"Mah, Pah. Ini rumah kalian sekarang. Jangan pikirkan soal tadi," aku memeluk papa yang terlihat kurang sehat di rumah baru mereka. Rumah yang awalnya aku hadiahkan untuk Nisa. "Kalian akan tinggal di sini juga, kan? Papa sama mama tidak akan pernah bisa membalas kebaikan kamu, Nak," balas papa dengan mata memerah. Kuusap buliran bening dari sepasang mata tua itu. "Pah, Mah. Aku dan Nisa sudah punya rencana sendiri. Kami akan mulai semuanya dari awal.""Sayang, kamu baik sekali. Dari dulu kamu dan keluarga kamu selalu baik sama kami." Giliran mama memegang tangan menantunya sambil mengucapkan kalimat haru itu berkali-kali. "Mamah, Papah, kalian adalah orang tua Nisa. Sama seperti orang tua Nisa yang sekarang di rumah. Kalian adalah berlian di mata kami untuk mendapatkan ridho Allah. Izinkan kami berbakti ya, Mah, Pah." Nisa tersenyum lembut. Tak kusangka, ternyata aku memiliki berlian indah itu. Dadaku penuh dengan rasa syukur ketika menatapnya. Aku berjanji pada diriku sendiri, a
Astaghfirullah, aku melihat Nisa menyedekapkan tangannya di depan dada sambil menatap wanita yang ada di lantai dengan rambut acak-acakan. Mataku semakin melebar tatkala tahu siapa wanita itu. Napasnya tersengal, ada suara lirihan tangis pilu. "Kenapa aku tidak bisa seperti kalian!" teriaknya histeris. "Karena kamu angkuh. Kamu ingin memiliki segalanya sementara kamu sendiri sudah punya segalanya. Kamu ingin merebut kebahagiaan orang lain, Van! Ingat, itu perbuatan tidak baik. Dan imbasnya akan kembali padamu sendiri." Dengan lantangnya, istriku itu membalas ucapan Vania. Aku tidak pernah melihat Nisa seberani ini sebelumnya. Kudekati dia sambil menelan ludah. "Sayang, ada apa ini?" "Tuh, kerjaan dia ngacak-ngacak kamar kita. Dia nyerang duluan, jangan salahkan aku kalau aku ngamuk begini. Aku udah enggak tahan lagi, Bang! Dia udah keterlaluan." Panjang lebar Nisa mengutarakan kekesalannya. Aku pun hanya bisa mengiyakan saja daripada kena semprot dia juga nanti. Sepertinya Nisa s
"Hai, Mas. Apa kabar?" Sapa seorang pemuda yang wajahnya putih bersih. Sedikit mirip dengan kakaknya. "Eh, Amran. Mau ke mana? Atau dari mana?" Kupeluk adik iparku yang tampak membawa ransel itu. "Aku mau balik ke Kanada, Mas. Oh ya, titip Mbak Nisa, ya, Mas. Kasian banget dia. Dan aku sayang banget sama dia. Yang dulu selalu bantuin belajar aku waktu SMP." Lelaki muda yang baru saja tumbuh kumis tipis itu tersenyum haru. "Insyaallah, doakan Mas, ya! Semoga kami lekas diberi kebahagiaan yang bertambah. Begitu juga denganmu, aku doakan kamu sukses di sana." "Iya, Mas. Aamiin. Satu lagi, Mas. Tadi ada Mas Revan telpon aku, minta nomornya Mbak Nisa. Katanya di kontaknya hilang. Aku ragu mau ngasih, terus ya udah. Kubilang aja minta ke Mas Juna.""Revan?" Aku mengerutkan dahi. "Iya. Katanya sih mau ketemu Mbak Nisa. Takut ada apa-apa, kayak dulu itu. Aku enggak kasih, deh.""Oke. Makasih ya, Amran." "Duluan ya, Mas." "Ya. Hati-hati." Dan, Ki pun berpisah jalan. Keluarga Nisa meman
"Abang, aku enggak bermaksud apa-apa. Aku cuman ....""Sudahlah, Nisa! Aku tidak ingin mendengar nama laki-laki itu lagi. Terlepas dia sudah berubah atau belum, aku tidak suka kamu menyebut nama laki-laki lain di hadapanku!"Bang Juna kenapa, sih? Tumben marah-marah terus. Apa dia sedang ada masalah lain juga di kerjaannya? Atau dia lelah karena mengurusku?Mobil terus melaju dengan kecepatan di atas rata-rata seperti biasanya. Lelaki itu terlihat sekali sedang marah dan tak mau mendengar penjelasan ku dulu. Padahal, ada berita bagus yang harus dia dengar. Mungkin nanti saja saat keadaan sudah kembali normal. Sampai di rumah, Bang Juna tidak mengizinkanku jalan sendiri. Meski wajahnya murung, dia tetap menggendongku sampai di kamar. "Abang ... aku minta maaf kalau ucapanku ada yang salah. Tapi ...."Aku mencekal tangannya. Mencegah dia pergi dari kamar ini. Apalagi dalam keadaan marah. "Kamu istirahat lagi aja! Aku mau mandi."Akhirnya, dia kulepaskan lagi. Selama jalan ke sana ke m
"Selamat ya, Sayang, kamu akan segera menjadi ibu." Tante Maya memelukku saat kami bertemu di depan rumah seorang designer terkenal."Makasih banyak, Ta." Aku membalas senyumannya. "Jadi, Revan masih di kantor? Enggak ikut?" tanyaku lagi saat melihat Tante Maya sendirian. "Iya. Katanya enggak bisa ninggalin kerjaannya. Sebentar lagi juga nyusul. Kita ke dalem dulu aja, yuk! Pilih kain dulu.""Iya, Tan."Wanita itu menggandengku. Tangannya halus, seperti mama. Mereka memang sudah berteman lama juga. Kini, aku dan wanita seusia mama itu mengikuti langkah seorang designer yang menjelaskan soal bahan. Ruangan yang sangat luas dan panjang, berderet contoh-contoh gaun pengantin pria dan wanita dalam manekin tanpa kepala. Ah, jadi ingat saat-saat itu. Saat aku dan Revan akan menikah. Di sini juga kami memesan gaun. "Hallo, Tan ...." Seorang wanita datang menghampiri setelah satu jam kami berada di sini. Wanita muda itu menyapa Tante Maya yang tengah memegang kain warna putih. Sontak, ak
Tiba-tiba waktunya setelah aku pulang dari bandara, tubuh masih lelah tapi tetap harus berangkat ke rumah mama. "Sayang, kamu udah siap?" tanyaku pada Nisa yang tengah menyisir rambutnya. "Tiba-tiba perutku mual, Bang.""Ikut aja, ya! Soalnya daripada di rumah sendirian. Takut ada apa-apa, malah aku enggak di rumah.""Hem." Pundak Nisa luruh, dia seperti berat akan pergi. Aku tahu pasti semua itu karena dia tengah hamil. Tubuhnya pasti sedang menyesuaikan. "Kita nginep di rumah mama aja nanti. Biar enggak bolak-balik.""Iya-iya." Nisa lantas memakai kerudungnya. Kugandeng dia setelah itu. Istriku benar-benar ingin dimanja sepertinya. Kuminta dia tiduran di jok belakang selama aku menyetir sendiri. Sampai kami di rumah mama Aida, terlihat keadaan rumah tampak ada tamu. Entah tamu atau siapa. Yang jelas, pintu rumah terbuka lebar dan terdengar orang bicara di dalam. "Assalamualaikum?" Nisa masih kugandeng saat masuk ke dalam. "Wa'alaykumsalam warahmatullahi wa barokatuh." Mama me
"Mana kucingnya? Kalau enggak ada, aku nyari sendiri aja lah!" Pagi-pagi istri tercinta sudah mengomel. Bangun tidur dia sudah murung dengan wajah cemberut. Aku lupa. Ya, karena kesibukan hari-hari kemarin, aku jadi lupa mencari kucing untuk diadopsi. Jangan sampai Nisa beneran minta harimau nanti. Seperti yang sejak awal dia minta. Kusentuh pundaknya, mencoba membujuk agar dia lebih bersabar lagi. "Yank, kita cari hari ini, ya. Kemarin kan kita sibuk. Belum lagi ....""Kelamaan! Biar aku pergi aja sendiri nanti sama temen. Yang penting Abang ijinin.""Pergi ke mana?" Kaget aku dia bilang begitu. "Ke Bogor.""Astaga, jauh, Sayang. Jangan ah!""Terus kapan? Abang kan tiap hari sibuk.""Ya nanti kalau libur. Weekend Abang juga ada jadwal, gimana, dong?" "Makanya, biarkan aku pergi sendiri." "Jangan ngada-ngada deh, ah! Bahaya. Nanti kalau ketemu Rian gimana? Dia udah dendam sama kita gara-gara semua aset oma udah kembali lagi.""Abang tega memang. Padahal kan, bukan aku yang pengen
"Yank, ayo tidur!" Aku berdecak sejak tadi karena Nisa tak kunjung naik ke atas ranjang. "Iya, Bang.""Iya-iya terus kamu. Enggak kasian apa sama aku yang dari tadi kesepian butuh kasih sayang," keluhku lagi. "Habis ini ya, Bang. Nanggung." Dia masih sibuk dengan sesuatu di depannya. "Yank! Ayo!"Diam menghela napas panjang lalu memasukkan anakan kucing dia ekor itu ke dalam kandang. "Jangan ditaruh kamar! Bau nanti dia kalau pup. Heeem.""Tapi lucu, Bang. Gimana aku bisa jauh-jauh dari mereka. Orang gemesin begini." Dan kucing-kucing kecil itu masih mengeang-ngeong saja. Seolah tidak mau ditinggal oleh Nisa. Tak tahan menunggu lagi, aku langsung bangun dari tempat tidur lalu berdiri untuk mengangkat tubuh istriku. "Ayo!" Dia kaget sampai mendelik. "Abang!"Kuletakkan dia atas kasur lalu menutupi diri kami dengan selimut. Namun, dia malah memukul dadaku. Ah, malah seperti drama-drama pria sedang memaksa wanita untuk melayani saja. "Abang!" "Apa?""Aku enggak bisa napas ini!"
Pagi ini aku sangat sibuk dengan kerjaan kantor. Bolak-balik meninggalkan Humaira yang perutnya sudah membesar, rasanya hatiku tak tenang. Dia adalah belahan jiwaku yang di mana, rasa sakit atau apa pun yang menimpanya, aku pasti juga merasakannya. Seperti sekarang ini. Tiba-tiba perutku tak enak saat sedang meeting jam dua siang. Tiba-tiba pula aku ingat perkataanku saat itu kalau andai aku bisa ikut mengurasi rasa sakit melahirkan istriku, aku siap. Tapi, beberapa hari ini rasa sakit aneh ini mulai merajai. Keringat dingin keluar melalui pori-pori saat aku sedang presentasi di depan klien dan atasan. Sampai aku dibilang gerogi juga. Padahal sedang menahan mulas. "Kamu enggak apa-apa, Jay?" tanya atasanku saat kami selesai pertemuan di sebuah gedung. "Enggak, Pak. Aman." Sebisa mungkin aku mengulas senyuman. "Pucet banget mukamu. Sakit? Atau masih ada efek gerogi? Tumben banget kamu," lanjut pria paruh baya dengan setelan jas hitam itu. "Enggak apa-apa, Pak. Saya cuman khawatir
"Enak makanannya?" tanyaku saat Humaira menikmati setiap suapan. Dia hanya mengangguk, tapi terus melahap setiap sendok makanan ke mulutnya. Malam itu, tepatnya setelah dua bulan kami tak melihat Mbak Julia datang ke rumah lagi. Hidup kami serasa di dalam surga dunia. Setiap waktu sangat berharga bagiku. Apalagi, dia sangat ingin dimanja setiap saat. "Habis ini jalan ke mana, Dek?" "Aku udah kenyang. Tapi, baiknya jangan langsung pulang," balasnya sangat menohok. Pasti ada udang di balik batu. "Uhuk." Aku hampir saja menyembur karena tersedak. "Pelan-pelan, Mas!" Dia meraih tisu, lalu mengusap bibirku. "Habisnya, kamu lucu. Masih mau jalan? Mau nyari apa?""Enggak. Cuman kan habis makan, jangan duduk aja. Jalan-jalan lagi, kata orang."Aku menahan tawa. "Pengen apa, sih? Bilang aja! Mas jabaning, kok.""Beneran?" Kedua matanya berbinar-binar. "Tuh, kan, pasti pengen sesuatu. Mau apa?" "Aku mau ... ngasih Mas ini." Dia menyodorkan kotak persegi yang ukurannya sebesar kotak nasi
Aku memeluk raga yang dingin malam itu. Dia memunggungiku karena curiga. Tak masalah dia curiga, dan memang pantas dia seperti itu karena selama ini, aku belum bisa sepenuhnya jujur. Aku tidak tega dengan Mbak Julia, karena dia yang selama ini merawat kakak kandungku yang kelakuannya seperti itu. Ingin mengabaikan, tapi selalu merasa bersalah. Takut memutuskan silaturahmi. Tadi dia menelponku karena ingin tinggal di sini. Memaksa agar aku mengizinkan dia satu atap denganku dan Mai. Tapi, aku menolaknya. Tidak masalah kalau setiap bulan aku kirim uang padanya. Asalkan di tidak meminta tinggal di sini. Namun, yang ada malah Mai yang curiga. Dia pasti mikir yang enggak-enggak. Lagipula, ini memang tugasku juga meyakinkan dia kalau aku hanya mencintai dia. "Dek ....""Hem." Dia masih menjawab meskipun dingin. "Mas minta maaf, ya.""Bukan hari lebaran."Aku ingin tertawa rasanya. "Mas tadi ditelpon Mbak Julia. Mas jujur, loh. Jangan marah dulu.""Males.""Dengerin, Dek. Mas nolak dia,
"Kalian mau ngapain sih, Mas? Aku boleh ikut enggak? Perasaanku enggak enak kalau kalian ketemuan berdua gitu."Sambil sarapan, aku mengutarakan isi hatiku pada Mas Jaya. Lelaki gagah yang tampak rapi itu mengulas senyuman. Sambil mengunyah, dia membalas, "Kamu tenang aja, Dek. Mas juga tau siapa dia. Mas enggak akan tanggapi dia."Tak lama, ponsel di dalam saku Mas Jaya bergetar. Dia menatap layar ponselnya seraya mengernyit. "Baru juga diomongin, dia udah telpon.""Siapa? Mbak Julia?" Aku langsung paham. "Iya." Mas Jaya langsung mengangkat. "Assalamualaikum? Ada apa, Mbak?"Awalnya aku acuh, tak mau dengar karena kesal duluan. Namun, setelah melihat ekspresi Mas Jaya yang kaget dengan raut tegang. "Iya, Mbak. Aku ke sana sekarang." Setelah itu dia menutup panggilan. Dia menatapku lalu berkata, "Dek, kamu mau ikut enggak?""Ke mana?" Pura-pura tidak tahu saja lah aku. "Mas Fandi meninggal. Mbak Julia bingung dan minta aku untuk ikut urus pemakaman.""Innalillahi. Serius, Mas?" Ak
"Maaf ya, Mas." Aku membuka pintu dengan wajah menunduk. Mas Jaya tersenyum membalasnya. "Enggak apa-apa. Lagian, masih banyak waktu juga. Oh ya, kita istirahat aja, ya. Aku tau, kamu pasti capek."Lelaki itu menarik tanganku dan mengajaknya ke atas tempat tidur. Dia mengangkat kakiku lalu menutupinya dengan selimut. Pintu dia kunci, lalu lampu utama dia matikan. Seperti tidak ada apa-apa. Dadaku masih berdebar-debar saat dia mulai naik ke atas tempat tidur. Aroma wangi dari parfumnya membuatku gugup. "Dek."Aku mendelik sambil menelan ludah. "Iya, Mas?""Kamu enggak mau peluk aku?" Dia mengulas senyuman. Tatapannya masih ke atas, pada langit-langit kamar setelan merebahkan diri. "Aku ... aku ...." Kenapa harus tanya, sih. Udah pasti mau lah. Tapi aku malu kalau diminta duluan. Masa laki-laki tidak paham begituan. Ya harusnya dia lah yang mulai. "Kalau enggak mau, juga enggak apa-apa. Aku tidak memaksa." Lah, malah ngambek dia. "Bukan itu." Aku bingung jadinya. Apa dia tidak paha
"Aku kenapa?" Sayup-sayup mata elang lelaki itu tak lagi taj4m. Dia terkulai lemas dia atas ranjang datar. Bibirnya semu putih pucat, menandakan keadaannya yang lemah. "Mas lagi di rumah sakit. Tadi tiba-tiba pingsan. Sekarang gimana rasanya? Apanya yang sakit?" Aku tanya dia balik. "Enggak ada. Asalkan liat kamu, semua sakitku hilang." Bibirnya melengkung manis. "Lagi sakit, bisa aja bercandanya. Lagian kenapa sih bisa sampe kena asam lambung? Mas enggak perhatiin kondisi diri sendiri, ya.""Aku kepikiran kamu terus. Aku takut kamu ....""Kenapa jadi overthinking begini sekarang?" Aku menghela napas. "Kapan kita nikahnya? Aku pengen cepet-cepet." Dia menyentuh tanganku. "Kita enggak akan nikah kalau Mas belum sembuh. Perhatikan dulu kondisi diri sendiri, sebelum mengurusi aku." "Iya-iya, Tuan Putri." Dia tertawa.Dua hari lelaki itu dalam perawatanku dan kini, agak aneh saja sifatnya. Makin manja dan ingin aku agar selalu di sampingnya. "Aku harus periksa pasien lagi, Mas." A
"Mai, kamu harus segera memutuskan. Karena ini menyangkut masa depan. Terus, ta'aruf itu juga bukan jalan yang ditempuh dengan suka-suka. Ini melibatkan Allah, Nak."Mama menyentuh pundakku saat aku melamun memikirkan semua itu di dalam kamar. Suasana pagi yang cukup dingin setelah hujan membuatku malas beranjak dari sana. "Ini lagi aku pikirkan, Mah. Kenapa harus Mas Jaya lagi?" Aku meratapi nasibku sendiri. "Kamu tau, enggak, Mai? Dulu, Mama sama papa itu terpisah beberapa bulan lamanya. Mama yakin papa kamu masih hidup. Dan saat peristiwa itu ditutup, karena tak ada harapan lagi. Tapi, Allah mentakdirkan lain. Papa kamu ternyata masih hidup dan kembali lagi. Kamu jangan salah sangka soal takdir Tuhan. Karena semua itu banyak hikmahnya. Jangan-jangan, kamu memang jodoh Jay yang sesungguhnya.""Tapi, Ma. Mau harus gimana? Pasti dia juga kaget tadinya karena ternyata, akhwat yang dia inginkan bukan yang jauh lebih baik. Tapi mantan istrinya sendiri.""Kamu itu su'udzon aja! Buktinya
"Jadi enggak ke sini?" Sebuah pesan akhirnya sampai juga padaku. Pesan singkat melalui aplikasi hijau itu dari Ustadz Firman yang kukenal belum lama ini. "Insyaallah, Ustadz. Tapi, saya deg-degan, nih. Saya takut mengecewakan akhwatnya.""Jangan khawatir, Mas. Kan saya temani nanti. Ada istri saya juga yang menemani dia.""Kalau dia enggak cocok sama saya gimana?" "Ya enggak masalah. Namanya juga masih nadzor. Mas banyakin dzikir aja. Siapa tau ini jawaban atas doa-doa Mas Jay selama ini."Menunggu pesan balasan dari ustadz itu, dadaku berdebar-debar. Seperti sedang menunggu hasil ujian saja. "Ya sudah, Ustadz. Saya berangkat sekarang.""Nah, gitu dong! Dari tadi kami tunggu ini. Sebagai laki-laki memang kita harusnya tidak mengecewakan pihak perempuan. Apa pun yang terjadi nanti, yakinlah kalau semua itu bagian dari ikhtiar kita. Semoga sukses ya, Mas.""Makasih, Ustadz."Pagi itu aku masih belum pakai baju setelah mandi karena menunggu balasan dari sang ustadz yang kebetulan memb
"Lu enggak mau nikah lagi gitu? Udah lama lu duda, Bro!" Pertanyaan menohok itu membuatku tersedak saat makan siang. Aku pun langsung meneguk minuman segar di atas mejaku. "Apaan, sih! Rese. Enggak ada kek pertanyaan yang lebih berbobot daripada itu?" Aku menghela napas. "Bukannya gitu, lu entar ada acara di kantor, enggak bawa pasangan? Lu kek orang ngenes tau enggak, Bro?" Ada saja pertanyaan seperti ini lagi. Sampai tak nafsu makan lagi aku. Kuletakkan sendok garpu lagi, lalu mengusap kedua sudut bibir. "Biarin aje. Enggak usah ngurusin gue. Lagian juga gue udah enggak minta lagi punya istri." Aku menjawab asal saja. Niatnya agar Reno, rekan kerjaku itu berhenti bicara. "Buset, dah! Lu yang bener aje? Laki-laki normal itu pasti ada saat-saatnya pengen anu," sindirnya lagi. "Anu apaan? Jangan ngawur! Aku puasa kalau lagi pengen gituan. Istighfar, nyadari kalau enggak punya istri." Lagi-lagi aku mengingat masa lalu. "Ya udah, buruan lu nyari kek biar enggak puasa terus. Lu ja