Tino mendatangi kediaman Aldrich, dia bertemu dengan Emma dan Roghan. Nampak kedua orang itu menatap kedatangan Tino dengan tidak biasa. "Tino..." "Siang Om, Tante, Aldrich ada?" tanya Tino. Emma mengangguk. "Ada di kamarnya, sejak semalam kemarin dia tidak keluar sama sekali. Dia juga tidak makan, Tante juga tidak tahu apa yang terjadi." "Dia bertengkar dengan Tiana?" tanya Roghan. "Dengan Papi, bukan Tiana." Tino menjawab dengan santai. Roghan dan Emma bersamaan menatap Tino dengan sorot mata terkejut. Namun mereka diam dan membiarkan Tino menemui Aldrich di kamarnya. Sedangkan Tino tidak menyangka kalau Aldrich akan mengurung diri seperti anak perempuan begini. Tapi mungkin itu bentuk kekecewaan yang dia rasakan, Aldrich juga enggan diatur, sudah jelas dia memilih untuk menyendiri dan menarik dirinya dari apapun. "Al..." Tino memanggil Aldrich dan mengetuk pintu kamarnya. Pintu itu terbuka sedikit, hingga Tino masuk ke dalam kamar tersebut. Di sana, Aldrich berbaring lagi
Tiana membolak-balikkan halaman buku yang sejak tadi dia baca. Dia merasa jenuh bila berlama-lama di dalam kamar, Maminya sedang pergi membeli makanan, Papinya bekerja, apalagi dua kembarannya yang sibuk dengan kegiatan masing-masing. "Hahh... Bosan sekali rasanya," gumam Tiana menyergah napas panjang. Gadis itu menutup buku bersampul merah muda di pangkuannya dan meletakkan di atas nakas. Tiana meraih kaca mata miliknya, dia juga menyibak selimut dan perlahan turun dari atas ranjang. Sudah tiga hari Tiana berada di dalam ruangan itu, dia tidak bisa ke mana-mana dan hanya diam di sana saja. Tapi kini Tiana keluar dari dalam kamar berjalan perlahan-lahan menahan pening di kepalanya. "Sepinya, gelap," cicit gadis itu melangkah berjalan di lorong membawa tiang tempat kantong infus. Tiana berdiri di depan dinding kaca rumah sakit, kamar inapnya berada di lantai delapan. Sangat tinggi dan dingin. "Hujan, setiap hari selalu saja hujan." Tiana duduk di sebuah kursi, dia melamun menata
"Bas, sepertinya perjodohan anak kita tidak bisa dilanjutkan." Ucapan serius itu terucap dengan jelas dari bibir Roghan. Laki-laki berkaca mata yang duduk berhadapan dengan Sebastian di ruang tamu. Sebastian sudah menduga kedatangan Roghan ke rumahnya kali ini bukan menjenguk Tiana yang baru saja dibawa pulang, melainkan ingin membahas hal ini. "Ya, tidak masalah. Lagipula mereka juga masih labil, apalagi putriku juga tidak pantas bersanding dengan anakmu itu!" jawab Sebastian sedikit sarkastik. Di sana, Emma hanya tertunduk saja. Sedangkan Shela juga tidak bersuara, wanita itu memangku bantal dan sesekali melirik ke arah kamar Tiana yang tertutup. Untunglah Tiana sedang tidur. "Tiana juga masih sangat muda, masa depannya masih panjang." Emma menyahuti. "Iya." Shela mengangguk dengan suara lemah. "Anak belasan tahun kan tidak mungkin mau segera dinikahkan. Aldrich sendiri juga sudah dewasa, jadi-" "Itu terserah padamu, aku awalnya juga tidak menunjuk-nunjukkan anakku untuk din
Rambut panjang sepinggang kini menjadi pendek di atas punggung, sebenarnya Tiana tidak setuju dengan ini, namun semua demi kesehatannya. Belum lagi dia kembarannya yang super posesif terus menceramahi karyawan salon. "Ini baru cantik!" seru Tiano mengacungkan jempolnya di hadapan Tiana. "Kalau dilihat-lihat kita ini sangat mirip," seru Tino membungkukkan badannya di belakang Tiana dan mereka menatap cermin di dalam salon tersebut. "Kan kita kembar, Kakak!" pekik Tiana menarik telinga Tino hingga mereka semua tertawa. Ketiganya pun kini keluar dari dalam tempat tersebut setelah Tino membayari semuanya. Baik Tino ataupun Tiano, ingin menyenangkan Tiana. Mereka berdua mengajak Tiana jalan-jalan di mall, bersenang-senang, dan Tino akan mengeluarkan banyak uangnya demi sang adik, begitu pula dengan Tiano yang tidak pelit sama sekali. "Mau beli apa?" tanya Tiano yang kini berjalan merangkul Tiana dan mengusap pucuk Kepalanya. "Jangan boneka terus, sudah dewasa kita ini!" sahut Tino
Setelah diminta Papanya membelikan hadiah untuk Sarah, anak rekan kerja Roghan dari Madrid, kini barulah Aldrich merasa bebas untuk pergi. Pemuda itu datang ke rumah Tiana. Aldrich membawakan beberapa makanan dan roti Sus kesukaan Tiana. Aldrich mengetuk pintu rumah megah di depannya, muncullah Bibi yang membuka pintu tersebut. "Tuan Aldrich," sapa Bibi mengerjapkan kedua matanya menatap Aldrich. "Tiana ada, Bi?" tanya pemuda itu. "Ada Tuan, mari masuk dulu. Biar saya panggilkan Nona." Bibi langsung membuka pintu lebar-lebar. Rumah sangat sepi, nampaknya Tiana sedang di rumah sendirian hari ini. Aldrich berjalan ke arah ruang tamu dan duduk di sana, dia mendongak menatap ke lantai dua. Bibi mengetuk pintu kamar Tiana dan memanggil gadis itu. "Non... Non Tiana, ada Tuan Aldrich di luar menunggu Nona!" pekik Bibi memanggilnya. Pintu kamar Tiana terbuka, gadis itu muncul dengan wajah sembab dan Tiana menggelengkan kepalanya pada Bibi. "Suruh dia pulang Bi, bilang padanya Tiana
Satu Minggu Berlalu...Hubungan Aldrich dan Tiana benar-benar renggang, hal ini membuat Aldrich gila dan tidak betah di rumah. Pemuda itu membeli sebuah apartemen, dia malas pulang karena Papanya selalu mencoba mendekatkannya dengan Sarah.Dan Aldrich kini berada tak jauh di depan rumah Tiana. Dia membawa mobil barunya agar Tiana dan keluarganya tidak mengenali Aldrich, mengetahui gadis itu menjauhinya perlahan-lahan. "Harusnya kau bilang padaku kalau ada sesuatu dariku yang tidak mengenakkan hatimu, bukannya kau malah menjauh dan menjadi asing denganku seperti ini, Tiana..." Aldrich menjentuskan kepalanya ke stir mobilnya dengan pelan. "Aku yang kau sakiti di sini, Tiana..." Laki-laki itu mengakui stress yang dia rasakan jauh lebih tinggu dari segala hal. Sampai akhirnya gerbang besar rumah Tiana terbuka, ada tiga mobil keluar bersamaan. Mobil itu milik Sebastian, Tino, dan Tiano yang hendak pergi bekerja masing-masing. Namun hal yang menarik perhatian Aldrich adalah sosok Tiana
Aldrich malam ini pulang ke rumah diantarkan oleh Samuel, temannya. Dia pulang dalam keadaan mabuk berat hingga lemas. Kedua orang tuanya yang membukakan pintu pun terkejut melihat putranya pulang-pulang seperti ini. "Ya ampun Samuel, ini kenapa Aldrich sampai seperti ini?!" pekik Emma dengan wajah terkejut. "Mabuk berat Tan, sudah aku bilang cukup tapi masih saja!" jawab Samuel jujur. "Aldrich... Bikin masalah terus!" omel Roghan membantu Samuel membopong Aldrich ke kamarnya di lantai dua. Sesampainya di kamar pemuda itu, Emma melepaskan kemeja yang Aldrich pakai dan membiarkan putranya itu tidur. Di depan, Samuel diwawancarai oleh Roghan perkara Aldrich yang bisa sampai mabuk seberat ini. "Kenapa bisa begini Sam? Pulang jam satu malam, mabuk, dia sudah tiga hari tidak pulang ke rumah!" seru Roghan duduk di sofa berhadapan dengan Roghan. "Aldrich marah-marah Om, katanya Om membatalkan perjodohannya dengan Tiana. Sekarang Tiana sakit, dan benci pada Aldrich. Dia marah karena i
"Obatnya sudah dibawa? Sudah makan, kan?" Tiano menatap Tiana yang kini masuk ke dalam mobilnya. Gadis itu mengangguk dengan sangat antusias dan senang. Bagaimana Tiana tidak kesenangan saat Papinya memberikan izin pergi ke perpustakaan, asalkan di sana Tiana bersama Renhard. Dan Syukurlah Renhard mau menemani Tiana. "Nanti jangan pulang kalau Kakak belum ke sana, atau telfon Kakak saja, ngerti?" seru Tiano menasihati Tiana. "Iya Kak." Gadis itu sibuk dengan ponselnya. "Bagus." Setelah beberapa menit, akhir mobil milik Tiano baru sampai di sebuah gedung perpustakaan besar di kota. Tiana melambaikan tangannya pada Tiano. Sang kembaran pun langsung bergegas pergi seketika, dan Tiana masuk ke dalam perpustakaan sendirian. Pandangannya mengedar, dia mencari Renhard di sana. "Sepertinya Renhard belum datang," gumam Tiana cemberut. Gadis itu mengambil tempat di dekat dinding kaca dan diam di sana setelah memilih beberapa buku. Tiana mengucek kedua matanya berkali-kali, ia merasa m
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut