Share

Bab 10

Penulis: Goresan Pena93
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-11 09:44:15

"Pokoknya aku enggak mau nanti kalau mama kamu ngasih jamu-jamuan, Bang." Aku masih terus mengomel sepanjang mengantar Bang Juna sampai di depan gerbang rumah.

Mobil jemputan sudah menunggunya, tapi Bang Juna masih berdiri menatapku. "Ya gimana mau dibikinin jamu tapi kamunya enggak mau aku ajakin. Baru dipegang aja panas dingin gitu." Dia tertawa kecil.

"Ogah. Enggak mau aku."

"Ya udah, aku berangkat dulu, ya. Nanti kalau aku telpon, tolong diangkat!"

"Mau apa emangnya?"

"Mau nanya kabar kamu lah. Masa mau apa. Orang cuman ditelpon doang."

"Ih, kirain mau apa." Aku menepuk lengannya karena kesal.

"Habisnya kalau bilang langsung pasti kamu enggak percaya."

"Idih, apaan, sih. Mulai lagi, deh. Ya udah sana berangkat!"

"Iya-iya. Pengen banget, sih, aku segera pergi. Kamu enggak suka deket-deket aku?"

"Lah, udah ditungguin sama sopir itu loh, Bang. Enggak enak lah."

Masih saja dia tertawa. Tiba-tiba dia mencubit pipiku sebelum melangkah. "Bang! Rese," gerutuku.

"Daaa. Assalamualaikum
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mamahnya Rayhan
assalamualaikum Thor salam kenal ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 11

    Kugendong Nisa lalu membawanya pulang ke rumahnya. Tidak mungkin kubawa ke rumahku karena di sana ada papa mama. Bisa-bisa malah jadi masalah baru nanti. Apalagi Nisa adalah menantu kesayangan mereka. Gadis itu masih menangis sambil berpegangan pada leherku. Kubawa dia masuk ke kamar, lalu menurunkannya di atas ranjang. Saat aku hendak meninggalkannya sebentar, tiba-tiba dia mendadak memegang tanganku. "Abang, jangan tinggalkan aku!" Aku tersenyum lembut, lalu duduk di dekatnya. Kuusap air mata yang membuat matanya sembab itu. "Aku hanya mau ambil minum dulu. Kamu tunggu sebentar di sini!"Dia menggeleng kepalanya. "Aku takut."Kuraih tubuhnya, lalu memeluk dan memberikan kehangatan. "Jangan takut! Aku akan ada di sini menemanimu. Mau cerita sekarang apa nanti aja?""Sekarang." Dia mendongak. Lalu merenggangkan pelukanku. "Tadi aku resign."Aku langsung membenahi posisi duduk. Memilih duduk di sebelahnya sambil menyelimuti setengah badan. Kuminta dia merebahkan kepalanya pada dada

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 12

    Bang Juna mendekatiku setelah aku bilang ingin keluar. Dia pasti protes. Padahal kan aku izin keluar karena memang ada perlu. Lelaki berkulit putih itu menatapku lekat. "Mau ke mana, sih?"Aku belum bisa menjawabnya karena sikapnya yang makin mendekat itu membuatku jantungan. "Bang, mundur!" Kudorong tubuhnya yang hampir membuat kotor pikiranku. Aku bangkit meski badan masih terasa sakit semua. "Kamu masih sakit," ungkapnya lagi. "Aku ada urusan sama kakakku. Kami ada kerjasama barengan."Tangannya yang dingin itu menyentuh keningku. "Kamu yakin bakal kuat? Badan kamu aja masih demam.""Enggak apa-apa.""Nanti kalau pingsan gimana? Aku pulangnya malem, loh.""Abang enggak usah khawatir. Aku kan pergi sama kakak aku.""Biar dia ke sini aja."Di saat aku tengah kecewa dengan seorang pria yang akan menjadi suamiku waktu itu, Allah hadirkan lelaki ini yang jauh lebih baik dan lebih tampan. Tak sadar, aku sudah menatapnya lebih lama. Dia menyentuh pipiku hingga aku sadar. "Eh, em. Ya u

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 13

    Pandanganku kabur, perutku sakit. Saat membuka mata lebar-lebar, yang pertama kali kulihat adalah Bang Juna. Laki-laki itu tampak cemas sambil menggenggam tanganku. "Nisa, kamu udah enakan? Tadi kamu pingsan," ujarnya sambil membelai kepalaku. "Bang ... sakit banget perutku. Nyeri." Aku tak bisa banyak gerak. "Ini di mana?""Di rumah sakit. Kamu tau enggak? Kalau masih sakit, jangan minum kopi. Apalagi kamu punya riwayat asam lambung. Hem." Dia membuang napas dengan kasar. "Asam lambung, ya? Iya. Aku memang punya riwayat. Tapi, itu pun sudah lama dan aku enggak pernah ngalami lagi. Kenapa tiba-tiba kumat lagi, ya?""Kamu minum kopi saat badan lagi sakit. Pencernaan kamu lagi enggak baik," balasnya lagi. "Ya maaf deh kalau bikin Abang jadi repot." "Bukan gitu, Sayang. Aku cuman enggak mau liat kamu begini." Dia mencium tanganku. "Abang yang bawa aku ke sini?""Bukan. Tapi orang yang punya toko kue tempat kami ngopi tadi. Dia udah bawa kamu ke sini duluan. Baru ngabarin aku lewat

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 14

    "Bang!" Aku sudah berteriak memanggil pria itu. Namun, riuh suasana bandara ini sepertinya berhasil melebur suaraku di tengah-tengah mereka. Kulihat lelaki itu melangkah dengan wajah lelah. Dia berjalan menjauh sambil menarik koper hitamnya. Namun, kenapa wanita bersanggul itu tetap ikut dengannya? Mau ke mana mereka? Aku berusaha mengejar mereka, tapi keburu mereka masuk ke dalam taksi dan pergi entah ke mana. Aku mencoba menelpon Bang Juna. Tapi, tiba-tiba saja terdengar suara operator yang terdengar mengecewakan. Nomor Bang Juna tidak aktif. Mau ke mana mereka? Ya Allah, sudah hilang pula. Cepat sekali mobilnya. Aku masih bingung mencari kendaraan. Tak lama kemudian, sebuah taksi dari ujung sana berhenti di depanku. Aku pun segera meminta sang sopir untuk jalan dan mengejar taksi di depan sana. "Cepetan dikit, Pak! Keburu hilang nanti!" Aku gusar sambil terus mengomel. "Ya sabar, Mbak. Ini macet. Nanti malah ditilang polisi kalau ngebut. Bisa celaka juga kalau nabrak," balas

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 15

    "Sayang, kamu kenapa, sih? Aku minta maaf kalau semalam enggak pulang. Enggak ngabarin juga. Hpnya mati."Dia terus mengejarku sampai aku malas melihatnya. Sejauh ini tidak ada satu kata pun yang aku balas dari pertanyaannya. "Nisa, aku harus apa biar kamu senyum lagi?""Enggak ada." Aku lelah, lalu duduk di tepi ranjang. Tidak ada salahnya mungkin aku dengar dulu penjelasan dia. Siap tahu memang ada yang tidak bisa dia gambarkan. Tapi, aku yang gegabah dengan prasangka buruk. Lelaki itu mulai melepas pakaiannya dan hanya menyisakan celana pendek, di atas lutut. Aroma wangi dari tubuhnya menguar. Membuatku rindu sebenarnya. Tapi, gengsi lah. Orang dia yang bikin aku kesal. Ke mana coba semalaman?"Nisa, jangan marah, ya! Semalam aku jemput oma di Surabaya. Mendadak. Dan saat kami berangkat akan kembali ke Jakarta, di bandara sama hujan deras. Cuaca buruk, dan akhirnya terpaksa dibatalkan. Baru pagi ini sampai."Lelaki itu mencium kepalaku. "Kenapa enggak dari awal aja sih ngabarin?

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 16

    "Jangan bilang begitu! Kamu hanya belum tau cerita sebenarnya aja," ucapku kala itu. "Ya udah, sekarang ceritakan!" balas Nisa sambil melengos. Dia tak sudi menatapku. "Aku ... aku bingung saat itu minta tolong ke siapa lagi. Saat kami masih dalam keadaan pas-pasan. Saat itu aku sedang dalam proses menambah jam terbang. Belum seperti sekarang pokoknya. Papa sakit jantung. Butuh biaya besar untuk operasi. Dan hanya keluarga Vania yang bisa bantu saat itu.""Terus? Dengan bantu biaya operasi, langsung disuruh nikahin?" Nisa menyerobot tanpa rem. Bibirnya yang mungil itu sungguh membuatku gemas. Tidak bisa tenang mendengarkan dulu, barang sebentar saja."Dengarkan dulu, kalau enggak mau diem dulu nanti aku ....""Apa? Abang bakal ninggalin aku?" "Ck, bukan itu, Sayang. Ya Allah, kamu ini. Nanti aku enggak jadi cerita, malah ngajakin kamu bikin cucu buat mama papa, loh. Mau enggak?" Aku tertawa di tengah suasana genting. "Ya udah terusin!"Aku menghela napas panjang sambil memanjangka

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 17

    "Aku berangkat dulu ya, Sayang. Jaga diri di rumah!" Lelaki berseragam pilot itu mencium keningku ketika kami masih di dalam kamar. "Bang Juna pulang jam berapa?" tanyaku ganti. "Aku ada empat jam penerbangan hari ini. Selama empat kali take off. Kenapa? Kamu mau nitip apa?""Nitip jaga mata dan hatinya aja. Sejak tau Abang kerjanya ternyata satu tempat sama wanita itu, aku jadi merasa over thinking."Tangan berotot itu membelai kepalaku. "Harus dengan apa aku membuktikan kalau aku ini pria yang tidak suka main hati?""Aku enggak tau, Bang. Setelah aku percaya dan menyerahkan separuh hatiku padamu, rasanya aku terlalu takut kehilangan dan dipermainkan. Abang tau, kan, aku sudah pernah dikhianati.""Iya, Sayang. Aku tau. Percayalah padaku.""Aku izin nanti siang ketemu temen," balasku lagi. "Hati-hati tapi, ya! Selalu beri aku kabar!"Aku mengangguk. Lalu lelaki itu keluar tanpa kuantar sampai ke depan pintu. Aku lelah sekali rasanya pagi ini. Bukan karena habis melakukan aktivitas

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 18

    Sudah jam empat sore, aku bersiap pulang karena sudah tidak ada lagi jam terbang. Kutarik koper dengan buru-buru karena tak sabar ingin bertemu dengan Nisa. Setelah beberapa kali menatap jam di tangan, aku langsung masuk ke dalam mobil antar jemput. Kulihat jalanan tidak terlalu padat sore ini. Aku juga masih sempat membelikan cheesecake. Sampai di depan rumah, aku membuka gerbang sendiri. Keadaan depan rumah tak karuan, terlihat dari kursi jaga di pos tampak berguling. Aku tak segan membenahinya. Lalu kembali berjalan ke depan. Sepertinya ada tamu, karena ada mobil asing di dekat mobil mama. "Assalamualaikum?" Aku membuka pintu. Yang kulihat pertama adalah mama. Mama menangis di sampingnya ada Vania dan oma. "Mah, ada apa?" Aku kaget dan bergegas mendekat. Saat mama masih sesenggukan, oma yang menyahut dengan nada marah. "Istri kamu sudah main gil4 sama Rian!""Apa? Rian?" Dadaku berdegup kencang. Itu pasti hanya akal-akalan oma saja. "Tidak mungkin, Oma. Bahkan Nisa tidak perna

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12

Bab terbaru

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 104

    Pagi ini aku sangat sibuk dengan kerjaan kantor. Bolak-balik meninggalkan Humaira yang perutnya sudah membesar, rasanya hatiku tak tenang. Dia adalah belahan jiwaku yang di mana, rasa sakit atau apa pun yang menimpanya, aku pasti juga merasakannya. Seperti sekarang ini. Tiba-tiba perutku tak enak saat sedang meeting jam dua siang. Tiba-tiba pula aku ingat perkataanku saat itu kalau andai aku bisa ikut mengurasi rasa sakit melahirkan istriku, aku siap. Tapi, beberapa hari ini rasa sakit aneh ini mulai merajai. Keringat dingin keluar melalui pori-pori saat aku sedang presentasi di depan klien dan atasan. Sampai aku dibilang gerogi juga. Padahal sedang menahan mulas. "Kamu enggak apa-apa, Jay?" tanya atasanku saat kami selesai pertemuan di sebuah gedung. "Enggak, Pak. Aman." Sebisa mungkin aku mengulas senyuman. "Pucet banget mukamu. Sakit? Atau masih ada efek gerogi? Tumben banget kamu," lanjut pria paruh baya dengan setelan jas hitam itu. "Enggak apa-apa, Pak. Saya cuman khawatir

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 103

    "Enak makanannya?" tanyaku saat Humaira menikmati setiap suapan. Dia hanya mengangguk, tapi terus melahap setiap sendok makanan ke mulutnya. Malam itu, tepatnya setelah dua bulan kami tak melihat Mbak Julia datang ke rumah lagi. Hidup kami serasa di dalam surga dunia. Setiap waktu sangat berharga bagiku. Apalagi, dia sangat ingin dimanja setiap saat. "Habis ini jalan ke mana, Dek?" "Aku udah kenyang. Tapi, baiknya jangan langsung pulang," balasnya sangat menohok. Pasti ada udang di balik batu. "Uhuk." Aku hampir saja menyembur karena tersedak. "Pelan-pelan, Mas!" Dia meraih tisu, lalu mengusap bibirku. "Habisnya, kamu lucu. Masih mau jalan? Mau nyari apa?""Enggak. Cuman kan habis makan, jangan duduk aja. Jalan-jalan lagi, kata orang."Aku menahan tawa. "Pengen apa, sih? Bilang aja! Mas jabaning, kok.""Beneran?" Kedua matanya berbinar-binar. "Tuh, kan, pasti pengen sesuatu. Mau apa?" "Aku mau ... ngasih Mas ini." Dia menyodorkan kotak persegi yang ukurannya sebesar kotak nasi

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 102

    Aku memeluk raga yang dingin malam itu. Dia memunggungiku karena curiga. Tak masalah dia curiga, dan memang pantas dia seperti itu karena selama ini, aku belum bisa sepenuhnya jujur. Aku tidak tega dengan Mbak Julia, karena dia yang selama ini merawat kakak kandungku yang kelakuannya seperti itu. Ingin mengabaikan, tapi selalu merasa bersalah. Takut memutuskan silaturahmi. Tadi dia menelponku karena ingin tinggal di sini. Memaksa agar aku mengizinkan dia satu atap denganku dan Mai. Tapi, aku menolaknya. Tidak masalah kalau setiap bulan aku kirim uang padanya. Asalkan di tidak meminta tinggal di sini. Namun, yang ada malah Mai yang curiga. Dia pasti mikir yang enggak-enggak. Lagipula, ini memang tugasku juga meyakinkan dia kalau aku hanya mencintai dia. "Dek ....""Hem." Dia masih menjawab meskipun dingin. "Mas minta maaf, ya.""Bukan hari lebaran."Aku ingin tertawa rasanya. "Mas tadi ditelpon Mbak Julia. Mas jujur, loh. Jangan marah dulu.""Males.""Dengerin, Dek. Mas nolak dia,

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 101

    "Kalian mau ngapain sih, Mas? Aku boleh ikut enggak? Perasaanku enggak enak kalau kalian ketemuan berdua gitu."Sambil sarapan, aku mengutarakan isi hatiku pada Mas Jaya. Lelaki gagah yang tampak rapi itu mengulas senyuman. Sambil mengunyah, dia membalas, "Kamu tenang aja, Dek. Mas juga tau siapa dia. Mas enggak akan tanggapi dia."Tak lama, ponsel di dalam saku Mas Jaya bergetar. Dia menatap layar ponselnya seraya mengernyit. "Baru juga diomongin, dia udah telpon.""Siapa? Mbak Julia?" Aku langsung paham. "Iya." Mas Jaya langsung mengangkat. "Assalamualaikum? Ada apa, Mbak?"Awalnya aku acuh, tak mau dengar karena kesal duluan. Namun, setelah melihat ekspresi Mas Jaya yang kaget dengan raut tegang. "Iya, Mbak. Aku ke sana sekarang." Setelah itu dia menutup panggilan. Dia menatapku lalu berkata, "Dek, kamu mau ikut enggak?""Ke mana?" Pura-pura tidak tahu saja lah aku. "Mas Fandi meninggal. Mbak Julia bingung dan minta aku untuk ikut urus pemakaman.""Innalillahi. Serius, Mas?" Ak

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 100

    "Maaf ya, Mas." Aku membuka pintu dengan wajah menunduk. Mas Jaya tersenyum membalasnya. "Enggak apa-apa. Lagian, masih banyak waktu juga. Oh ya, kita istirahat aja, ya. Aku tau, kamu pasti capek."Lelaki itu menarik tanganku dan mengajaknya ke atas tempat tidur. Dia mengangkat kakiku lalu menutupinya dengan selimut. Pintu dia kunci, lalu lampu utama dia matikan. Seperti tidak ada apa-apa. Dadaku masih berdebar-debar saat dia mulai naik ke atas tempat tidur. Aroma wangi dari parfumnya membuatku gugup. "Dek."Aku mendelik sambil menelan ludah. "Iya, Mas?""Kamu enggak mau peluk aku?" Dia mengulas senyuman. Tatapannya masih ke atas, pada langit-langit kamar setelan merebahkan diri. "Aku ... aku ...." Kenapa harus tanya, sih. Udah pasti mau lah. Tapi aku malu kalau diminta duluan. Masa laki-laki tidak paham begituan. Ya harusnya dia lah yang mulai. "Kalau enggak mau, juga enggak apa-apa. Aku tidak memaksa." Lah, malah ngambek dia. "Bukan itu." Aku bingung jadinya. Apa dia tidak paha

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 99

    "Aku kenapa?" Sayup-sayup mata elang lelaki itu tak lagi taj4m. Dia terkulai lemas dia atas ranjang datar. Bibirnya semu putih pucat, menandakan keadaannya yang lemah. "Mas lagi di rumah sakit. Tadi tiba-tiba pingsan. Sekarang gimana rasanya? Apanya yang sakit?" Aku tanya dia balik. "Enggak ada. Asalkan liat kamu, semua sakitku hilang." Bibirnya melengkung manis. "Lagi sakit, bisa aja bercandanya. Lagian kenapa sih bisa sampe kena asam lambung? Mas enggak perhatiin kondisi diri sendiri, ya.""Aku kepikiran kamu terus. Aku takut kamu ....""Kenapa jadi overthinking begini sekarang?" Aku menghela napas. "Kapan kita nikahnya? Aku pengen cepet-cepet." Dia menyentuh tanganku. "Kita enggak akan nikah kalau Mas belum sembuh. Perhatikan dulu kondisi diri sendiri, sebelum mengurusi aku." "Iya-iya, Tuan Putri." Dia tertawa.Dua hari lelaki itu dalam perawatanku dan kini, agak aneh saja sifatnya. Makin manja dan ingin aku agar selalu di sampingnya. "Aku harus periksa pasien lagi, Mas." A

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 98

    "Mai, kamu harus segera memutuskan. Karena ini menyangkut masa depan. Terus, ta'aruf itu juga bukan jalan yang ditempuh dengan suka-suka. Ini melibatkan Allah, Nak."Mama menyentuh pundakku saat aku melamun memikirkan semua itu di dalam kamar. Suasana pagi yang cukup dingin setelah hujan membuatku malas beranjak dari sana. "Ini lagi aku pikirkan, Mah. Kenapa harus Mas Jaya lagi?" Aku meratapi nasibku sendiri. "Kamu tau, enggak, Mai? Dulu, Mama sama papa itu terpisah beberapa bulan lamanya. Mama yakin papa kamu masih hidup. Dan saat peristiwa itu ditutup, karena tak ada harapan lagi. Tapi, Allah mentakdirkan lain. Papa kamu ternyata masih hidup dan kembali lagi. Kamu jangan salah sangka soal takdir Tuhan. Karena semua itu banyak hikmahnya. Jangan-jangan, kamu memang jodoh Jay yang sesungguhnya.""Tapi, Ma. Mau harus gimana? Pasti dia juga kaget tadinya karena ternyata, akhwat yang dia inginkan bukan yang jauh lebih baik. Tapi mantan istrinya sendiri.""Kamu itu su'udzon aja! Buktinya

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 97

    "Jadi enggak ke sini?" Sebuah pesan akhirnya sampai juga padaku. Pesan singkat melalui aplikasi hijau itu dari Ustadz Firman yang kukenal belum lama ini. "Insyaallah, Ustadz. Tapi, saya deg-degan, nih. Saya takut mengecewakan akhwatnya.""Jangan khawatir, Mas. Kan saya temani nanti. Ada istri saya juga yang menemani dia.""Kalau dia enggak cocok sama saya gimana?" "Ya enggak masalah. Namanya juga masih nadzor. Mas banyakin dzikir aja. Siapa tau ini jawaban atas doa-doa Mas Jay selama ini."Menunggu pesan balasan dari ustadz itu, dadaku berdebar-debar. Seperti sedang menunggu hasil ujian saja. "Ya sudah, Ustadz. Saya berangkat sekarang.""Nah, gitu dong! Dari tadi kami tunggu ini. Sebagai laki-laki memang kita harusnya tidak mengecewakan pihak perempuan. Apa pun yang terjadi nanti, yakinlah kalau semua itu bagian dari ikhtiar kita. Semoga sukses ya, Mas.""Makasih, Ustadz."Pagi itu aku masih belum pakai baju setelah mandi karena menunggu balasan dari sang ustadz yang kebetulan memb

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 96

    "Lu enggak mau nikah lagi gitu? Udah lama lu duda, Bro!" Pertanyaan menohok itu membuatku tersedak saat makan siang. Aku pun langsung meneguk minuman segar di atas mejaku. "Apaan, sih! Rese. Enggak ada kek pertanyaan yang lebih berbobot daripada itu?" Aku menghela napas. "Bukannya gitu, lu entar ada acara di kantor, enggak bawa pasangan? Lu kek orang ngenes tau enggak, Bro?" Ada saja pertanyaan seperti ini lagi. Sampai tak nafsu makan lagi aku. Kuletakkan sendok garpu lagi, lalu mengusap kedua sudut bibir. "Biarin aje. Enggak usah ngurusin gue. Lagian juga gue udah enggak minta lagi punya istri." Aku menjawab asal saja. Niatnya agar Reno, rekan kerjaku itu berhenti bicara. "Buset, dah! Lu yang bener aje? Laki-laki normal itu pasti ada saat-saatnya pengen anu," sindirnya lagi. "Anu apaan? Jangan ngawur! Aku puasa kalau lagi pengen gituan. Istighfar, nyadari kalau enggak punya istri." Lagi-lagi aku mengingat masa lalu. "Ya udah, buruan lu nyari kek biar enggak puasa terus. Lu ja

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status