"Kita mau pulang ikut Papi, tapi naik kereta, pokoknya!" Tino dan Tiano bersikeras, sedangkan Shela hanya menuruti mereka saja. Meskipun Sebastian sejujurnya tidak menyukai permintaan putranya ini."Apa tidak enakan naik mobil, nanti kita bisa berhenti di banyak tempat, kita pergi ke pusat permainan, atau-""Kita tidak mau, Pi. Naik kereta atau tidak pulang sama sekali!" putus Tiano dengan bibir mencebik dan wajah seriusnya. Helaan napas pelan terdengar dari bibir Sebastian. Mau tidak mau dia menuruti apa yang anak-anaknya minta, mereka akan pulang dengan kereta. "Kalau Tiana?" Sebastian menoleh pada putri Kecilnya. Anak itu tersenyum memamerkan gigi putihnya. "Tiana ikut saja!" "Kalau Mami?" Tino menatap Shela yang kini diam berdiri di belakang mereka. Bahkan Sebastian ikut menatapnya dengan tatapan penuh harapan. Ia sungguh menginginkan Shela mau pulang bersamanya dan kembali merajut kehidupan mereka dengan bahagia. Bibi Molly yang berada di antara mereka semua, wanita itu m
"Tiana kenapa gendong saja? Kasihan Mami, Sayang..." Sebastian menatap Tiana yang memeluk Shela dan anak itu tidak mau main dengan kedua kembarannya. Lebih tepatnya setelah seharian dia marah-marah mencari boneka yang dulu dibelikan Aldrich, kini entah ke mana. "Bonekanya hilang, aku juga tidak tahu boneka yang mana," ujar Shela mengusap punggung kecil Tiana. "Boneka... Kan dia bonekanya banyak, Sayang." "Ya meskipun segudang kalau dia tidak mau, ya tidak mau!" pekik Shela ikut kesal. Sebastian menghela napasnya pelan, dia menatap wajah cantik putri kecilnya. Beginilah kalau Tiana yang marah pada semua orang, maka seisi rumah pula yang akan ikut pusing. "Kita beli boneka baru saja yuk, sama Papi sama Mami yuk, Kakak tidak usah diajak..." Sebastian mengusap rambut Tiana. "Tidak mau, maunya ketemu Aldrich." Anak itu tertunduk sedih. "Ya ampun nak... Aldrich itu masih sekolah. Nanti kalau sudah besar kalian bisa bertemu." Tiana mendusal dalam pelukan Shela. Anak itu memeluk le
"Tiana bangun... Tiana, ada paket dari Lalat Buah untukmu!"Suara Tiano membangunkan Tiana dari tidurnya, anak perempuan itu membuka kedua matanya. Tiana menatap Tiano yang kini membawakan sebuah kotak besar di tangannya. "Apa ini?" tanya Tiana menatap Tiano. "Hadiah, dari Aldrich. Barusan pengirimnya bilang begitu!" jawab Tiano.Wajah Tiana langsung berbinar-binar, anak itu langsung dengan cepat membuka kotak hadiahnya. Kedua mata Tiana berbinar-binar melihat boneka paus berwarna merah muda. Boneka itu dikirim oleh Aldrich untuk Tiana setelah beberapa hari ini Tiana kehilangan bonekanya. "Wahhh... Boneka paus!" pekik Tiana kesenangan. "Ada kaca mata barunya juga, Tiana!" pekik Tiano ikut senang, anak ini tidak sejahil kembarannya yang satu. Tiana langsung memakai kaca mata yang Aldrich berikan untuknya. Di ambang pintu kamar muncul Tino yang kini menatap dua kembarannya yang tengah membongkar hadiah. "Dari siapa sih, kok happy banget... Jadi kepo," ujar Tino masuk ke dalam k
"Janji jangan membuat onar lagi sama anak tamu Papi!"Sebastian berucap dengan tegas seraya bersedekap menatap Tino yang kini berdiri dengan satu kaki, kedua tangannya memegangi telinga dengan wajah sebal bukan main. "Yang salah bukan Tino, Pi! Si Kuman itu yang salah!" pekik Tino kesal. "Halah, Papi tidak mau dibantah!" Sebastian berkacak pinggang di depan Tino tepat. Anak itu cemberut, sementara dua kembarannya hanya menatapnya saja. Tiana menatapnya dengan mengacungkan jempol ke arah Tino. "Awas kau Tiana! Aku habisi, aku hajar si Lalat Buahmu kalau dia pulang!" sinis Tino dengan sangat geram. "Tino..." Sebastian kembali berucap. Tino memasang wajah paling melasnya. Anak itu menatap Shela yang mondar-mandir menyiapkan makan malam untuk mereka semua. Maminya ternyata tidak mau membantu. Untuk kesekian kalinya Tino dihukum oleh Sebastian, karena anak itu memang sangat nakal. "Mami... Tolongin Tino dong, kalau lama-lama berdiri sama satu kaki gini nanti Tino bisa lemes, terus
Tiana duduk di depan rumah membawa boneka ikan paus merah muda miliknya. Bocah cantik dengan rambut diikat dua, kaca mata bening berbingkai biru yang dia pakai, senada dengan warna dress cantiknya. Anak itu ditemani Renhard yang kini bermain di rumahnya. Bocah itu tidak ada kapok-kapoknya meskipun beberapa hari yang lalu ribut dengan Tino. "Renhard nanti kalau besar mau jadi apa?" tanya Tiana pada temannya itu. "Jadi dokter. Di keluargaku semua bekerja di kantor, jadi aku ingin menjadi yang lain. Kalau Tiana mau jadi apa?" tanya balik Renhard."Emmm... Tiana mau jadi Ibu guru," jawab anak itu tersenyum manis. "Ibu guru ya, wahh nanti pasti Tiana kalau sudah besar cantik sekali..." "Iya dong. Kan Tiana pacarnya Aldrich!" jawab bocah kecil itu dengan senyuman manisnya. Renhard terdiam, dia tidak tahu siapa yang Tiana maksud. Nama itu tidak sekali dua kali saja Tiana sebutkan. Sampai akhirnya kini Renhard terdiam dan memperhatikan wajah Tiana. "Tiana... Siapa itu Aldrich?" "Dia
Dua Belas Tahun Kemudian...'Papi ingin menjodohkan Tiana dengan anak teman Papi. Dan Papi harap, Tiana tidak menolaknya.' Kata-kata penuh penekanan itu terngiang-ngiang di telinga seorang gadis cantik berambut hitam sepinggang dengan bando putih yang melingkar, memakai kaca mata bening berbingkai gold, dan pakaian formal rapi. Dia sangat frustrasi setengah mati!Tiana Morine, gadis cantik itu kini sudah tumbuh dewasa, tujuh belas tahun usianya. Menjadi dewasa tidak seenak seperti yang Tiana bayangkan sebelumnya, dia tetap berdiri di dalam garis yang diatur oleh orang tuanya. "Papi dengan enaknya mau menjodohkan aku... Dengan siapa, coba?" lirih Tiana, dia berjalan masuk ke dalam kantor perusahaan tempat dia magang saat ini. "Aku kan masih kuliah, apa iya kuliah sambil menikah? Terus jauh dari Mami? Aaarrgghhh... Aku tidak akan bisa!" Gadis itu berbicara sendiri dan marah-marah sendiri sampai akhirnya Tiana menghela napasnya panjang-panjang saat sudah sampai di dalam kantor.Selam
'Aldrich?! Dia Aldrich yang dulu, kan?!' Tiana kacau dengan pikirannya. Gadis itu mengusap wajah berulang kali sembari menatapi laptopnya dan sesekali melirik ke meja sebelah di mana Aldrich berada. Ingin sekali Tiana pulang saat ini, bagaimana bisa dia bertemu lagi dengan laki-laki itu dalam keadaan seperti ini?! Lebih lagi Aldrich sudah berbeda, sikapnya lebih dewasa dan sangat profesional. Tiana malu sendiri. "Aduhh..." Tiana menundukkan kepalanya. Aldrich menoleh, dia tersenyum kecil. Lucu, Tiana-nya sama sekali tidak berubah. "Kalau kau lelah, istirahat saja. Aku tidak mau dihajar kembaranmu," ujar laki-laki itu. "Eh, tidak kok!" jawab Tiana, dia kembali memakai kaca matanya dan menatapi laptopnya. Aldrich beranjak dari duduknya perlahan, dia menarik kursi duduk di samping Tiana. Menyangga kepala menatapi wajah cantik Tiana yang sudah lama tidak pernah dia lihat. Aldrich merindukan gadis ini, terkahir kali mereka bertelepon saat keduanya masih kecil. Saat mendengar kabar
Tiana turun dari dalam bus kota, gadis itu tersenyum lebar melambaikan tangannya secara langsung pada seorang laki-laki yang duduk di depan gedung sekolah kursus, dan laki-laki muda dengan stelan almamater jas merah itu, menunggunya. "Ren! Renhard...!" teriak Tiana berlari. Renhard, sahabat dekat Tiana sejak kecil hingga kini. Laki-laki itu juga menjadi guru bimbingan kursus di gedung yang sama dengan Tiana. Mereka kebetulan juga kuliah di kampus yang sama juga. "Jangan lari, Tiana," ujar laki-laki itu tersenyum manis pada Tiana dan menyambut kedatangannya. "Ren, maaf ya aku terlambat. Aku... Aku sangat senang hari ini!" pekik Tiana dengan wajah kesenangan dan heboh sendiri. Renhard menatapnya dan dia ikut tersenyum senang bila Tiana juga senang. "Ada apa? Ada hal menyenangkan di tempat magang?" tanya Renhard seraya melangkah bersama Tiana masuk ke dalam pekarangan luas gedung kursus. Tiana mengangguk antusias. "Iya! Kau tahu... Orang yang aku tunggu-tunggu selama ini sudah kem
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut