Share

Bab 16

Penulis: Goresan Pena93
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-12 15:56:52

"Jangan bilang begitu! Kamu hanya belum tau cerita sebenarnya aja," ucapku kala itu.

"Ya udah, sekarang ceritakan!" balas Nisa sambil melengos. Dia tak sudi menatapku.

"Aku ... aku bingung saat itu minta tolong ke siapa lagi. Saat kami masih dalam keadaan pas-pasan. Saat itu aku sedang dalam proses menambah jam terbang. Belum seperti sekarang pokoknya. Papa sakit jantung. Butuh biaya besar untuk operasi. Dan hanya keluarga Vania yang bisa bantu saat itu."

"Terus? Dengan bantu biaya operasi, langsung disuruh nikahin?" Nisa menyerobot tanpa rem. Bibirnya yang mungil itu sungguh membuatku gemas. Tidak bisa tenang mendengarkan dulu, barang sebentar saja.

"Dengarkan dulu, kalau enggak mau diem dulu nanti aku ...."

"Apa? Abang bakal ninggalin aku?"

"Ck, bukan itu, Sayang. Ya Allah, kamu ini. Nanti aku enggak jadi cerita, malah ngajakin kamu bikin cucu buat mama papa, loh. Mau enggak?" Aku tertawa di tengah suasana genting.

"Ya udah terusin!"

Aku menghela napas panjang sambil memanjangka
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 17

    "Aku berangkat dulu ya, Sayang. Jaga diri di rumah!" Lelaki berseragam pilot itu mencium keningku ketika kami masih di dalam kamar. "Bang Juna pulang jam berapa?" tanyaku ganti. "Aku ada empat jam penerbangan hari ini. Selama empat kali take off. Kenapa? Kamu mau nitip apa?""Nitip jaga mata dan hatinya aja. Sejak tau Abang kerjanya ternyata satu tempat sama wanita itu, aku jadi merasa over thinking."Tangan berotot itu membelai kepalaku. "Harus dengan apa aku membuktikan kalau aku ini pria yang tidak suka main hati?""Aku enggak tau, Bang. Setelah aku percaya dan menyerahkan separuh hatiku padamu, rasanya aku terlalu takut kehilangan dan dipermainkan. Abang tau, kan, aku sudah pernah dikhianati.""Iya, Sayang. Aku tau. Percayalah padaku.""Aku izin nanti siang ketemu temen," balasku lagi. "Hati-hati tapi, ya! Selalu beri aku kabar!"Aku mengangguk. Lalu lelaki itu keluar tanpa kuantar sampai ke depan pintu. Aku lelah sekali rasanya pagi ini. Bukan karena habis melakukan aktivitas

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 18

    Sudah jam empat sore, aku bersiap pulang karena sudah tidak ada lagi jam terbang. Kutarik koper dengan buru-buru karena tak sabar ingin bertemu dengan Nisa. Setelah beberapa kali menatap jam di tangan, aku langsung masuk ke dalam mobil antar jemput. Kulihat jalanan tidak terlalu padat sore ini. Aku juga masih sempat membelikan cheesecake. Sampai di depan rumah, aku membuka gerbang sendiri. Keadaan depan rumah tak karuan, terlihat dari kursi jaga di pos tampak berguling. Aku tak segan membenahinya. Lalu kembali berjalan ke depan. Sepertinya ada tamu, karena ada mobil asing di dekat mobil mama. "Assalamualaikum?" Aku membuka pintu. Yang kulihat pertama adalah mama. Mama menangis di sampingnya ada Vania dan oma. "Mah, ada apa?" Aku kaget dan bergegas mendekat. Saat mama masih sesenggukan, oma yang menyahut dengan nada marah. "Istri kamu sudah main gil4 sama Rian!""Apa? Rian?" Dadaku berdegup kencang. Itu pasti hanya akal-akalan oma saja. "Tidak mungkin, Oma. Bahkan Nisa tidak perna

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 19

    "Makasih, Tante." Aku mengusap wajah yang sembab setelah ganti pakaian dengan baju yang dikasih oleh orang tua Revan. "Iya, Sayang. Kamu sebenarnya sudah kami anggap seperti anak sendiri. Hanya karena ulah anak Tante, kamu jadi nikahnya sama orang lain." Wanita yang tadinya akan jadi mertuaku itu mengusap kepalaku. "Udah, Nis?" sahut dari luar. Suara Revan yang sepertinya menginginkan aku untuk keluar dari kamar ibunya ini. "Iya, tunggu!" Tante Maya yang membalas. Wanita paruh baya ini keluar dari kamar sambil membantuku berjalan. Kenapa aku bisa di sini, semua karena Revan yang melihatku diusir dari rumah Bang Juna. Awalnya aku ingin pulang ke rumah sendiri yang hanya berbatas tembok, tapi, aku bimbang. Lalu mereka mengajakku ke rumah mereka untuk menenangkan diri. "Minum aja dulu!" kata Revan. Lalu, aku pun duduk bersama ibunya. "Makasih, Van.""Oh ya, aku ... mau minta maaf soal kemarin-kemarin, Nis. Aku udah jahat sama kamu berkali-kali. Sekarang, aku sudah tobat. Tanyakan m

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 20

    Akhirnya, kami dilerai oleh keluargaku dan juga papa mertua. Nenek tua tadi langsung mereka ajak masuk ke rumah Bang Juna. Sementara aku, masuk ke rumah papa bersama Revan dan Tante Maya. "Terima kasih, Mbak Maya, Revan. Sudah menolong Nisa saat kami tidak ada di rumah." Mama Ayu terlihat sedih. Kami semua duduk di ruang tamu setelah kejadian tadi. Tante Maya yang sudah tenang pun langsung membalas, "Aku kesel banget sama nenek tua itu. Dari kemarin dia jahat banget sama Nisa.""Nisa, sekarang bagaimana? Apa kamu masih mau tinggal di sana?" Mama berlaih padaku. "Nisa mau ketemu Bang Juna, Mah. Dia di mana? Nisa keluar dari rumah itu enggak bawa apa-apa." Kini semua menatapku. "Mbak Ayu, saya sama Revan pulang dulu, ya. Soalnya, Revan ada urusan katanya tadi. Jika kalian butuh bantuan, jangn sungkan-sungkan memberitahu kami. Dan satu lagi, saya tau kesalahan anak saya seperti apa. Mohon maaf, Mbak, Mas." Tante Maya berdiri. Terlihat wajahnya sedih sekali. Namun, aku tahu dia wanita

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-12
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 21

    "Aku Vania. Sebelumnya kita hanya ketemu sebentar-sebentar." Wanita itu mengulurkan tangannya. "Oh, aku Nisa." Kusambut tangannya balik. "Ada apa ya, Mbak?" "Aku ingin ngobrol sedikit sama kamu. Bisa, kan? Oh ya, apa kabar?" Wanita bernama Vania itu menghampiriku. Dia ingin bicara denganku sambil memilih belanjaan. "Aku baik." Bingung mau jawab apa, aku hanya membalas sekenanya. Lalu, kami sama-sama masuk ke dalam supermarket itu seraya menarik troli masing-masing. Sambil memilih barang, dia memulai percakapan. "Mbak Nisa udah lama kenal Juna?" "Em, lumayan karena dia tetangga sendiri, Mbak. Kalau Mbak Vania?" tanyaku balik. Lalu kulihat berbagai sayuran segar di depanku. Aku pun segera meraih satu bungkus wortel dan daun pre. "Aku ... sudah lama kenal dengan Juna sejak kami kuliah. Aku sudah suka sama dia sejak saat bertemu dengannya. Karena dia lelaki yang menurutku greenflag banget. Dia perhatian, penyayang dan juga keren."Seketika itu aku menghentikan kesibukanku memilih b

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-14
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 22

    Malam itu aku tidak jadi ikut Bang Juna ke rumah mamanya. Aku tidak mau bertemu dengan nenek tua itu. Sudah pasti ada apa-apa kalau Bang Juna disuruh ke sana. Malas ikut juga karena nenek tua itu tidak menginginkan aku juga. Aku membiarkan Bang Juna keluar sendirian. Lebih baik aku tidur karena besok aku ada janji dengan Mbak Bella. Sudah lama tidak mengecek keadaan restoran. Banyak malasnya setelah menikah, padahal dulu rajin sekali. Aku baru sadar setelah beberapa saat. "Astaga, aku kira sekarang di rumah mama. Pantas lah Bang Juna tadi ngotot ngajakin ikut. Sekarang aku sendirian di rumah ini. Rumah yang baru dua hari kutempati. Kutekan berkali-kali kontak Bang Juna. Namun, tidak ada yang diangkat. Pasti dia lagi di jalan atau lagi bicara penting dengan keluarganya. Terpaksa malam itu aku tidur sendirian. Paginya, aku terbangun dengan perut mual. Aku langsung pergi ke kamar mandi sambil berlari dan mengeluarkan semua isi perut di wastafel. Tak ada yang keluar kecuali hanya cair

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-14
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 23

    Aku tak berselera melakukan apa pun. Sepanjang pagi itu, aku hanya rebahan. Aku memutuskan untuk pulang ke rumah mama. Meskipun aku tahu, ini tidak dibenarkan dalam agama. Aku tak tahan lagi. "Nisa!" Mama mengetuk pintu. "Makan dulu, Sayang!" Pintu pun terbuka karena aku sejak tadi tak menjawab."Nisa enggak laper, Ma." Mama datang membawa nampan berisi makanan. Lalu meletakkannya di meja dekat tempat tidur. Aku tak mau mama melihatku menangis, maka dari itu aku segera menghapus air mata ini. "Sayang, makan dulu, ya! Ingat, kamu itu lagi hamil. Jangan stres!""Gimana Nisa enggak stres, Ma? Bang Juna ....""Belum tentu itu Juna, Nisa." Mama mencoba menghiburku, tapi aku tetap yakin kalau foto itu adalah Bang Juna. "Nisa enggak mau ketemu di pokoknya. Nisa mau nenangin diri, Mah. Tolong, biarkan Nisa di sini dulu. Jangan Mama suruh pulang."Aku tahu mama pasti sedih. Mama pasti sudah melewati banyak manis dan getirnya pengalaman berumah tangga. Tapi, aku tidak bisa dan tidak kuat be

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-14
  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 24

    "Sayang!" Aku memanggilnya dengan kuat. Dadaku berdebar-debar sampai air mata tak sanggup kutahan. "Apa ini, Sayang?" Tanganku gemetaran saat melihat sebuah benda dengan dua garis merah itu di pinggiran wastafel. Kubuka pintu kamar mandi lalu keluar. Terlihat Nisa sedang memegang ponselku seraya mendengarkan seseorang bicara di balik panggilan sepertinya. Nisa segera mematikan panggilan itu sambil menatapku. Dia menggeleng kepalanya sambil mendekat. Begitu juga denganku. "Sayang, ini apa?" Yang kutanya bukannya dia habis menelpon siapa, melainkan benda di tanganku yang kutunjukkan padanya. Hanya memakai handuk setengah badan, aku langsung menarik tubuhnya ke dalam dekapan. "Katakan padaku yang sesungguhnya! Apakah kamu ...."Dia melepaskan pelukan. "Iya, Bang. Aku sengaja enggak langsung bilang kemarin. Karena aku kecewa sama Abang.""Maafkan aku, Sayang. Terkadang aku masih saja tidak sadar kalau sudah punya istri. Habisnya, aku apa-apa dulu selalu sendirian.""Sekali lagi Abang gi

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15

Bab terbaru

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 104

    Pagi ini aku sangat sibuk dengan kerjaan kantor. Bolak-balik meninggalkan Humaira yang perutnya sudah membesar, rasanya hatiku tak tenang. Dia adalah belahan jiwaku yang di mana, rasa sakit atau apa pun yang menimpanya, aku pasti juga merasakannya. Seperti sekarang ini. Tiba-tiba perutku tak enak saat sedang meeting jam dua siang. Tiba-tiba pula aku ingat perkataanku saat itu kalau andai aku bisa ikut mengurasi rasa sakit melahirkan istriku, aku siap. Tapi, beberapa hari ini rasa sakit aneh ini mulai merajai. Keringat dingin keluar melalui pori-pori saat aku sedang presentasi di depan klien dan atasan. Sampai aku dibilang gerogi juga. Padahal sedang menahan mulas. "Kamu enggak apa-apa, Jay?" tanya atasanku saat kami selesai pertemuan di sebuah gedung. "Enggak, Pak. Aman." Sebisa mungkin aku mengulas senyuman. "Pucet banget mukamu. Sakit? Atau masih ada efek gerogi? Tumben banget kamu," lanjut pria paruh baya dengan setelan jas hitam itu. "Enggak apa-apa, Pak. Saya cuman khawatir

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 103

    "Enak makanannya?" tanyaku saat Humaira menikmati setiap suapan. Dia hanya mengangguk, tapi terus melahap setiap sendok makanan ke mulutnya. Malam itu, tepatnya setelah dua bulan kami tak melihat Mbak Julia datang ke rumah lagi. Hidup kami serasa di dalam surga dunia. Setiap waktu sangat berharga bagiku. Apalagi, dia sangat ingin dimanja setiap saat. "Habis ini jalan ke mana, Dek?" "Aku udah kenyang. Tapi, baiknya jangan langsung pulang," balasnya sangat menohok. Pasti ada udang di balik batu. "Uhuk." Aku hampir saja menyembur karena tersedak. "Pelan-pelan, Mas!" Dia meraih tisu, lalu mengusap bibirku. "Habisnya, kamu lucu. Masih mau jalan? Mau nyari apa?""Enggak. Cuman kan habis makan, jangan duduk aja. Jalan-jalan lagi, kata orang."Aku menahan tawa. "Pengen apa, sih? Bilang aja! Mas jabaning, kok.""Beneran?" Kedua matanya berbinar-binar. "Tuh, kan, pasti pengen sesuatu. Mau apa?" "Aku mau ... ngasih Mas ini." Dia menyodorkan kotak persegi yang ukurannya sebesar kotak nasi

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 102

    Aku memeluk raga yang dingin malam itu. Dia memunggungiku karena curiga. Tak masalah dia curiga, dan memang pantas dia seperti itu karena selama ini, aku belum bisa sepenuhnya jujur. Aku tidak tega dengan Mbak Julia, karena dia yang selama ini merawat kakak kandungku yang kelakuannya seperti itu. Ingin mengabaikan, tapi selalu merasa bersalah. Takut memutuskan silaturahmi. Tadi dia menelponku karena ingin tinggal di sini. Memaksa agar aku mengizinkan dia satu atap denganku dan Mai. Tapi, aku menolaknya. Tidak masalah kalau setiap bulan aku kirim uang padanya. Asalkan di tidak meminta tinggal di sini. Namun, yang ada malah Mai yang curiga. Dia pasti mikir yang enggak-enggak. Lagipula, ini memang tugasku juga meyakinkan dia kalau aku hanya mencintai dia. "Dek ....""Hem." Dia masih menjawab meskipun dingin. "Mas minta maaf, ya.""Bukan hari lebaran."Aku ingin tertawa rasanya. "Mas tadi ditelpon Mbak Julia. Mas jujur, loh. Jangan marah dulu.""Males.""Dengerin, Dek. Mas nolak dia,

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 101

    "Kalian mau ngapain sih, Mas? Aku boleh ikut enggak? Perasaanku enggak enak kalau kalian ketemuan berdua gitu."Sambil sarapan, aku mengutarakan isi hatiku pada Mas Jaya. Lelaki gagah yang tampak rapi itu mengulas senyuman. Sambil mengunyah, dia membalas, "Kamu tenang aja, Dek. Mas juga tau siapa dia. Mas enggak akan tanggapi dia."Tak lama, ponsel di dalam saku Mas Jaya bergetar. Dia menatap layar ponselnya seraya mengernyit. "Baru juga diomongin, dia udah telpon.""Siapa? Mbak Julia?" Aku langsung paham. "Iya." Mas Jaya langsung mengangkat. "Assalamualaikum? Ada apa, Mbak?"Awalnya aku acuh, tak mau dengar karena kesal duluan. Namun, setelah melihat ekspresi Mas Jaya yang kaget dengan raut tegang. "Iya, Mbak. Aku ke sana sekarang." Setelah itu dia menutup panggilan. Dia menatapku lalu berkata, "Dek, kamu mau ikut enggak?""Ke mana?" Pura-pura tidak tahu saja lah aku. "Mas Fandi meninggal. Mbak Julia bingung dan minta aku untuk ikut urus pemakaman.""Innalillahi. Serius, Mas?" Ak

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 100

    "Maaf ya, Mas." Aku membuka pintu dengan wajah menunduk. Mas Jaya tersenyum membalasnya. "Enggak apa-apa. Lagian, masih banyak waktu juga. Oh ya, kita istirahat aja, ya. Aku tau, kamu pasti capek."Lelaki itu menarik tanganku dan mengajaknya ke atas tempat tidur. Dia mengangkat kakiku lalu menutupinya dengan selimut. Pintu dia kunci, lalu lampu utama dia matikan. Seperti tidak ada apa-apa. Dadaku masih berdebar-debar saat dia mulai naik ke atas tempat tidur. Aroma wangi dari parfumnya membuatku gugup. "Dek."Aku mendelik sambil menelan ludah. "Iya, Mas?""Kamu enggak mau peluk aku?" Dia mengulas senyuman. Tatapannya masih ke atas, pada langit-langit kamar setelan merebahkan diri. "Aku ... aku ...." Kenapa harus tanya, sih. Udah pasti mau lah. Tapi aku malu kalau diminta duluan. Masa laki-laki tidak paham begituan. Ya harusnya dia lah yang mulai. "Kalau enggak mau, juga enggak apa-apa. Aku tidak memaksa." Lah, malah ngambek dia. "Bukan itu." Aku bingung jadinya. Apa dia tidak paha

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 99

    "Aku kenapa?" Sayup-sayup mata elang lelaki itu tak lagi taj4m. Dia terkulai lemas dia atas ranjang datar. Bibirnya semu putih pucat, menandakan keadaannya yang lemah. "Mas lagi di rumah sakit. Tadi tiba-tiba pingsan. Sekarang gimana rasanya? Apanya yang sakit?" Aku tanya dia balik. "Enggak ada. Asalkan liat kamu, semua sakitku hilang." Bibirnya melengkung manis. "Lagi sakit, bisa aja bercandanya. Lagian kenapa sih bisa sampe kena asam lambung? Mas enggak perhatiin kondisi diri sendiri, ya.""Aku kepikiran kamu terus. Aku takut kamu ....""Kenapa jadi overthinking begini sekarang?" Aku menghela napas. "Kapan kita nikahnya? Aku pengen cepet-cepet." Dia menyentuh tanganku. "Kita enggak akan nikah kalau Mas belum sembuh. Perhatikan dulu kondisi diri sendiri, sebelum mengurusi aku." "Iya-iya, Tuan Putri." Dia tertawa.Dua hari lelaki itu dalam perawatanku dan kini, agak aneh saja sifatnya. Makin manja dan ingin aku agar selalu di sampingnya. "Aku harus periksa pasien lagi, Mas." A

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 98

    "Mai, kamu harus segera memutuskan. Karena ini menyangkut masa depan. Terus, ta'aruf itu juga bukan jalan yang ditempuh dengan suka-suka. Ini melibatkan Allah, Nak."Mama menyentuh pundakku saat aku melamun memikirkan semua itu di dalam kamar. Suasana pagi yang cukup dingin setelah hujan membuatku malas beranjak dari sana. "Ini lagi aku pikirkan, Mah. Kenapa harus Mas Jaya lagi?" Aku meratapi nasibku sendiri. "Kamu tau, enggak, Mai? Dulu, Mama sama papa itu terpisah beberapa bulan lamanya. Mama yakin papa kamu masih hidup. Dan saat peristiwa itu ditutup, karena tak ada harapan lagi. Tapi, Allah mentakdirkan lain. Papa kamu ternyata masih hidup dan kembali lagi. Kamu jangan salah sangka soal takdir Tuhan. Karena semua itu banyak hikmahnya. Jangan-jangan, kamu memang jodoh Jay yang sesungguhnya.""Tapi, Ma. Mau harus gimana? Pasti dia juga kaget tadinya karena ternyata, akhwat yang dia inginkan bukan yang jauh lebih baik. Tapi mantan istrinya sendiri.""Kamu itu su'udzon aja! Buktinya

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 97

    "Jadi enggak ke sini?" Sebuah pesan akhirnya sampai juga padaku. Pesan singkat melalui aplikasi hijau itu dari Ustadz Firman yang kukenal belum lama ini. "Insyaallah, Ustadz. Tapi, saya deg-degan, nih. Saya takut mengecewakan akhwatnya.""Jangan khawatir, Mas. Kan saya temani nanti. Ada istri saya juga yang menemani dia.""Kalau dia enggak cocok sama saya gimana?" "Ya enggak masalah. Namanya juga masih nadzor. Mas banyakin dzikir aja. Siapa tau ini jawaban atas doa-doa Mas Jay selama ini."Menunggu pesan balasan dari ustadz itu, dadaku berdebar-debar. Seperti sedang menunggu hasil ujian saja. "Ya sudah, Ustadz. Saya berangkat sekarang.""Nah, gitu dong! Dari tadi kami tunggu ini. Sebagai laki-laki memang kita harusnya tidak mengecewakan pihak perempuan. Apa pun yang terjadi nanti, yakinlah kalau semua itu bagian dari ikhtiar kita. Semoga sukses ya, Mas.""Makasih, Ustadz."Pagi itu aku masih belum pakai baju setelah mandi karena menunggu balasan dari sang ustadz yang kebetulan memb

  • Bang Juna (Izinkan Aku Memilikimu)   Bab 96

    "Lu enggak mau nikah lagi gitu? Udah lama lu duda, Bro!" Pertanyaan menohok itu membuatku tersedak saat makan siang. Aku pun langsung meneguk minuman segar di atas mejaku. "Apaan, sih! Rese. Enggak ada kek pertanyaan yang lebih berbobot daripada itu?" Aku menghela napas. "Bukannya gitu, lu entar ada acara di kantor, enggak bawa pasangan? Lu kek orang ngenes tau enggak, Bro?" Ada saja pertanyaan seperti ini lagi. Sampai tak nafsu makan lagi aku. Kuletakkan sendok garpu lagi, lalu mengusap kedua sudut bibir. "Biarin aje. Enggak usah ngurusin gue. Lagian juga gue udah enggak minta lagi punya istri." Aku menjawab asal saja. Niatnya agar Reno, rekan kerjaku itu berhenti bicara. "Buset, dah! Lu yang bener aje? Laki-laki normal itu pasti ada saat-saatnya pengen anu," sindirnya lagi. "Anu apaan? Jangan ngawur! Aku puasa kalau lagi pengen gituan. Istighfar, nyadari kalau enggak punya istri." Lagi-lagi aku mengingat masa lalu. "Ya udah, buruan lu nyari kek biar enggak puasa terus. Lu ja

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status