Tiana membolak-balikkan halaman buku yang sejak tadi dia baca. Dia merasa jenuh bila berlama-lama di dalam kamar, Maminya sedang pergi membeli makanan, Papinya bekerja, apalagi dua kembarannya yang sibuk dengan kegiatan masing-masing. "Hahh... Bosan sekali rasanya," gumam Tiana menyergah napas panjang. Gadis itu menutup buku bersampul merah muda di pangkuannya dan meletakkan di atas nakas. Tiana meraih kaca mata miliknya, dia juga menyibak selimut dan perlahan turun dari atas ranjang. Sudah tiga hari Tiana berada di dalam ruangan itu, dia tidak bisa ke mana-mana dan hanya diam di sana saja. Tapi kini Tiana keluar dari dalam kamar berjalan perlahan-lahan menahan pening di kepalanya. "Sepinya, gelap," cicit gadis itu melangkah berjalan di lorong membawa tiang tempat kantong infus. Tiana berdiri di depan dinding kaca rumah sakit, kamar inapnya berada di lantai delapan. Sangat tinggi dan dingin. "Hujan, setiap hari selalu saja hujan." Tiana duduk di sebuah kursi, dia melamun menata
"Bas, sepertinya perjodohan anak kita tidak bisa dilanjutkan." Ucapan serius itu terucap dengan jelas dari bibir Roghan. Laki-laki berkaca mata yang duduk berhadapan dengan Sebastian di ruang tamu. Sebastian sudah menduga kedatangan Roghan ke rumahnya kali ini bukan menjenguk Tiana yang baru saja dibawa pulang, melainkan ingin membahas hal ini. "Ya, tidak masalah. Lagipula mereka juga masih labil, apalagi putriku juga tidak pantas bersanding dengan anakmu itu!" jawab Sebastian sedikit sarkastik. Di sana, Emma hanya tertunduk saja. Sedangkan Shela juga tidak bersuara, wanita itu memangku bantal dan sesekali melirik ke arah kamar Tiana yang tertutup. Untunglah Tiana sedang tidur. "Tiana juga masih sangat muda, masa depannya masih panjang." Emma menyahuti. "Iya." Shela mengangguk dengan suara lemah. "Anak belasan tahun kan tidak mungkin mau segera dinikahkan. Aldrich sendiri juga sudah dewasa, jadi-" "Itu terserah padamu, aku awalnya juga tidak menunjuk-nunjukkan anakku untuk din
Rambut panjang sepinggang kini menjadi pendek di atas punggung, sebenarnya Tiana tidak setuju dengan ini, namun semua demi kesehatannya. Belum lagi dia kembarannya yang super posesif terus menceramahi karyawan salon. "Ini baru cantik!" seru Tiano mengacungkan jempolnya di hadapan Tiana. "Kalau dilihat-lihat kita ini sangat mirip," seru Tino membungkukkan badannya di belakang Tiana dan mereka menatap cermin di dalam salon tersebut. "Kan kita kembar, Kakak!" pekik Tiana menarik telinga Tino hingga mereka semua tertawa. Ketiganya pun kini keluar dari dalam tempat tersebut setelah Tino membayari semuanya. Baik Tino ataupun Tiano, ingin menyenangkan Tiana. Mereka berdua mengajak Tiana jalan-jalan di mall, bersenang-senang, dan Tino akan mengeluarkan banyak uangnya demi sang adik, begitu pula dengan Tiano yang tidak pelit sama sekali. "Mau beli apa?" tanya Tiano yang kini berjalan merangkul Tiana dan mengusap pucuk Kepalanya. "Jangan boneka terus, sudah dewasa kita ini!" sahut Tino
Setelah diminta Papanya membelikan hadiah untuk Sarah, anak rekan kerja Roghan dari Madrid, kini barulah Aldrich merasa bebas untuk pergi. Pemuda itu datang ke rumah Tiana. Aldrich membawakan beberapa makanan dan roti Sus kesukaan Tiana. Aldrich mengetuk pintu rumah megah di depannya, muncullah Bibi yang membuka pintu tersebut. "Tuan Aldrich," sapa Bibi mengerjapkan kedua matanya menatap Aldrich. "Tiana ada, Bi?" tanya pemuda itu. "Ada Tuan, mari masuk dulu. Biar saya panggilkan Nona." Bibi langsung membuka pintu lebar-lebar. Rumah sangat sepi, nampaknya Tiana sedang di rumah sendirian hari ini. Aldrich berjalan ke arah ruang tamu dan duduk di sana, dia mendongak menatap ke lantai dua. Bibi mengetuk pintu kamar Tiana dan memanggil gadis itu. "Non... Non Tiana, ada Tuan Aldrich di luar menunggu Nona!" pekik Bibi memanggilnya. Pintu kamar Tiana terbuka, gadis itu muncul dengan wajah sembab dan Tiana menggelengkan kepalanya pada Bibi. "Suruh dia pulang Bi, bilang padanya Tiana
Satu Minggu Berlalu...Hubungan Aldrich dan Tiana benar-benar renggang, hal ini membuat Aldrich gila dan tidak betah di rumah. Pemuda itu membeli sebuah apartemen, dia malas pulang karena Papanya selalu mencoba mendekatkannya dengan Sarah.Dan Aldrich kini berada tak jauh di depan rumah Tiana. Dia membawa mobil barunya agar Tiana dan keluarganya tidak mengenali Aldrich, mengetahui gadis itu menjauhinya perlahan-lahan. "Harusnya kau bilang padaku kalau ada sesuatu dariku yang tidak mengenakkan hatimu, bukannya kau malah menjauh dan menjadi asing denganku seperti ini, Tiana..." Aldrich menjentuskan kepalanya ke stir mobilnya dengan pelan. "Aku yang kau sakiti di sini, Tiana..." Laki-laki itu mengakui stress yang dia rasakan jauh lebih tinggu dari segala hal. Sampai akhirnya gerbang besar rumah Tiana terbuka, ada tiga mobil keluar bersamaan. Mobil itu milik Sebastian, Tino, dan Tiano yang hendak pergi bekerja masing-masing. Namun hal yang menarik perhatian Aldrich adalah sosok Tiana
Aldrich malam ini pulang ke rumah diantarkan oleh Samuel, temannya. Dia pulang dalam keadaan mabuk berat hingga lemas. Kedua orang tuanya yang membukakan pintu pun terkejut melihat putranya pulang-pulang seperti ini. "Ya ampun Samuel, ini kenapa Aldrich sampai seperti ini?!" pekik Emma dengan wajah terkejut. "Mabuk berat Tan, sudah aku bilang cukup tapi masih saja!" jawab Samuel jujur. "Aldrich... Bikin masalah terus!" omel Roghan membantu Samuel membopong Aldrich ke kamarnya di lantai dua. Sesampainya di kamar pemuda itu, Emma melepaskan kemeja yang Aldrich pakai dan membiarkan putranya itu tidur. Di depan, Samuel diwawancarai oleh Roghan perkara Aldrich yang bisa sampai mabuk seberat ini. "Kenapa bisa begini Sam? Pulang jam satu malam, mabuk, dia sudah tiga hari tidak pulang ke rumah!" seru Roghan duduk di sofa berhadapan dengan Roghan. "Aldrich marah-marah Om, katanya Om membatalkan perjodohannya dengan Tiana. Sekarang Tiana sakit, dan benci pada Aldrich. Dia marah karena i
"Obatnya sudah dibawa? Sudah makan, kan?" Tiano menatap Tiana yang kini masuk ke dalam mobilnya. Gadis itu mengangguk dengan sangat antusias dan senang. Bagaimana Tiana tidak kesenangan saat Papinya memberikan izin pergi ke perpustakaan, asalkan di sana Tiana bersama Renhard. Dan Syukurlah Renhard mau menemani Tiana. "Nanti jangan pulang kalau Kakak belum ke sana, atau telfon Kakak saja, ngerti?" seru Tiano menasihati Tiana. "Iya Kak." Gadis itu sibuk dengan ponselnya. "Bagus." Setelah beberapa menit, akhir mobil milik Tiano baru sampai di sebuah gedung perpustakaan besar di kota. Tiana melambaikan tangannya pada Tiano. Sang kembaran pun langsung bergegas pergi seketika, dan Tiana masuk ke dalam perpustakaan sendirian. Pandangannya mengedar, dia mencari Renhard di sana. "Sepertinya Renhard belum datang," gumam Tiana cemberut. Gadis itu mengambil tempat di dekat dinding kaca dan diam di sana setelah memilih beberapa buku. Tiana mengucek kedua matanya berkali-kali, ia merasa m
Sebastian kebingungan mencari Tiana yang sejak siang pergi, tapi nyatanya di perpustakaan sore ini pun tidak ada. Dia mencari putrinya ke mana-mana, hingga Tiano menghubungi Renhard dan sahabat Tiana itu mengatakan kalau Tiana dibawa oleh Aldrich. Sebastian yang marah, dia mendatangi kediaman Aldrich dan akan membawa pulang putrinya. "Jangan marah-marah di rumah orang Pi, ingat..." Tino yang ikut bersamanya, dia berkali-kali mengingatkan Papinya. "Bagaimana tidak marah! Adikmu dibawa sama Aldrich, kalau terjadi sesuatu bagaimana?! Tiana itu sedang tidur dibawa sama Aldrich, kenapa pula Tiana pergi pagi-pagi sekali setelah minum obat! Ya ampun, ada-ada saja!" kesal Sebastian mengumpat berkali-kali. Tino merotasikan kedua matanya jengah. "Pi, Aldrich tidak mungkin macam-macam dengan Tiana, Pi. Percaya deh!" "Kau itu anak Papi atau bukan sih?! Dari tadi malah terkesan nyalahin Papi!" omel Sebastian. "Halah... Terserah Papi lah!" amuk Tino mendengkus kesal. Cukup lama perjalanan