Tiana datang ke kantor saat siang hari, sesuai dengan perintah Aldrich padanya. Belum lagi kini Tino yang mengantarkan gadis itu. Jelas sekali banyak bicara dan banyak sekali peraturan yang Tino tekankan pada adik kembarannya tersebut. "Nanti kalau pulang hubungi aku saja, jangan menginap- menginap lagi!" omel Tino berjalan mengantarkan Tiana sampai ke dalam kantor. "Iya, iya Tino, sudah sampai di sini saja. Jangan ikut masuk!" pekik Tiana menarik lengan Tino. "Kenapa memangnya, hah?! Aku ingin bertemu dengan pacarmu itu!" sinis Tino dengan wajah serius. "Ya ampun, Tino..." Mereka berdua masuk ke dalam kantor, semua orang di sana menatap ke arah Tino dan Tiana yang baru saja tiba. Sosok Aldrich yang berada di sana lantas menoleh dan dia langsung tersenyum mendekati Tino. "Wahh, apa kabar, Piranha?!" sapa Aldrich tertawa pelan mengulurkan tangannya dan berjabat tangan dengan Tino. "Hemm, tentu saja kabarku baik-baik saja dan tetap kaya raya, Lalat Buah!" jawab Tino, dia juga t
Cengkeraman erat telapak tangan Aldrich terasa jelas di lengan Tiana. Gadis itu hanya bisa pasrah tanpa melawannya. Bahkan saat Aldrich meminta seseorang mengambilkan payung dan mereka pergi berdua dari kantor. Tiana hanya diam ditatap semua orang hingga mereka masuk ke dalam mobil. Saat di dalam mobil, seolah tak terjadi apapun, Aldrich tersenyum kembali dan menarik gemas satu pipi Tiana. "Jangan marah, Sayang..." Aldrich berbisik lembut. Dan bagi Tiana, ini ngeri setengah mati. "Antarkan Tiana pulang," pinta Tiana dengan nada pelan. "Tidak, beli makan dulu, baru pulang." "Tiana masih kenyang, Aldrich!" pekik gadis itu dengan wajah serius. "Kau tidak boleh membantah atasanmu, Tiana," tekan Aldrich sekali lagi. Wajah Tiana menjadi muram, melawan Aldrich sama halnya melawan Papinya, Sebastian. Benar-benar karakter yang sama, lembut dan keras kepala. Apapun yang dia mau, harus terwujud saat itu juga. Mau tidak mau, Tiana pun menuruti apa yang Aldrich inginkan. Mereka membeli
"Kenapa sekarang kau semakin sibuk dan tidak ada waktu?" Renhard menyerahkan segelas minuman pada Tiana, mereka berdua berada di bangku taman di dekat gedung Sekolah Melodi di mana Tiana dan Renhard menjadi guru privat. Mendengar pertanyaan yang Renhard lontarkan, wajah Tiana menjadi sedikit murung. Padahal hanya dua hari saja mereka tidak bertemu, tapi Tiana tahu betul kalau teman dekatnya ini memang sangat mengkhawatirkannya. "Ren, kau tahu kan, sejak pagi Tiana sibuk di kantor, sorenya baru ada waktu bertemu denganmu. Jangan khawatir, kau tetap menjadi teman terbaikku, kok!" seru Tiana tersenyum dengan sangat manis. Renhard terkekeh. "Aku padahal punya sesuatu untukmu, Tiana." "Hem, kau punya apa?" Tiana mengerjapkan kedua matanya penasaran. Laki-laki dengan stelan kemeja putih itu mengeluarkan dua lembar kertas di hadapan Tiana. "Tiket nonton film," jawab Renhard. Kedua mata Tiana berbinar-binar, ia menyahut dua kertas di tangan Renhard dengan mata melebar kesenangan. "E
Hari libur ini seharusnya Tiana jadikan hari jalan-jalan dan menonton film bersama dengan Renhard, namun gadis itu malah diam mengurung diri di dalam kamar. Tiana duduk meringkuk di atas ranjang menatap ke arah jendela, di luar sedang hujan gerimis. "Mungkin hujan ini cukup menjadi alasan kalau Tiana tidak bisa pergi dengan Renhard," gumam Tiana lirih. Gadis itu kembali berbaring dan memeluk bonekanya. Ia menatap langit-langit dengan perasaan hampa. "Tiana..." Suara ketukan pintu kamar terdengar beberapa kali, sampai tiba saatnya pintu cokelat itu terbuka dan muncul Tino masuk ke dalam kamar. Laki-laki itu menatap kembarannya yang hanya diam, bahkan sejak semalam Tiana tidak keluar dari dalam kamar sama sekali. "Kau tidak sakit, kan?" tanya Tino kini berjalan mendekatinya. Tiana menggelengkan kepalanya. "Tidak kok, Tiana tidak papa." "Kata Mami kau tidak mau sarapan, kenapa lagi? Siapa yang membuat masalah denganmu?" Tino ikut berbaring di samping Tiana. Di sana, Tiana menat
"Memangnya kau tidak punya teman ya selama di Italia? Sampai-sampai kau melarangku berteman dengan Renhard?"Tiana menatap Aldrich yang kini duduk merangkulnya dari belakang, laki-laki itu meletakkan dagunya di pucuk kepala Tiana. "Aku tidak tertarik berteman dengan siapapun," jawab Aldrich memainkan rambut panjang Tiana dengan pelan. "Aldrich..." Tiana membalikkan badannya dan cemberut di hadapan laki-laki itu. "Jangan seperti Papiku dong. Tiana sering kasihan lihat Mami kalau Papi terlalu posesif, sekarang malah Aldrich posesif seperti sama Tiana." "Itu karena kau nakal, Tiana." Aldrich menarik hidung gadis itu dengan gemas. "Kau harus bisa menjaga perasaanku, batasi dengan perkiraan, apakah dengan kau dekat dengan Renhard membuat aku cemburu atau tidak, pikirkan itu, kau paham maksudku, bukan?" "Aldrich sayang Tiana, kan?" tanya gadis itu masih dengan menatapnya. Aldrich tersenyum dan menarik Tiana dalam pelukannya. Mendekap Tiana erat-erat dan melingkarkan kedua tangan gadis
Tiana ikut pulang ke kediaman Aldrich, Mami dan Papinya juga sudah memberikan izin. Setibanya di rumah Aldrich yang sepi, Tiana hanya mengekori laki-laki itu karena di tempat itu Aldrich juga tinggal seorang diri. "Kalau mengantuk tidur saja, Sayang..." Aldrich membuka pintu kamarnya. "Tidak kok, Tiana tidak mengantuk." Gadis itu duduk di tepi ranjang dan melepaskan jaketnya. Tiana naik ke atas ranjang dan berbaring, dia menatap Aldrich yang berdiri di depan meja rias melepaskan jam tangan dan kancing lengan kemeja yang dia pakai. "Aldrich..." "Heem?" "Ada sesuatu yang ingin Tiana ceritakan," ujar gadis itu menatap langit-langit kamar dengan tatapan sedih. "Aldrich tidak boleh marah, Aldrich bisa mengambil keputusan yang tepat setelah mendengarkan cerita dari Tiana." Aldrich menoleh ke belakang di mana Tiana berada, ia melangkah mendekat seraya menggulung lengan kemeja yang dia pakai. Laki-laki itu duduk di tepi ranjang dan menatapi wajah Tiana yang damai dan sejuk. Dia begit
Tiana mengembuskan napasnya panjang, gadis itu duduk menekuk kedua lututnya. Di balik dress putih panjang yang tipis, Tiana nampak pucat pagi ini. Seperti yang dia bilang semalam pada Aldrich kalau dia lelah dan tidak enak badan. Begitu pula sebagai pasangan yang baik, Aldrich merawat Tiana dengan sabar dan menemanimu selalu sembari mengerjakan pekerjaannya. "Tidurlah..." Aldrich mengusap pipi Tiana yang mulus. "Aldrich jangan ke mana-mana ya," pinta gadis itu, ia menyandarkan kepalanya di pundak Aldrich. "Tidak Tiana. Istirahatlah sekarang," bujuk laki-laki itu, di menarik pelan lengan melorot dress putih yang Tiana pakai. Rambut cokelat kehitaman yang tergerai indah menutupi setengah wajahnya, Aldrich merapikannya dengan baik dan memeluk Tiana dengan satu lengannya. Sementara tangan kanannya masih sibuk dengan laptop di pangkuannya. "Kau demam, Tiana," bisik Aldrich mengusap kening Tiana dengan lembut. "Cuma hangat sedikit, tidak demam," jawab Tiana memejamkan kedua matanya
Tiana pulang ke rumahnya, bersamaan dengan datangnya Tino dari Italia bersama dengan Vir. Kening Tino mengerut melihat kembarannya turun dari dalam mobil dengan plaster penurun panas di keningnya. "Loh, Mami sama Papi bukannya nganterin Tiano? Terus ini anak dari mana?" tanya Tino merangkul pundak Tiana. "Tiana Papi titipkan di tempat Aldrich, Oma sama Opa juga pulang denganmu ke Italia. Kalau sendirian adikmu mana berani," jelas Sebastian. Tino mencebikkan bibirnya dan menarik pipi Tiana. "Modus pasti ke Papi, biar bisa nginep di tempat di Lalat Buah. Jangan ganjen jadi cewek, Sayangku..." Tino mengecup pipi Tiana sebelum berakhir menjadi gigitan. "Hihhhh... Tino!" teriak Tiana mendorong pipi Tino dan meninju pelan pipi kembarannya tersebut. "Jangan gangguin Tiana bisa tidak! Lagi sakit ini, lihat dikasih plaster gini masih panas ini Tiana!" "Tino..." Shela menatap putranya dengan tatapan penuh peringatan. Anak laki-laki itu hanya memasang wajah datar. Mereka masuk ke dalam r