Tertegun. Otaknya seolah berhenti berfungsi selama beberapa saat setelah membaca surat itu. Itu benar tulisan tangan Riana, dan ia belum dapat mencerna apa yang baru saja ia baca. Selama satu jam Alan duduk diam di depan meja rias membaca surat di tangannya berulang kali.
Suara gemuruh langit yang disusul dengan petir mulai terdengar di luar rumah. Suara siulan angin yang melewati celah-celah lubang udara seolah menjadi musik pengiring kesedihan Alan yang mulai menghantamnya.
Setelah membaca surat itu berulang kali, dia menyadari bahwa Riana akan menceraikannya. Wanita yang dia cintai dengan sepenuh hati meninggalkannya. Setelah membaca surat itu berulang kali,. Alan mencengkeram kertas itu dengan satu tangan dan menggertakkan gigi agar tidak berteriak.
Kisah cinta yang ia pikir akan bertahan selamanya hancur begitu saja karena ia miskin dan tidak dapat memberikan kemewahan pada istrinya selama pernikahan mereka.
Semua kenangan lama bersama Riana mulai bermunculan di dalam kepalanya bagai film dokumenter yang diputar secara acak.
Dari pertemuan pertama mereka di SMA. Gadis itu cukup terkenal di sekolahnya karena ia merupakan salah satu putri keluarga Jacky; keluarga pengusaha di bidang perminyakan yang berada di Sumatera, terlebih ia memiliki kecantikan alami tanpa polesan make up apapun di wajahnya. Ia juga terkenal sebagai primadona sekolah yang sulit di dekati karena kepribadiannya yang tertutup dan sedikit aneh.
Awalnya Alan hanya memperhatikannya dari jauh karena penasaran pada sosoknya, namun entah bagaimana takdir selalu mempertemukan mereka. Pertemuan kedua di perpustakaan, pertemuan ketiga di kantin sekolah, dan pertemuan berikutnya selalu di warung mie ayam bang Ujang yang ada di dekat sekolah mereka.
Itulah bagaimana mereka akhirnya dekat dan saling jatuh cinta setelah tamat sekolah. Mereka berpacaran selama setahun setelah duduk di bangku kuliah, lalu Riana diketahui hamil dan Alan memberanikan diri untuk melamarnya. Riana bahkan lebih memilih untuk menikah dengannya meskipun mendapatkan tentangan dari keluarga besar. Mereka tetap menikah dan hidup bersama di rumah orangtua Alan. Sekalipun pernikahan itu hanyalah pernikahan sederhana tanpa kehadiran keluarga Riana, mereka tetap merasa bahagia.
Meskipun berasal dari keluarga kaya, Riana yang Alan kenal bukanlah gadis yang sombong dan mempermasalahkan status, karena itu Alan begitu mencintai dan menyayanginya.
Gadis itu juga ikut bekerja menjadi kasir di salah satu supermarket dekat rumah mereka untuk membantu Alan mencari biaya kehidupan sehari-hari mereka beserta persiapan untuk menyambut kelahiran sang buah hati.
Jika saja Riana tidak keras kepala memaksakan diri untuk tetap bekerja saat kehamilannya yang lemah sudah memasuki usia enam bulan, mungkin kejadian Riana keguguran karena kelelahan tidak akan terjadi.
Ibunya Alan juga memberitahunya untuk menceraikan Riana karena kemungkinan gadis itu akan kesulitan untuk hamil lagi setelah mengalami keguguran. Namun, Alan bertekad tidak akan menceraikan Riana meskipun mereka hanya akan hidup berdua selamanya. Tapi, lihat siapa yang diceraikan sekarang?
Gadis yang ia perjuangkan malah meninggalkannya dengan alasan tidak tahan hidup miskin?
Lucu!
Siapa dulu yang mengatakan tidak masalah dengan hidup sederhana selama mereka selalu saling memiliki? Padahal mereka sudah sangat bahagia dengan kehidupan pernikahan selama lima bulan ini. Ataukah hanya dia seorang yang merasa bahagia?
Hati Alan memanas. Ia tidak terima diceraikan hanya dengan selembar kertas! Harga dirinya tidak menerima itu sebagai seorang pria! Ia harus pergi menemui Riana!
Alan membuang kertas remuk itu di tong sampah sebelah meja. Ia bergegas keluar rumah; mengabaikan hujan deras yang mengguyur kota Kota Pekanbaru malam itu. Sesekali kilat menyambar disertai suara guntur yang menggelegar seolah langit mengikuti suasana hatinya yang mendung dan bergemuruh saat ini.
‘Aku harus ke rumahnya dan menanyakannya langsung pada Riana,’ batin Alan sembari berjalan keluar rumah memakai helm dan mengendarai sepeda motor bututnya menuju kawasan perumahan elite tempat keluarga Riana tinggal.
Tak butuh waktu lama, dengan kecepatan 60 km/jam Alan melajukan motornya dan tiba dalam waktu setengah jam di depan sebuah rumah mewah tiga lantai yang tinggi menjulang dengan warna abu-abu putih dominan yang lebih terlihat seperti villa mewah dengan halaman yang penuh pepohonan dan bunga.
Ia basah kuyup. Namun ia tidak memperdulikannya.
Matanya tertegun sejenak memandangi rumah mewah yang sudah lama tidak ia datangi itu lalu berjalan mendekati gerbang rumah dan menekan belnya dengan penuh emosi. “Riana! Buka pintunya! Aku ingin bertemu denganmu!! Riana!! Apa kau benar-benar tidak mau bertemu denganku, Riana?!” teriaknya marah di depan rumah. Napasnya tersenggal karena emosi yang semakin meninggi.
“Berisik! Apa yang kau lakukan di depan rumah orang?! Pergilah!”
“Dasar orang gila! Pergilah sebelum kau kupukuli!”
Dua orang satpam yang berbadan kekar meneriaki Alan dari dalam pos satpam. Keduanya berdiri menatap Alan dengan ekspresi sangar dan mengancam.
Seolah tuli, Alan mengabaikan peringatan kedua orang tadi dan terus menekan bel sembari menggoyangkan pagar pembatas rumah itu tanpa henti.
“RIANA!! KELUARLAH! AKU TAHU KAU MENDENGAR SUARAKU! RIANA!!” teriak Alan semakin keras. Tak ada kata takut di dalam kamusnya saat ini. Yang ia pikirkan hanya bagaimana caranya bertemu dengan istrinya.
Tak butuh waktu lama. Seorang wanita cantik berambut hitam kecoklatan, dan iris berwarna coklat berusia di akhir lima puluhnya membuka pintu rumah dan keluar menggunakan payung berwarna hitam mendekati gerbang.
Wanita itu tidak terlihat tua sedikitpun, sebaliknya ia masih terlihat begitu cantik dan terawat. Namun, ekspresi galaknya tidak mencerminkan kecantikannya. Ia membentak Alan dengan tatapan menghina.
“Apa kau gila?! Berteriak di depan rumah orang! Sungguh tidak tahu malu!! Pergi dari rumahku!”
“Bu, di mana Riana?! Aku harus bertemu dengannya, Bu!” Alan berusaha menggapai wanita yang ia panggil Ibu itu dari sela-sela gerbang. Namun, seorang pria yang berbadan besar dengan kemeja berwarna hitam langsung muncul dari pos jaga menghadang dan mendorong Alan menjauhi gerbang hingga terjatuh ke aspal jalanan.
“Berhenti menyebut nama putriku dari mulut kotormu itu! Kau tidak berhak menemuinya lagi karena kalian akan bercerai besok! Sudah cukup putriku hidup sengsara karenamu! Jadi berhenti mencarinya! Dasar pengemis tak tahu malu!” Hinaan demi hinaan dilontarkan nyonya Jacky pada Alan yang berusaha berdiri dari genangan air kotor di tanah. Wajahnya setengah berlumpur karena terjatuh tadi. Penampilannya benar-benar terlihat seperti seorang pengemis yang menyedihkan di tengah guyuran hujan. Namun, pria itu tidak memedulikan semua hinaan itu. Yang ia pikirkan hanya menemui istrinya untuk berbicara. Ia pun berlutut di tanah menghadap nyonya Jacky, menangis dan memohon agar diizinkan untuk bertemu dengan Riana. “Aku mohon kepadamu, Bu. Izinkan aku bertemu dengan Riana. Aku harus mendengarnya langsung dari Riana mengapa ia menceraikanku? Tolong izinkan kami bertemu, Bu!” Alan mengabaikan tubuhnya yang mulai menggigil karena kedinginan. Ia terus berteriak memanggil nama Riana dengan air mata
“Tentu saja, Ibu juga ingin mendengar penjelasanmu tentang ini!” Alan dan Helena−Ibu Alan−pun berjalan masuk ke dalam rumah. Wanita paruh baya itu segera mengambilkan handuk bersih untuk Alan. “Mandi dan gantilah bajumu dulu. Setelah itu temui Ibu.” Alan mengangguk sembari menerima handuk yang ibunya berikan. Ia berjalan ke kamar mandi dan mulai membersihkan dirinya dengan sesekali meringis merasakan perih dari luka-luka di tubuhnya yang terkena air dan sabun. Bahkan saat mandipun ia kembali menangis memikirkan nasib pernikahannya dengan Riana yang membuat hatinya terasa begitu sakit. Selesai mandi dan berpakaian, Alan berjalan ke ruang makan dan menemui ibunya yang tengah duduk di meja makan dengan segelas teh hangat dan satu kotak yang berisi obat-obatan. Paper bag berisi McD tadi juga masih berada di atas meja itu. Dan sialnya itu kembali membuat Alan sedih. “Kemarilah, biarkan Ibu mengobatimu,” panggil Helena kepada Alan. Pria muda itu berjalan menghampiri ibunya dan duduk d
“Lakukan saja perintahku. Minta Lily memberimu pekerjaan di toko keluarganya. Ibu yakin dia akan membantumu karena dia terlihat tertarik padamu. Jangan jadi pria bodoh yang merana hanya karena seorang wanita.” Alan mengepalkan tangannya, pikiran dan hatinya berkecamuk antara tidak terima dan sakit hati. Terlebih setelah mendengar ucapan ibunya, ia merasa tidak harus menjadi hancur hanya karena Riana meninggalkannya. Setidaknya, setelah gadis itu kembali ke keluarganya, maka ia pasti akan jauh lebih bahagia bukan? Hah! Sampai akhirpun Alan tidak bisa membenci gadis itu. “Baiklah, aku akan mencoba meminta bantuan Lily. Seperti ucapan Ibu, aku akan mencoba mencari pekerjaan lain dan membuktikan bahwa hidup kita bisa berubah.” Helena akhirnya dapat tersenyum puas setelah mendengar jawaban putranya. Ia menghampiri Alan dan memeluk putranya yang lebih tinggi dua puluh centi darinya itu. “Bagus, kau benar-benar putraku yang cerdas. Ingatlah kau masih harus membiayai pendidikan adikmu, D
Halo, semuanya. Mohon maaf untuk keterlambatan saya dalam update semua cerita saya di sini karena ada beberapa kesibukan di rl yang membuat saya tidak bisa fokus. Di pengumuman kali ini saya ingin memberitahukan sebuah informasi kepada para pembaca sekalian, novel ini sudah direvisi ya setting dan latarnya, jadi bisa dibaca ulang dari bab 1 yaa~~ Dengan perubahan ini aku harap dapat membuat para pembaca lebih mudah dalam mendalami peran setiap karakternya,. Selamat membaca dan semoga semakin suka dengan novel kedua ku di sinii. terimakasih kepada para pembaca sekalian yang sudah setia menantikan setiap bab dari novel-novelku. Untuk novel yang satu lagi akan segera aku tamatkan yaaMohon nantikan update selanjutnya dari novel ini! Terimakasih!
“Alan!”Mendengar suara ibunya dari luar pintu kamar membuat Alan buru-buru menyembunyikan buku tabungan itu dan menyimpannya kembali ke dalam kotak. Ia takut jika ibunya mengetahui tabungan itu maka ibunya akan menggunakannya untuk berfoya-foya.Alan tidak ingin menggunakan uang hasil tabungan mereka untuk sesuatu yang sia-sia.“Ada apa, Bu?” tanya Alan begitu membuka pintu dan menatap pada sosok ibunya yang masih terlihat cemberut.“Apa kau ada uang? Kau tahu, ini sudah siang dan tidak ada bahan makanan apapun di kulkas. Berikan aku uang agar bisa berbelanja!”Tertegun, Alan menatap ibunya dengan ekspresi lemah. Ia pun mengeluarkan dompetnya yang masih setengah basah dan memberikan dua lembar pecahan lima puluh ribu.“Hanya ini yang kumiliki, Bu. Aku akan pergi bekerja nanti malam,” jawab Alan dengan nada lelah.Sejujurnya ia ingin beristirahat hari ini, namun ia tidak bisa mengingat bahwa ia sudah bertekad untuk mengumpulkan uang demi mengubah nasib mereka dan membuktikan pada Rian
Alan menerima tisu dari Tina dan menghapus air matanya lalu menerima botol air mineral dari Ferdi dan meminumnya.“Terimakasih,” ujarnya pelan.Mereka berempat duduk di lantai dengan Alan sebagai pusatnya.“Kami baik-baik saja hingga dua hari lalu. Dan Riana tiba-tiba pergi dari rumahku dengan sebuah surat yang mengatakan dia mau bercerai dariku. Hingga saat ini aku masih belum berbicara dengannya. Dia sudah mengirimkan surat cerai kepadaku siang tadi.”Ketiga pegawai lainnya terdiam menatap Alan dengan prihatin. Siapapun pasti akan sedih dan terkejut karena diceraikan tanpa alasan yang jelas.“Apa isi surat itu kalau kami boleh tahu?” Tina mencoba bertanya dengan hati-hati. Ia sangat penasaran akan alasan Riana menceraikan pria sebaik Alan.“Dia tidak tahan hidup miskin denganku,” jawab Alan lirih.“Apa?! Bagaimana mungkin?! Kau bahkan bekerja sampai subuh demi dia! Dan tiba-tiba dia bilang tidak tahan hidup miskin?! Dasar wanita gila!”“Bang, tolong jangan hina istriku. Ini salahku
Berikan aku nomormu,” kata Damian sembari mengeluarkan ponselnya. Alan menatap Damian sejenak lalu mengeluarkan ponselnya dan mulai menyebutkan satu per satu nomor teleponnya. Setelah saling bertukar nomor, Damian menatap Alan kembali. “Padahal aku berencana untuk mencarimu besok, tetapi ternyata takdir langsung mempertemukan kita,” ujarnya dengan senyum tulus. “Benarkah? Aku bahkan tidak menduga kau akan kembali ke kota kecil ini.”Damian tertawa. “Yeah, kupikir aku juga tidak akan kembali ke sini. Tapi, ternyata ada hal yang harus kulakukan di sini.” Ketika Alan ingin menjawab, ponsel Damian berdering begitu keras. Pria muda berusia 23 tahun itu mengangkat ponselnya dengan ekspresi yang berubah menjadi serius. “Baiklah, aku akan segera masuk,” jawabnya sembari menutup sambungan telepon dan kembali menatap Alan.“Ternyata kau sudah menjadi orang besar ya sekarang?” ujar Alan yang lebih terdengar seperti sebuah pernyataan dari pada pertanyaan. “Begitulah. Kalau begitu aku masuk
Sore itu, Alan mengendarai motor bebeknya pulang dengan senyum lebar sembari membawa sebuah tote bag di gantungan motor yang berisi burger McD kesukaan istrinya. Ia mendapatkan itu semua dari salah seorang pelanggan yang memakai jasa ojek online-nya. “Terimakasih, mas. Ini satu bungkus lagi untuk mas saja. Saya sengaja beli dua untuk diberi ke drivernya satu,” kata pelanggan wanita bernama Weni itu. Ia baru saja memesan jasa antar makanan online dan memesan dua paket makanan dari McD melalui Alan. “Wah! Yang benar, Kak? Terimakasih ya, kebetulan istri saya suka sekali burger McD, tapi setelah menikah dengan Saya dia belum pernah memakan ini lagi,” jawab Alan dengan senyum lebarnya, membuat Weni membulatkan matanya takjub mengetahui pria setampan Alan yang terlihat masih muda ternyata sudah menikah. “Alhamdulillah, Mas. Kalau begitu salam ya Mas untuk istrinya. Saya jadi ikut senang dengarnya.” “Iya Kak, nanti saya sampaikan. Saya permisi dulu ya, Kak.” “Iya, Mas. Hati-hati di jala
Berikan aku nomormu,” kata Damian sembari mengeluarkan ponselnya. Alan menatap Damian sejenak lalu mengeluarkan ponselnya dan mulai menyebutkan satu per satu nomor teleponnya. Setelah saling bertukar nomor, Damian menatap Alan kembali. “Padahal aku berencana untuk mencarimu besok, tetapi ternyata takdir langsung mempertemukan kita,” ujarnya dengan senyum tulus. “Benarkah? Aku bahkan tidak menduga kau akan kembali ke kota kecil ini.”Damian tertawa. “Yeah, kupikir aku juga tidak akan kembali ke sini. Tapi, ternyata ada hal yang harus kulakukan di sini.” Ketika Alan ingin menjawab, ponsel Damian berdering begitu keras. Pria muda berusia 23 tahun itu mengangkat ponselnya dengan ekspresi yang berubah menjadi serius. “Baiklah, aku akan segera masuk,” jawabnya sembari menutup sambungan telepon dan kembali menatap Alan.“Ternyata kau sudah menjadi orang besar ya sekarang?” ujar Alan yang lebih terdengar seperti sebuah pernyataan dari pada pertanyaan. “Begitulah. Kalau begitu aku masuk
Alan menerima tisu dari Tina dan menghapus air matanya lalu menerima botol air mineral dari Ferdi dan meminumnya.“Terimakasih,” ujarnya pelan.Mereka berempat duduk di lantai dengan Alan sebagai pusatnya.“Kami baik-baik saja hingga dua hari lalu. Dan Riana tiba-tiba pergi dari rumahku dengan sebuah surat yang mengatakan dia mau bercerai dariku. Hingga saat ini aku masih belum berbicara dengannya. Dia sudah mengirimkan surat cerai kepadaku siang tadi.”Ketiga pegawai lainnya terdiam menatap Alan dengan prihatin. Siapapun pasti akan sedih dan terkejut karena diceraikan tanpa alasan yang jelas.“Apa isi surat itu kalau kami boleh tahu?” Tina mencoba bertanya dengan hati-hati. Ia sangat penasaran akan alasan Riana menceraikan pria sebaik Alan.“Dia tidak tahan hidup miskin denganku,” jawab Alan lirih.“Apa?! Bagaimana mungkin?! Kau bahkan bekerja sampai subuh demi dia! Dan tiba-tiba dia bilang tidak tahan hidup miskin?! Dasar wanita gila!”“Bang, tolong jangan hina istriku. Ini salahku
“Alan!”Mendengar suara ibunya dari luar pintu kamar membuat Alan buru-buru menyembunyikan buku tabungan itu dan menyimpannya kembali ke dalam kotak. Ia takut jika ibunya mengetahui tabungan itu maka ibunya akan menggunakannya untuk berfoya-foya.Alan tidak ingin menggunakan uang hasil tabungan mereka untuk sesuatu yang sia-sia.“Ada apa, Bu?” tanya Alan begitu membuka pintu dan menatap pada sosok ibunya yang masih terlihat cemberut.“Apa kau ada uang? Kau tahu, ini sudah siang dan tidak ada bahan makanan apapun di kulkas. Berikan aku uang agar bisa berbelanja!”Tertegun, Alan menatap ibunya dengan ekspresi lemah. Ia pun mengeluarkan dompetnya yang masih setengah basah dan memberikan dua lembar pecahan lima puluh ribu.“Hanya ini yang kumiliki, Bu. Aku akan pergi bekerja nanti malam,” jawab Alan dengan nada lelah.Sejujurnya ia ingin beristirahat hari ini, namun ia tidak bisa mengingat bahwa ia sudah bertekad untuk mengumpulkan uang demi mengubah nasib mereka dan membuktikan pada Rian
Halo, semuanya. Mohon maaf untuk keterlambatan saya dalam update semua cerita saya di sini karena ada beberapa kesibukan di rl yang membuat saya tidak bisa fokus. Di pengumuman kali ini saya ingin memberitahukan sebuah informasi kepada para pembaca sekalian, novel ini sudah direvisi ya setting dan latarnya, jadi bisa dibaca ulang dari bab 1 yaa~~ Dengan perubahan ini aku harap dapat membuat para pembaca lebih mudah dalam mendalami peran setiap karakternya,. Selamat membaca dan semoga semakin suka dengan novel kedua ku di sinii. terimakasih kepada para pembaca sekalian yang sudah setia menantikan setiap bab dari novel-novelku. Untuk novel yang satu lagi akan segera aku tamatkan yaaMohon nantikan update selanjutnya dari novel ini! Terimakasih!
“Lakukan saja perintahku. Minta Lily memberimu pekerjaan di toko keluarganya. Ibu yakin dia akan membantumu karena dia terlihat tertarik padamu. Jangan jadi pria bodoh yang merana hanya karena seorang wanita.” Alan mengepalkan tangannya, pikiran dan hatinya berkecamuk antara tidak terima dan sakit hati. Terlebih setelah mendengar ucapan ibunya, ia merasa tidak harus menjadi hancur hanya karena Riana meninggalkannya. Setidaknya, setelah gadis itu kembali ke keluarganya, maka ia pasti akan jauh lebih bahagia bukan? Hah! Sampai akhirpun Alan tidak bisa membenci gadis itu. “Baiklah, aku akan mencoba meminta bantuan Lily. Seperti ucapan Ibu, aku akan mencoba mencari pekerjaan lain dan membuktikan bahwa hidup kita bisa berubah.” Helena akhirnya dapat tersenyum puas setelah mendengar jawaban putranya. Ia menghampiri Alan dan memeluk putranya yang lebih tinggi dua puluh centi darinya itu. “Bagus, kau benar-benar putraku yang cerdas. Ingatlah kau masih harus membiayai pendidikan adikmu, D
“Tentu saja, Ibu juga ingin mendengar penjelasanmu tentang ini!” Alan dan Helena−Ibu Alan−pun berjalan masuk ke dalam rumah. Wanita paruh baya itu segera mengambilkan handuk bersih untuk Alan. “Mandi dan gantilah bajumu dulu. Setelah itu temui Ibu.” Alan mengangguk sembari menerima handuk yang ibunya berikan. Ia berjalan ke kamar mandi dan mulai membersihkan dirinya dengan sesekali meringis merasakan perih dari luka-luka di tubuhnya yang terkena air dan sabun. Bahkan saat mandipun ia kembali menangis memikirkan nasib pernikahannya dengan Riana yang membuat hatinya terasa begitu sakit. Selesai mandi dan berpakaian, Alan berjalan ke ruang makan dan menemui ibunya yang tengah duduk di meja makan dengan segelas teh hangat dan satu kotak yang berisi obat-obatan. Paper bag berisi McD tadi juga masih berada di atas meja itu. Dan sialnya itu kembali membuat Alan sedih. “Kemarilah, biarkan Ibu mengobatimu,” panggil Helena kepada Alan. Pria muda itu berjalan menghampiri ibunya dan duduk d
“Berhenti menyebut nama putriku dari mulut kotormu itu! Kau tidak berhak menemuinya lagi karena kalian akan bercerai besok! Sudah cukup putriku hidup sengsara karenamu! Jadi berhenti mencarinya! Dasar pengemis tak tahu malu!” Hinaan demi hinaan dilontarkan nyonya Jacky pada Alan yang berusaha berdiri dari genangan air kotor di tanah. Wajahnya setengah berlumpur karena terjatuh tadi. Penampilannya benar-benar terlihat seperti seorang pengemis yang menyedihkan di tengah guyuran hujan. Namun, pria itu tidak memedulikan semua hinaan itu. Yang ia pikirkan hanya menemui istrinya untuk berbicara. Ia pun berlutut di tanah menghadap nyonya Jacky, menangis dan memohon agar diizinkan untuk bertemu dengan Riana. “Aku mohon kepadamu, Bu. Izinkan aku bertemu dengan Riana. Aku harus mendengarnya langsung dari Riana mengapa ia menceraikanku? Tolong izinkan kami bertemu, Bu!” Alan mengabaikan tubuhnya yang mulai menggigil karena kedinginan. Ia terus berteriak memanggil nama Riana dengan air mata
Tertegun. Otaknya seolah berhenti berfungsi selama beberapa saat setelah membaca surat itu. Itu benar tulisan tangan Riana, dan ia belum dapat mencerna apa yang baru saja ia baca. Selama satu jam Alan duduk diam di depan meja rias membaca surat di tangannya berulang kali. Suara gemuruh langit yang disusul dengan petir mulai terdengar di luar rumah. Suara siulan angin yang melewati celah-celah lubang udara seolah menjadi musik pengiring kesedihan Alan yang mulai menghantamnya. Setelah membaca surat itu berulang kali, dia menyadari bahwa Riana akan menceraikannya. Wanita yang dia cintai dengan sepenuh hati meninggalkannya. Setelah membaca surat itu berulang kali,. Alan mencengkeram kertas itu dengan satu tangan dan menggertakkan gigi agar tidak berteriak. Kisah cinta yang ia pikir akan bertahan selamanya hancur begitu saja karena ia miskin dan tidak dapat memberikan kemewahan pada istrinya selama pernikahan mereka. Semua kenangan lama bersama Riana mulai bermunculan di dalam kepalany
Sore itu, Alan mengendarai motor bebeknya pulang dengan senyum lebar sembari membawa sebuah tote bag di gantungan motor yang berisi burger McD kesukaan istrinya. Ia mendapatkan itu semua dari salah seorang pelanggan yang memakai jasa ojek online-nya. “Terimakasih, mas. Ini satu bungkus lagi untuk mas saja. Saya sengaja beli dua untuk diberi ke drivernya satu,” kata pelanggan wanita bernama Weni itu. Ia baru saja memesan jasa antar makanan online dan memesan dua paket makanan dari McD melalui Alan. “Wah! Yang benar, Kak? Terimakasih ya, kebetulan istri saya suka sekali burger McD, tapi setelah menikah dengan Saya dia belum pernah memakan ini lagi,” jawab Alan dengan senyum lebarnya, membuat Weni membulatkan matanya takjub mengetahui pria setampan Alan yang terlihat masih muda ternyata sudah menikah. “Alhamdulillah, Mas. Kalau begitu salam ya Mas untuk istrinya. Saya jadi ikut senang dengarnya.” “Iya Kak, nanti saya sampaikan. Saya permisi dulu ya, Kak.” “Iya, Mas. Hati-hati di jala