Hoax dari Rini."Rini bilang apa?" tanya Rahman, sesaat setelah Rini dan Bu Hana pergi. "Rini bilang, rumah ini ada penunggunya, Mas," ucap Mala sambil sedikit berbisik."Hei, kalian! Ngapain bisik-bisik?" tanya Tika yang baru saja masuk ke halaman rumah Mala sambil menuntun anaknya."Takut digosipin sama aku, ya? tanya Mala, sambil mencubit pipi gembul Alia, anak kedua Tika. "Yey," ucap Tika mencebik. Yang disambut kekehan Mala. "Eh, Ka. Apa kamu suka melihat sesuatu, selama rumah ini kosong?" tanya Mala penasaran. Karena rumah Tika dan rumah barunya hanya terhalang tembok setinggi dada saja."Maksudnya gimana?" tanya Tika, tidak paham dengan apa yang Mala sampaikan. "Ya, mungkin kamu pernah liat, emh— ayunan itu ada yang ngisi?" tanya Mala yang bingung cara menyampaikannya pada Tika. "Maksudnya setan?" tanya Tika dengan lantang. "Hust, jangan keras-keras," sahut Mala sambil menempelkan satu jemarinya di bibirnya."Siapa yang bilang? Si Rini, ya? Hahahaha." Tika malah tertawa d
POV Mala. Sengaja aku bangun lebih pagi. Agar ibu tak mengomel, juga aku berniat kerumahku lebih pagi. Aku sudah menelpon orang tuaku dan menyuruh kedua adikku agar membantu mas Rahman membersihkan rumah kami. Aku tak mungkin membantu mas Rahman, dari kemarin saja aku hanya pegang sapu saja. Suamiku tak mengizinkan aku mengerjakan apapun. Sedangkan kedua iparku tak ada yang membantu. Apalagi, bang Rahmat sakit, bang Anton keluar kota dan Mbak Susan kerja. Kak Eni, mana mau dia membantu bersih-bersih. Selama ini bekas makan dia dan anaknya saja ibu yang mencucinya. Huft. Suamiku bak anak tunggal yang segala mengerjakan apapun sendirian tapi jika salah satu kakaknya kesulitan, maka suamiku yang paling cepat bergerak membantu, meski semampunya. "Ayo, La," ajak Mas Rahman yang berdiri di ambang pintu ruang tengah. "Iya," sahutku. Aku membawa sebotol air mineral yang besar untuk kami minum nanti. Sengaja aku tak membawa bekal makan meski masakan sudah matang. Karena adik-adikku akan da
Di rumah baru. "Enak sekali kalian makan, tanpa mengajak atau mengingat si wanita tua ini," ucap bu Samirah dengan lantang saat matanya menangkap suasana di teras rumah anaknya, padahal ia baru saja menginjakkan kakinya di rumah anaknya. "Eh, Besan. Mari makan bareng," sapa bu Sarah. Ibunya Mala, lalu bangkit hendak bersalaman. Tapi Bu Samirah malah mendengus dan membuang muka. Membuat Rahman seketika beristigfar dalam hati. Bu Sarah yang menangkap gelagat tidak suka dari besannya itu, kembali duduk dan melanjutkan makannya, seperti tak terjadi apa-apa. Meski dalam hatinya merasa tak enak oleh sikap ibunya Rahman, tapi ia tak boleh menunjukkannya. Ada anak menantunya yang akan merasa bersalah jika ia mengambil sikap tersinggung saat ini."Bu, ayo, Makan, ini nasinya," ajak Mala sambil mengeluarkan satu bungkus nasi bagiannya. Ia sungguh lupa hanya membeli pas, untuk mereka yang berada di rumahnya saat ini. Ia pikir tak akan ada yang datang ke rumahnya, apalagi ibu mertuanya. Untung
"Sekarang serba mahal, besan. Nikahkan saja. Lagian di kampung itu sangat jarang yang kuliah. Hanya orang-orang kayak yang mampu menguliahkan anaknya," ucap Bu Samirah dengan wajah culas. bagaimanapun ia tak ingin adik-adik Mala bisa setara pendidikannya dengan anaknya, Rahman.Aisyah yang mendengar ucapan Bu Samirah, bak mendengar suara ledakan yang menghancurkan sesuatu dalam hatinya. Juga kini mental orang tuanya sedang berusaha dihancurkan. "Dengan atau tanpa biaya orang tua, saya akan tetap kuliah, Bu," ucap Aisyah dengan geram."Bagus, Is. Kalau punya cita-cita, kita harus Semangat. Mas, saja dulu sampai rela makan mie instan karena belum gajian. Kuliah sambil kerja itu, rasanya akh, mantap," ucap Rahman dengan diakhiri sebuah candaan. Membuat kedua adikny Mala tertawa begitupun Mala dan kedua orang tuanya. Hanya Bu Samirah yang mendelik tak suka pada anaknya. Dulu saat Rahman sering berkunjung ke rumah Mala, Rahman selalu mengakrabkan diri pada kedua adiknya Mala. Dan sering
Rahman kembali membuka kunci pagar rumahnya dengan tersenyum simpul, tapi wajah bu Usman tetap cemberut. "Silahkan, Bu," ucap Rahman. Bu Usman tergesa masuk kedalam dan langsung menuju ke belakang rumah. Mala yang melihat itu, merasa kesal sekali. Apalagi melihat muka cemberut sahabat mertuanya itu. Akhirnya ia dan suaminya pun berdiri di luar pagar. Bu Usman memang terkenal karena keapikannya terhadap uang, ia sering memasak sayuran hasil bumi dari sekitaran rumahnya, entah itu dipekarangannya sendiri atau malah di pekarangan rumah orang. Bahkan Bu Usman, kerap juga membawa lauk pauk dari dapur orang. Cara dia mengambil hati orang, patut diacungi jempol, hingga kadang orang yang dekat dengannya, akan memberikan apapun dengan suka rela. "Mas, ayo kita lihat, lama sekali sih," gerutu Mala dengan wajah yang ditekuk."Sabar sebentar, kita lagi beramal ini," sahut Rahman, padahal dalam hatinya juga kesal, ia yang seharus sudah rebahan di rumah. Kini malah masih menunggu Bu Usman di rum
"Assalamualaikum," ucap Rahman sambil memutar handle pintu."Waalaikum salam." Terdengar jawaban salam dari beberapa orang dari dalam rumah. Sudah pasti keluarga Rahman sedang berkumpul di ruang tengah, karena di jam ini adalah jadwalnya mereka menonton televisi."Kirain gak bakal pulang," ucap Bu Samirah dengan ketus."Apaan sih, Bu," hardik pak Manto mencoba mencegah omelan istrinya."Apaan! Apaan! Perempuan hamil itu dilarang keluyuran sebelum magrib, pamali. Lebih baik tidak pulang dan menginap saja disana," ketusnya dengan suara yang meninggi.Tapi anak dan menantunya itu tak pernah menggubris omelan Bu Samirah, keduanya berlalu ke kamarnya hendak membersihkan badannya yang terasa lengket. Kebetulan cuaca tadi siang begitu panas. Hingga membuat suasana di sore hari pun masih saja gerah."Mas, besok kita jadi USG?" tanya Mala, samb
StillbirthMala melangkah dengan gamang keluar dari posyandu tempatnya tadi memeriksakan kehamilannya. Ada rasa was-was dan curiga ketika ia melihat kedua Bidan tadi saling menatap dan mengangguk. Ia yang baru saja merasakan hamil, sungguh tak begitu paham tentang semua pergerakan atau pertumbuhan janin. Di tengah teriknya mentari ia berjalan dengan lesu. Waktu telah menunjukkan pukul 10:30 wib. Tapi udara panas seakan ingin membakar ubun-ubun kepalanya. Berbagai macam pikiran berlalu lalang dalam pikirannya. Ia hanya mampu menarik nafas panjang lalu membuangnya. Bermacam doa ia rapalkan dalam hatinya demi si buah hati tercinta. Ia mengusap pelan perutnya dengan berkata lirih. " Siang ini kita akan USG. Ibu akan melihatmu, kamu sehat-sehat, ya, Dek.""Mala, kamu sudah pulang," teriak Tika, ia baru saja hendak ke posyandu. Mala mendongak mencari sumber suara yang memanggilnya. Ternyata dari seberang jalan. Tika menyebrang dengan menuntun Alia guna menghampiri Mala."Kamu kenapa?" tany
"Ikh, sejak kapan tidak bergerak bayinya, Bu? Ini janinnya sudah meninggal lama," ucap dokter dengan nada yang tinggi, entah dokter ikut kaget juga dengan gambar di layar monitor dihadapannya. Mala pun melihat monitor besar di tembok yang memperlihatkan gambar janinnya berwarna kemerahan tidak jelas. "Hah?!" teriak Mala, tangisnya seketika pecah, ia meraung dengan meremas besi tempat tidurnya saat mendengar pernyataan dokter. "Lihatlah, ini kepalanya juga sudah gepeng," ucap dokter lagi, tangisan Mala semakin melengking pilu membuat siapapun akan iba mendengarnya. "Kok bisa begini, Bu?" tanya dokter sambil matanya tetap melihat ke arah monitor. Rahman terpaku shock mendengar apa yang dikatakan dokter. Apalagi tangisan Mala begitu sangat pilu di pendengarannya. "Lalu harus bagaimana?" Akhirnya Rahman bertanya dengan bingung dan seperti orang linglung. Sedangkan Mala masih berbaring dan tergugu. "Ini harus dikeluarkan, Pak. Janinnya sudah meninggal, bahaya untuk ibunya kalau dibiar