Duka keluarga."Dokter datang. Dokter datang," ucap seorang Bidan yang masuk ke ruang bersalin.Degh…Mala seketika gemetar, gugup dan takut. Rasa hatinya tak karuan lagi. Sudah terbayang di pikirannya. Bagaimana jika alat-alat stainles itu masuk ke rahimnya untuk menguras gumpalan darah yang tersisa. "Ini, Dok yang mau di kuret," ucap salah seorang suster dengan menunjuk ke arah Mala. Dokter pun mendekatinya. Sedangkan sang suster langsung mengolesi gel diperut Mala, untuk melakukan USG setelah melahirkan. Sang dokter menempelkan alat USG ke perut Mala dan berkata. "Udah bersih ini mah, sisa sedikit lagi. Pake obat saja, ya. Bu.""Iya, Dok," sahut Mala dengan cepat. "Lalu, apa penyebabnya bayi saya meninggal dalam kandungan?" "Saya tidak tahu, Bu. Karena saya tidak melihat langsung bayinya. Alhamdulillah, Ibu bisa lahiran normal, jadi tidak dengan saya. Kalau saya melihat bayinya saya bisa memprediksi penyebabnya," ucap dokter itu dengan lembut dan seulas senyum. Mala yang mendengar
POV Mala.Saat aku memasuki ruang rawat, kesedihan kembali mendera. Betapa tidak. Ruangan khusus ibu bersalin dengan dua ranjang, lengkap dengan box bayi. Hatiku seperti diiris tipis, kala melihat box di samping kanan. Seandainya saja bayiku hidup, sudah pasti ia terbaring di box itu. Kenapa kamu pergi begitu cepat, Nak. Bahkan, ibumu ini tidak sempat melihatmu. Air mata kembali berderai dengan rasa sakit hati yang lebih lagi. Ini murni kesalahanku, yang tidak mendengarkan mitos dari ibu. Ini murni keteledoranku yang kalau bergerak bak orang tidak hamil. Aku baca di beberapa artikel wanita hamil itu tidak boleh menunduk dengan menungging jika mau mengambil sesuatu di lantai, tapi harus jongkok pelan-pelan. Dan tidak pernah aku indahkan. Maafkan, Ibu, Nak.Aisyah dan Emak langsung memelukku dari arah berlawanan, kami bertiga menangis tanpa suara. "Ikhlaskan, ya, Nak. Allah tahu apa yang terbaik untukmu," ucap Emak dengan lirih sambil meraih tanganku, mengusapnya lembut mungkin mencoba
Aku membalas chat Tika dan menanyakan ada apa? Aku juga bilang telah menghapus chat grup RT tanpa membacanya.{Syukurlah, lekas sehat. Aku tunggu di rumah.}Dih, ni anak bukan menjawab malah balasnya begitu. Aku tak peduli lagi dengan isi chat itu, mungkin saja mereka membahas mitos yang mengenai aku sekarang. Tapi begitulah warga disekitarku bukan nya empati kadang malah mengolok-olok dan menyalahkan si yang kena musibah. Mas Rahman datang dan langsung mengajakku naik ke kursi roda. "Aku bisa jalan kok, Mas," ucapku sambil berdiri."Tapi kamu habis lahiran, La," ucapnya dengan khawatir. "Ndak apa-apa, aku jalan aja," kataku dengan mendahului melangkah ke arah pintu. Mas Rahman akhirnya mengekor dan mengambil langkah cepat, karena ternyata kini ia telah menggandengku. Barang bawaan kami sudah dibawa Aisyah tadi. Jadi sekarang mas Rahman hanya membawa tas gendongnya yang bisa ditebak isinya adalah berkas persyaratan aku masuk Rumah Sakit. Dengan cekatan suamiku mengetik di layar pons
Kemarahan Bu Samirah."Apa maksudnya ini, Rahman! Pindah, tanpa memberitahu ibumu? Kau anggap apa aku ini?" pekik bu Samirah sambil bertolak pinggang di pintu masuk. Ia tak peduli meski saat itu, ada orang tua Mala. Kemarahan yang sejak dua hari lalu dipendamnya, kini meledak.Bu samirah marah sejak saat Rahman pergi ke rumah sakit tanpa memberitahu dirinya. Ditambah perihal pemakaman cucunya pun, sarannya tak diindahkan oleh anak lelakinya itu. "Mari besan masuk dulu, biar bicaranya enak," ajak Bu Sarah sambil bangkit menghampiri ibunya Rahman. "Tak usah basa-basi, Besan. Ini urusan saya sama dia," sahutnya dengan berapi-api sambil menunjuk ke arah Rahman dengan dagunya. "Ada apa toh, Bu. Disini ada besan kita. Juga menantu kita baru pulang dari rumah sakit," ucap pak Manto sepelan mungkin, kini ia tengah berdiri di samping Bu Samirah. "Aku gak peduli, Pak. Sekalipun ada presiden disini. Aku tak peduli!" ucap Bu Samirah sambil matanya memandang ke arah Mala dan Rahman secara berg
"Ya, sampean kurang mendidik anak perempuan kalian. Dari dulu Mala tak pernah hormat pada saya," adu Bu Samirah dengan angkuh. "Bu," pekik Rahman. Sungguh ia tak menyangka ibunya akan selancang itu mengatai istrinya bahkan pada bapaknya langsung."Benar begitu Mala?" ucap pak Ahmad sambil menatap kearah Mala. Mala hanya mengedikan bahunya tak acuh. "Nah lihat kan? Bagaimana anak sampean merespon pertanyaan bapaknya sendiri," ucap Bu Samirah mulai memprovokasi."Bu, saya membesarkan Mala selama 22 tahun. Dan makanan yang ia makan saya jamin seratus persen halal. Jadi saya tahu tabiat anak saya seperti apa," tegas pak Ahmad tak terbantah. "Lha, ya pasti dibela, wong anaknya sendiri," sinis Bu Samirah. "Oke. Apa saja kelakuan anak saya yang memang kurang pantas ia lakukan selama hidup di rumah besan?" tanya pak Ahmad. Sementara Aisyah mengepalkan tangannya kuat-kuat. Bu Sarah memeluk Mala yang pandangannya kosong. Rahman menunduk malu, ia tak berani menatap ke arah Abahnya atau emak
Pengakuan Helen."Man, lebih baik kalian tinggal di rumah, Emak, aja dulu. Sampai kondisi Mala stabil. Gimana?" Rahman terperanjat mendengar ucapan ibu mertuanya. Meski sejak tadi ia sudah menduga akan hal seperti ini, tapi ia menepisnya jauh. Namun, benar saja malah kejadian. Sekarang Bu Sarah mengajak anaknya untuk tinggal sementara di rumahnya. Sedangkan waktu cuti Rahman tinggal beberapa hari. Rahman diam tak menjawab. Ia bingung untuk mengiyakan atau menolaknya. Keduanya punya konsekuensi yang akan berakibat fatal.Di satu sisi Rahman sependapat dengan Bu Sarah. Kesehatan dan kondisi psikis Mala lebih penting dari segalanya. Tapi disisi lain bagaimana dengan ibunya? Sudah pasti akan marah lagi. Huft. Ia menarik nafas kasar. "Ya…Tuhan, aku sungguh berterima kasih, karena ibu telah melahirkan aku kedunia ini, membimbingku hingga jadi seperti sekarang ini. Tapi sebagai anak yang sudah mempunyai istri, ada kewajibanku yang sama pentingnya dengan baktiku pada ibu," gumamnya dalam ha
"Jangan semua. Ambil aja dua atau tiga steel dan handuknya juga. Jangan lupa bawa daleman. Aku mau nyuruh Aisyah beli sabun dan alat mandi lainnya," tutur Mala."Oke," ucap Rahman, lalu keluar guna mengambil baju Mala di rumah ibunya. Hanya butuh waktu kurang dari tiga menit, kini Rahman telah sampai di rumah ibunya. Ia melangkah menuju teras dan terdengar suara orang mengobrol. "Assalamualaikum," ucapnya sambil mendorong pintu. Terlihat ibunya tengah menangis dipelukan Helen. Wajah Bu Samirah begitu sangat sedih membuat Rahman terkejut. "Ibu, kenapa?" tanyanya sambil langsung menuju ke arah Bu Samirah. Helen menatapnya tajam. Ia tak percaya jika lelaki yang dicintainya itu, kini sangat mencintai istrinya. Hingga rela membuat ibunya menangis."Man, kamu kok tega memperlakukan ibumu seperti ini. Dia yang melahirkan dan membesarkan kamu, Man," ucap Helen dengan tatapan tajam. Tatapan yang dulu sangat Rahman takutkan jika Helen marah. "Maksudnya apa, ya?" "Hmz, ini memang bukan ranah
Part 115. Masalalu tetaplah masalalu.Rahman mengungkapkan ketajaman ke arah Helen. Wanita yang tiga tahun lalu membuat bahkan depresi. butuh waktu tiga tahun untuk Rahmat dan hidupnya.Ia mengais puing-puing harapan yang hancur atas kepergian Helen sendiri. hidup bagai udara yang tak terarah. Bahkan sudah putus asa, namun untung saja, ia bisa mengendalikan pikirannya yang egois saat itu. Dan itu pun berkat kehadiran Mala yang bak oase di tengah Padang pasir bagi Rahman saat itu. Sikap lembut Mala dan tutur kata yang asal nyeplos tapi sopan, yang kadang bertingkah lucu, membuat Rahman jatuh cinta pada istrinya itu. Tapi kini di hadapannya adalah wanita yang dulu ia dambakan dan dicintai setengah mati. Mata keduanya bersibobrok, saling tajam mengungkapkan, saling bicara dengan dia yang. Rahman dengan penuh emosi. Sedangkan Helen dengan Harapan Hal Ini. Cintanya pada Rahman semakin besar. Apalagi saat melihat kemesraan lelaki itu di Mala. Helen benci itu. Ia tak rela melihat senyumnya