"Memangnya kau tidak punya teman ya selama di Italia? Sampai-sampai kau melarangku berteman dengan Renhard?"Tiana menatap Aldrich yang kini duduk merangkulnya dari belakang, laki-laki itu meletakkan dagunya di pucuk kepala Tiana. "Aku tidak tertarik berteman dengan siapapun," jawab Aldrich memainkan rambut panjang Tiana dengan pelan. "Aldrich..." Tiana membalikkan badannya dan cemberut di hadapan laki-laki itu. "Jangan seperti Papiku dong. Tiana sering kasihan lihat Mami kalau Papi terlalu posesif, sekarang malah Aldrich posesif seperti sama Tiana." "Itu karena kau nakal, Tiana." Aldrich menarik hidung gadis itu dengan gemas. "Kau harus bisa menjaga perasaanku, batasi dengan perkiraan, apakah dengan kau dekat dengan Renhard membuat aku cemburu atau tidak, pikirkan itu, kau paham maksudku, bukan?" "Aldrich sayang Tiana, kan?" tanya gadis itu masih dengan menatapnya. Aldrich tersenyum dan menarik Tiana dalam pelukannya. Mendekap Tiana erat-erat dan melingkarkan kedua tangan gadis
Tiana ikut pulang ke kediaman Aldrich, Mami dan Papinya juga sudah memberikan izin. Setibanya di rumah Aldrich yang sepi, Tiana hanya mengekori laki-laki itu karena di tempat itu Aldrich juga tinggal seorang diri. "Kalau mengantuk tidur saja, Sayang..." Aldrich membuka pintu kamarnya. "Tidak kok, Tiana tidak mengantuk." Gadis itu duduk di tepi ranjang dan melepaskan jaketnya. Tiana naik ke atas ranjang dan berbaring, dia menatap Aldrich yang berdiri di depan meja rias melepaskan jam tangan dan kancing lengan kemeja yang dia pakai. "Aldrich..." "Heem?" "Ada sesuatu yang ingin Tiana ceritakan," ujar gadis itu menatap langit-langit kamar dengan tatapan sedih. "Aldrich tidak boleh marah, Aldrich bisa mengambil keputusan yang tepat setelah mendengarkan cerita dari Tiana." Aldrich menoleh ke belakang di mana Tiana berada, ia melangkah mendekat seraya menggulung lengan kemeja yang dia pakai. Laki-laki itu duduk di tepi ranjang dan menatapi wajah Tiana yang damai dan sejuk. Dia begit
Tiana mengembuskan napasnya panjang, gadis itu duduk menekuk kedua lututnya. Di balik dress putih panjang yang tipis, Tiana nampak pucat pagi ini. Seperti yang dia bilang semalam pada Aldrich kalau dia lelah dan tidak enak badan. Begitu pula sebagai pasangan yang baik, Aldrich merawat Tiana dengan sabar dan menemanimu selalu sembari mengerjakan pekerjaannya. "Tidurlah..." Aldrich mengusap pipi Tiana yang mulus. "Aldrich jangan ke mana-mana ya," pinta gadis itu, ia menyandarkan kepalanya di pundak Aldrich. "Tidak Tiana. Istirahatlah sekarang," bujuk laki-laki itu, di menarik pelan lengan melorot dress putih yang Tiana pakai. Rambut cokelat kehitaman yang tergerai indah menutupi setengah wajahnya, Aldrich merapikannya dengan baik dan memeluk Tiana dengan satu lengannya. Sementara tangan kanannya masih sibuk dengan laptop di pangkuannya. "Kau demam, Tiana," bisik Aldrich mengusap kening Tiana dengan lembut. "Cuma hangat sedikit, tidak demam," jawab Tiana memejamkan kedua matanya
Tiana pulang ke rumahnya, bersamaan dengan datangnya Tino dari Italia bersama dengan Vir. Kening Tino mengerut melihat kembarannya turun dari dalam mobil dengan plaster penurun panas di keningnya. "Loh, Mami sama Papi bukannya nganterin Tiano? Terus ini anak dari mana?" tanya Tino merangkul pundak Tiana. "Tiana Papi titipkan di tempat Aldrich, Oma sama Opa juga pulang denganmu ke Italia. Kalau sendirian adikmu mana berani," jelas Sebastian. Tino mencebikkan bibirnya dan menarik pipi Tiana. "Modus pasti ke Papi, biar bisa nginep di tempat di Lalat Buah. Jangan ganjen jadi cewek, Sayangku..." Tino mengecup pipi Tiana sebelum berakhir menjadi gigitan. "Hihhhh... Tino!" teriak Tiana mendorong pipi Tino dan meninju pelan pipi kembarannya tersebut. "Jangan gangguin Tiana bisa tidak! Lagi sakit ini, lihat dikasih plaster gini masih panas ini Tiana!" "Tino..." Shela menatap putranya dengan tatapan penuh peringatan. Anak laki-laki itu hanya memasang wajah datar. Mereka masuk ke dalam r
Aldrich mengetuk pintu kamar Tiana setelah Shela dan Sebastian mengizinkanya bertemu Tiana, laki-laki itu mengerutkan keningnya saat melihat calon istrinya di dalam kamar berbaring dengan Tino yang berpura-pura tidur memeluk Tiana. Saat itu juga Aldrich masuk ke dalam kamar, dia menutup pintu dan mendekati Tino, menendang kaki kembaran Tiana itu dengan pelan. "Jangan dekat-dekat istriku, Piranha!" sinis Aldrich mendorong Tino. "Heh sialan! Tiana ini kembaranku! Harusnya kau jangan dekat-dekat dengan kembaranku, tidak aku restui mampus kau!" sinis Tino bangun, dia langsung membawa Tiana dalam dekapannya.Tiana memegangi kepalanya dan memakai kaca matanya lagi. Didatangi Aldrich, bukannya tambah sembuh, sakit kepalanya kian menjadi-jadi, apalagi kalau ada Tino dan ribut seperti ini. "Tino... Jangan ganggu Tiana dong, aduh pusing ini kepala Tiana!" omel Tiana mendorong pipi Tino. "Diam Tiana, biar aku memelukmu, daripada Lalat Buah yang memelukmu. Dia suka mencari kesempatan dalam k
Aldrich menemani Tiana hingga malam, membiarkan gadis itu tertidur memeluknya di sofa. Padahal banyak pekerjaan yang menumpuk, namun Aldrich mengabaikan semuanya. Dia tidak mau menjadi sosok yang tidak Tiana sukai, sosok gila kerja hingga lupa dengan orang-orang yang disayangi. Aldrich terang-terangan tidak ingin menjadi seperti Sebastian. "Aldrich," panggil lirih Shela mendekatinya. "Iya Tante..." Pemuda itu memelankan suaranya. Shela menatapnya kasihan. "Tolong bawa Tiana ke kamarnya ya, memang setelah meminum obat, pasti Tiana akan langsung tertidur," ujar wanita itu. Anggukan Aldrich berikan, ia langsung mengangkat tubuh Tiana dan membawanya naik ke lantai dua ditemani oleh Shela. Aldrich merebahkan tubuh Tiana di atas ranjang. Menyelimutinya dengan hangat dan Shela tersenyum. "Sekarang kau boleh pulang, Tante tahu kau pasti sibuk sekali kan?" "Tidak papa Tante, Tiana juga butuh teman," jawabnya. "Iya. Sudah malam sekarang, pulang dan istirahatlah." "Baik Tan," balas pem
Tiana kambuh dan dibawa ke rumah sakit.Kabar itu membuat Aldrich tengah malam pergi terburu-buru dan pemuda tampan itu kini berlari cepat masuk ke dalam lorong rumah sakit. Di ujung lorong, Aldrich melihat ada Tino yang duduk sendirian. "Tino!" Suara Aldrich membuat Tino menoleh, namun dia tidak memberikan reaksi apapun. Wajahnya yang nampak lemas dan lelah, Tino sedih bukan main. "Bagaimana Tiana? Apa yang terjadi dengan Tiana?!" pekik Aldrich menatap Tino. "Tiana... Tiana demam tinggi, dia mimisan lagi. Padahal bulan kemarin tidak seperti ini, dia sampai terjatuh dari atas ranjang." Penjelasan Tino membuat Aldrich mengusap wajahnya dengan frustrasi, dia menundukkan kepalanya dengan wajah kecewa dan bingung.Di sampingnya, Tino memperhatikan wajah Aldrich dengan serius. Dia tidak yakin kalau Aldrich akan menerima Tiana dengan keadaan yang seperti ini. "Apa kau masih yakin ingin menyeriusi kembaranku?" tanya Tino lirih. Aldrich menoleh. "Menurutmu? Apa kau pikir aku hanya mem
"Aku ingin menikahi Tiana Ma, Pa!" Aldrich menatap kedua orang tuanya yang baru saja datang dari Italia. Mereka berdua kembali pulang setelah Aldrich marah-marah meminta mereka kembali. "Hehhh... Tiana masih berusia berapa? Masih belasan tahun, Al! Kalian masih terlalu muda, nanti kalau ada apa-apa orang tua juga yang repot!" omel Emma seraya melepaskan perhiasannya dan memasukkan ke dalam kotak. "Ini permintaan Tiana yang sangat berarti untukku, Ma! Aku tidak akan menyakitinya, aku berjanji untuk hal it-""Memangnya kau sudah berhasil menyetir perusahaan Papa di sini? Akal-akalan mau menikah!" sahut Roghan menatap sebal pada putranya. "Baru juga Mama dan Papa sampai, kau sudah minta nikah!" Aldrich terdiam, dia menundukkan kepalanya dan bingung bagaimana menceritakan semuanya pada kedua orang tuanya. "Tiana sedang sakit Ma, Pa..." "Tiana sakit?!" pekik Emma dan Roghan bersamaan. Aldrich menunjukkan ekspresi sedihnya. "Sakitnya kambuh." "Al..." Roghan menyentuh pundak sang put