Tiana kambuh dan dibawa ke rumah sakit.Kabar itu membuat Aldrich tengah malam pergi terburu-buru dan pemuda tampan itu kini berlari cepat masuk ke dalam lorong rumah sakit. Di ujung lorong, Aldrich melihat ada Tino yang duduk sendirian. "Tino!" Suara Aldrich membuat Tino menoleh, namun dia tidak memberikan reaksi apapun. Wajahnya yang nampak lemas dan lelah, Tino sedih bukan main. "Bagaimana Tiana? Apa yang terjadi dengan Tiana?!" pekik Aldrich menatap Tino. "Tiana... Tiana demam tinggi, dia mimisan lagi. Padahal bulan kemarin tidak seperti ini, dia sampai terjatuh dari atas ranjang." Penjelasan Tino membuat Aldrich mengusap wajahnya dengan frustrasi, dia menundukkan kepalanya dengan wajah kecewa dan bingung.Di sampingnya, Tino memperhatikan wajah Aldrich dengan serius. Dia tidak yakin kalau Aldrich akan menerima Tiana dengan keadaan yang seperti ini. "Apa kau masih yakin ingin menyeriusi kembaranku?" tanya Tino lirih. Aldrich menoleh. "Menurutmu? Apa kau pikir aku hanya mem
"Aku ingin menikahi Tiana Ma, Pa!" Aldrich menatap kedua orang tuanya yang baru saja datang dari Italia. Mereka berdua kembali pulang setelah Aldrich marah-marah meminta mereka kembali. "Hehhh... Tiana masih berusia berapa? Masih belasan tahun, Al! Kalian masih terlalu muda, nanti kalau ada apa-apa orang tua juga yang repot!" omel Emma seraya melepaskan perhiasannya dan memasukkan ke dalam kotak. "Ini permintaan Tiana yang sangat berarti untukku, Ma! Aku tidak akan menyakitinya, aku berjanji untuk hal it-""Memangnya kau sudah berhasil menyetir perusahaan Papa di sini? Akal-akalan mau menikah!" sahut Roghan menatap sebal pada putranya. "Baru juga Mama dan Papa sampai, kau sudah minta nikah!" Aldrich terdiam, dia menundukkan kepalanya dan bingung bagaimana menceritakan semuanya pada kedua orang tuanya. "Tiana sedang sakit Ma, Pa..." "Tiana sakit?!" pekik Emma dan Roghan bersamaan. Aldrich menunjukkan ekspresi sedihnya. "Sakitnya kambuh." "Al..." Roghan menyentuh pundak sang put
Keesokan harinya, Tiana pun sudah diizinkan pulang oleh dokter. Gadis itu juga sangat merindukan rumahnya dan ingin beristirahat di rumah. Saat mobil Sebastian berhenti, Sebastian menggendong putrinya dan tidak membiarkan Tiana berjalan karena gadis itu masih mengeluh pusing terus menerus. "Mami, Papi...!" Suara Tiano membuat Shela dan Sebastian menatap ke depan. Mereka kaget tahu-tahu Tiano pulang. "Tiano!" seru Tiana, gadis itu langsung mengulurkan kedua tangannya pada sang kembaran. Tiano tanpa pikir panjang, dia langsung mengulurkan tangannya pada Tiana dan menggendong kembarannya itu seperti anak kecil. Memang hanya dengan Tiano, Tiana bisa mendapatkan apapun, kalau bersama Tino, jangankan Tiana, Tiano pun pasti akan ribut habis-habisan. "Masih sakit kepalanya?" tanya Tiano mengusap kening Tiana. "Iya." Tiana memeluk leher Tiano dan melingkarkan kedua kakinya di tubuh kembarannya. "Tiano kenapa pulang tidak pernah bilang-bilang, sih?" "Kan rahasia, adikku Sayang..." Me
"Al, kau yakin ingin tetap menikahi Tiana? Dia memiliki penyakit keras. Bagaimana masa depanmu nanti?" Roghan menatap putranya yang kini duduk bergeming, mereka hanya duduk berdua di teras samping rumah menikmati malam yang gelap. Sedangkan Aldrich mulai jengah dan kesal menghadapi Papanya. "Lalu, apa yang Papa mau? Membatalkan perjodohanku dengan Tiana?" tanya Aldrich menoleh dengan tatapan dingin. "Al..." "Papa yang memintaku untuk terus mengingat Tiana!" pekik Aldrich marah. "Papa tidak tahu apa yang aku rasakan!" "Papa tahu nak, Papa paham! Dengarkan Papa dulu!" Roghan berdiri di hadapan Aldrich. Dari dalam rumah, Emma muncul. Wanita itu mendekati putranya dan menyentuh pundak Aldrich dengan lembut. "Dengarkan Papamu dulu, Aldrich." "Kalau kalian hanya memintaku untuk meninggalkan Tiana, lebih baik jangan bicara denganku lagi!" pekik Aldrich menyentak pelan tangan sang Mama. "Al, ini demi masa depanmu. Kami tidak melarangmu menikahi Tiana, tapi pikirkan tentang kondisiny
Aldrich duduk di kursi kerjanya di dalam ruangan Presdir, ruangan pribadinya. Laki-laki muda itu sibuk menatapi kotak cincin yang baru saja pagi tadi dia beli. Senyumannya mengembang mengingat senyuman Tiana yang terasa seperti terlintas tak henti-henti di depan matanya. "Dia pasti menyukai cincin ini, aku tidak sabar memberikan ini padamu, Tiana..." Aldrich kembali memejamkan matanya dan duduk bersandar dengan santai. Pintu ruangan kerja Aldrich terketuk, laki-laki itu langsung mengangkat kepalanya dan melihat Sam, anak buahnya masuk ke dalam ruangan tersebut. "Pak Aldrich ada acara kah?" tanya Sam menatap Aldrich. "Iya. Aku akan menemui kekasihku hari ini." Aldrich beranjak dari duduknya dan menyahut mantel tebalnya di atas punggung kursi kerja. Wajah Sam menjadi sedikit ragu, seolah-olah dia melarang Aldrich pergi. "Tapi Pak Aldrich, Tuan Hubert meminta pada saya untuk memberitahu Pak Aldrich untuk tidak ke mana-mana, satu jam lagi ada tamu dari Madrid," ujar Sam menyampaik
PYAAARR..."Ada apa, Sayang?!" Sebastian berteriak saat mendengar suara pecahan beling dari arah dapur. Laki-laki itu berlari ke belakang dan melihat Shela memecahkan gelas berisi susu cokelat. "Padahal aku menaruhnya sedikit ke tengah," ujar Shela mengambil beberapa beling. "Sudah, sudah... Biar Bibi saja yang membersihkannya, nanti tanganmu luka, Shela." Sebastian menarik pundak sang istri. Shela berdiri dan mencuci tangannya. Wanita itu merasakan sesuatu yang tidak beres, seperti ada yang ganjal di benaknya, ada sesuatu yang kurang pas, dan tidak mengenakkan hati."Ada apa ya? Kenapa pikiranku jadi kacau begini? Tino sedang ke pertemuan, Tiano pergi dengan Laksamana Abin, dan Tiana... Tiana bersama Aldrich, kan?" gumam Shela, entah dia bertanya pada siapa. Shela langsung kembali lagi ke depan, dia menatap Sebastian yang kini duduk baru saja menutup laptopnya. "Sayang, coba hubungi Aldrich. Apa Tiana dengan Aldrich? Aku kepikiran Tiana," ujar Shela pada suaminya. "Loh, bukann
Aldrich melangkah masuk ke dalam rumah dengan wajah datar, rambut cokelatnya basah, tuxedo hitam yang dia sampirkan di lengan kirinya pun juga basah. Sang Mama pun langsung mendekatinya, Emma tidak tahu kenapa Aldrich diam saja dan tidak menyapa sama sekali. "Al, kenapa basah-basahan begini? Kau dari mana saja? Papamu sudah pulang sejak tadi, kau-""Jangan mengangguku, Ma," sela Aldrich dengan nada datar dan dingin. "Aldrich, Mama sedang bicara! Papamu tad-"Ucapan Emma terhenti saat Aldrich menatapnya dalam-dalam, seolah-olah tengah memberitahu pada Emma untuk diam lewat tatapan mata dingin Aldrich yang langsung menciutkan nyali sang Mama. Dan tidak ada lagi kata-kata yang keluar dari bibir Emma setelahnya, wanita itu diam dan menatap punggung tegap Aldrich yang kini menghilang seiring pintu kamarnya tertutup. "Ada apa dengannya?" gumam Emma mulai khawatir dan cemas. "Apa Roghan memarahinya? Tidak biasanya dia seperti ini." Sedangkan Aldrich di dalam kamarnya, pemuda itu menut
Tino mendatangi kediaman Aldrich, dia bertemu dengan Emma dan Roghan. Nampak kedua orang itu menatap kedatangan Tino dengan tidak biasa. "Tino..." "Siang Om, Tante, Aldrich ada?" tanya Tino. Emma mengangguk. "Ada di kamarnya, sejak semalam kemarin dia tidak keluar sama sekali. Dia juga tidak makan, Tante juga tidak tahu apa yang terjadi." "Dia bertengkar dengan Tiana?" tanya Roghan. "Dengan Papi, bukan Tiana." Tino menjawab dengan santai. Roghan dan Emma bersamaan menatap Tino dengan sorot mata terkejut. Namun mereka diam dan membiarkan Tino menemui Aldrich di kamarnya. Sedangkan Tino tidak menyangka kalau Aldrich akan mengurung diri seperti anak perempuan begini. Tapi mungkin itu bentuk kekecewaan yang dia rasakan, Aldrich juga enggan diatur, sudah jelas dia memilih untuk menyendiri dan menarik dirinya dari apapun. "Al..." Tino memanggil Aldrich dan mengetuk pintu kamarnya. Pintu itu terbuka sedikit, hingga Tino masuk ke dalam kamar tersebut. Di sana, Aldrich berbaring lagi