Tiana duduk di depan rumah membawa boneka ikan paus merah muda miliknya. Bocah cantik dengan rambut diikat dua, kaca mata bening berbingkai biru yang dia pakai, senada dengan warna dress cantiknya. Anak itu ditemani Renhard yang kini bermain di rumahnya. Bocah itu tidak ada kapok-kapoknya meskipun beberapa hari yang lalu ribut dengan Tino. "Renhard nanti kalau besar mau jadi apa?" tanya Tiana pada temannya itu. "Jadi dokter. Di keluargaku semua bekerja di kantor, jadi aku ingin menjadi yang lain. Kalau Tiana mau jadi apa?" tanya balik Renhard."Emmm... Tiana mau jadi Ibu guru," jawab anak itu tersenyum manis. "Ibu guru ya, wahh nanti pasti Tiana kalau sudah besar cantik sekali..." "Iya dong. Kan Tiana pacarnya Aldrich!" jawab bocah kecil itu dengan senyuman manisnya. Renhard terdiam, dia tidak tahu siapa yang Tiana maksud. Nama itu tidak sekali dua kali saja Tiana sebutkan. Sampai akhirnya kini Renhard terdiam dan memperhatikan wajah Tiana. "Tiana... Siapa itu Aldrich?" "Dia
Dua Belas Tahun Kemudian...'Papi ingin menjodohkan Tiana dengan anak teman Papi. Dan Papi harap, Tiana tidak menolaknya.' Kata-kata penuh penekanan itu terngiang-ngiang di telinga seorang gadis cantik berambut hitam sepinggang dengan bando putih yang melingkar, memakai kaca mata bening berbingkai gold, dan pakaian formal rapi. Dia sangat frustrasi setengah mati!Tiana Morine, gadis cantik itu kini sudah tumbuh dewasa, tujuh belas tahun usianya. Menjadi dewasa tidak seenak seperti yang Tiana bayangkan sebelumnya, dia tetap berdiri di dalam garis yang diatur oleh orang tuanya. "Papi dengan enaknya mau menjodohkan aku... Dengan siapa, coba?" lirih Tiana, dia berjalan masuk ke dalam kantor perusahaan tempat dia magang saat ini. "Aku kan masih kuliah, apa iya kuliah sambil menikah? Terus jauh dari Mami? Aaarrgghhh... Aku tidak akan bisa!" Gadis itu berbicara sendiri dan marah-marah sendiri sampai akhirnya Tiana menghela napasnya panjang-panjang saat sudah sampai di dalam kantor.Selam
'Aldrich?! Dia Aldrich yang dulu, kan?!' Tiana kacau dengan pikirannya. Gadis itu mengusap wajah berulang kali sembari menatapi laptopnya dan sesekali melirik ke meja sebelah di mana Aldrich berada. Ingin sekali Tiana pulang saat ini, bagaimana bisa dia bertemu lagi dengan laki-laki itu dalam keadaan seperti ini?! Lebih lagi Aldrich sudah berbeda, sikapnya lebih dewasa dan sangat profesional. Tiana malu sendiri. "Aduhh..." Tiana menundukkan kepalanya. Aldrich menoleh, dia tersenyum kecil. Lucu, Tiana-nya sama sekali tidak berubah. "Kalau kau lelah, istirahat saja. Aku tidak mau dihajar kembaranmu," ujar laki-laki itu. "Eh, tidak kok!" jawab Tiana, dia kembali memakai kaca matanya dan menatapi laptopnya. Aldrich beranjak dari duduknya perlahan, dia menarik kursi duduk di samping Tiana. Menyangga kepala menatapi wajah cantik Tiana yang sudah lama tidak pernah dia lihat. Aldrich merindukan gadis ini, terkahir kali mereka bertelepon saat keduanya masih kecil. Saat mendengar kabar
Tiana turun dari dalam bus kota, gadis itu tersenyum lebar melambaikan tangannya secara langsung pada seorang laki-laki yang duduk di depan gedung sekolah kursus, dan laki-laki muda dengan stelan almamater jas merah itu, menunggunya. "Ren! Renhard...!" teriak Tiana berlari. Renhard, sahabat dekat Tiana sejak kecil hingga kini. Laki-laki itu juga menjadi guru bimbingan kursus di gedung yang sama dengan Tiana. Mereka kebetulan juga kuliah di kampus yang sama juga. "Jangan lari, Tiana," ujar laki-laki itu tersenyum manis pada Tiana dan menyambut kedatangannya. "Ren, maaf ya aku terlambat. Aku... Aku sangat senang hari ini!" pekik Tiana dengan wajah kesenangan dan heboh sendiri. Renhard menatapnya dan dia ikut tersenyum senang bila Tiana juga senang. "Ada apa? Ada hal menyenangkan di tempat magang?" tanya Renhard seraya melangkah bersama Tiana masuk ke dalam pekarangan luas gedung kursus. Tiana mengangguk antusias. "Iya! Kau tahu... Orang yang aku tunggu-tunggu selama ini sudah kem
Di dalam sebuah ruang tamu di dikediaman megah keluarga Casadin, seorang Renhard duduk berhadapan dengan Papanya yang sejak tadi membahas Tiana, putri rekan kerjanya. Renhard tidak seantusias biasanya saat sang Papa menyebutkan nama gadis dambaannya tersebut. "Sampai akhir musim ini Ren, Papa dan Om Sebastian berencana ingin menjodoh-""Tidak usah Pa," seru Renhard menyela. "Hah, tidak usah bagaimana?!" pekik Casadin menatap sang putra. "Itu hanya rencana, kan? Tiana itu temanku, dia sudah seperti adikku sendiri. Dia juga sudah punya seseorang yang dia cintai." Casadin dan Yelse menatap Putranya yang kini memasang wajah sedih, setengah kecewa. Biasanya Renhard memang senang saat membahas Tiana, tidak berhenti dia memuji gadis itu. "Ren, kami tidak akan memaksamu," ujar Yelse, wanita itu tersenyum. "Tapi Papa dan Om Sebastian sudah membicarakannya, dan itu semua masih rencana. Kalau kau mundur dan tidak mau, juga tidak papa." Renhard mengangguk kaku. "Iya Ma, lagipula Tiana menga
Pagi pun masih gerimis, Tiana yang baru saja keluar dari dalam kamar Aldrich, gadis itu menoleh ke kanan dan ke kiri mencari-cari. Rumah megah kediaman keluarga Hubert sangat sepi. Tiana pun kini menyadari kalau Aldrich sendirian tinggal di sana. "Aldrich," lirih Tiana memanggil laki-laki yang tengah berdiri di depan jendela besar yang terbuka lebar. Laki-laki itu menoleh, dia menatap Tiana, gadis yang kini memakai dress merah jambu yang Aldrich belikan sudah dari beberapa waktu yang lalu sebagai hadiah untuk Tiana. "Mama Emma, mana?" tanya Tiana mendekati laki-laki itu. "Mama dan Papa masih di Italia, mereka akan kembali nanti. Kalau aku akan menikah," jawab Aldrich membalikkan badannya menatap Tiana lekat-lekat. Kedua mata indah Tiana mengerjap, bibirnya mengatup rapat dan pandangannya di balik kaca mata menjadi sayu. Satu langkah Tiana mendekat, dia mendongak menatap lelaki yang jauh lebih tinggi darinya. Dengan kepala sedikit memiring, Tiana mengembuskan napasnya lembut. "
Tiana datang ke kantor saat siang hari, sesuai dengan perintah Aldrich padanya. Belum lagi kini Tino yang mengantarkan gadis itu. Jelas sekali banyak bicara dan banyak sekali peraturan yang Tino tekankan pada adik kembarannya tersebut. "Nanti kalau pulang hubungi aku saja, jangan menginap- menginap lagi!" omel Tino berjalan mengantarkan Tiana sampai ke dalam kantor. "Iya, iya Tino, sudah sampai di sini saja. Jangan ikut masuk!" pekik Tiana menarik lengan Tino. "Kenapa memangnya, hah?! Aku ingin bertemu dengan pacarmu itu!" sinis Tino dengan wajah serius. "Ya ampun, Tino..." Mereka berdua masuk ke dalam kantor, semua orang di sana menatap ke arah Tino dan Tiana yang baru saja tiba. Sosok Aldrich yang berada di sana lantas menoleh dan dia langsung tersenyum mendekati Tino. "Wahh, apa kabar, Piranha?!" sapa Aldrich tertawa pelan mengulurkan tangannya dan berjabat tangan dengan Tino. "Hemm, tentu saja kabarku baik-baik saja dan tetap kaya raya, Lalat Buah!" jawab Tino, dia juga t
Cengkeraman erat telapak tangan Aldrich terasa jelas di lengan Tiana. Gadis itu hanya bisa pasrah tanpa melawannya. Bahkan saat Aldrich meminta seseorang mengambilkan payung dan mereka pergi berdua dari kantor. Tiana hanya diam ditatap semua orang hingga mereka masuk ke dalam mobil. Saat di dalam mobil, seolah tak terjadi apapun, Aldrich tersenyum kembali dan menarik gemas satu pipi Tiana. "Jangan marah, Sayang..." Aldrich berbisik lembut. Dan bagi Tiana, ini ngeri setengah mati. "Antarkan Tiana pulang," pinta Tiana dengan nada pelan. "Tidak, beli makan dulu, baru pulang." "Tiana masih kenyang, Aldrich!" pekik gadis itu dengan wajah serius. "Kau tidak boleh membantah atasanmu, Tiana," tekan Aldrich sekali lagi. Wajah Tiana menjadi muram, melawan Aldrich sama halnya melawan Papinya, Sebastian. Benar-benar karakter yang sama, lembut dan keras kepala. Apapun yang dia mau, harus terwujud saat itu juga. Mau tidak mau, Tiana pun menuruti apa yang Aldrich inginkan. Mereka membeli