Di dalam sebuah ruang tamu di dikediaman megah keluarga Casadin, seorang Renhard duduk berhadapan dengan Papanya yang sejak tadi membahas Tiana, putri rekan kerjanya. Renhard tidak seantusias biasanya saat sang Papa menyebutkan nama gadis dambaannya tersebut. "Sampai akhir musim ini Ren, Papa dan Om Sebastian berencana ingin menjodoh-""Tidak usah Pa," seru Renhard menyela. "Hah, tidak usah bagaimana?!" pekik Casadin menatap sang putra. "Itu hanya rencana, kan? Tiana itu temanku, dia sudah seperti adikku sendiri. Dia juga sudah punya seseorang yang dia cintai." Casadin dan Yelse menatap Putranya yang kini memasang wajah sedih, setengah kecewa. Biasanya Renhard memang senang saat membahas Tiana, tidak berhenti dia memuji gadis itu. "Ren, kami tidak akan memaksamu," ujar Yelse, wanita itu tersenyum. "Tapi Papa dan Om Sebastian sudah membicarakannya, dan itu semua masih rencana. Kalau kau mundur dan tidak mau, juga tidak papa." Renhard mengangguk kaku. "Iya Ma, lagipula Tiana menga
Pagi pun masih gerimis, Tiana yang baru saja keluar dari dalam kamar Aldrich, gadis itu menoleh ke kanan dan ke kiri mencari-cari. Rumah megah kediaman keluarga Hubert sangat sepi. Tiana pun kini menyadari kalau Aldrich sendirian tinggal di sana. "Aldrich," lirih Tiana memanggil laki-laki yang tengah berdiri di depan jendela besar yang terbuka lebar. Laki-laki itu menoleh, dia menatap Tiana, gadis yang kini memakai dress merah jambu yang Aldrich belikan sudah dari beberapa waktu yang lalu sebagai hadiah untuk Tiana. "Mama Emma, mana?" tanya Tiana mendekati laki-laki itu. "Mama dan Papa masih di Italia, mereka akan kembali nanti. Kalau aku akan menikah," jawab Aldrich membalikkan badannya menatap Tiana lekat-lekat. Kedua mata indah Tiana mengerjap, bibirnya mengatup rapat dan pandangannya di balik kaca mata menjadi sayu. Satu langkah Tiana mendekat, dia mendongak menatap lelaki yang jauh lebih tinggi darinya. Dengan kepala sedikit memiring, Tiana mengembuskan napasnya lembut. "
Tiana datang ke kantor saat siang hari, sesuai dengan perintah Aldrich padanya. Belum lagi kini Tino yang mengantarkan gadis itu. Jelas sekali banyak bicara dan banyak sekali peraturan yang Tino tekankan pada adik kembarannya tersebut. "Nanti kalau pulang hubungi aku saja, jangan menginap- menginap lagi!" omel Tino berjalan mengantarkan Tiana sampai ke dalam kantor. "Iya, iya Tino, sudah sampai di sini saja. Jangan ikut masuk!" pekik Tiana menarik lengan Tino. "Kenapa memangnya, hah?! Aku ingin bertemu dengan pacarmu itu!" sinis Tino dengan wajah serius. "Ya ampun, Tino..." Mereka berdua masuk ke dalam kantor, semua orang di sana menatap ke arah Tino dan Tiana yang baru saja tiba. Sosok Aldrich yang berada di sana lantas menoleh dan dia langsung tersenyum mendekati Tino. "Wahh, apa kabar, Piranha?!" sapa Aldrich tertawa pelan mengulurkan tangannya dan berjabat tangan dengan Tino. "Hemm, tentu saja kabarku baik-baik saja dan tetap kaya raya, Lalat Buah!" jawab Tino, dia juga t
Cengkeraman erat telapak tangan Aldrich terasa jelas di lengan Tiana. Gadis itu hanya bisa pasrah tanpa melawannya. Bahkan saat Aldrich meminta seseorang mengambilkan payung dan mereka pergi berdua dari kantor. Tiana hanya diam ditatap semua orang hingga mereka masuk ke dalam mobil. Saat di dalam mobil, seolah tak terjadi apapun, Aldrich tersenyum kembali dan menarik gemas satu pipi Tiana. "Jangan marah, Sayang..." Aldrich berbisik lembut. Dan bagi Tiana, ini ngeri setengah mati. "Antarkan Tiana pulang," pinta Tiana dengan nada pelan. "Tidak, beli makan dulu, baru pulang." "Tiana masih kenyang, Aldrich!" pekik gadis itu dengan wajah serius. "Kau tidak boleh membantah atasanmu, Tiana," tekan Aldrich sekali lagi. Wajah Tiana menjadi muram, melawan Aldrich sama halnya melawan Papinya, Sebastian. Benar-benar karakter yang sama, lembut dan keras kepala. Apapun yang dia mau, harus terwujud saat itu juga. Mau tidak mau, Tiana pun menuruti apa yang Aldrich inginkan. Mereka membeli
"Kenapa sekarang kau semakin sibuk dan tidak ada waktu?" Renhard menyerahkan segelas minuman pada Tiana, mereka berdua berada di bangku taman di dekat gedung Sekolah Melodi di mana Tiana dan Renhard menjadi guru privat. Mendengar pertanyaan yang Renhard lontarkan, wajah Tiana menjadi sedikit murung. Padahal hanya dua hari saja mereka tidak bertemu, tapi Tiana tahu betul kalau teman dekatnya ini memang sangat mengkhawatirkannya. "Ren, kau tahu kan, sejak pagi Tiana sibuk di kantor, sorenya baru ada waktu bertemu denganmu. Jangan khawatir, kau tetap menjadi teman terbaikku, kok!" seru Tiana tersenyum dengan sangat manis. Renhard terkekeh. "Aku padahal punya sesuatu untukmu, Tiana." "Hem, kau punya apa?" Tiana mengerjapkan kedua matanya penasaran. Laki-laki dengan stelan kemeja putih itu mengeluarkan dua lembar kertas di hadapan Tiana. "Tiket nonton film," jawab Renhard. Kedua mata Tiana berbinar-binar, ia menyahut dua kertas di tangan Renhard dengan mata melebar kesenangan. "E
Hari libur ini seharusnya Tiana jadikan hari jalan-jalan dan menonton film bersama dengan Renhard, namun gadis itu malah diam mengurung diri di dalam kamar. Tiana duduk meringkuk di atas ranjang menatap ke arah jendela, di luar sedang hujan gerimis. "Mungkin hujan ini cukup menjadi alasan kalau Tiana tidak bisa pergi dengan Renhard," gumam Tiana lirih. Gadis itu kembali berbaring dan memeluk bonekanya. Ia menatap langit-langit dengan perasaan hampa. "Tiana..." Suara ketukan pintu kamar terdengar beberapa kali, sampai tiba saatnya pintu cokelat itu terbuka dan muncul Tino masuk ke dalam kamar. Laki-laki itu menatap kembarannya yang hanya diam, bahkan sejak semalam Tiana tidak keluar dari dalam kamar sama sekali. "Kau tidak sakit, kan?" tanya Tino kini berjalan mendekatinya. Tiana menggelengkan kepalanya. "Tidak kok, Tiana tidak papa." "Kata Mami kau tidak mau sarapan, kenapa lagi? Siapa yang membuat masalah denganmu?" Tino ikut berbaring di samping Tiana. Di sana, Tiana menat
"Memangnya kau tidak punya teman ya selama di Italia? Sampai-sampai kau melarangku berteman dengan Renhard?"Tiana menatap Aldrich yang kini duduk merangkulnya dari belakang, laki-laki itu meletakkan dagunya di pucuk kepala Tiana. "Aku tidak tertarik berteman dengan siapapun," jawab Aldrich memainkan rambut panjang Tiana dengan pelan. "Aldrich..." Tiana membalikkan badannya dan cemberut di hadapan laki-laki itu. "Jangan seperti Papiku dong. Tiana sering kasihan lihat Mami kalau Papi terlalu posesif, sekarang malah Aldrich posesif seperti sama Tiana." "Itu karena kau nakal, Tiana." Aldrich menarik hidung gadis itu dengan gemas. "Kau harus bisa menjaga perasaanku, batasi dengan perkiraan, apakah dengan kau dekat dengan Renhard membuat aku cemburu atau tidak, pikirkan itu, kau paham maksudku, bukan?" "Aldrich sayang Tiana, kan?" tanya gadis itu masih dengan menatapnya. Aldrich tersenyum dan menarik Tiana dalam pelukannya. Mendekap Tiana erat-erat dan melingkarkan kedua tangan gadis
Tiana ikut pulang ke kediaman Aldrich, Mami dan Papinya juga sudah memberikan izin. Setibanya di rumah Aldrich yang sepi, Tiana hanya mengekori laki-laki itu karena di tempat itu Aldrich juga tinggal seorang diri. "Kalau mengantuk tidur saja, Sayang..." Aldrich membuka pintu kamarnya. "Tidak kok, Tiana tidak mengantuk." Gadis itu duduk di tepi ranjang dan melepaskan jaketnya. Tiana naik ke atas ranjang dan berbaring, dia menatap Aldrich yang berdiri di depan meja rias melepaskan jam tangan dan kancing lengan kemeja yang dia pakai. "Aldrich..." "Heem?" "Ada sesuatu yang ingin Tiana ceritakan," ujar gadis itu menatap langit-langit kamar dengan tatapan sedih. "Aldrich tidak boleh marah, Aldrich bisa mengambil keputusan yang tepat setelah mendengarkan cerita dari Tiana." Aldrich menoleh ke belakang di mana Tiana berada, ia melangkah mendekat seraya menggulung lengan kemeja yang dia pakai. Laki-laki itu duduk di tepi ranjang dan menatapi wajah Tiana yang damai dan sejuk. Dia begit
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut