PYAAARR..."Ada apa, Sayang?!" Sebastian berteriak saat mendengar suara pecahan beling dari arah dapur. Laki-laki itu berlari ke belakang dan melihat Shela memecahkan gelas berisi susu cokelat. "Padahal aku menaruhnya sedikit ke tengah," ujar Shela mengambil beberapa beling. "Sudah, sudah... Biar Bibi saja yang membersihkannya, nanti tanganmu luka, Shela." Sebastian menarik pundak sang istri. Shela berdiri dan mencuci tangannya. Wanita itu merasakan sesuatu yang tidak beres, seperti ada yang ganjal di benaknya, ada sesuatu yang kurang pas, dan tidak mengenakkan hati."Ada apa ya? Kenapa pikiranku jadi kacau begini? Tino sedang ke pertemuan, Tiano pergi dengan Laksamana Abin, dan Tiana... Tiana bersama Aldrich, kan?" gumam Shela, entah dia bertanya pada siapa. Shela langsung kembali lagi ke depan, dia menatap Sebastian yang kini duduk baru saja menutup laptopnya. "Sayang, coba hubungi Aldrich. Apa Tiana dengan Aldrich? Aku kepikiran Tiana," ujar Shela pada suaminya. "Loh, bukann
Aldrich melangkah masuk ke dalam rumah dengan wajah datar, rambut cokelatnya basah, tuxedo hitam yang dia sampirkan di lengan kirinya pun juga basah. Sang Mama pun langsung mendekatinya, Emma tidak tahu kenapa Aldrich diam saja dan tidak menyapa sama sekali. "Al, kenapa basah-basahan begini? Kau dari mana saja? Papamu sudah pulang sejak tadi, kau-""Jangan mengangguku, Ma," sela Aldrich dengan nada datar dan dingin. "Aldrich, Mama sedang bicara! Papamu tad-"Ucapan Emma terhenti saat Aldrich menatapnya dalam-dalam, seolah-olah tengah memberitahu pada Emma untuk diam lewat tatapan mata dingin Aldrich yang langsung menciutkan nyali sang Mama. Dan tidak ada lagi kata-kata yang keluar dari bibir Emma setelahnya, wanita itu diam dan menatap punggung tegap Aldrich yang kini menghilang seiring pintu kamarnya tertutup. "Ada apa dengannya?" gumam Emma mulai khawatir dan cemas. "Apa Roghan memarahinya? Tidak biasanya dia seperti ini." Sedangkan Aldrich di dalam kamarnya, pemuda itu menut
Tino mendatangi kediaman Aldrich, dia bertemu dengan Emma dan Roghan. Nampak kedua orang itu menatap kedatangan Tino dengan tidak biasa. "Tino..." "Siang Om, Tante, Aldrich ada?" tanya Tino. Emma mengangguk. "Ada di kamarnya, sejak semalam kemarin dia tidak keluar sama sekali. Dia juga tidak makan, Tante juga tidak tahu apa yang terjadi." "Dia bertengkar dengan Tiana?" tanya Roghan. "Dengan Papi, bukan Tiana." Tino menjawab dengan santai. Roghan dan Emma bersamaan menatap Tino dengan sorot mata terkejut. Namun mereka diam dan membiarkan Tino menemui Aldrich di kamarnya. Sedangkan Tino tidak menyangka kalau Aldrich akan mengurung diri seperti anak perempuan begini. Tapi mungkin itu bentuk kekecewaan yang dia rasakan, Aldrich juga enggan diatur, sudah jelas dia memilih untuk menyendiri dan menarik dirinya dari apapun. "Al..." Tino memanggil Aldrich dan mengetuk pintu kamarnya. Pintu itu terbuka sedikit, hingga Tino masuk ke dalam kamar tersebut. Di sana, Aldrich berbaring lagi
Tiana membolak-balikkan halaman buku yang sejak tadi dia baca. Dia merasa jenuh bila berlama-lama di dalam kamar, Maminya sedang pergi membeli makanan, Papinya bekerja, apalagi dua kembarannya yang sibuk dengan kegiatan masing-masing. "Hahh... Bosan sekali rasanya," gumam Tiana menyergah napas panjang. Gadis itu menutup buku bersampul merah muda di pangkuannya dan meletakkan di atas nakas. Tiana meraih kaca mata miliknya, dia juga menyibak selimut dan perlahan turun dari atas ranjang. Sudah tiga hari Tiana berada di dalam ruangan itu, dia tidak bisa ke mana-mana dan hanya diam di sana saja. Tapi kini Tiana keluar dari dalam kamar berjalan perlahan-lahan menahan pening di kepalanya. "Sepinya, gelap," cicit gadis itu melangkah berjalan di lorong membawa tiang tempat kantong infus. Tiana berdiri di depan dinding kaca rumah sakit, kamar inapnya berada di lantai delapan. Sangat tinggi dan dingin. "Hujan, setiap hari selalu saja hujan." Tiana duduk di sebuah kursi, dia melamun menata
"Bas, sepertinya perjodohan anak kita tidak bisa dilanjutkan." Ucapan serius itu terucap dengan jelas dari bibir Roghan. Laki-laki berkaca mata yang duduk berhadapan dengan Sebastian di ruang tamu. Sebastian sudah menduga kedatangan Roghan ke rumahnya kali ini bukan menjenguk Tiana yang baru saja dibawa pulang, melainkan ingin membahas hal ini. "Ya, tidak masalah. Lagipula mereka juga masih labil, apalagi putriku juga tidak pantas bersanding dengan anakmu itu!" jawab Sebastian sedikit sarkastik. Di sana, Emma hanya tertunduk saja. Sedangkan Shela juga tidak bersuara, wanita itu memangku bantal dan sesekali melirik ke arah kamar Tiana yang tertutup. Untunglah Tiana sedang tidur. "Tiana juga masih sangat muda, masa depannya masih panjang." Emma menyahuti. "Iya." Shela mengangguk dengan suara lemah. "Anak belasan tahun kan tidak mungkin mau segera dinikahkan. Aldrich sendiri juga sudah dewasa, jadi-" "Itu terserah padamu, aku awalnya juga tidak menunjuk-nunjukkan anakku untuk din
Rambut panjang sepinggang kini menjadi pendek di atas punggung, sebenarnya Tiana tidak setuju dengan ini, namun semua demi kesehatannya. Belum lagi dia kembarannya yang super posesif terus menceramahi karyawan salon. "Ini baru cantik!" seru Tiano mengacungkan jempolnya di hadapan Tiana. "Kalau dilihat-lihat kita ini sangat mirip," seru Tino membungkukkan badannya di belakang Tiana dan mereka menatap cermin di dalam salon tersebut. "Kan kita kembar, Kakak!" pekik Tiana menarik telinga Tino hingga mereka semua tertawa. Ketiganya pun kini keluar dari dalam tempat tersebut setelah Tino membayari semuanya. Baik Tino ataupun Tiano, ingin menyenangkan Tiana. Mereka berdua mengajak Tiana jalan-jalan di mall, bersenang-senang, dan Tino akan mengeluarkan banyak uangnya demi sang adik, begitu pula dengan Tiano yang tidak pelit sama sekali. "Mau beli apa?" tanya Tiano yang kini berjalan merangkul Tiana dan mengusap pucuk Kepalanya. "Jangan boneka terus, sudah dewasa kita ini!" sahut Tino
Setelah diminta Papanya membelikan hadiah untuk Sarah, anak rekan kerja Roghan dari Madrid, kini barulah Aldrich merasa bebas untuk pergi. Pemuda itu datang ke rumah Tiana. Aldrich membawakan beberapa makanan dan roti Sus kesukaan Tiana. Aldrich mengetuk pintu rumah megah di depannya, muncullah Bibi yang membuka pintu tersebut. "Tuan Aldrich," sapa Bibi mengerjapkan kedua matanya menatap Aldrich. "Tiana ada, Bi?" tanya pemuda itu. "Ada Tuan, mari masuk dulu. Biar saya panggilkan Nona." Bibi langsung membuka pintu lebar-lebar. Rumah sangat sepi, nampaknya Tiana sedang di rumah sendirian hari ini. Aldrich berjalan ke arah ruang tamu dan duduk di sana, dia mendongak menatap ke lantai dua. Bibi mengetuk pintu kamar Tiana dan memanggil gadis itu. "Non... Non Tiana, ada Tuan Aldrich di luar menunggu Nona!" pekik Bibi memanggilnya. Pintu kamar Tiana terbuka, gadis itu muncul dengan wajah sembab dan Tiana menggelengkan kepalanya pada Bibi. "Suruh dia pulang Bi, bilang padanya Tiana
Satu Minggu Berlalu...Hubungan Aldrich dan Tiana benar-benar renggang, hal ini membuat Aldrich gila dan tidak betah di rumah. Pemuda itu membeli sebuah apartemen, dia malas pulang karena Papanya selalu mencoba mendekatkannya dengan Sarah.Dan Aldrich kini berada tak jauh di depan rumah Tiana. Dia membawa mobil barunya agar Tiana dan keluarganya tidak mengenali Aldrich, mengetahui gadis itu menjauhinya perlahan-lahan. "Harusnya kau bilang padaku kalau ada sesuatu dariku yang tidak mengenakkan hatimu, bukannya kau malah menjauh dan menjadi asing denganku seperti ini, Tiana..." Aldrich menjentuskan kepalanya ke stir mobilnya dengan pelan. "Aku yang kau sakiti di sini, Tiana..." Laki-laki itu mengakui stress yang dia rasakan jauh lebih tinggu dari segala hal. Sampai akhirnya gerbang besar rumah Tiana terbuka, ada tiga mobil keluar bersamaan. Mobil itu milik Sebastian, Tino, dan Tiano yang hendak pergi bekerja masing-masing. Namun hal yang menarik perhatian Aldrich adalah sosok Tiana