Sampai di rumah, aku memanggil Nisa berkali-kali. Tapi, dia tak ada menyahut satu kali pun. Semua belanjaan kuletakkan di meja makan. Lalu bergegas pergi ke kamar. "Nisa!""Nisa!"Dia tidak ada di kamarnya. Lalu di mana dia? Gadis itu memang hobi sekali membuatku jantungan. "Sayang, kamu di mana?"Aku berlari ke kanan, pintu samping yang terbuka setengah. Keringat sudah bercucuran, khawatir dia marah lagi. "Sayang, kamu ngapain di sini? Kenapa aku panggil enggak jawab, sih? Hah?" Aku menemukannya. Dia duduk di samping rumah sambil berjemur. Dasar, bumil manja. Setelah mendekat, aku langsung berjongkok tepat di depannya. Kugenggam tangannya sambil menatap wajahnya yang terkena sinar matahari sambil memejamkan mata. "Aku udah tau semuanya. Tapi aku enggak akan marah," ucapnya tiba-tiba. Yang langsung membuat jantungku deg-degan. "Apa, Sayang?" "Abang ke Bandung ngapain aja? Oma tadi telpon. Kebetulan aku yang angkat. Beliau bilang makasih sama aku karena sudah bantu lunasin sisa ut
Sampai di rumah, aku benar-benar lelah. Tidak ingin memulai pertengkaran karena aku sangat tidak suka dengan pertengkaran. Meskipun sedikit kesal dan cemburu, aku tetap bersikap baik dengan Nisa. Adakalanya menyendiri untuk menenangkan hati yang sedang gundah. "Abang, makannya udah siap. Kalau makan, sudah aku siapkan. Kalau tidak, aku pergi ke kamar dulu," ucap Nisa begitu saja. Seperti memang sudah tidak ada rasa lagi. Mungkin juga karena sikapku yang juga berubah. Dia hari sudah berlalu setelah kedatangan Oma saat itu, kami memang jarang mengobrol atau bercanda lagi. Belum sempat aku jawab, Nisa sudah pergi ke kamarnya. Malam pun tak berselera lagi kalau begini. Aku menghela napas panjang. Teringat gadis yang berpiyama Hello Kitty tadi. dia pergi tanpa mengajakku. Saat aku tengah duduk sambil berpikir, tiba-tiba ada getaran ponsel di saku celana. Saat kulihat, ternyata Vania. Dia mengirim kata-kata yang sepertinya bukan sekadar peduli dengan masalahku. Tapi ...."Juna, aku tida
"Mau ke mana kamu, Nisa? Jangan sendirian loh kalau keluar!" cegah mama saat aku sudah siap untuk keluar pagi itu. "Mah, Nisa bosan. Nisa mau jalan-jalan di deket sini aja. Enggak jauh-jauh. Enggak usah khawatir," balasku sambil terus jalan. "Nisa, Mama temani, ya." "Enggak usah. Nisa mau sendiri aja. Nisa mau beli bubur ayam sekalian.""Nisa, sejak kamu sama Juna ada masalah, Mama sangat khawatir. Mama tidak bisa melihat kamu sedih. Apalagi kamu sedang hamil." "Terserah Mama aja deh." Aku meninggalkan mama sendirian dan bergegas keluar. Tak peduli mama mengikutiku atau tidak. Aku mencoba menikmati hidup yang sedang tak baik-baik saja ini. Sambil jalan pagi, aku menatap pemandangan yang jarang kulihat selama ini. Mengenang kembali masa-masa remaja hingga awal punya pekerjaan. "Hallo, Nisa!" Sebuah mobil lewat di dekatku. Tiba-tiba penghuninya menyapa sampai aku terkejut. "Astaghfirullah, Rian," batinku. Anak angkat keluarga Bang Juna yang kini sudah terusir. Pria itu langsung
Aku terpaku mendengar Mama Ayu yang histeris seperti tak mau memaafkan Bang Juna. Aku sendiri pun tak sempat memikirkan bagaimana kondisi janin yang awalnya ada di dalam rahim ini. Sampai lelaki gagah itu bersimpuh di kaki mama, mama Ayu tetap bersikukuh ingin aku tinggal bersama mereka lagi. "Mah, biarkan mereka menyelesaikan masalah mereka sendiri!" kata papa Ali. "Mama sakit, Pah, dengar kabar kalau Nisa keguguran. Semua itu bukan hanya gara-gara adik angkat Juna. Tapi Juna juga yang sejak awal lebih percaya sama neneknya." Mama langsung ditarik oleh papa untuk duduk di sofa. Ternyata anak yang kukandung sudah tiada? Pantas saja perutku sangat sakit sekali. Badan kaku dan aku tidak lagi merasakan sesuatu di dalam perut ini. "Sudahlah, Mah! Sudah! Tenangkan dirimu dulu! Biarkan Nisa sama Juna bicara berdua. Kita keluar dulu!" Papa membantu mama berdiri lalu mereka keluar dari kamar ini. Sementara aku, menatap Bang Juna yang matanya merah karena penyesalannya. Dia mengusap wajah
"Em ...." Aku menelan saliva saat Nisa bertanya soal itu. Tak mungkin aku beralasan dengan dalih menjaga perasaannya. "Abang ... kayaknya aku udah tau jawabannya," lanjut Nisa lagi. Kedua matanya menyipit. Menatap penuh curiga padaku. "Iya, Sayang. Seperti yang kamu duga kayaknya.""Abang kenapa enggak bilang dari tadi? Malah bengong.""Ya maaf, Abang bingung soalnya. Takut aja kamu makin meledak-ledak. Abang enggak mau kehilangan kamu lagi. Sudah anak kita yang pergi, kamu jangan.""Jadi, kalian udah ngapain aja?" Ya salam, Nisa sama halnya sepertiku. Dia sedang terbakar api cemburu. "Ya ngasih makan-makanan gitu. Tapi, kamu tenang aja. Aku enggak terus menerus menerimanya. Aku juga nolak dia baik-baik. Biar dia enggak sakit hati dan malah berbuat yang enggak-enggak.""Bukannya kata Abang dia mau nikah, kan?""Iya. Tapi, dia bilang lagi kalau pernikahannya batal." Duh, jadi bingung.Tiba-tiba saja kepalaku pun terasa gatal. "Kenapa pikiranku jadi ke Oma dan Vania ya, Bang?" "Maks
"Mah, ada apa?" tanyaku saat kami sudah saling tatap. "Juna, kita bicara di tempat lain aja!" kata mama. Masih menoleh kanan kiri. "Di mobil aja ya, Ma." Kuajak mama menuruni tangga ringan di lobi keluar. Setelah itu kami pun masuk ke dalam mobil yang kebetulan tadi pagi kuparkir tak jauh juga. Sekitar dua kiloan mobil melaju, akhirnya kubuka percakapan dengan mama. "Mah, Mama ngapain nyamperin Juna sampai ke sini? Bukannya nanti kita bakal ketemu di rumah?" tanyaku sekilas menoleh ke samping. "Kan bisa telpon juga." "Kita enggak bakal bisa bicara ini di rumah atau di mana pun. Pasti akan ada yang tau. Dan masalah makin runyam. Mama bingung, Juna. Papa kamu juga kesehatannya sedang menurun. Dia sudah enggak kerja di kantor lagi. Sudah resign." Maksud mama apa bilang seperti itu? " Apa? Papa sakit lagi? Terus, Mama mau bilang apa sekarang? Apa yang terjadi di rumah, Ma?" "Juna ... Yang bayarin semua utang keluarga kita itu si Nisa?" "Iya." "Terus? Kamu diem aja?"
"Mah, Pah. Ini rumah kalian sekarang. Jangan pikirkan soal tadi," aku memeluk papa yang terlihat kurang sehat di rumah baru mereka. Rumah yang awalnya aku hadiahkan untuk Nisa. "Kalian akan tinggal di sini juga, kan? Papa sama mama tidak akan pernah bisa membalas kebaikan kamu, Nak," balas papa dengan mata memerah. Kuusap buliran bening dari sepasang mata tua itu. "Pah, Mah. Aku dan Nisa sudah punya rencana sendiri. Kami akan mulai semuanya dari awal.""Sayang, kamu baik sekali. Dari dulu kamu dan keluarga kamu selalu baik sama kami." Giliran mama memegang tangan menantunya sambil mengucapkan kalimat haru itu berkali-kali. "Mamah, Papah, kalian adalah orang tua Nisa. Sama seperti orang tua Nisa yang sekarang di rumah. Kalian adalah berlian di mata kami untuk mendapatkan ridho Allah. Izinkan kami berbakti ya, Mah, Pah." Nisa tersenyum lembut. Tak kusangka, ternyata aku memiliki berlian indah itu. Dadaku penuh dengan rasa syukur ketika menatapnya. Aku berjanji pada diriku sendiri, a
Astaghfirullah, aku melihat Nisa menyedekapkan tangannya di depan dada sambil menatap wanita yang ada di lantai dengan rambut acak-acakan. Mataku semakin melebar tatkala tahu siapa wanita itu. Napasnya tersengal, ada suara lirihan tangis pilu. "Kenapa aku tidak bisa seperti kalian!" teriaknya histeris. "Karena kamu angkuh. Kamu ingin memiliki segalanya sementara kamu sendiri sudah punya segalanya. Kamu ingin merebut kebahagiaan orang lain, Van! Ingat, itu perbuatan tidak baik. Dan imbasnya akan kembali padamu sendiri." Dengan lantangnya, istriku itu membalas ucapan Vania. Aku tidak pernah melihat Nisa seberani ini sebelumnya. Kudekati dia sambil menelan ludah. "Sayang, ada apa ini?" "Tuh, kerjaan dia ngacak-ngacak kamar kita. Dia nyerang duluan, jangan salahkan aku kalau aku ngamuk begini. Aku udah enggak tahan lagi, Bang! Dia udah keterlaluan." Panjang lebar Nisa mengutarakan kekesalannya. Aku pun hanya bisa mengiyakan saja daripada kena semprot dia juga nanti. Sepertinya Nisa s
Pagi ini aku sangat sibuk dengan kerjaan kantor. Bolak-balik meninggalkan Humaira yang perutnya sudah membesar, rasanya hatiku tak tenang. Dia adalah belahan jiwaku yang di mana, rasa sakit atau apa pun yang menimpanya, aku pasti juga merasakannya. Seperti sekarang ini. Tiba-tiba perutku tak enak saat sedang meeting jam dua siang. Tiba-tiba pula aku ingat perkataanku saat itu kalau andai aku bisa ikut mengurasi rasa sakit melahirkan istriku, aku siap. Tapi, beberapa hari ini rasa sakit aneh ini mulai merajai. Keringat dingin keluar melalui pori-pori saat aku sedang presentasi di depan klien dan atasan. Sampai aku dibilang gerogi juga. Padahal sedang menahan mulas. "Kamu enggak apa-apa, Jay?" tanya atasanku saat kami selesai pertemuan di sebuah gedung. "Enggak, Pak. Aman." Sebisa mungkin aku mengulas senyuman. "Pucet banget mukamu. Sakit? Atau masih ada efek gerogi? Tumben banget kamu," lanjut pria paruh baya dengan setelan jas hitam itu. "Enggak apa-apa, Pak. Saya cuman khawatir
"Enak makanannya?" tanyaku saat Humaira menikmati setiap suapan. Dia hanya mengangguk, tapi terus melahap setiap sendok makanan ke mulutnya. Malam itu, tepatnya setelah dua bulan kami tak melihat Mbak Julia datang ke rumah lagi. Hidup kami serasa di dalam surga dunia. Setiap waktu sangat berharga bagiku. Apalagi, dia sangat ingin dimanja setiap saat. "Habis ini jalan ke mana, Dek?" "Aku udah kenyang. Tapi, baiknya jangan langsung pulang," balasnya sangat menohok. Pasti ada udang di balik batu. "Uhuk." Aku hampir saja menyembur karena tersedak. "Pelan-pelan, Mas!" Dia meraih tisu, lalu mengusap bibirku. "Habisnya, kamu lucu. Masih mau jalan? Mau nyari apa?""Enggak. Cuman kan habis makan, jangan duduk aja. Jalan-jalan lagi, kata orang."Aku menahan tawa. "Pengen apa, sih? Bilang aja! Mas jabaning, kok.""Beneran?" Kedua matanya berbinar-binar. "Tuh, kan, pasti pengen sesuatu. Mau apa?" "Aku mau ... ngasih Mas ini." Dia menyodorkan kotak persegi yang ukurannya sebesar kotak nasi
Aku memeluk raga yang dingin malam itu. Dia memunggungiku karena curiga. Tak masalah dia curiga, dan memang pantas dia seperti itu karena selama ini, aku belum bisa sepenuhnya jujur. Aku tidak tega dengan Mbak Julia, karena dia yang selama ini merawat kakak kandungku yang kelakuannya seperti itu. Ingin mengabaikan, tapi selalu merasa bersalah. Takut memutuskan silaturahmi. Tadi dia menelponku karena ingin tinggal di sini. Memaksa agar aku mengizinkan dia satu atap denganku dan Mai. Tapi, aku menolaknya. Tidak masalah kalau setiap bulan aku kirim uang padanya. Asalkan di tidak meminta tinggal di sini. Namun, yang ada malah Mai yang curiga. Dia pasti mikir yang enggak-enggak. Lagipula, ini memang tugasku juga meyakinkan dia kalau aku hanya mencintai dia. "Dek ....""Hem." Dia masih menjawab meskipun dingin. "Mas minta maaf, ya.""Bukan hari lebaran."Aku ingin tertawa rasanya. "Mas tadi ditelpon Mbak Julia. Mas jujur, loh. Jangan marah dulu.""Males.""Dengerin, Dek. Mas nolak dia,
"Kalian mau ngapain sih, Mas? Aku boleh ikut enggak? Perasaanku enggak enak kalau kalian ketemuan berdua gitu."Sambil sarapan, aku mengutarakan isi hatiku pada Mas Jaya. Lelaki gagah yang tampak rapi itu mengulas senyuman. Sambil mengunyah, dia membalas, "Kamu tenang aja, Dek. Mas juga tau siapa dia. Mas enggak akan tanggapi dia."Tak lama, ponsel di dalam saku Mas Jaya bergetar. Dia menatap layar ponselnya seraya mengernyit. "Baru juga diomongin, dia udah telpon.""Siapa? Mbak Julia?" Aku langsung paham. "Iya." Mas Jaya langsung mengangkat. "Assalamualaikum? Ada apa, Mbak?"Awalnya aku acuh, tak mau dengar karena kesal duluan. Namun, setelah melihat ekspresi Mas Jaya yang kaget dengan raut tegang. "Iya, Mbak. Aku ke sana sekarang." Setelah itu dia menutup panggilan. Dia menatapku lalu berkata, "Dek, kamu mau ikut enggak?""Ke mana?" Pura-pura tidak tahu saja lah aku. "Mas Fandi meninggal. Mbak Julia bingung dan minta aku untuk ikut urus pemakaman.""Innalillahi. Serius, Mas?" Ak
"Maaf ya, Mas." Aku membuka pintu dengan wajah menunduk. Mas Jaya tersenyum membalasnya. "Enggak apa-apa. Lagian, masih banyak waktu juga. Oh ya, kita istirahat aja, ya. Aku tau, kamu pasti capek."Lelaki itu menarik tanganku dan mengajaknya ke atas tempat tidur. Dia mengangkat kakiku lalu menutupinya dengan selimut. Pintu dia kunci, lalu lampu utama dia matikan. Seperti tidak ada apa-apa. Dadaku masih berdebar-debar saat dia mulai naik ke atas tempat tidur. Aroma wangi dari parfumnya membuatku gugup. "Dek."Aku mendelik sambil menelan ludah. "Iya, Mas?""Kamu enggak mau peluk aku?" Dia mengulas senyuman. Tatapannya masih ke atas, pada langit-langit kamar setelan merebahkan diri. "Aku ... aku ...." Kenapa harus tanya, sih. Udah pasti mau lah. Tapi aku malu kalau diminta duluan. Masa laki-laki tidak paham begituan. Ya harusnya dia lah yang mulai. "Kalau enggak mau, juga enggak apa-apa. Aku tidak memaksa." Lah, malah ngambek dia. "Bukan itu." Aku bingung jadinya. Apa dia tidak paha
"Aku kenapa?" Sayup-sayup mata elang lelaki itu tak lagi taj4m. Dia terkulai lemas dia atas ranjang datar. Bibirnya semu putih pucat, menandakan keadaannya yang lemah. "Mas lagi di rumah sakit. Tadi tiba-tiba pingsan. Sekarang gimana rasanya? Apanya yang sakit?" Aku tanya dia balik. "Enggak ada. Asalkan liat kamu, semua sakitku hilang." Bibirnya melengkung manis. "Lagi sakit, bisa aja bercandanya. Lagian kenapa sih bisa sampe kena asam lambung? Mas enggak perhatiin kondisi diri sendiri, ya.""Aku kepikiran kamu terus. Aku takut kamu ....""Kenapa jadi overthinking begini sekarang?" Aku menghela napas. "Kapan kita nikahnya? Aku pengen cepet-cepet." Dia menyentuh tanganku. "Kita enggak akan nikah kalau Mas belum sembuh. Perhatikan dulu kondisi diri sendiri, sebelum mengurusi aku." "Iya-iya, Tuan Putri." Dia tertawa.Dua hari lelaki itu dalam perawatanku dan kini, agak aneh saja sifatnya. Makin manja dan ingin aku agar selalu di sampingnya. "Aku harus periksa pasien lagi, Mas." A
"Mai, kamu harus segera memutuskan. Karena ini menyangkut masa depan. Terus, ta'aruf itu juga bukan jalan yang ditempuh dengan suka-suka. Ini melibatkan Allah, Nak."Mama menyentuh pundakku saat aku melamun memikirkan semua itu di dalam kamar. Suasana pagi yang cukup dingin setelah hujan membuatku malas beranjak dari sana. "Ini lagi aku pikirkan, Mah. Kenapa harus Mas Jaya lagi?" Aku meratapi nasibku sendiri. "Kamu tau, enggak, Mai? Dulu, Mama sama papa itu terpisah beberapa bulan lamanya. Mama yakin papa kamu masih hidup. Dan saat peristiwa itu ditutup, karena tak ada harapan lagi. Tapi, Allah mentakdirkan lain. Papa kamu ternyata masih hidup dan kembali lagi. Kamu jangan salah sangka soal takdir Tuhan. Karena semua itu banyak hikmahnya. Jangan-jangan, kamu memang jodoh Jay yang sesungguhnya.""Tapi, Ma. Mau harus gimana? Pasti dia juga kaget tadinya karena ternyata, akhwat yang dia inginkan bukan yang jauh lebih baik. Tapi mantan istrinya sendiri.""Kamu itu su'udzon aja! Buktinya
"Jadi enggak ke sini?" Sebuah pesan akhirnya sampai juga padaku. Pesan singkat melalui aplikasi hijau itu dari Ustadz Firman yang kukenal belum lama ini. "Insyaallah, Ustadz. Tapi, saya deg-degan, nih. Saya takut mengecewakan akhwatnya.""Jangan khawatir, Mas. Kan saya temani nanti. Ada istri saya juga yang menemani dia.""Kalau dia enggak cocok sama saya gimana?" "Ya enggak masalah. Namanya juga masih nadzor. Mas banyakin dzikir aja. Siapa tau ini jawaban atas doa-doa Mas Jay selama ini."Menunggu pesan balasan dari ustadz itu, dadaku berdebar-debar. Seperti sedang menunggu hasil ujian saja. "Ya sudah, Ustadz. Saya berangkat sekarang.""Nah, gitu dong! Dari tadi kami tunggu ini. Sebagai laki-laki memang kita harusnya tidak mengecewakan pihak perempuan. Apa pun yang terjadi nanti, yakinlah kalau semua itu bagian dari ikhtiar kita. Semoga sukses ya, Mas.""Makasih, Ustadz."Pagi itu aku masih belum pakai baju setelah mandi karena menunggu balasan dari sang ustadz yang kebetulan memb
"Lu enggak mau nikah lagi gitu? Udah lama lu duda, Bro!" Pertanyaan menohok itu membuatku tersedak saat makan siang. Aku pun langsung meneguk minuman segar di atas mejaku. "Apaan, sih! Rese. Enggak ada kek pertanyaan yang lebih berbobot daripada itu?" Aku menghela napas. "Bukannya gitu, lu entar ada acara di kantor, enggak bawa pasangan? Lu kek orang ngenes tau enggak, Bro?" Ada saja pertanyaan seperti ini lagi. Sampai tak nafsu makan lagi aku. Kuletakkan sendok garpu lagi, lalu mengusap kedua sudut bibir. "Biarin aje. Enggak usah ngurusin gue. Lagian juga gue udah enggak minta lagi punya istri." Aku menjawab asal saja. Niatnya agar Reno, rekan kerjaku itu berhenti bicara. "Buset, dah! Lu yang bener aje? Laki-laki normal itu pasti ada saat-saatnya pengen anu," sindirnya lagi. "Anu apaan? Jangan ngawur! Aku puasa kalau lagi pengen gituan. Istighfar, nyadari kalau enggak punya istri." Lagi-lagi aku mengingat masa lalu. "Ya udah, buruan lu nyari kek biar enggak puasa terus. Lu ja