"Tiana kenapa gendong saja? Kasihan Mami, Sayang..." Sebastian menatap Tiana yang memeluk Shela dan anak itu tidak mau main dengan kedua kembarannya. Lebih tepatnya setelah seharian dia marah-marah mencari boneka yang dulu dibelikan Aldrich, kini entah ke mana. "Bonekanya hilang, aku juga tidak tahu boneka yang mana," ujar Shela mengusap punggung kecil Tiana. "Boneka... Kan dia bonekanya banyak, Sayang." "Ya meskipun segudang kalau dia tidak mau, ya tidak mau!" pekik Shela ikut kesal. Sebastian menghela napasnya pelan, dia menatap wajah cantik putri kecilnya. Beginilah kalau Tiana yang marah pada semua orang, maka seisi rumah pula yang akan ikut pusing. "Kita beli boneka baru saja yuk, sama Papi sama Mami yuk, Kakak tidak usah diajak..." Sebastian mengusap rambut Tiana. "Tidak mau, maunya ketemu Aldrich." Anak itu tertunduk sedih. "Ya ampun nak... Aldrich itu masih sekolah. Nanti kalau sudah besar kalian bisa bertemu." Tiana mendusal dalam pelukan Shela. Anak itu memeluk le
"Tiana bangun... Tiana, ada paket dari Lalat Buah untukmu!"Suara Tiano membangunkan Tiana dari tidurnya, anak perempuan itu membuka kedua matanya. Tiana menatap Tiano yang kini membawakan sebuah kotak besar di tangannya. "Apa ini?" tanya Tiana menatap Tiano. "Hadiah, dari Aldrich. Barusan pengirimnya bilang begitu!" jawab Tiano.Wajah Tiana langsung berbinar-binar, anak itu langsung dengan cepat membuka kotak hadiahnya. Kedua mata Tiana berbinar-binar melihat boneka paus berwarna merah muda. Boneka itu dikirim oleh Aldrich untuk Tiana setelah beberapa hari ini Tiana kehilangan bonekanya. "Wahhh... Boneka paus!" pekik Tiana kesenangan. "Ada kaca mata barunya juga, Tiana!" pekik Tiano ikut senang, anak ini tidak sejahil kembarannya yang satu. Tiana langsung memakai kaca mata yang Aldrich berikan untuknya. Di ambang pintu kamar muncul Tino yang kini menatap dua kembarannya yang tengah membongkar hadiah. "Dari siapa sih, kok happy banget... Jadi kepo," ujar Tino masuk ke dalam k
"Janji jangan membuat onar lagi sama anak tamu Papi!"Sebastian berucap dengan tegas seraya bersedekap menatap Tino yang kini berdiri dengan satu kaki, kedua tangannya memegangi telinga dengan wajah sebal bukan main. "Yang salah bukan Tino, Pi! Si Kuman itu yang salah!" pekik Tino kesal. "Halah, Papi tidak mau dibantah!" Sebastian berkacak pinggang di depan Tino tepat. Anak itu cemberut, sementara dua kembarannya hanya menatapnya saja. Tiana menatapnya dengan mengacungkan jempol ke arah Tino. "Awas kau Tiana! Aku habisi, aku hajar si Lalat Buahmu kalau dia pulang!" sinis Tino dengan sangat geram. "Tino..." Sebastian kembali berucap. Tino memasang wajah paling melasnya. Anak itu menatap Shela yang mondar-mandir menyiapkan makan malam untuk mereka semua. Maminya ternyata tidak mau membantu. Untuk kesekian kalinya Tino dihukum oleh Sebastian, karena anak itu memang sangat nakal. "Mami... Tolongin Tino dong, kalau lama-lama berdiri sama satu kaki gini nanti Tino bisa lemes, terus
Tiana duduk di depan rumah membawa boneka ikan paus merah muda miliknya. Bocah cantik dengan rambut diikat dua, kaca mata bening berbingkai biru yang dia pakai, senada dengan warna dress cantiknya. Anak itu ditemani Renhard yang kini bermain di rumahnya. Bocah itu tidak ada kapok-kapoknya meskipun beberapa hari yang lalu ribut dengan Tino. "Renhard nanti kalau besar mau jadi apa?" tanya Tiana pada temannya itu. "Jadi dokter. Di keluargaku semua bekerja di kantor, jadi aku ingin menjadi yang lain. Kalau Tiana mau jadi apa?" tanya balik Renhard."Emmm... Tiana mau jadi Ibu guru," jawab anak itu tersenyum manis. "Ibu guru ya, wahh nanti pasti Tiana kalau sudah besar cantik sekali..." "Iya dong. Kan Tiana pacarnya Aldrich!" jawab bocah kecil itu dengan senyuman manisnya. Renhard terdiam, dia tidak tahu siapa yang Tiana maksud. Nama itu tidak sekali dua kali saja Tiana sebutkan. Sampai akhirnya kini Renhard terdiam dan memperhatikan wajah Tiana. "Tiana... Siapa itu Aldrich?" "Dia
Dua Belas Tahun Kemudian...'Papi ingin menjodohkan Tiana dengan anak teman Papi. Dan Papi harap, Tiana tidak menolaknya.' Kata-kata penuh penekanan itu terngiang-ngiang di telinga seorang gadis cantik berambut hitam sepinggang dengan bando putih yang melingkar, memakai kaca mata bening berbingkai gold, dan pakaian formal rapi. Dia sangat frustrasi setengah mati!Tiana Morine, gadis cantik itu kini sudah tumbuh dewasa, tujuh belas tahun usianya. Menjadi dewasa tidak seenak seperti yang Tiana bayangkan sebelumnya, dia tetap berdiri di dalam garis yang diatur oleh orang tuanya. "Papi dengan enaknya mau menjodohkan aku... Dengan siapa, coba?" lirih Tiana, dia berjalan masuk ke dalam kantor perusahaan tempat dia magang saat ini. "Aku kan masih kuliah, apa iya kuliah sambil menikah? Terus jauh dari Mami? Aaarrgghhh... Aku tidak akan bisa!" Gadis itu berbicara sendiri dan marah-marah sendiri sampai akhirnya Tiana menghela napasnya panjang-panjang saat sudah sampai di dalam kantor.Selam
'Aldrich?! Dia Aldrich yang dulu, kan?!' Tiana kacau dengan pikirannya. Gadis itu mengusap wajah berulang kali sembari menatapi laptopnya dan sesekali melirik ke meja sebelah di mana Aldrich berada. Ingin sekali Tiana pulang saat ini, bagaimana bisa dia bertemu lagi dengan laki-laki itu dalam keadaan seperti ini?! Lebih lagi Aldrich sudah berbeda, sikapnya lebih dewasa dan sangat profesional. Tiana malu sendiri. "Aduhh..." Tiana menundukkan kepalanya. Aldrich menoleh, dia tersenyum kecil. Lucu, Tiana-nya sama sekali tidak berubah. "Kalau kau lelah, istirahat saja. Aku tidak mau dihajar kembaranmu," ujar laki-laki itu. "Eh, tidak kok!" jawab Tiana, dia kembali memakai kaca matanya dan menatapi laptopnya. Aldrich beranjak dari duduknya perlahan, dia menarik kursi duduk di samping Tiana. Menyangga kepala menatapi wajah cantik Tiana yang sudah lama tidak pernah dia lihat. Aldrich merindukan gadis ini, terkahir kali mereka bertelepon saat keduanya masih kecil. Saat mendengar kabar
Tiana turun dari dalam bus kota, gadis itu tersenyum lebar melambaikan tangannya secara langsung pada seorang laki-laki yang duduk di depan gedung sekolah kursus, dan laki-laki muda dengan stelan almamater jas merah itu, menunggunya. "Ren! Renhard...!" teriak Tiana berlari. Renhard, sahabat dekat Tiana sejak kecil hingga kini. Laki-laki itu juga menjadi guru bimbingan kursus di gedung yang sama dengan Tiana. Mereka kebetulan juga kuliah di kampus yang sama juga. "Jangan lari, Tiana," ujar laki-laki itu tersenyum manis pada Tiana dan menyambut kedatangannya. "Ren, maaf ya aku terlambat. Aku... Aku sangat senang hari ini!" pekik Tiana dengan wajah kesenangan dan heboh sendiri. Renhard menatapnya dan dia ikut tersenyum senang bila Tiana juga senang. "Ada apa? Ada hal menyenangkan di tempat magang?" tanya Renhard seraya melangkah bersama Tiana masuk ke dalam pekarangan luas gedung kursus. Tiana mengangguk antusias. "Iya! Kau tahu... Orang yang aku tunggu-tunggu selama ini sudah kem
Di dalam sebuah ruang tamu di dikediaman megah keluarga Casadin, seorang Renhard duduk berhadapan dengan Papanya yang sejak tadi membahas Tiana, putri rekan kerjanya. Renhard tidak seantusias biasanya saat sang Papa menyebutkan nama gadis dambaannya tersebut. "Sampai akhir musim ini Ren, Papa dan Om Sebastian berencana ingin menjodoh-""Tidak usah Pa," seru Renhard menyela. "Hah, tidak usah bagaimana?!" pekik Casadin menatap sang putra. "Itu hanya rencana, kan? Tiana itu temanku, dia sudah seperti adikku sendiri. Dia juga sudah punya seseorang yang dia cintai." Casadin dan Yelse menatap Putranya yang kini memasang wajah sedih, setengah kecewa. Biasanya Renhard memang senang saat membahas Tiana, tidak berhenti dia memuji gadis itu. "Ren, kami tidak akan memaksamu," ujar Yelse, wanita itu tersenyum. "Tapi Papa dan Om Sebastian sudah membicarakannya, dan itu semua masih rencana. Kalau kau mundur dan tidak mau, juga tidak papa." Renhard mengangguk kaku. "Iya Ma, lagipula Tiana menga