Di rumah baru. "Enak sekali kalian makan, tanpa mengajak atau mengingat si wanita tua ini," ucap bu Samirah dengan lantang saat matanya menangkap suasana di teras rumah anaknya, padahal ia baru saja menginjakkan kakinya di rumah anaknya. "Eh, Besan. Mari makan bareng," sapa bu Sarah. Ibunya Mala, lalu bangkit hendak bersalaman. Tapi Bu Samirah malah mendengus dan membuang muka. Membuat Rahman seketika beristigfar dalam hati. Bu Sarah yang menangkap gelagat tidak suka dari besannya itu, kembali duduk dan melanjutkan makannya, seperti tak terjadi apa-apa. Meski dalam hatinya merasa tak enak oleh sikap ibunya Rahman, tapi ia tak boleh menunjukkannya. Ada anak menantunya yang akan merasa bersalah jika ia mengambil sikap tersinggung saat ini."Bu, ayo, Makan, ini nasinya," ajak Mala sambil mengeluarkan satu bungkus nasi bagiannya. Ia sungguh lupa hanya membeli pas, untuk mereka yang berada di rumahnya saat ini. Ia pikir tak akan ada yang datang ke rumahnya, apalagi ibu mertuanya. Untung
"Sekarang serba mahal, besan. Nikahkan saja. Lagian di kampung itu sangat jarang yang kuliah. Hanya orang-orang kayak yang mampu menguliahkan anaknya," ucap Bu Samirah dengan wajah culas. bagaimanapun ia tak ingin adik-adik Mala bisa setara pendidikannya dengan anaknya, Rahman.Aisyah yang mendengar ucapan Bu Samirah, bak mendengar suara ledakan yang menghancurkan sesuatu dalam hatinya. Juga kini mental orang tuanya sedang berusaha dihancurkan. "Dengan atau tanpa biaya orang tua, saya akan tetap kuliah, Bu," ucap Aisyah dengan geram."Bagus, Is. Kalau punya cita-cita, kita harus Semangat. Mas, saja dulu sampai rela makan mie instan karena belum gajian. Kuliah sambil kerja itu, rasanya akh, mantap," ucap Rahman dengan diakhiri sebuah candaan. Membuat kedua adikny Mala tertawa begitupun Mala dan kedua orang tuanya. Hanya Bu Samirah yang mendelik tak suka pada anaknya. Dulu saat Rahman sering berkunjung ke rumah Mala, Rahman selalu mengakrabkan diri pada kedua adiknya Mala. Dan sering
Rahman kembali membuka kunci pagar rumahnya dengan tersenyum simpul, tapi wajah bu Usman tetap cemberut. "Silahkan, Bu," ucap Rahman. Bu Usman tergesa masuk kedalam dan langsung menuju ke belakang rumah. Mala yang melihat itu, merasa kesal sekali. Apalagi melihat muka cemberut sahabat mertuanya itu. Akhirnya ia dan suaminya pun berdiri di luar pagar. Bu Usman memang terkenal karena keapikannya terhadap uang, ia sering memasak sayuran hasil bumi dari sekitaran rumahnya, entah itu dipekarangannya sendiri atau malah di pekarangan rumah orang. Bahkan Bu Usman, kerap juga membawa lauk pauk dari dapur orang. Cara dia mengambil hati orang, patut diacungi jempol, hingga kadang orang yang dekat dengannya, akan memberikan apapun dengan suka rela. "Mas, ayo kita lihat, lama sekali sih," gerutu Mala dengan wajah yang ditekuk."Sabar sebentar, kita lagi beramal ini," sahut Rahman, padahal dalam hatinya juga kesal, ia yang seharus sudah rebahan di rumah. Kini malah masih menunggu Bu Usman di rum
"Assalamualaikum," ucap Rahman sambil memutar handle pintu."Waalaikum salam." Terdengar jawaban salam dari beberapa orang dari dalam rumah. Sudah pasti keluarga Rahman sedang berkumpul di ruang tengah, karena di jam ini adalah jadwalnya mereka menonton televisi."Kirain gak bakal pulang," ucap Bu Samirah dengan ketus."Apaan sih, Bu," hardik pak Manto mencoba mencegah omelan istrinya."Apaan! Apaan! Perempuan hamil itu dilarang keluyuran sebelum magrib, pamali. Lebih baik tidak pulang dan menginap saja disana," ketusnya dengan suara yang meninggi.Tapi anak dan menantunya itu tak pernah menggubris omelan Bu Samirah, keduanya berlalu ke kamarnya hendak membersihkan badannya yang terasa lengket. Kebetulan cuaca tadi siang begitu panas. Hingga membuat suasana di sore hari pun masih saja gerah."Mas, besok kita jadi USG?" tanya Mala, samb
StillbirthMala melangkah dengan gamang keluar dari posyandu tempatnya tadi memeriksakan kehamilannya. Ada rasa was-was dan curiga ketika ia melihat kedua Bidan tadi saling menatap dan mengangguk. Ia yang baru saja merasakan hamil, sungguh tak begitu paham tentang semua pergerakan atau pertumbuhan janin. Di tengah teriknya mentari ia berjalan dengan lesu. Waktu telah menunjukkan pukul 10:30 wib. Tapi udara panas seakan ingin membakar ubun-ubun kepalanya. Berbagai macam pikiran berlalu lalang dalam pikirannya. Ia hanya mampu menarik nafas panjang lalu membuangnya. Bermacam doa ia rapalkan dalam hatinya demi si buah hati tercinta. Ia mengusap pelan perutnya dengan berkata lirih. " Siang ini kita akan USG. Ibu akan melihatmu, kamu sehat-sehat, ya, Dek.""Mala, kamu sudah pulang," teriak Tika, ia baru saja hendak ke posyandu. Mala mendongak mencari sumber suara yang memanggilnya. Ternyata dari seberang jalan. Tika menyebrang dengan menuntun Alia guna menghampiri Mala."Kamu kenapa?" tany
"Ikh, sejak kapan tidak bergerak bayinya, Bu? Ini janinnya sudah meninggal lama," ucap dokter dengan nada yang tinggi, entah dokter ikut kaget juga dengan gambar di layar monitor dihadapannya. Mala pun melihat monitor besar di tembok yang memperlihatkan gambar janinnya berwarna kemerahan tidak jelas. "Hah?!" teriak Mala, tangisnya seketika pecah, ia meraung dengan meremas besi tempat tidurnya saat mendengar pernyataan dokter. "Lihatlah, ini kepalanya juga sudah gepeng," ucap dokter lagi, tangisan Mala semakin melengking pilu membuat siapapun akan iba mendengarnya. "Kok bisa begini, Bu?" tanya dokter sambil matanya tetap melihat ke arah monitor. Rahman terpaku shock mendengar apa yang dikatakan dokter. Apalagi tangisan Mala begitu sangat pilu di pendengarannya. "Lalu harus bagaimana?" Akhirnya Rahman bertanya dengan bingung dan seperti orang linglung. Sedangkan Mala masih berbaring dan tergugu. "Ini harus dikeluarkan, Pak. Janinnya sudah meninggal, bahaya untuk ibunya kalau dibiar
Tangisan Mala."Mala, Rahman, kalian ngapain di dalam?" tanya Bu Samirah dibalik pintu. "Buka!" Bu Samirah kini menggedor dan menyuruh anaknya membuka pintu kamar."Mas, jangan dulu cerita ke Ibu dan keluarga lainnya. Sampai nanti aku masuk Rumah Sakit," ucap Mala. Yang langsung diangguki oleh suaminya lalu bangkit guna membuka pintu. "Ada apa, Bu?" tanya Rahman saat membuka pintu. "Kalian ngapain aja di kamar, gak jenuh gitu, dari tadi gak keluar-keluar?" tanya Bu Samirah sambil kepalanya melongo melihat ke dalam. Netranya menangkap Mala yang berbaring berselimut membelakangi pintu. "Kenapa, Mala? Sakit?" tanyanya pada Rahman. "Iya gak enak badan," sahutnya lalu melangkah masuk dan duduk di depan laptopnya. "Jangan berbaring terus, Mala. Bergeraklah, biar bayinya juga ikut bergerak dan sehat," ucap Bu Samirah. Bagi Mala ucapan mertuanya itu justru membuatnya getir, kala mengingat sang anak yang dikandungnya telah tak bernyawa. Lalu ia memikirkan bagaimana reaksi sang ibu mertu
Suara Kokok ayam telah bersahutan. Mala terpaksa bangkit dari tidurnya. Suaminya sudah tak ada lagi di kamar. Padahal jam dinding di kamar Mala menunjukan baru pukul delapan tiga puluh menit. Ia menyibak tirai jendelanya, sinar matahari pagi langsung menyeruak masuk, membuat penglihatan Mala menjadi silau. Ia bergegas keluar dari kamar, dan suasana rumah begitu sepi. Ditambah Rahmat dan Susan sudah pulang ke rumahnya kemarin pagi. Mala celingukan mencari sosok mertuanya. Baru kali ini dia bangun siang dan tidak di omelin oleh mertuanya. Biasanya Seandainya Mala bangun sedikit terlambat saja, maka dari arah dapur akan ramai dengan suara beradu dari panci dan alat dapur lainnya.Mala menyeduh susu khusus ibu hamil. Lalu duduk di meja makan. Ada beberapa potong pisang goreng, bakwan dan buras. Tapi ia tak berselera makan apapun. Kembali ia teringat pada anak dalam kandungannya. Anak yang sangat ia harapkan, kini tak mungkin bisa ia genggam. Airmata kembali jatuh, hatinya tercabik-cabik.