Sebastian kebingungan mencari Tiana yang sejak siang pergi, tapi nyatanya di perpustakaan sore ini pun tidak ada. Dia mencari putrinya ke mana-mana, hingga Tiano menghubungi Renhard dan sahabat Tiana itu mengatakan kalau Tiana dibawa oleh Aldrich. Sebastian yang marah, dia mendatangi kediaman Aldrich dan akan membawa pulang putrinya. "Jangan marah-marah di rumah orang Pi, ingat..." Tino yang ikut bersamanya, dia berkali-kali mengingatkan Papinya. "Bagaimana tidak marah! Adikmu dibawa sama Aldrich, kalau terjadi sesuatu bagaimana?! Tiana itu sedang tidur dibawa sama Aldrich, kenapa pula Tiana pergi pagi-pagi sekali setelah minum obat! Ya ampun, ada-ada saja!" kesal Sebastian mengumpat berkali-kali. Tino merotasikan kedua matanya jengah. "Pi, Aldrich tidak mungkin macam-macam dengan Tiana, Pi. Percaya deh!" "Kau itu anak Papi atau bukan sih?! Dari tadi malah terkesan nyalahin Papi!" omel Sebastian. "Halah... Terserah Papi lah!" amuk Tino mendengkus kesal. Cukup lama perjalanan
Aldrich menceritakan semuanya pada Tiana, tentang hubungan mereka yang tenggang, juga tentang Sarah, wanita yang Aldrich belikan hadiah boneka kapan hari. Karena laki-laki itu tidak mau membuat Tiana bertambah sedih, akhirnya Aldrich berinisiatif pergi pagi ini untuk membelikan Tiana boneka juga, bahkan saat Tiana masih tidur. Hingga Tiana bangun, Aldrich belum juga kembali. Tiana merasa ada yang tidak beres dengan semua ini. "Ke mana Aldrich? Kenapa Tiana ditinggal sendirian di sini?" gumam gadis itu dengan wajah bingung. Tiana keluar dari dalam kamar, Di sana ia melihat makanan yang sudah tertata rapi di meja makan. Gadis itu masih kepikiran orang tua dan kembarnya. Tiana mencoba menghubungi Mami, Papi, dua kembarannya pun tak bisa. "Aldrich, ada apa sih?" Tiana bingung sendiri. "Dia ke mana?" Langsung Tiana mendekati meja makan, gadis itu mendapati secarik kertas di atas meja. 'Sarapan yang kenyang, minum obat, dan istirahat lagi. Aku akan kembali pukul sembilan nanti.' Tia
Tiano berjalan masuk ke dalam sebuah klub malam, dia tahu sedikit tentang pemuda bernama Samuel Lionel, adik dari atasannya di akademi militer. Sampai akhirnya Tiano masuk ke dalam tempat itu dan menepuk sosok orang yang ia cari, laki-laki yang kini tengah minum-minum dengan beberapa temannya."Samuel!" Tiano menarik pundak laki-laki itu hingga membuatnya menoleh cepat. Dia ternganga sejenak dan mengarahkan telunjuknya pada Tiano."Kau..." "Ada yang ingin aku bicarakan denganmu, ikut denganku!" Tiano, langsung menarik bagian belakang krah kemeja yang Samuel pakai. Dan bodohnya Samuel tidak melawan sama sekali, dia ikut bersama dengan Tiano keluar dari dalam tempat itu. Mereka berdua kini berada di luar klub dan berdiri di tempat yang sepi. Samuel mengenali Tiano, dia bisa membedakan mana Tino dan Tiano, apalagi Tiano adalah rekan Kakak Samuel. "Ada apa?" tanya Samuel sedikit gugup karena Tiano sosok yang sangat tegas. "Kau tahu di mana Aldrich?!" tanya Tiano. "Aldrich? Bukanny
Sebastian berlari masuk ke dalam sebuah lorong apartemen bersama Vir setelah ia mendapat telfon dari Tiano di mana apartemen milik Aldrich tempat Tiana berada. Mereka berdua masuk ke dalam lift dengan perasaan tak karuan. "Semoga putriku tidak papa... Ya Tuhan, Tiana!" Sebastian panik tak terkira. "Tenang Bas, Tiana pasti baik-baik saja." Vir menenangkan Sebastian berkali-kali. Sampai tiba akhirnya mereka tiba di lantai tempat apartemen Aldrich berada. Tepat di nomor dua. "Di sini!" Vir menepuk pundak Sebastian. Mereka menarik gagang pintu di depannya dan tidak bisa dibuka juga. Sebastian menekan bell yang ada di depannya, ia tahu Tiana-nya sedang dikunci di dalam sana, gadis itu pasti sekarang sangat ketakutan. Sementara Tiana di dalam tempat itu, dia terbangun dari tidurnya beberapa menit yang lalu, Tiana kini tengah duduk di ruang makan menangis kebingungan. "Siapa yang datang," gumam gadis itu dengan rasa takut luar biasa. Tiana melangkah ke depan, gadis itu menyentuh pi
"Kau pikir dengan apa yang kau lakukan kau pantas bersanding Tiana! Dasar bodoh!" Teriakan itu bergitu keras menampar Aldrich yang baru saja bangun dari tidurnya. Dia terkejut begitu bangun ada di rumahnya, bukan di apartemen. Dan amukan sang Papa yang membuat Aldrich sadar, Tiana sudah tidak lagi ada bersamanya saat ini. "Kau membuat keluarga kita malu, Al! Di mana otakmu itu, hah?!" teriak Roghan lagi dan lagi. "Jangan diam saja, katakan sesuatu. Jelaskan pada Mama dan Papa, Aldrich!" Emma mendorong-dorong dan memukuli punggung Aldrich berulang kali. "Kalian memutuskan perjodohanku dengan Tiana tanpa memberitahuku. Tiana menjauhiku karena itu, hanya karena dia sakit, Mama dan Papa beranggapan kalau Tiana akan mati! Di sini kalian yang jahat, bukan aku. Aku hanya ingin mengambil apa yang harusnya menjadi milikku." Aldrich menjelaskan dengan sangat putus asa. Bahkan Emma sampai mengusap wajahnya berkali-kali, dia tidak habis pikir saja dengan apa yang Aldrich lakukan. "Tapi tid
"Kenapa kau mengikutiku terus? Aku hanya ingin jalan-jalan di taman saja kok! Aarrgghh... Merepotkan sekali!" Tiana memasang ekspresi kesal pada Legolas, sang pengawal pilihan Kakeknya. Laki-laki tampan itu hanya diam, seperti patung arca, hanya saja dia bergerak dan mengikuti Tiana seperti hantu. "Legolas! Ihhhh pergi sana, jangan ikuti Tiana dong!" Tiana menoleh ke belakang memasang wajah galak pada Legolas yang hanya menatapnya datar. "Tapi Tuan Graham yang akan memarahi saya kalau Nona tidak saya awasi," jawab laki-laki itu. Tiana menaikkan dagunya dengan wajah angkuh, tapi di mata Legolas, laki-laki dua puluh lima tahun itu, Tiana masih terlihat seperti anak kecil yang memang patut dijaga. Apalagi dia memiliki penyakit yang cukup keras. "Hemm, aku itu sudah dewasa tahu! Sudah delapan belas tahun dua hari lagi! Jadi aku bisa menjaga diriku sendi- akhhh...!" Gadis itu memekik keras, hampir saja Tiana terjungkal andai Legolas tidak menarik lengannya, lantai rumah kaca yang li
"Laki-laki bernama Aldrich itu mencintai Nona Tiana secara ugal-ugalan. Hemm... Hebat!"Kedua mata Tiana memicingkan begitu Legolas malah menyanjung sikap Aldrich seperti yang sejujurnya Tiana ceritakan dari awal mengenal Aldrich hingga detik ini. Tiana mendengkus pelan. "Hebatnya dari mana, dia mengunciku di apartemennya tiga hari! Aku tidak boleh pulang bertemu Mami dan Papi, bagimu apa itu hebat?!" "Bukan, maksud saya bagus karena tidak semua laki-laki akan memiliki perasaan dan cinta seperti Aldrich." Legolas menyandarkan punggungnya. "Hah?" Kedua mata Tiana melebar perlahan. Legolas tersenyum dan jemarinya mengetuk meja kayu di hadapannya. Pandangannya jauh menerawang dan kemudian dia kembali menatap Tiana. "Nona Tiana, tidak semua laki-laki memiliki kesetiaan yang tinggi. Apalagi Nona dan Aldrich sudah mengenal sejak kecil, tapi dia masih tetap menjadikan Nona sebagai cinta pertamanya dan konsisten dalam mencintai. Saya rasa, saya juga akan menjadi seperti Aldrich bila pert
"Kek, aku ikut tinggal di sini juga ya? Please... Aku tidak akan merepotkan kalian! Boleh ya, Kek..." Tino nampak tengah merayu-rayu Graham, jujur saja kalau dia merasa kesepian di rumahnya. Tiano, kembarannya yang satu itu pendiam, belum lagi dia aktif di kemiliteran. Papinya juga sibuk di kantor, Maminya sibuk di toko roti. Dan Tino di rumah sering kali menghabiskan waktunya seperti pengangguran tidak jelas meskipun ia bekerja. "Kek... Boleh ya? Cucu sendiri masak tidak boleh, sih? Sayang tidak sih sama Tino? Masak sayangnya sama Tiana si manja itu saja?" Tino menatap sang Kakek dengan bibir manyun. Graham memijit pelipisnya pelan. "Kau ini, astaga Tino..." "Iya dong! Kan Tiana Cucunya Kakek dan Nenek!" sahut Tiana, gadis itu berjalan seraya menarik lengan Legolas. Tino merotasikan kedua matanya jengah, sungguh Tiana kini menyebalkan sekali. Tino semakin niat dan antusias berdebat dengan kembarannya tersebut. Kini Tiana duduk di salah satu kursi di ruang makan, dia menatap be
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut