Part 115. Masalalu tetaplah masalalu.Rahman mengungkapkan ketajaman ke arah Helen. Wanita yang tiga tahun lalu membuat bahkan depresi. butuh waktu tiga tahun untuk Rahmat dan hidupnya.Ia mengais puing-puing harapan yang hancur atas kepergian Helen sendiri. hidup bagai udara yang tak terarah. Bahkan sudah putus asa, namun untung saja, ia bisa mengendalikan pikirannya yang egois saat itu. Dan itu pun berkat kehadiran Mala yang bak oase di tengah Padang pasir bagi Rahman saat itu. Sikap lembut Mala dan tutur kata yang asal nyeplos tapi sopan, yang kadang bertingkah lucu, membuat Rahman jatuh cinta pada istrinya itu. Tapi kini di hadapannya adalah wanita yang dulu ia dambakan dan dicintai setengah mati. Mata keduanya bersibobrok, saling tajam mengungkapkan, saling bicara dengan dia yang. Rahman dengan penuh emosi. Sedangkan Helen dengan Harapan Hal Ini. Cintanya pada Rahman semakin besar. Apalagi saat melihat kemesraan lelaki itu di Mala. Helen benci itu. Ia tak rela melihat senyumnya
Kembali di sosor soang."Rahman pergi dulu ya, Pak, Bu," pamitnya sambil melangkah ke arah pintu."Selangkah kamu keluar dari rumah ini. Maka aku bukan ibumu lagi."Rahman seketika menghentikan langkahnya dan memutar badannya menatap ke arah ibunya yang tengah duduk di kursi dengan pandangan terkejutnya. Ia tak menyangka, ibunya senekat itu. Bukankah ucapan seorang ibu itu adalah doa? Lalu kenapa setiap kata yang keluar dari bibir ibunya selalu saja kata-kata yang jelek."Bu! Kamu apa-apaan?" pekik Pak Manto dengan wajah yang garang. Sungguh tak menyangka istrinya akan berucap seperti itu pada anaknya sendiri. Bu Samirah hanya diam dan memandang lekat ke arah Rahman yang mematung di depan pintu hendak keluar."Jangan egois, Bu. Tugas kita hanya membesarkan anak-anak dan membekalinya dengan ilmu bermanfaat, selepas itu, biarkan mereka menentuk
Sementara Helen yang baru saja turun dari teras, tak ayal lagi, ia begitu kaget melihat soang yang tempo hari menyosor bokongnya. Seketika ia menjerit dan berlari ke arah depan, naasnya sang soang seperti di tantang dengan teriakan Helen, keduanya berlari mengejar Helen. Helen terus menjerit-jerit sambil berlari, namun karena ia memakai higheels tak bisa berlari cepat, dan lagi bokongnya di sosor kembali oleh salah satu soang Pak Manto. Helen membuka sandalnya lalu menyerang soang itu dengan membabi buta, kini giliran Helen yang menyerang soang-soang pak Manto. Kedua soang itu pun tunggang langgang lari ke dalam kandang lagi. "Syal*n, soang syal*n. Awas, ya! Besok aku bawakan racun. Biar mat* kalian," sungut Helen, sambil memegang bokongnya yang sakit.———Aisyah dan Mala sedang diskusi untuk membuka usaha. Aisyah yang pintar memasak, berencana akan jualan aneka makanan didepan rumah kakaknya. Bu Sarah sangat setuju. Anak bungsunya itu memang tak bisa diam, otaknya selalu saja berput
Rencana Aisyah.Aisyah membuat jamur crispy dengan resep andalannya. Mala dan Rahman pun menyukainya dan bilang kalau rasa jamur Crispy buatan Aisyah itu, berbeda dengan yang kebanyakan di jual di luaran sana. Aisyah begitu bahagia dengan penilaian dari kakak dan Abang iparnya. Setidaknya jerih payahnya terbayar dengan habisnya jamur di piring besar itu. "Jadi, kamu sudah mantap untuk jualan makanan?" tanya Mala pada adik bungsunya. Aisyah langsung mengangguk dengan cepat dan seulas senyum. "Halaman disini-kan luas, kalau di bangun bikin cafe outdoor gitu, kayaknya bagus deh. Kita jualan dengan harga terjangkau sama anak-anak muda disini. Harga kisaran lima sampai dua puluh ribu rupiah. Kayak, kopi, es, juice, mie, dimsum, seafood dan lainnya," tutur Aisyah mengemukakan rencana yang ada di kepalanya. Rahman tersenyum melihat antusia adik iparnya itu. Begitupun Mala, ia sangat bangga memiliki adik yang cerdas seperti Aisyah.Gadis yang baru berusia tujuh belas tahun bahkan belum lul
"Tapi, Ais, bolehkan kalau jualan kecil-kecilan dulu?" tanya Aisyah dengan tatapan penuh harap. "Maksudnya?" tanya Mala."Ais mau jualan kayak seblak, sosis panggang, juice dan es lainnya, bolehkan?""Atu boleh, Is. Abang justru bangga melihat anak muda yang kayak kamu," ucap Rahman. "Alhamdulillah, Aisyah suka berjualan, Bang. Pegang uang terus," serunya dengan binar bahagia karena telah mendapat izin untuk berjualan di sekitar halaman kakaknya. "Jadi, mau bikin kayak kios atau bagaimana?" tanya Rahman lagi. "Iya, bang. Pake terpal doank juga gak apa-apa," sahut Aisyah. Pagi-pagi sekali Rahman mulai mengukur tempat untuk membuka lapak jualan buat Aisyah. Setelah diperkirakan untuk kaso dan bahan lainnya. Pak Ahmad dan Faris datang guna membantu membuat warung untuk Aisyah. Ketiganya mulai bekerja dengan riang, candaan antara menantu, mertua dan adik ipar itu, pecah sekali, hingga suara tawa mereka begitu terdengar ke rumah Bu Usman yang memang ada disebrang rumah Mala."Itu lagi
Part 120. Info dari Bu usmanBu Usman berjalan tergesa-gesa menuju rumah Bu Samirah, untuk melaporkan kejadian di depan mata. Apalagi informasi yang akan disampaikan pada Bestie-nya itu sudah lengkap. Tadi Novi menceritakan hasil kekepoannya datang ke rumah Rahman. "Assalamualaikum, Mirah…Mirah," panggilnya. Bu samirah yang sedang seketika bangkit dan menjawab salam sahabatnya. "Waalaikumsalam, ada apa? Kok seperti ada hal yang darurat," tanyanya dengan muka heran melihat mimik muka Bu Usman yang tidak seperti biasanya. Seperti ada hal yang sangat mendesak sekali."Eh, Mirah, kamu sudah tau belum. Kalau adiknya Mala mau buka warung di tempat anakmu?" tanyanya dengan nafas tersengal-sengal. Karena ia berjalan setengah berlari dari rumahnya tadi. "Minimal dulu nih." Bu Samirah menyodorkan Aqua gelas yang memang telah tersedia di meja ruang tamu. Dengan gesit Bu Usman mengambilnya lalu menyedotnya hingga menimbulkan bunyi dari gelas tersebut."Pelan-pelan, Napa," tegur Bu Samirah melih
Part 121. Kembali merantau.Dua hari kemudian.Rahman telah bersiap akan kembali berangkat ke Lampung. Mala menyarankan agar mampir ke rumah mertuanya. Meski terlihat enggan, Rahman membenarkan apa kata istrinya. Seburuk apapun tabiat ibunya, beliau adalah wanita yang telah melahirkannya, mengasihinya dengan tulus. "Sana, Mas. Ke rumah ibu dulu," titah Mala. Wanita itu sibuk menggoreng ayam untuk bekal Rahman di jalan. "Aku sekalian berangkat saja ke sananya," sahut Rahman yang sedang duduk di meja makan. Ia memperhatikan sosok istrinya dari belakang, betapa hati wanita itu begitu bersih tanpa dendam dan dengki. Membuat Rahman semakin sayang pada Mala. Karena wanita seperti itulah yang ia butuhkan. Meski Rahman tahu tak mungkin kalau Mala tak merasa sakit hati oleh sikap dan ucapan ibunya. Namun istrinya begitu rapih menyimpan semua duka yang didapatkan dari ibunya..Setelah semua siap, Rahman pun pamit pada istrinya, ia memeluk erat tubuh wanita yang kini mulai kurus itu. Menghirup
Pov Mala. "Pokoknya aku gak mau beli, dan awas saja kalau sampai ada anak yang keracunan atau sakit akibat jualanmu itu," ucapnya dengan mengacungkan telunjuknya. Aku hanya memandangnya acuh. Lagian siapa yang mau jual sama kamu, gak ada dalam sejarahnya nenek-nenek doyan seblak. Ini serius, aku belum pernah mendengar ada nenek-nenek modelan Bu Usman beli seblak. "Kenapa kamu diam? Takut-kan?" ucapnya lagi. Ya…Tuhan, lepas dari mertua cerewet, kini punya tetangga absurd. Semoga hamba diberi kesabaran. "Assalamualaikum," ucap Aisyah saat setelah memarkirkan motornya. "Waalaikumsalam salam," jawabku. Aisyah membawa banyak belanjaan, anak itu ternyata pergi belanja dengan masih memakai seragamnya. Sungguh tekadnya begitu kuat untuk usahanya ini. bahkan ia tidak gengsi kepasar masih memakai seragam sekolah. Disaat anak lainnya pulang sekolah nongkrong atau pergi dengan pacarnya, tapi adikku malah pergi belanja ke pasar."Banyak banget, Is," ucapku sambil menghampiri Aisyah yang sedan
Bab 223. Suka sama Abang, nggak?"Man, ayo pulang. Aku harus ke Jakarta hari ini," ucap Arif memotong omongan Rahman dengan segera. Karena setelah dipikir-pikir olehnya, ini memang terlalu cepat. "Tadi katanya—""Sekarang nggak! Ayo pulang," ucap Arif dengan gusar karena Rahman malah terlihat seperti orang bodoh."Akh, ok!" Hanya itu ucapan yang keluar dari bibir Rahman lalu ia bangkit dan berpamitan pada mertua serta adik iparnya. Bu Sarah menyuruh mereka untuk makan dulu, tapi Rahman menolak dengan alasan Mala susah memasak. Bu Sarah tak bisa memaksa karena dia pikir juga anaknya pasti sudah menyediakan makanan yang enak. Satu persatu mereka saling berjabat tangan tak lupa Arif juga meminta maaf telah merepotkan semuanya. Namun hanya disambut tawa oleh keluarga pak Ahmad dan mereka bilang tak merasa direpotkan."Jangan pacaran, ya!" bisik Arif saat dia bersalaman dengan Aisyah. Gadis itu mengerutkan dahinya dan menatap pria dewasa yang berbadan tegap itu."Ingat pesan, Abang, ya!"
Bab 222. Maaf.Sementara di rumah Mala, wanita itu kini tengah bercerita kepada mertuanya yang sedang duduk dan melihat wajah menantunya dengan seksama. "Bu, alhamdulillah Arif sudah ditemukan, jadi tidak lama lagi mas Rahman akan pulang," ucap Mala sambil menutupi kaki Bu Samirah oleh selimut yang baru saja selesai dipijit olehnya.Bu Samira menarik sedikit ujung bibirnya, dia tersenyum lega saat mengetahui bahwa teman anaknya itu kini sudah ditemukan.Ibu mau tidur sekarang atau mau menunggu mas Rahman dulu?" tanya Mala dengan lembut."Ibu nunggu Rahman aja!" sahut Bu samirah dengan pelan membuat mata Mala sedikit terbuka karena ternyata mertuanya menyahuti pertanyaanya setelah lama terdiam."Alhamdulillah, Ibu sudah bisa menyahuti saya," ucap Mala sambil terduduk lagi dan memegang bahu mertuanya dengan tatapan yang tidak bisa diucapkan oleh kata-kata. betapa bahagianya dia saat ini mengetahui sang mertua sudah bisa kembali berkomunikasi. "Memangnya kamu pikir, Ibu ini bisu?" tany
Bab 221. Kesasar Bagian 2. "Ais kamu kok bisa ke sini?" Arif malah bertanya seperti itu."Aku mencari Abang! Bang Rahman tadi ke rumah, katanya Abang belum pulang. Akhirnya kami mencari Abang, takutnya Abang kesasar dan benar saja Abang ada di sini. Abang kenapa ngambil jalan sini sih?" ucap Aisyah dengan sedikit kesal."Maafkan Abang ya, is jadi merepotkan semuanya. Abang tadi lupa beloknya harus kemana, ini kan jalan cabang empat jadi Abang bingung mau lurus, belok kanan atau belok kiri. Eh, Abang malah ke sini dan ternyata ini nggak ada kampung malah kebun semua," ucap Arif dengan jujur dan tak enak hati."Lah iyalah, ini kan jalan untuk ke hutan, Bang. Disebelah sana ada kebun-kebun para warga dan memang ada pemukiman juga, tapi itu khusus untuk mereka yang rumahnya jauh dan memiliki ladang disini. Dan tentu saja tidak setiap hari mereka menginap maka tidak akan ada orang. Jadi sangat sepi, terus mobil Abang mana?" tanya Aisyah."Mobil Abang di sebelah sana, Is. Bannya nyelip jad
Bab 220. Kesasar.Rahman mengendarai motornya dengan pelan. Karena ternyata pas keluar dari kampungnya harus melalui jalanan yang becek akibat hujan. Padahal di rumahnya seharian tadi, panas sekali. Jangankan hujan, mendung pun tidak. Bangunan rumah sang mertua sudah terlihat, namun mobil Arif tak ada disana. Rahman langsung turun dan mengetuk pintu. "Assalamualaikum!" "Loh, Bang Rahman?" pekik Aisyah saat pintu sudah terbuka lebar. Negatif thinking langsung menerpa pikirannya."Arif mana?" tanya Rahman pada Aisyah."Udah pulang dari tadi.""Mala gak menelpon kamu?" tanya Rahman lagi."Nggak, eh tapi sebentar. Aisyah lihat dulu ponselnya." Gadis itu seketika berbalik menuju kamarnya dan mencari ponselnya. Ternyata ada banyak panggilan dari WhatsApp dari sang kakak. Namun sayang sebelum sholat dia telah memasang silent mode on di ponselnya. Aisyah membaca pesan yang dikirim Mala satu persatu. Dia baru paham apa sebabnya yang membuat Rahman datang ke rumahnya. Di ruang tamu, Bu Sar
Bab 219. Kesasar atau hilang.Aisyah langsung masuk ke kamarnya meletakkan seluruh barang bawaannya. Kemudian gadis itu menuju ke dapur, berniat membuatkan minuman untuk Arif dan juga kedua orang tuanya. Tiba-Tiba Bu Sarah pun muncul di dapur."Kamu bikin apa, Is?" tanya Bu Sarah. "Ini aku bikin kopi buat Bapak sama Bang Arif, ada cemilan apa, Mak di rumah?" tanya Aisyah"Tuh ada rengginang sama goreng opak aja, baru digoreng tadi pagi sama Emak!" ucap Bu Sarah dengan menunjukkan letak toples rengginang dengan dagunya. Aisyah pun menata nampan dengan dua buah toples berukuran sedang, serta dua buah cangkir kopi. Lalu mengantarkannya ke hadapan Pak Ahmad dan Arif di ruang tamu.Pak Ahmad terlihat asik mengobrol dengan Arif, hingga sesekali tawa dari keduanya terdengar. Aisyah masuk kembali dan duduk di ruang tengah karena melihat bapaknya dan Arif sedang asik berbincang. Gadis itu gak berani ikut duduk disana."Hmz, Pak boleh saya bertanya?" ucap Arif dengan ragu-ragu. Dia menautkan
art 112. Hilang atau kesasar? Aisyah mengangguk tanda membenarkan pertanyaan Arif. Gadis berlesung pipit itu begitu sangat terlihat manis dipandang dari samping. "Hmz … bagus, Is. Abang salut sama kamu!" Hanya itu ucapan Arif. Sungguh bertentangan dengan isi hatinya. "Tapi, kalau seandainya ada laki-laki yang tiba-tiba melamar kamu, apa kamu mau terima, Is?" tanya Arif dengan perasaan yang roller coaster. Keringat sudah membasahi tubuhnya. Meski ia telah bersiap dengan penolakan, tapi sisi egoisnya mengatakan bagaimanapun harus bisa memiliki Aisyah. Gadis tujuh belas tahun itu telah memporak porandakan hatinya, membuatnya gila dengan pikiran-pikiran masa depan yang indah jika dirinya beristrikan Aisyah."Gimana, ya! Lagian belum pernah ada yang melamar aku," sahut Aisyah dengan terkekeh geli. Mengingat banyak orang bilang dirinya cantik, pintar dan sebagainya. Tapi belum pernah ada yang melamarnya. "Hah … serius? Tapi pacar punya dong?" Arif mencoba mengorek hal yang paling rahasi
"Arif bukan anak kecil. Dia sudah dua puluh tujuh tahun. udah biarin aja! Kamu sekarang kalau mau pulang, ayo cepetan. Arif udah manasin mobil tuh," ucap Mala dengan langsung berbalik pergi. Dia tidak mau lagi mendengar penolakan Aisyah atau apapun. Sedangkan sang adik hanya mengerang pelan, dia tak habis pikir dengan jalan pikiran kakaknya bagaimana mungkin seorang tamu yang tidak tahu wilayah tempat tinggal mereka disuruh mengantarkan dirinya, lelaki yang baru dikenalnya dalam hitungan jam.Meskipun bagi kakaknya, Arif pada sosok yang baik tapi belum tentu dengan dirinya. Tapi apa boleh buat, dia tidak mau menyinggung perasaan siapapun. Akhirnya suka tidak suka, Aisyah menyetujuinya dengan berusaha meyakini bahwa Arif itu orang baik.Aisyah menenteng ranselnya setelah berpamitan terlebih dahulu pada bu Samirah yang sedang duduk diatas kasur. Dia menuju ke teras depan, dimana Kakak dan Kakak iparnya beserta Arif berada."Tuh, Ais sudah siap," ucap Rahman saat matanya menangkap sosok
"Aisyah itu agamanya kuat. Mungkin saja dia itu tidak akan nyaman dengan keberadaan aku, orang yang dianggapnya memang bukan muhrim. Walaupun sama aku yang sudah jadi keluarganya. Memang dari dulu anak itu seperti itu, kalau aku nggak ada pasti dia akan disini bersama kakaknya. Tapi kalau aku pulang, dia akan gegas pulang juga ke rumahnya. Cuma pernah waktu Mala lahiran, dia disini agak lama," tutur Rahman. "Tapi bukan karena aku kan, Man?" Arif menatap cemas. Arif sangat takut kepulangan Aisyah karena ada dirinya di rumah Rahman. "Bukan! Bukan lah. Dari dulu semenjak aku pulang-pergi ke Lampung Aisyah hanya akan disini kalau aku tidak ada, kalau aku pulang, maka dalam hitungan jam dia akan langsung pulang," tegasnya dan diangguki oleh Mala.Arif tersenyum simpul mendengar apa yang dikatakan Rahman. Dia tidak salah menjatuhkan hati. Dia tidak salah menganggumi. Tatap matanya begitu penuh harap saat kata demi kata diucapkan oleh pasangan suami-isteri itu."Ya … udah, Mas ambil moto
Bersamaan dengan itu, Aisyah berbalik badan hendak masuk karena memang kegiatan menyapunya telah selesai. "Bang Arif, ngapain di sini?" tanya Aisyah, matanya beradu pandang dengan lelaki bertubuh tegap itu. Arif memejamkan matanya seketika. Setelah Rahman dan Mala kini targetnya sendiri tengah menanyainya. "E—anu, Sah. Abang mau ke kamar mandi," sahut Arif sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal, matanya tak berani menatap kearah Aisyah, namun berulang kali membuang pandangannya tapi kembali menatap gadis tujuh belas tahun itu."Ais, Bang. Aku nggak mau dipanggil Sah!" ucap Aisyah dengan cemberut. Dia memang tidak suka dipanggil ujung namanya, dia lebih suka dipanggil awal namanya saja. "Ow … Maaf, ya! Abang nggak tau," ucap Arif lagi sambil tersenyum canggung. Dadanya begitu bergemuruh bak pasukan akan perang, tubuhnya terasa panas dingin dan gemetaran."Iya, tapi jangan di ulangi panggil itu lagi, nanti aku ngambek!" ucap Aisyah sambil berlalu ke dapur guna menyimpan sapu seda