mantel hujan itu. Dia ambruk di lantai sambil merintih kesakitan. "Aduh, ya Allah. Saki

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-10
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 9

    Aku jadi takut ingin keluar dari kamar mandi. Lelaki itu pasti sedang menungguku. Bukannya aku menolak perintah suami, tapi aku belum siap saja kalau harus nurutin semua kemauan dia. Pasti nanti ngelunjak. Minta ini, minta itu, bisa-bisa minta yang di luar pikiranku. Setelah kubuka pintu, ternyata kamar dalam keadaan kosong. Ke mana lelaki itu? Satu jam berlalu, Bang Juned tidak ada masuk kamar lagi. Dia ke mana?Ketika gagang pintu berputar, aku pun terlonjak kaget. Jantung kembali seperti dipermainkan olehnya. Masuk ke kamar, pria itu langsung mengulas senyuman. Mana senyumannya sangat mencurigakan. Setelan baju taqwa putih dengan sarung kotak-kotak menambah kesah paripurna sosok tinggi tegap itu. Apalagi wajahnya yang terlihat segar dari sebelumnya. Meskipun masih ada bekas ulahku semalam di sudut bibirnya, dia tetap tampan. "Assalamualaikum?""Wa'alaykumsalam," jawabku seraya mengalihkan tatapan ketika dia kembali tersenyum. Aku yang masih duduk di bibir ranjang pun segera ber

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-11
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 10

    "Pokoknya aku enggak mau nanti kalau mama kamu ngasih jamu-jamuan, Bang." Aku masih terus mengomel sepanjang mengantar Bang Juna sampai di depan gerbang rumah. Mobil jemputan sudah menunggunya, tapi Bang Juna masih berdiri menatapku. "Ya gimana mau dibikinin jamu tapi kamunya enggak mau aku ajakin. Baru dipegang aja panas dingin gitu." Dia tertawa kecil."Ogah. Enggak mau aku." "Ya udah, aku berangkat dulu, ya. Nanti kalau aku telpon, tolong diangkat!""Mau apa emangnya?""Mau nanya kabar kamu lah. Masa mau apa. Orang cuman ditelpon doang.""Ih, kirain mau apa." Aku menepuk lengannya karena kesal. "Habisnya kalau bilang langsung pasti kamu enggak percaya.""Idih, apaan, sih. Mulai lagi, deh. Ya udah sana berangkat!" "Iya-iya. Pengen banget, sih, aku segera pergi. Kamu enggak suka deket-deket aku?""Lah, udah ditungguin sama sopir itu loh, Bang. Enggak enak lah."Masih saja dia tertawa. Tiba-tiba dia mencubit pipiku sebelum melangkah. "Bang! Rese," gerutuku. "Daaa. Assalamualaikum

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-11
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 11

    Kugendong Nisa lalu membawanya pulang ke rumahnya. Tidak mungkin kubawa ke rumahku karena di sana ada papa mama. Bisa-bisa malah jadi masalah baru nanti. Apalagi Nisa adalah menantu kesayangan mereka. Gadis itu masih menangis sambil berpegangan pada leherku. Kubawa dia masuk ke kamar, lalu menurunkannya di atas ranjang. Saat aku hendak meninggalkannya sebentar, tiba-tiba dia mendadak memegang tanganku. "Abang, jangan tinggalkan aku!" Aku tersenyum lembut, lalu duduk di dekatnya. Kuusap air mata yang membuat matanya sembab itu. "Aku hanya mau ambil minum dulu. Kamu tunggu sebentar di sini!"Dia menggeleng kepalanya. "Aku takut."Kuraih tubuhnya, lalu memeluk dan memberikan kehangatan. "Jangan takut! Aku akan ada di sini menemanimu. Mau cerita sekarang apa nanti aja?""Sekarang." Dia mendongak. Lalu merenggangkan pelukanku. "Tadi aku resign."Aku langsung membenahi posisi duduk. Memilih duduk di sebelahnya sambil menyelimuti setengah badan. Kuminta dia merebahkan kepalanya pada dada

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 12

    Bang Juna mendekatiku setelah aku bilang ingin keluar. Dia pasti protes. Padahal kan aku izin keluar karena memang ada perlu. Lelaki berkulit putih itu menatapku lekat. "Mau ke mana, sih?"Aku belum bisa menjawabnya karena sikapnya yang makin mendekat itu membuatku jantungan. "Bang, mundur!" Kudorong tubuhnya yang hampir membuat kotor pikiranku. Aku bangkit meski badan masih terasa sakit semua. "Kamu masih sakit," ungkapnya lagi. "Aku ada urusan sama kakakku. Kami ada kerjasama barengan."Tangannya yang dingin itu menyentuh keningku. "Kamu yakin bakal kuat? Badan kamu aja masih demam.""Enggak apa-apa.""Nanti kalau pingsan gimana? Aku pulangnya malem, loh.""Abang enggak usah khawatir. Aku kan pergi sama kakak aku.""Biar dia ke sini aja."Di saat aku tengah kecewa dengan seorang pria yang akan menjadi suamiku waktu itu, Allah hadirkan lelaki ini yang jauh lebih baik dan lebih tampan. Tak sadar, aku sudah menatapnya lebih lama. Dia menyentuh pipiku hingga aku sadar. "Eh, em. Ya u

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12

Bab terbaru

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 104

    Pagi ini aku sangat sibuk dengan kerjaan kantor. Bolak-balik meninggalkan Humaira yang perutnya sudah membesar, rasanya hatiku tak tenang. Dia adalah belahan jiwaku yang di mana, rasa sakit atau apa pun yang menimpanya, aku pasti juga merasakannya. Seperti sekarang ini. Tiba-tiba perutku tak enak saat sedang meeting jam dua siang. Tiba-tiba pula aku ingat perkataanku saat itu kalau andai aku bisa ikut mengurasi rasa sakit melahirkan istriku, aku siap. Tapi, beberapa hari ini rasa sakit aneh ini mulai merajai. Keringat dingin keluar melalui pori-pori saat aku sedang presentasi di depan klien dan atasan. Sampai aku dibilang gerogi juga. Padahal sedang menahan mulas. "Kamu enggak apa-apa, Jay?" tanya atasanku saat kami selesai pertemuan di sebuah gedung. "Enggak, Pak. Aman." Sebisa mungkin aku mengulas senyuman. "Pucet banget mukamu. Sakit? Atau masih ada efek gerogi? Tumben banget kamu," lanjut pria paruh baya dengan setelan jas hitam itu. "Enggak apa-apa, Pak. Saya cuman khawatir

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 103

    "Enak makanannya?" tanyaku saat Humaira menikmati setiap suapan. Dia hanya mengangguk, tapi terus melahap setiap sendok makanan ke mulutnya. Malam itu, tepatnya setelah dua bulan kami tak melihat Mbak Julia datang ke rumah lagi. Hidup kami serasa di dalam surga dunia. Setiap waktu sangat berharga bagiku. Apalagi, dia sangat ingin dimanja setiap saat. "Habis ini jalan ke mana, Dek?" "Aku udah kenyang. Tapi, baiknya jangan langsung pulang," balasnya sangat menohok. Pasti ada udang di balik batu. "Uhuk." Aku hampir saja menyembur karena tersedak. "Pelan-pelan, Mas!" Dia meraih tisu, lalu mengusap bibirku. "Habisnya, kamu lucu. Masih mau jalan? Mau nyari apa?""Enggak. Cuman kan habis makan, jangan duduk aja. Jalan-jalan lagi, kata orang."Aku menahan tawa. "Pengen apa, sih? Bilang aja! Mas jabaning, kok.""Beneran?" Kedua matanya berbinar-binar. "Tuh, kan, pasti pengen sesuatu. Mau apa?" "Aku mau ... ngasih Mas ini." Dia menyodorkan kotak persegi yang ukurannya sebesar kotak nasi

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 102

    Aku memeluk raga yang dingin malam itu. Dia memunggungiku karena curiga. Tak masalah dia curiga, dan memang pantas dia seperti itu karena selama ini, aku belum bisa sepenuhnya jujur. Aku tidak tega dengan Mbak Julia, karena dia yang selama ini merawat kakak kandungku yang kelakuannya seperti itu. Ingin mengabaikan, tapi selalu merasa bersalah. Takut memutuskan silaturahmi. Tadi dia menelponku karena ingin tinggal di sini. Memaksa agar aku mengizinkan dia satu atap denganku dan Mai. Tapi, aku menolaknya. Tidak masalah kalau setiap bulan aku kirim uang padanya. Asalkan di tidak meminta tinggal di sini. Namun, yang ada malah Mai yang curiga. Dia pasti mikir yang enggak-enggak. Lagipula, ini memang tugasku juga meyakinkan dia kalau aku hanya mencintai dia. "Dek ....""Hem." Dia masih menjawab meskipun dingin. "Mas minta maaf, ya.""Bukan hari lebaran."Aku ingin tertawa rasanya. "Mas tadi ditelpon Mbak Julia. Mas jujur, loh. Jangan marah dulu.""Males.""Dengerin, Dek. Mas nolak dia,

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 101

    "Kalian mau ngapain sih, Mas? Aku boleh ikut enggak? Perasaanku enggak enak kalau kalian ketemuan berdua gitu."Sambil sarapan, aku mengutarakan isi hatiku pada Mas Jaya. Lelaki gagah yang tampak rapi itu mengulas senyuman. Sambil mengunyah, dia membalas, "Kamu tenang aja, Dek. Mas juga tau siapa dia. Mas enggak akan tanggapi dia."Tak lama, ponsel di dalam saku Mas Jaya bergetar. Dia menatap layar ponselnya seraya mengernyit. "Baru juga diomongin, dia udah telpon.""Siapa? Mbak Julia?" Aku langsung paham. "Iya." Mas Jaya langsung mengangkat. "Assalamualaikum? Ada apa, Mbak?"Awalnya aku acuh, tak mau dengar karena kesal duluan. Namun, setelah melihat ekspresi Mas Jaya yang kaget dengan raut tegang. "Iya, Mbak. Aku ke sana sekarang." Setelah itu dia menutup panggilan. Dia menatapku lalu berkata, "Dek, kamu mau ikut enggak?""Ke mana?" Pura-pura tidak tahu saja lah aku. "Mas Fandi meninggal. Mbak Julia bingung dan minta aku untuk ikut urus pemakaman.""Innalillahi. Serius, Mas?" Ak

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 100

    "Maaf ya, Mas." Aku membuka pintu dengan wajah menunduk. Mas Jaya tersenyum membalasnya. "Enggak apa-apa. Lagian, masih banyak waktu juga. Oh ya, kita istirahat aja, ya. Aku tau, kamu pasti capek."Lelaki itu menarik tanganku dan mengajaknya ke atas tempat tidur. Dia mengangkat kakiku lalu menutupinya dengan selimut. Pintu dia kunci, lalu lampu utama dia matikan. Seperti tidak ada apa-apa. Dadaku masih berdebar-debar saat dia mulai naik ke atas tempat tidur. Aroma wangi dari parfumnya membuatku gugup. "Dek."Aku mendelik sambil menelan ludah. "Iya, Mas?""Kamu enggak mau peluk aku?" Dia mengulas senyuman. Tatapannya masih ke atas, pada langit-langit kamar setelan merebahkan diri. "Aku ... aku ...." Kenapa harus tanya, sih. Udah pasti mau lah. Tapi aku malu kalau diminta duluan. Masa laki-laki tidak paham begituan. Ya harusnya dia lah yang mulai. "Kalau enggak mau, juga enggak apa-apa. Aku tidak memaksa." Lah, malah ngambek dia. "Bukan itu." Aku bingung jadinya. Apa dia tidak paha

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 99

    "Aku kenapa?" Sayup-sayup mata elang lelaki itu tak lagi taj4m. Dia terkulai lemas dia atas ranjang datar. Bibirnya semu putih pucat, menandakan keadaannya yang lemah. "Mas lagi di rumah sakit. Tadi tiba-tiba pingsan. Sekarang gimana rasanya? Apanya yang sakit?" Aku tanya dia balik. "Enggak ada. Asalkan liat kamu, semua sakitku hilang." Bibirnya melengkung manis. "Lagi sakit, bisa aja bercandanya. Lagian kenapa sih bisa sampe kena asam lambung? Mas enggak perhatiin kondisi diri sendiri, ya.""Aku kepikiran kamu terus. Aku takut kamu ....""Kenapa jadi overthinking begini sekarang?" Aku menghela napas. "Kapan kita nikahnya? Aku pengen cepet-cepet." Dia menyentuh tanganku. "Kita enggak akan nikah kalau Mas belum sembuh. Perhatikan dulu kondisi diri sendiri, sebelum mengurusi aku." "Iya-iya, Tuan Putri." Dia tertawa.Dua hari lelaki itu dalam perawatanku dan kini, agak aneh saja sifatnya. Makin manja dan ingin aku agar selalu di sampingnya. "Aku harus periksa pasien lagi, Mas." A

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 98

    "Mai, kamu harus segera memutuskan. Karena ini menyangkut masa depan. Terus, ta'aruf itu juga bukan jalan yang ditempuh dengan suka-suka. Ini melibatkan Allah, Nak."Mama menyentuh pundakku saat aku melamun memikirkan semua itu di dalam kamar. Suasana pagi yang cukup dingin setelah hujan membuatku malas beranjak dari sana. "Ini lagi aku pikirkan, Mah. Kenapa harus Mas Jaya lagi?" Aku meratapi nasibku sendiri. "Kamu tau, enggak, Mai? Dulu, Mama sama papa itu terpisah beberapa bulan lamanya. Mama yakin papa kamu masih hidup. Dan saat peristiwa itu ditutup, karena tak ada harapan lagi. Tapi, Allah mentakdirkan lain. Papa kamu ternyata masih hidup dan kembali lagi. Kamu jangan salah sangka soal takdir Tuhan. Karena semua itu banyak hikmahnya. Jangan-jangan, kamu memang jodoh Jay yang sesungguhnya.""Tapi, Ma. Mau harus gimana? Pasti dia juga kaget tadinya karena ternyata, akhwat yang dia inginkan bukan yang jauh lebih baik. Tapi mantan istrinya sendiri.""Kamu itu su'udzon aja! Buktinya

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 97

    "Jadi enggak ke sini?" Sebuah pesan akhirnya sampai juga padaku. Pesan singkat melalui aplikasi hijau itu dari Ustadz Firman yang kukenal belum lama ini. "Insyaallah, Ustadz. Tapi, saya deg-degan, nih. Saya takut mengecewakan akhwatnya.""Jangan khawatir, Mas. Kan saya temani nanti. Ada istri saya juga yang menemani dia.""Kalau dia enggak cocok sama saya gimana?" "Ya enggak masalah. Namanya juga masih nadzor. Mas banyakin dzikir aja. Siapa tau ini jawaban atas doa-doa Mas Jay selama ini."Menunggu pesan balasan dari ustadz itu, dadaku berdebar-debar. Seperti sedang menunggu hasil ujian saja. "Ya sudah, Ustadz. Saya berangkat sekarang.""Nah, gitu dong! Dari tadi kami tunggu ini. Sebagai laki-laki memang kita harusnya tidak mengecewakan pihak perempuan. Apa pun yang terjadi nanti, yakinlah kalau semua itu bagian dari ikhtiar kita. Semoga sukses ya, Mas.""Makasih, Ustadz."Pagi itu aku masih belum pakai baju setelah mandi karena menunggu balasan dari sang ustadz yang kebetulan memb

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 96

    "Lu enggak mau nikah lagi gitu? Udah lama lu duda, Bro!" Pertanyaan menohok itu membuatku tersedak saat makan siang. Aku pun langsung meneguk minuman segar di atas mejaku. "Apaan, sih! Rese. Enggak ada kek pertanyaan yang lebih berbobot daripada itu?" Aku menghela napas. "Bukannya gitu, lu entar ada acara di kantor, enggak bawa pasangan? Lu kek orang ngenes tau enggak, Bro?" Ada saja pertanyaan seperti ini lagi. Sampai tak nafsu makan lagi aku. Kuletakkan sendok garpu lagi, lalu mengusap kedua sudut bibir. "Biarin aje. Enggak usah ngurusin gue. Lagian juga gue udah enggak minta lagi punya istri." Aku menjawab asal saja. Niatnya agar Reno, rekan kerjaku itu berhenti bicara. "Buset, dah! Lu yang bener aje? Laki-laki normal itu pasti ada saat-saatnya pengen anu," sindirnya lagi. "Anu apaan? Jangan ngawur! Aku puasa kalau lagi pengen gituan. Istighfar, nyadari kalau enggak punya istri." Lagi-lagi aku mengingat masa lalu. "Ya udah, buruan lu nyari kek biar enggak puasa terus. Lu ja

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status