Sore itu, Alan mengendarai motor bebeknya pulang dengan senyum lebar sembari membawa sebuah tote bag di gantungan motor yang berisi burger McD kesukaan istrinya. Ia mendapatkan itu semua dari salah seorang pelanggan yang memakai jasa ojek online-nya.
“Terimakasih, mas. Ini satu bungkus lagi untuk mas saja. Saya sengaja beli dua untuk diberi ke drivernya satu,” kata pelanggan wanita bernama Weni itu. Ia baru saja memesan jasa antar makanan online dan memesan dua paket makanan dari McD melalui Alan.
“Wah! Yang benar, Kak? Terimakasih ya, kebetulan istri saya suka sekali burger McD, tapi setelah menikah dengan Saya dia belum pernah memakan ini lagi,” jawab Alan dengan senyum lebarnya, membuat Weni membulatkan matanya takjub mengetahui pria setampan Alan yang terlihat masih muda ternyata sudah menikah.
“Alhamdulillah, Mas. Kalau begitu salam ya Mas untuk istrinya. Saya jadi ikut senang dengarnya.”
“Iya Kak, nanti saya sampaikan. Saya permisi dulu ya, Kak.”
“Iya, Mas. Hati-hati di jalan.”
Alan berharap bahwa Riana akan kembali tersenyum setelah memakan burger McD kesukaannya itu.
Dalam perjalanannya, awan gelap mulai memenuhi langit kota Kota Pekanbaru sebagai penanda bahwa sebentar lagi akan turun hujan. Alan mempercepat laju motornya agar tiba di rumah sebelum hujan turun. Ia takut bahwa burger, ice cream, dan minuman mahal di tote bag akan rusak jika terkena hujan.
Jujur saja, dengan pendapatannya saat ini ia tidak akan mampu membeli makanan-makanan itu yang memang ditargetkan untuk para kalangan atas. Namun mengingat Riana adalah salah seorang putri dari keluarga Jacky yang terkenal sebagai keluarga terkaya nomor dua di Kota Pekanbaru, tentu saja wanita itu dulunya sering berkunjung dan menikmati beberapa hidangan di sana dengan rutin setiap ia menyelesaikan kuliahnya.
Setelah memasuki kawasan rumah yang ada di pinggir kota, dengan jarak tempuh empat puluh lima menit jika mengendari sepeda motor. Alan kini tiba di depan sebuah rumah kayu yang terlihat tidak terawat dengan eksterior yang mulai keropos. Ia memarkirkan motornya di teras rumah sebelum akhirnya membuka pintu dan masuk ke dalam rumah. Masih dengan senyum lebarnya Alan mulai memanggil istrinya dengan penuh semangat.
“Sayang, aku pulang membawa burger kesukaanmu! Salah satu pelangganku memberi ini sebagai tip—“ Alan tertegun di tempatnya ketika membuka pintu kamar dan ia tidak menemukan istrinya di dalam. ‘Kemana dia?’ batinnya dengan gusar.
“Riana? Kau di mana, sayang?” Alan kembali menelusuri seisi rumah yang tidak terlalu besar itu. Ia mencoba mencari keberadaan istrinya namun nihil. Riana tidak ada di manapun di dalam rumah itu.
Rasa panik menjalari hati dan pikiran Alan mengingat bahwa istrinya itu tidak dalam kondsi baik pasca mengalami keguguran satu bulan lalu. Ia terlihat sangat terpukul hingga selalu menangis menyalahkan dirinya sendiri. Tak jarang Alan juga melihat bahwa tatapan Riana begitu kosong kala memandangi beberapa perlengkapan bayi yang telah mereka beli sedikit demi sedikit untuk menyambut kehadiran anak pertama mereka. Namun, itu semua menjadi barang rongsokan karena tidak dapat digunakan.
Alan mengeluarkan ponsel di sakunya dan mencoba menghubungi istrinya. Namun, nomornya tidak aktif dan itu membuat perasaan Alan memburuk.
“Please, Riana. Kumohon jangan melakukan hal nekad.” Alan yang diliputi perasaan cemas buru-buru berlari ke luar rumah setelah menaruh tote bag di atas meja makan dan menggedor setiap pintu rumah yang ada di sekitarnya.
Ia pergi menanyakan kepada setiap orang yang membuka pintu mengenai keberadaan Riana atau adakah yang melihatnya karena ia tidak dapat menemukan Riana di dalam rumah.
“Permisi bu, apakah Ibu ada melihat Riana hari ini?” tanyanya pada seorang ibu paruh baya yang sedang menyapu teras rumahnya. Rumah itu berjarak tiga rumah dari rumahnya.
“Oh, Alan! Tidak, Ibu tidak melihat Riana hari ini. Seharian ini Ibu sibuk membereskan rumah jadi belum ada keluar rumah dari tadi.”
“Oh, begitu. Baik, bu. Terimakasih.”
Lima dari enam rumah yang membuka pintu menjawab tidak melihat Riana seharian itu karena mereka sibuk bekerja ataupun berdiam diri di rumah. Namun, jawaban penghuni lainnya membuat Alan terkejut.
“Aku melihat Riana pergi dengan sebuah mobil audy berwarna putih di depan rumahmu pukul tiga siang tadi. Saat itu aku sedang membuang sampah dan tidak sengaja melihat Riana masuk ke mobil itu dengan membawa sebuah koper.”
“Mobil Audi?” Alan terdiam sejenak, pupilnya membesar menyadari siapa yang memiliki mobil itu. “Terimakasih Pak untuk infonya!”
Alan kembali berlari ke dalam rumah dan memeriksa beberapa hal. Ia masuk ke kamar dan membuka lemari pakaian mereka. Benar saja, sebagian besar baju-baju Riana beserta kopernya tidak ada di dalam lemari.
Ia mencoba melihat-lihat barang Riana lainnya namun ia baru sadar bahwa tidak banyak barang yang dimiliki oleh gadis itu karena ia tidak pernah membelikannya. Bahkan gadis itu malah menjual beberapa barang bawaannya dulu untuk menutupi kehidupan sehari-hari mereka. Tapi, gadis itu tidak pernah mengeluh sebelumnya.
Pandangan Alan tertuju pada secarik kertas yang terlipat di atas meja rias. Ia lalu mengambil kertas itu, membuka, dan membacanya dalam diam.
Alan, Ayo bercerai. Aku tidak sanggup hidup miskin selamanya bersamamu. Sebelumnya aku bertahan karena ada bayi kita di dalam perutku, namun setelah ia pergi, kurasa tidak ada gunanya untuk bertahan hidup dengan pria miskin sepertimu. Aku lelah dan ingin menikmati masa mudaku dengan berfoya-foya. Jadi, kuharap kau menandatangani surat cerai yang akan kukirimkan besok. Terimakasih untuk pengalaman hidup miskinnya, berkatmu aku jadi tahu bahwa hidup miskin itu melelahkan.
Salam,
Adriana Jacky.
Tertegun. Otaknya seolah berhenti berfungsi selama beberapa saat setelah membaca surat itu. Itu benar tulisan tangan Riana, dan ia belum dapat mencerna apa yang baru saja ia baca. Selama satu jam Alan duduk diam di depan meja rias membaca surat di tangannya berulang kali. Suara gemuruh langit yang disusul dengan petir mulai terdengar di luar rumah. Suara siulan angin yang melewati celah-celah lubang udara seolah menjadi musik pengiring kesedihan Alan yang mulai menghantamnya. Setelah membaca surat itu berulang kali, dia menyadari bahwa Riana akan menceraikannya. Wanita yang dia cintai dengan sepenuh hati meninggalkannya. Setelah membaca surat itu berulang kali,. Alan mencengkeram kertas itu dengan satu tangan dan menggertakkan gigi agar tidak berteriak. Kisah cinta yang ia pikir akan bertahan selamanya hancur begitu saja karena ia miskin dan tidak dapat memberikan kemewahan pada istrinya selama pernikahan mereka. Semua kenangan lama bersama Riana mulai bermunculan di dalam kepalany
“Berhenti menyebut nama putriku dari mulut kotormu itu! Kau tidak berhak menemuinya lagi karena kalian akan bercerai besok! Sudah cukup putriku hidup sengsara karenamu! Jadi berhenti mencarinya! Dasar pengemis tak tahu malu!” Hinaan demi hinaan dilontarkan nyonya Jacky pada Alan yang berusaha berdiri dari genangan air kotor di tanah. Wajahnya setengah berlumpur karena terjatuh tadi. Penampilannya benar-benar terlihat seperti seorang pengemis yang menyedihkan di tengah guyuran hujan. Namun, pria itu tidak memedulikan semua hinaan itu. Yang ia pikirkan hanya menemui istrinya untuk berbicara. Ia pun berlutut di tanah menghadap nyonya Jacky, menangis dan memohon agar diizinkan untuk bertemu dengan Riana. “Aku mohon kepadamu, Bu. Izinkan aku bertemu dengan Riana. Aku harus mendengarnya langsung dari Riana mengapa ia menceraikanku? Tolong izinkan kami bertemu, Bu!” Alan mengabaikan tubuhnya yang mulai menggigil karena kedinginan. Ia terus berteriak memanggil nama Riana dengan air mata
“Tentu saja, Ibu juga ingin mendengar penjelasanmu tentang ini!” Alan dan Helena−Ibu Alan−pun berjalan masuk ke dalam rumah. Wanita paruh baya itu segera mengambilkan handuk bersih untuk Alan. “Mandi dan gantilah bajumu dulu. Setelah itu temui Ibu.” Alan mengangguk sembari menerima handuk yang ibunya berikan. Ia berjalan ke kamar mandi dan mulai membersihkan dirinya dengan sesekali meringis merasakan perih dari luka-luka di tubuhnya yang terkena air dan sabun. Bahkan saat mandipun ia kembali menangis memikirkan nasib pernikahannya dengan Riana yang membuat hatinya terasa begitu sakit. Selesai mandi dan berpakaian, Alan berjalan ke ruang makan dan menemui ibunya yang tengah duduk di meja makan dengan segelas teh hangat dan satu kotak yang berisi obat-obatan. Paper bag berisi McD tadi juga masih berada di atas meja itu. Dan sialnya itu kembali membuat Alan sedih. “Kemarilah, biarkan Ibu mengobatimu,” panggil Helena kepada Alan. Pria muda itu berjalan menghampiri ibunya dan duduk d
“Lakukan saja perintahku. Minta Lily memberimu pekerjaan di toko keluarganya. Ibu yakin dia akan membantumu karena dia terlihat tertarik padamu. Jangan jadi pria bodoh yang merana hanya karena seorang wanita.” Alan mengepalkan tangannya, pikiran dan hatinya berkecamuk antara tidak terima dan sakit hati. Terlebih setelah mendengar ucapan ibunya, ia merasa tidak harus menjadi hancur hanya karena Riana meninggalkannya. Setidaknya, setelah gadis itu kembali ke keluarganya, maka ia pasti akan jauh lebih bahagia bukan? Hah! Sampai akhirpun Alan tidak bisa membenci gadis itu. “Baiklah, aku akan mencoba meminta bantuan Lily. Seperti ucapan Ibu, aku akan mencoba mencari pekerjaan lain dan membuktikan bahwa hidup kita bisa berubah.” Helena akhirnya dapat tersenyum puas setelah mendengar jawaban putranya. Ia menghampiri Alan dan memeluk putranya yang lebih tinggi dua puluh centi darinya itu. “Bagus, kau benar-benar putraku yang cerdas. Ingatlah kau masih harus membiayai pendidikan adikmu, D
Halo, semuanya. Mohon maaf untuk keterlambatan saya dalam update semua cerita saya di sini karena ada beberapa kesibukan di rl yang membuat saya tidak bisa fokus. Di pengumuman kali ini saya ingin memberitahukan sebuah informasi kepada para pembaca sekalian, novel ini sudah direvisi ya setting dan latarnya, jadi bisa dibaca ulang dari bab 1 yaa~~ Dengan perubahan ini aku harap dapat membuat para pembaca lebih mudah dalam mendalami peran setiap karakternya,. Selamat membaca dan semoga semakin suka dengan novel kedua ku di sinii. terimakasih kepada para pembaca sekalian yang sudah setia menantikan setiap bab dari novel-novelku. Untuk novel yang satu lagi akan segera aku tamatkan yaaMohon nantikan update selanjutnya dari novel ini! Terimakasih!
“Alan!”Mendengar suara ibunya dari luar pintu kamar membuat Alan buru-buru menyembunyikan buku tabungan itu dan menyimpannya kembali ke dalam kotak. Ia takut jika ibunya mengetahui tabungan itu maka ibunya akan menggunakannya untuk berfoya-foya.Alan tidak ingin menggunakan uang hasil tabungan mereka untuk sesuatu yang sia-sia.“Ada apa, Bu?” tanya Alan begitu membuka pintu dan menatap pada sosok ibunya yang masih terlihat cemberut.“Apa kau ada uang? Kau tahu, ini sudah siang dan tidak ada bahan makanan apapun di kulkas. Berikan aku uang agar bisa berbelanja!”Tertegun, Alan menatap ibunya dengan ekspresi lemah. Ia pun mengeluarkan dompetnya yang masih setengah basah dan memberikan dua lembar pecahan lima puluh ribu.“Hanya ini yang kumiliki, Bu. Aku akan pergi bekerja nanti malam,” jawab Alan dengan nada lelah.Sejujurnya ia ingin beristirahat hari ini, namun ia tidak bisa mengingat bahwa ia sudah bertekad untuk mengumpulkan uang demi mengubah nasib mereka dan membuktikan pada Rian
Alan menerima tisu dari Tina dan menghapus air matanya lalu menerima botol air mineral dari Ferdi dan meminumnya.“Terimakasih,” ujarnya pelan.Mereka berempat duduk di lantai dengan Alan sebagai pusatnya.“Kami baik-baik saja hingga dua hari lalu. Dan Riana tiba-tiba pergi dari rumahku dengan sebuah surat yang mengatakan dia mau bercerai dariku. Hingga saat ini aku masih belum berbicara dengannya. Dia sudah mengirimkan surat cerai kepadaku siang tadi.”Ketiga pegawai lainnya terdiam menatap Alan dengan prihatin. Siapapun pasti akan sedih dan terkejut karena diceraikan tanpa alasan yang jelas.“Apa isi surat itu kalau kami boleh tahu?” Tina mencoba bertanya dengan hati-hati. Ia sangat penasaran akan alasan Riana menceraikan pria sebaik Alan.“Dia tidak tahan hidup miskin denganku,” jawab Alan lirih.“Apa?! Bagaimana mungkin?! Kau bahkan bekerja sampai subuh demi dia! Dan tiba-tiba dia bilang tidak tahan hidup miskin?! Dasar wanita gila!”“Bang, tolong jangan hina istriku. Ini salahku
Berikan aku nomormu,” kata Damian sembari mengeluarkan ponselnya. Alan menatap Damian sejenak lalu mengeluarkan ponselnya dan mulai menyebutkan satu per satu nomor teleponnya. Setelah saling bertukar nomor, Damian menatap Alan kembali. “Padahal aku berencana untuk mencarimu besok, tetapi ternyata takdir langsung mempertemukan kita,” ujarnya dengan senyum tulus. “Benarkah? Aku bahkan tidak menduga kau akan kembali ke kota kecil ini.”Damian tertawa. “Yeah, kupikir aku juga tidak akan kembali ke sini. Tapi, ternyata ada hal yang harus kulakukan di sini.” Ketika Alan ingin menjawab, ponsel Damian berdering begitu keras. Pria muda berusia 23 tahun itu mengangkat ponselnya dengan ekspresi yang berubah menjadi serius. “Baiklah, aku akan segera masuk,” jawabnya sembari menutup sambungan telepon dan kembali menatap Alan.“Ternyata kau sudah menjadi orang besar ya sekarang?” ujar Alan yang lebih terdengar seperti sebuah pernyataan dari pada pertanyaan. “Begitulah. Kalau begitu aku masuk
Berikan aku nomormu,” kata Damian sembari mengeluarkan ponselnya. Alan menatap Damian sejenak lalu mengeluarkan ponselnya dan mulai menyebutkan satu per satu nomor teleponnya. Setelah saling bertukar nomor, Damian menatap Alan kembali. “Padahal aku berencana untuk mencarimu besok, tetapi ternyata takdir langsung mempertemukan kita,” ujarnya dengan senyum tulus. “Benarkah? Aku bahkan tidak menduga kau akan kembali ke kota kecil ini.”Damian tertawa. “Yeah, kupikir aku juga tidak akan kembali ke sini. Tapi, ternyata ada hal yang harus kulakukan di sini.” Ketika Alan ingin menjawab, ponsel Damian berdering begitu keras. Pria muda berusia 23 tahun itu mengangkat ponselnya dengan ekspresi yang berubah menjadi serius. “Baiklah, aku akan segera masuk,” jawabnya sembari menutup sambungan telepon dan kembali menatap Alan.“Ternyata kau sudah menjadi orang besar ya sekarang?” ujar Alan yang lebih terdengar seperti sebuah pernyataan dari pada pertanyaan. “Begitulah. Kalau begitu aku masuk
Alan menerima tisu dari Tina dan menghapus air matanya lalu menerima botol air mineral dari Ferdi dan meminumnya.“Terimakasih,” ujarnya pelan.Mereka berempat duduk di lantai dengan Alan sebagai pusatnya.“Kami baik-baik saja hingga dua hari lalu. Dan Riana tiba-tiba pergi dari rumahku dengan sebuah surat yang mengatakan dia mau bercerai dariku. Hingga saat ini aku masih belum berbicara dengannya. Dia sudah mengirimkan surat cerai kepadaku siang tadi.”Ketiga pegawai lainnya terdiam menatap Alan dengan prihatin. Siapapun pasti akan sedih dan terkejut karena diceraikan tanpa alasan yang jelas.“Apa isi surat itu kalau kami boleh tahu?” Tina mencoba bertanya dengan hati-hati. Ia sangat penasaran akan alasan Riana menceraikan pria sebaik Alan.“Dia tidak tahan hidup miskin denganku,” jawab Alan lirih.“Apa?! Bagaimana mungkin?! Kau bahkan bekerja sampai subuh demi dia! Dan tiba-tiba dia bilang tidak tahan hidup miskin?! Dasar wanita gila!”“Bang, tolong jangan hina istriku. Ini salahku
“Alan!”Mendengar suara ibunya dari luar pintu kamar membuat Alan buru-buru menyembunyikan buku tabungan itu dan menyimpannya kembali ke dalam kotak. Ia takut jika ibunya mengetahui tabungan itu maka ibunya akan menggunakannya untuk berfoya-foya.Alan tidak ingin menggunakan uang hasil tabungan mereka untuk sesuatu yang sia-sia.“Ada apa, Bu?” tanya Alan begitu membuka pintu dan menatap pada sosok ibunya yang masih terlihat cemberut.“Apa kau ada uang? Kau tahu, ini sudah siang dan tidak ada bahan makanan apapun di kulkas. Berikan aku uang agar bisa berbelanja!”Tertegun, Alan menatap ibunya dengan ekspresi lemah. Ia pun mengeluarkan dompetnya yang masih setengah basah dan memberikan dua lembar pecahan lima puluh ribu.“Hanya ini yang kumiliki, Bu. Aku akan pergi bekerja nanti malam,” jawab Alan dengan nada lelah.Sejujurnya ia ingin beristirahat hari ini, namun ia tidak bisa mengingat bahwa ia sudah bertekad untuk mengumpulkan uang demi mengubah nasib mereka dan membuktikan pada Rian
Halo, semuanya. Mohon maaf untuk keterlambatan saya dalam update semua cerita saya di sini karena ada beberapa kesibukan di rl yang membuat saya tidak bisa fokus. Di pengumuman kali ini saya ingin memberitahukan sebuah informasi kepada para pembaca sekalian, novel ini sudah direvisi ya setting dan latarnya, jadi bisa dibaca ulang dari bab 1 yaa~~ Dengan perubahan ini aku harap dapat membuat para pembaca lebih mudah dalam mendalami peran setiap karakternya,. Selamat membaca dan semoga semakin suka dengan novel kedua ku di sinii. terimakasih kepada para pembaca sekalian yang sudah setia menantikan setiap bab dari novel-novelku. Untuk novel yang satu lagi akan segera aku tamatkan yaaMohon nantikan update selanjutnya dari novel ini! Terimakasih!
“Lakukan saja perintahku. Minta Lily memberimu pekerjaan di toko keluarganya. Ibu yakin dia akan membantumu karena dia terlihat tertarik padamu. Jangan jadi pria bodoh yang merana hanya karena seorang wanita.” Alan mengepalkan tangannya, pikiran dan hatinya berkecamuk antara tidak terima dan sakit hati. Terlebih setelah mendengar ucapan ibunya, ia merasa tidak harus menjadi hancur hanya karena Riana meninggalkannya. Setidaknya, setelah gadis itu kembali ke keluarganya, maka ia pasti akan jauh lebih bahagia bukan? Hah! Sampai akhirpun Alan tidak bisa membenci gadis itu. “Baiklah, aku akan mencoba meminta bantuan Lily. Seperti ucapan Ibu, aku akan mencoba mencari pekerjaan lain dan membuktikan bahwa hidup kita bisa berubah.” Helena akhirnya dapat tersenyum puas setelah mendengar jawaban putranya. Ia menghampiri Alan dan memeluk putranya yang lebih tinggi dua puluh centi darinya itu. “Bagus, kau benar-benar putraku yang cerdas. Ingatlah kau masih harus membiayai pendidikan adikmu, D
“Tentu saja, Ibu juga ingin mendengar penjelasanmu tentang ini!” Alan dan Helena−Ibu Alan−pun berjalan masuk ke dalam rumah. Wanita paruh baya itu segera mengambilkan handuk bersih untuk Alan. “Mandi dan gantilah bajumu dulu. Setelah itu temui Ibu.” Alan mengangguk sembari menerima handuk yang ibunya berikan. Ia berjalan ke kamar mandi dan mulai membersihkan dirinya dengan sesekali meringis merasakan perih dari luka-luka di tubuhnya yang terkena air dan sabun. Bahkan saat mandipun ia kembali menangis memikirkan nasib pernikahannya dengan Riana yang membuat hatinya terasa begitu sakit. Selesai mandi dan berpakaian, Alan berjalan ke ruang makan dan menemui ibunya yang tengah duduk di meja makan dengan segelas teh hangat dan satu kotak yang berisi obat-obatan. Paper bag berisi McD tadi juga masih berada di atas meja itu. Dan sialnya itu kembali membuat Alan sedih. “Kemarilah, biarkan Ibu mengobatimu,” panggil Helena kepada Alan. Pria muda itu berjalan menghampiri ibunya dan duduk d
“Berhenti menyebut nama putriku dari mulut kotormu itu! Kau tidak berhak menemuinya lagi karena kalian akan bercerai besok! Sudah cukup putriku hidup sengsara karenamu! Jadi berhenti mencarinya! Dasar pengemis tak tahu malu!” Hinaan demi hinaan dilontarkan nyonya Jacky pada Alan yang berusaha berdiri dari genangan air kotor di tanah. Wajahnya setengah berlumpur karena terjatuh tadi. Penampilannya benar-benar terlihat seperti seorang pengemis yang menyedihkan di tengah guyuran hujan. Namun, pria itu tidak memedulikan semua hinaan itu. Yang ia pikirkan hanya menemui istrinya untuk berbicara. Ia pun berlutut di tanah menghadap nyonya Jacky, menangis dan memohon agar diizinkan untuk bertemu dengan Riana. “Aku mohon kepadamu, Bu. Izinkan aku bertemu dengan Riana. Aku harus mendengarnya langsung dari Riana mengapa ia menceraikanku? Tolong izinkan kami bertemu, Bu!” Alan mengabaikan tubuhnya yang mulai menggigil karena kedinginan. Ia terus berteriak memanggil nama Riana dengan air mata
Tertegun. Otaknya seolah berhenti berfungsi selama beberapa saat setelah membaca surat itu. Itu benar tulisan tangan Riana, dan ia belum dapat mencerna apa yang baru saja ia baca. Selama satu jam Alan duduk diam di depan meja rias membaca surat di tangannya berulang kali. Suara gemuruh langit yang disusul dengan petir mulai terdengar di luar rumah. Suara siulan angin yang melewati celah-celah lubang udara seolah menjadi musik pengiring kesedihan Alan yang mulai menghantamnya. Setelah membaca surat itu berulang kali, dia menyadari bahwa Riana akan menceraikannya. Wanita yang dia cintai dengan sepenuh hati meninggalkannya. Setelah membaca surat itu berulang kali,. Alan mencengkeram kertas itu dengan satu tangan dan menggertakkan gigi agar tidak berteriak. Kisah cinta yang ia pikir akan bertahan selamanya hancur begitu saja karena ia miskin dan tidak dapat memberikan kemewahan pada istrinya selama pernikahan mereka. Semua kenangan lama bersama Riana mulai bermunculan di dalam kepalany
Sore itu, Alan mengendarai motor bebeknya pulang dengan senyum lebar sembari membawa sebuah tote bag di gantungan motor yang berisi burger McD kesukaan istrinya. Ia mendapatkan itu semua dari salah seorang pelanggan yang memakai jasa ojek online-nya. “Terimakasih, mas. Ini satu bungkus lagi untuk mas saja. Saya sengaja beli dua untuk diberi ke drivernya satu,” kata pelanggan wanita bernama Weni itu. Ia baru saja memesan jasa antar makanan online dan memesan dua paket makanan dari McD melalui Alan. “Wah! Yang benar, Kak? Terimakasih ya, kebetulan istri saya suka sekali burger McD, tapi setelah menikah dengan Saya dia belum pernah memakan ini lagi,” jawab Alan dengan senyum lebarnya, membuat Weni membulatkan matanya takjub mengetahui pria setampan Alan yang terlihat masih muda ternyata sudah menikah. “Alhamdulillah, Mas. Kalau begitu salam ya Mas untuk istrinya. Saya jadi ikut senang dengarnya.” “Iya Kak, nanti saya sampaikan. Saya permisi dulu ya, Kak.” “Iya, Mas. Hati-hati di jala