"Ikh, sejak kapan tidak bergerak bayinya, Bu? Ini janinnya sudah meninggal lama," ucap dokter dengan nada yang tinggi, entah dokter ikut kaget juga dengan gambar di layar monitor dihadapannya. Mala pun melihat monitor besar di tembok yang memperlihatkan gambar janinnya berwarna kemerahan tidak jelas. "Hah?!" teriak Mala, tangisnya seketika pecah, ia meraung dengan meremas besi tempat tidurnya saat mendengar pernyataan dokter. "Lihatlah, ini kepalanya juga sudah gepeng," ucap dokter lagi, tangisan Mala semakin melengking pilu membuat siapapun akan iba mendengarnya. "Kok bisa begini, Bu?" tanya dokter sambil matanya tetap melihat ke arah monitor. Rahman terpaku shock mendengar apa yang dikatakan dokter. Apalagi tangisan Mala begitu sangat pilu di pendengarannya. "Lalu harus bagaimana?" Akhirnya Rahman bertanya dengan bingung dan seperti orang linglung. Sedangkan Mala masih berbaring dan tergugu. "Ini harus dikeluarkan, Pak. Janinnya sudah meninggal, bahaya untuk ibunya kalau dibiar
Tangisan Mala."Mala, Rahman, kalian ngapain di dalam?" tanya Bu Samirah dibalik pintu. "Buka!" Bu Samirah kini menggedor dan menyuruh anaknya membuka pintu kamar."Mas, jangan dulu cerita ke Ibu dan keluarga lainnya. Sampai nanti aku masuk Rumah Sakit," ucap Mala. Yang langsung diangguki oleh suaminya lalu bangkit guna membuka pintu. "Ada apa, Bu?" tanya Rahman saat membuka pintu. "Kalian ngapain aja di kamar, gak jenuh gitu, dari tadi gak keluar-keluar?" tanya Bu Samirah sambil kepalanya melongo melihat ke dalam. Netranya menangkap Mala yang berbaring berselimut membelakangi pintu. "Kenapa, Mala? Sakit?" tanyanya pada Rahman. "Iya gak enak badan," sahutnya lalu melangkah masuk dan duduk di depan laptopnya. "Jangan berbaring terus, Mala. Bergeraklah, biar bayinya juga ikut bergerak dan sehat," ucap Bu Samirah. Bagi Mala ucapan mertuanya itu justru membuatnya getir, kala mengingat sang anak yang dikandungnya telah tak bernyawa. Lalu ia memikirkan bagaimana reaksi sang ibu mertu
Suara Kokok ayam telah bersahutan. Mala terpaksa bangkit dari tidurnya. Suaminya sudah tak ada lagi di kamar. Padahal jam dinding di kamar Mala menunjukan baru pukul delapan tiga puluh menit. Ia menyibak tirai jendelanya, sinar matahari pagi langsung menyeruak masuk, membuat penglihatan Mala menjadi silau. Ia bergegas keluar dari kamar, dan suasana rumah begitu sepi. Ditambah Rahmat dan Susan sudah pulang ke rumahnya kemarin pagi. Mala celingukan mencari sosok mertuanya. Baru kali ini dia bangun siang dan tidak di omelin oleh mertuanya. Biasanya Seandainya Mala bangun sedikit terlambat saja, maka dari arah dapur akan ramai dengan suara beradu dari panci dan alat dapur lainnya.Mala menyeduh susu khusus ibu hamil. Lalu duduk di meja makan. Ada beberapa potong pisang goreng, bakwan dan buras. Tapi ia tak berselera makan apapun. Kembali ia teringat pada anak dalam kandungannya. Anak yang sangat ia harapkan, kini tak mungkin bisa ia genggam. Airmata kembali jatuh, hatinya tercabik-cabik.
Tak ada suara saat motor itu melaju. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Jarak rumah sakit dari klinik tadi, hanya butuh waktu tujuh hingga sepuluh menit saja. Mala langsung masuk IGD dibagian Gawat Maternal. Sementara Rahman mengurus berkas syarat masuk rumah sakit. Mala berbaring di blangkar yang ada di ruangan itu, satu suster mencatat data diri Mala. Yang satu memeriksa Mala. Mulai dari mnginfus dan memeriksa jalan lahir bayinya juga letak posisi janin. Butuh dua jam untuk Mala disitu. Dengan diajak ngobrol dan bercanda oleh suster yang tadi. Hingga pasien lain datang Mala pindah posisi ke kursi roda, karena blangkar tidak ada yang kosong, lagi pula kondisi Mala yang sehat dan bisa berjalan. Setengah jam kemudian, Mala di antar ke ruang tindakan di lantai atas. Rahman dengan pelan mendorong kursi roda istrinya. Setelah Mala masuk keruangan, maka Rahman pun diharuskan keluar. Ada lima tempat tidur disamping Mala. "Aku keluar, ya," pamit Rahman. Mala hanya mengangguk. T
Tangisan Mala II."Ayo, Bu. Dibuka pahanya, ucap sang suster dengan ramah. Mala dengan sedikit malu-malu membuka pahanya. Kini ia telah menggunakan kain sarung agar memudahkan proses melahirkan nanti. Satu butir obat dimasukkan lewat jalan lahir bayi. Lalu sang suster meninggalkan Mala dan ada satu pasien lainnya yang ternyata sama juga mengalami Stillbirth. Kini Mala tidak sesedih tadi dan kemarin, ia paham bukan hanya dirinya yang mengalami hal seperti itu. Bahkan pasien di sebelahnya, kehamilannya sudah mendekati hpl tapi kenyataan pahit yang harus diterima. Manusia hanya berharap, namun Allah yang mengatur ketentuannya. Mala juga punya impian untuk calon anaknya. bahkan puluhan nama telah ia catat di sebuah buku agenda. Kata orang kalau hamil, dan wajah si ibu lebih kusam atau lebih jelek dari sebelum hamil maka anaknya laki-laki. Mala mengalami kemalasan yang akut. Bahkan ia kuat tak mandi seharian. Padahal sebelum hamil, ia tipe orang yang resik. "De, cepat keluar, Ya. Biar k
Duka keluarga."Dokter datang. Dokter datang," ucap seorang Bidan yang masuk ke ruang bersalin.Degh…Mala seketika gemetar, gugup dan takut. Rasa hatinya tak karuan lagi. Sudah terbayang di pikirannya. Bagaimana jika alat-alat stainles itu masuk ke rahimnya untuk menguras gumpalan darah yang tersisa. "Ini, Dok yang mau di kuret," ucap salah seorang suster dengan menunjuk ke arah Mala. Dokter pun mendekatinya. Sedangkan sang suster langsung mengolesi gel diperut Mala, untuk melakukan USG setelah melahirkan. Sang dokter menempelkan alat USG ke perut Mala dan berkata. "Udah bersih ini mah, sisa sedikit lagi. Pake obat saja, ya. Bu.""Iya, Dok," sahut Mala dengan cepat. "Lalu, apa penyebabnya bayi saya meninggal dalam kandungan?" "Saya tidak tahu, Bu. Karena saya tidak melihat langsung bayinya. Alhamdulillah, Ibu bisa lahiran normal, jadi tidak dengan saya. Kalau saya melihat bayinya saya bisa memprediksi penyebabnya," ucap dokter itu dengan lembut dan seulas senyum. Mala yang mendengar
POV Mala.Saat aku memasuki ruang rawat, kesedihan kembali mendera. Betapa tidak. Ruangan khusus ibu bersalin dengan dua ranjang, lengkap dengan box bayi. Hatiku seperti diiris tipis, kala melihat box di samping kanan. Seandainya saja bayiku hidup, sudah pasti ia terbaring di box itu. Kenapa kamu pergi begitu cepat, Nak. Bahkan, ibumu ini tidak sempat melihatmu. Air mata kembali berderai dengan rasa sakit hati yang lebih lagi. Ini murni kesalahanku, yang tidak mendengarkan mitos dari ibu. Ini murni keteledoranku yang kalau bergerak bak orang tidak hamil. Aku baca di beberapa artikel wanita hamil itu tidak boleh menunduk dengan menungging jika mau mengambil sesuatu di lantai, tapi harus jongkok pelan-pelan. Dan tidak pernah aku indahkan. Maafkan, Ibu, Nak.Aisyah dan Emak langsung memelukku dari arah berlawanan, kami bertiga menangis tanpa suara. "Ikhlaskan, ya, Nak. Allah tahu apa yang terbaik untukmu," ucap Emak dengan lirih sambil meraih tanganku, mengusapnya lembut mungkin mencoba
Aku membalas chat Tika dan menanyakan ada apa? Aku juga bilang telah menghapus chat grup RT tanpa membacanya.{Syukurlah, lekas sehat. Aku tunggu di rumah.}Dih, ni anak bukan menjawab malah balasnya begitu. Aku tak peduli lagi dengan isi chat itu, mungkin saja mereka membahas mitos yang mengenai aku sekarang. Tapi begitulah warga disekitarku bukan nya empati kadang malah mengolok-olok dan menyalahkan si yang kena musibah. Mas Rahman datang dan langsung mengajakku naik ke kursi roda. "Aku bisa jalan kok, Mas," ucapku sambil berdiri."Tapi kamu habis lahiran, La," ucapnya dengan khawatir. "Ndak apa-apa, aku jalan aja," kataku dengan mendahului melangkah ke arah pintu. Mas Rahman akhirnya mengekor dan mengambil langkah cepat, karena ternyata kini ia telah menggandengku. Barang bawaan kami sudah dibawa Aisyah tadi. Jadi sekarang mas Rahman hanya membawa tas gendongnya yang bisa ditebak isinya adalah berkas persyaratan aku masuk Rumah Sakit. Dengan cekatan suamiku mengetik di layar pons
Bab 223. Suka sama Abang, nggak?"Man, ayo pulang. Aku harus ke Jakarta hari ini," ucap Arif memotong omongan Rahman dengan segera. Karena setelah dipikir-pikir olehnya, ini memang terlalu cepat. "Tadi katanya—""Sekarang nggak! Ayo pulang," ucap Arif dengan gusar karena Rahman malah terlihat seperti orang bodoh."Akh, ok!" Hanya itu ucapan yang keluar dari bibir Rahman lalu ia bangkit dan berpamitan pada mertua serta adik iparnya. Bu Sarah menyuruh mereka untuk makan dulu, tapi Rahman menolak dengan alasan Mala susah memasak. Bu Sarah tak bisa memaksa karena dia pikir juga anaknya pasti sudah menyediakan makanan yang enak. Satu persatu mereka saling berjabat tangan tak lupa Arif juga meminta maaf telah merepotkan semuanya. Namun hanya disambut tawa oleh keluarga pak Ahmad dan mereka bilang tak merasa direpotkan."Jangan pacaran, ya!" bisik Arif saat dia bersalaman dengan Aisyah. Gadis itu mengerutkan dahinya dan menatap pria dewasa yang berbadan tegap itu."Ingat pesan, Abang, ya!"
Bab 222. Maaf.Sementara di rumah Mala, wanita itu kini tengah bercerita kepada mertuanya yang sedang duduk dan melihat wajah menantunya dengan seksama. "Bu, alhamdulillah Arif sudah ditemukan, jadi tidak lama lagi mas Rahman akan pulang," ucap Mala sambil menutupi kaki Bu Samirah oleh selimut yang baru saja selesai dipijit olehnya.Bu Samira menarik sedikit ujung bibirnya, dia tersenyum lega saat mengetahui bahwa teman anaknya itu kini sudah ditemukan.Ibu mau tidur sekarang atau mau menunggu mas Rahman dulu?" tanya Mala dengan lembut."Ibu nunggu Rahman aja!" sahut Bu samirah dengan pelan membuat mata Mala sedikit terbuka karena ternyata mertuanya menyahuti pertanyaanya setelah lama terdiam."Alhamdulillah, Ibu sudah bisa menyahuti saya," ucap Mala sambil terduduk lagi dan memegang bahu mertuanya dengan tatapan yang tidak bisa diucapkan oleh kata-kata. betapa bahagianya dia saat ini mengetahui sang mertua sudah bisa kembali berkomunikasi. "Memangnya kamu pikir, Ibu ini bisu?" tany
Bab 221. Kesasar Bagian 2. "Ais kamu kok bisa ke sini?" Arif malah bertanya seperti itu."Aku mencari Abang! Bang Rahman tadi ke rumah, katanya Abang belum pulang. Akhirnya kami mencari Abang, takutnya Abang kesasar dan benar saja Abang ada di sini. Abang kenapa ngambil jalan sini sih?" ucap Aisyah dengan sedikit kesal."Maafkan Abang ya, is jadi merepotkan semuanya. Abang tadi lupa beloknya harus kemana, ini kan jalan cabang empat jadi Abang bingung mau lurus, belok kanan atau belok kiri. Eh, Abang malah ke sini dan ternyata ini nggak ada kampung malah kebun semua," ucap Arif dengan jujur dan tak enak hati."Lah iyalah, ini kan jalan untuk ke hutan, Bang. Disebelah sana ada kebun-kebun para warga dan memang ada pemukiman juga, tapi itu khusus untuk mereka yang rumahnya jauh dan memiliki ladang disini. Dan tentu saja tidak setiap hari mereka menginap maka tidak akan ada orang. Jadi sangat sepi, terus mobil Abang mana?" tanya Aisyah."Mobil Abang di sebelah sana, Is. Bannya nyelip jad
Bab 220. Kesasar.Rahman mengendarai motornya dengan pelan. Karena ternyata pas keluar dari kampungnya harus melalui jalanan yang becek akibat hujan. Padahal di rumahnya seharian tadi, panas sekali. Jangankan hujan, mendung pun tidak. Bangunan rumah sang mertua sudah terlihat, namun mobil Arif tak ada disana. Rahman langsung turun dan mengetuk pintu. "Assalamualaikum!" "Loh, Bang Rahman?" pekik Aisyah saat pintu sudah terbuka lebar. Negatif thinking langsung menerpa pikirannya."Arif mana?" tanya Rahman pada Aisyah."Udah pulang dari tadi.""Mala gak menelpon kamu?" tanya Rahman lagi."Nggak, eh tapi sebentar. Aisyah lihat dulu ponselnya." Gadis itu seketika berbalik menuju kamarnya dan mencari ponselnya. Ternyata ada banyak panggilan dari WhatsApp dari sang kakak. Namun sayang sebelum sholat dia telah memasang silent mode on di ponselnya. Aisyah membaca pesan yang dikirim Mala satu persatu. Dia baru paham apa sebabnya yang membuat Rahman datang ke rumahnya. Di ruang tamu, Bu Sar
Bab 219. Kesasar atau hilang.Aisyah langsung masuk ke kamarnya meletakkan seluruh barang bawaannya. Kemudian gadis itu menuju ke dapur, berniat membuatkan minuman untuk Arif dan juga kedua orang tuanya. Tiba-Tiba Bu Sarah pun muncul di dapur."Kamu bikin apa, Is?" tanya Bu Sarah. "Ini aku bikin kopi buat Bapak sama Bang Arif, ada cemilan apa, Mak di rumah?" tanya Aisyah"Tuh ada rengginang sama goreng opak aja, baru digoreng tadi pagi sama Emak!" ucap Bu Sarah dengan menunjukkan letak toples rengginang dengan dagunya. Aisyah pun menata nampan dengan dua buah toples berukuran sedang, serta dua buah cangkir kopi. Lalu mengantarkannya ke hadapan Pak Ahmad dan Arif di ruang tamu.Pak Ahmad terlihat asik mengobrol dengan Arif, hingga sesekali tawa dari keduanya terdengar. Aisyah masuk kembali dan duduk di ruang tengah karena melihat bapaknya dan Arif sedang asik berbincang. Gadis itu gak berani ikut duduk disana."Hmz, Pak boleh saya bertanya?" ucap Arif dengan ragu-ragu. Dia menautkan
art 112. Hilang atau kesasar? Aisyah mengangguk tanda membenarkan pertanyaan Arif. Gadis berlesung pipit itu begitu sangat terlihat manis dipandang dari samping. "Hmz … bagus, Is. Abang salut sama kamu!" Hanya itu ucapan Arif. Sungguh bertentangan dengan isi hatinya. "Tapi, kalau seandainya ada laki-laki yang tiba-tiba melamar kamu, apa kamu mau terima, Is?" tanya Arif dengan perasaan yang roller coaster. Keringat sudah membasahi tubuhnya. Meski ia telah bersiap dengan penolakan, tapi sisi egoisnya mengatakan bagaimanapun harus bisa memiliki Aisyah. Gadis tujuh belas tahun itu telah memporak porandakan hatinya, membuatnya gila dengan pikiran-pikiran masa depan yang indah jika dirinya beristrikan Aisyah."Gimana, ya! Lagian belum pernah ada yang melamar aku," sahut Aisyah dengan terkekeh geli. Mengingat banyak orang bilang dirinya cantik, pintar dan sebagainya. Tapi belum pernah ada yang melamarnya. "Hah … serius? Tapi pacar punya dong?" Arif mencoba mengorek hal yang paling rahasi
"Arif bukan anak kecil. Dia sudah dua puluh tujuh tahun. udah biarin aja! Kamu sekarang kalau mau pulang, ayo cepetan. Arif udah manasin mobil tuh," ucap Mala dengan langsung berbalik pergi. Dia tidak mau lagi mendengar penolakan Aisyah atau apapun. Sedangkan sang adik hanya mengerang pelan, dia tak habis pikir dengan jalan pikiran kakaknya bagaimana mungkin seorang tamu yang tidak tahu wilayah tempat tinggal mereka disuruh mengantarkan dirinya, lelaki yang baru dikenalnya dalam hitungan jam.Meskipun bagi kakaknya, Arif pada sosok yang baik tapi belum tentu dengan dirinya. Tapi apa boleh buat, dia tidak mau menyinggung perasaan siapapun. Akhirnya suka tidak suka, Aisyah menyetujuinya dengan berusaha meyakini bahwa Arif itu orang baik.Aisyah menenteng ranselnya setelah berpamitan terlebih dahulu pada bu Samirah yang sedang duduk diatas kasur. Dia menuju ke teras depan, dimana Kakak dan Kakak iparnya beserta Arif berada."Tuh, Ais sudah siap," ucap Rahman saat matanya menangkap sosok
"Aisyah itu agamanya kuat. Mungkin saja dia itu tidak akan nyaman dengan keberadaan aku, orang yang dianggapnya memang bukan muhrim. Walaupun sama aku yang sudah jadi keluarganya. Memang dari dulu anak itu seperti itu, kalau aku nggak ada pasti dia akan disini bersama kakaknya. Tapi kalau aku pulang, dia akan gegas pulang juga ke rumahnya. Cuma pernah waktu Mala lahiran, dia disini agak lama," tutur Rahman. "Tapi bukan karena aku kan, Man?" Arif menatap cemas. Arif sangat takut kepulangan Aisyah karena ada dirinya di rumah Rahman. "Bukan! Bukan lah. Dari dulu semenjak aku pulang-pergi ke Lampung Aisyah hanya akan disini kalau aku tidak ada, kalau aku pulang, maka dalam hitungan jam dia akan langsung pulang," tegasnya dan diangguki oleh Mala.Arif tersenyum simpul mendengar apa yang dikatakan Rahman. Dia tidak salah menjatuhkan hati. Dia tidak salah menganggumi. Tatap matanya begitu penuh harap saat kata demi kata diucapkan oleh pasangan suami-isteri itu."Ya … udah, Mas ambil moto
Bersamaan dengan itu, Aisyah berbalik badan hendak masuk karena memang kegiatan menyapunya telah selesai. "Bang Arif, ngapain di sini?" tanya Aisyah, matanya beradu pandang dengan lelaki bertubuh tegap itu. Arif memejamkan matanya seketika. Setelah Rahman dan Mala kini targetnya sendiri tengah menanyainya. "E—anu, Sah. Abang mau ke kamar mandi," sahut Arif sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal, matanya tak berani menatap kearah Aisyah, namun berulang kali membuang pandangannya tapi kembali menatap gadis tujuh belas tahun itu."Ais, Bang. Aku nggak mau dipanggil Sah!" ucap Aisyah dengan cemberut. Dia memang tidak suka dipanggil ujung namanya, dia lebih suka dipanggil awal namanya saja. "Ow … Maaf, ya! Abang nggak tau," ucap Arif lagi sambil tersenyum canggung. Dadanya begitu bergemuruh bak pasukan akan perang, tubuhnya terasa panas dingin dan gemetaran."Iya, tapi jangan di ulangi panggil itu lagi, nanti aku ngambek!" ucap Aisyah sambil berlalu ke dapur guna menyimpan sapu seda