"Aku ingin menikahi Tiana Ma, Pa!" Aldrich menatap kedua orang tuanya yang baru saja datang dari Italia. Mereka berdua kembali pulang setelah Aldrich marah-marah meminta mereka kembali. "Hehhh... Tiana masih berusia berapa? Masih belasan tahun, Al! Kalian masih terlalu muda, nanti kalau ada apa-apa orang tua juga yang repot!" omel Emma seraya melepaskan perhiasannya dan memasukkan ke dalam kotak. "Ini permintaan Tiana yang sangat berarti untukku, Ma! Aku tidak akan menyakitinya, aku berjanji untuk hal it-""Memangnya kau sudah berhasil menyetir perusahaan Papa di sini? Akal-akalan mau menikah!" sahut Roghan menatap sebal pada putranya. "Baru juga Mama dan Papa sampai, kau sudah minta nikah!" Aldrich terdiam, dia menundukkan kepalanya dan bingung bagaimana menceritakan semuanya pada kedua orang tuanya. "Tiana sedang sakit Ma, Pa..." "Tiana sakit?!" pekik Emma dan Roghan bersamaan. Aldrich menunjukkan ekspresi sedihnya. "Sakitnya kambuh." "Al..." Roghan menyentuh pundak sang put
Keesokan harinya, Tiana pun sudah diizinkan pulang oleh dokter. Gadis itu juga sangat merindukan rumahnya dan ingin beristirahat di rumah. Saat mobil Sebastian berhenti, Sebastian menggendong putrinya dan tidak membiarkan Tiana berjalan karena gadis itu masih mengeluh pusing terus menerus. "Mami, Papi...!" Suara Tiano membuat Shela dan Sebastian menatap ke depan. Mereka kaget tahu-tahu Tiano pulang. "Tiano!" seru Tiana, gadis itu langsung mengulurkan kedua tangannya pada sang kembaran. Tiano tanpa pikir panjang, dia langsung mengulurkan tangannya pada Tiana dan menggendong kembarannya itu seperti anak kecil. Memang hanya dengan Tiano, Tiana bisa mendapatkan apapun, kalau bersama Tino, jangankan Tiana, Tiano pun pasti akan ribut habis-habisan. "Masih sakit kepalanya?" tanya Tiano mengusap kening Tiana. "Iya." Tiana memeluk leher Tiano dan melingkarkan kedua kakinya di tubuh kembarannya. "Tiano kenapa pulang tidak pernah bilang-bilang, sih?" "Kan rahasia, adikku Sayang..." Me
"Al, kau yakin ingin tetap menikahi Tiana? Dia memiliki penyakit keras. Bagaimana masa depanmu nanti?" Roghan menatap putranya yang kini duduk bergeming, mereka hanya duduk berdua di teras samping rumah menikmati malam yang gelap. Sedangkan Aldrich mulai jengah dan kesal menghadapi Papanya. "Lalu, apa yang Papa mau? Membatalkan perjodohanku dengan Tiana?" tanya Aldrich menoleh dengan tatapan dingin. "Al..." "Papa yang memintaku untuk terus mengingat Tiana!" pekik Aldrich marah. "Papa tidak tahu apa yang aku rasakan!" "Papa tahu nak, Papa paham! Dengarkan Papa dulu!" Roghan berdiri di hadapan Aldrich. Dari dalam rumah, Emma muncul. Wanita itu mendekati putranya dan menyentuh pundak Aldrich dengan lembut. "Dengarkan Papamu dulu, Aldrich." "Kalau kalian hanya memintaku untuk meninggalkan Tiana, lebih baik jangan bicara denganku lagi!" pekik Aldrich menyentak pelan tangan sang Mama. "Al, ini demi masa depanmu. Kami tidak melarangmu menikahi Tiana, tapi pikirkan tentang kondisiny
Aldrich duduk di kursi kerjanya di dalam ruangan Presdir, ruangan pribadinya. Laki-laki muda itu sibuk menatapi kotak cincin yang baru saja pagi tadi dia beli. Senyumannya mengembang mengingat senyuman Tiana yang terasa seperti terlintas tak henti-henti di depan matanya. "Dia pasti menyukai cincin ini, aku tidak sabar memberikan ini padamu, Tiana..." Aldrich kembali memejamkan matanya dan duduk bersandar dengan santai. Pintu ruangan kerja Aldrich terketuk, laki-laki itu langsung mengangkat kepalanya dan melihat Sam, anak buahnya masuk ke dalam ruangan tersebut. "Pak Aldrich ada acara kah?" tanya Sam menatap Aldrich. "Iya. Aku akan menemui kekasihku hari ini." Aldrich beranjak dari duduknya dan menyahut mantel tebalnya di atas punggung kursi kerja. Wajah Sam menjadi sedikit ragu, seolah-olah dia melarang Aldrich pergi. "Tapi Pak Aldrich, Tuan Hubert meminta pada saya untuk memberitahu Pak Aldrich untuk tidak ke mana-mana, satu jam lagi ada tamu dari Madrid," ujar Sam menyampaik
PYAAARR..."Ada apa, Sayang?!" Sebastian berteriak saat mendengar suara pecahan beling dari arah dapur. Laki-laki itu berlari ke belakang dan melihat Shela memecahkan gelas berisi susu cokelat. "Padahal aku menaruhnya sedikit ke tengah," ujar Shela mengambil beberapa beling. "Sudah, sudah... Biar Bibi saja yang membersihkannya, nanti tanganmu luka, Shela." Sebastian menarik pundak sang istri. Shela berdiri dan mencuci tangannya. Wanita itu merasakan sesuatu yang tidak beres, seperti ada yang ganjal di benaknya, ada sesuatu yang kurang pas, dan tidak mengenakkan hati."Ada apa ya? Kenapa pikiranku jadi kacau begini? Tino sedang ke pertemuan, Tiano pergi dengan Laksamana Abin, dan Tiana... Tiana bersama Aldrich, kan?" gumam Shela, entah dia bertanya pada siapa. Shela langsung kembali lagi ke depan, dia menatap Sebastian yang kini duduk baru saja menutup laptopnya. "Sayang, coba hubungi Aldrich. Apa Tiana dengan Aldrich? Aku kepikiran Tiana," ujar Shela pada suaminya. "Loh, bukann
Aldrich melangkah masuk ke dalam rumah dengan wajah datar, rambut cokelatnya basah, tuxedo hitam yang dia sampirkan di lengan kirinya pun juga basah. Sang Mama pun langsung mendekatinya, Emma tidak tahu kenapa Aldrich diam saja dan tidak menyapa sama sekali. "Al, kenapa basah-basahan begini? Kau dari mana saja? Papamu sudah pulang sejak tadi, kau-""Jangan mengangguku, Ma," sela Aldrich dengan nada datar dan dingin. "Aldrich, Mama sedang bicara! Papamu tad-"Ucapan Emma terhenti saat Aldrich menatapnya dalam-dalam, seolah-olah tengah memberitahu pada Emma untuk diam lewat tatapan mata dingin Aldrich yang langsung menciutkan nyali sang Mama. Dan tidak ada lagi kata-kata yang keluar dari bibir Emma setelahnya, wanita itu diam dan menatap punggung tegap Aldrich yang kini menghilang seiring pintu kamarnya tertutup. "Ada apa dengannya?" gumam Emma mulai khawatir dan cemas. "Apa Roghan memarahinya? Tidak biasanya dia seperti ini." Sedangkan Aldrich di dalam kamarnya, pemuda itu menut
Tino mendatangi kediaman Aldrich, dia bertemu dengan Emma dan Roghan. Nampak kedua orang itu menatap kedatangan Tino dengan tidak biasa. "Tino..." "Siang Om, Tante, Aldrich ada?" tanya Tino. Emma mengangguk. "Ada di kamarnya, sejak semalam kemarin dia tidak keluar sama sekali. Dia juga tidak makan, Tante juga tidak tahu apa yang terjadi." "Dia bertengkar dengan Tiana?" tanya Roghan. "Dengan Papi, bukan Tiana." Tino menjawab dengan santai. Roghan dan Emma bersamaan menatap Tino dengan sorot mata terkejut. Namun mereka diam dan membiarkan Tino menemui Aldrich di kamarnya. Sedangkan Tino tidak menyangka kalau Aldrich akan mengurung diri seperti anak perempuan begini. Tapi mungkin itu bentuk kekecewaan yang dia rasakan, Aldrich juga enggan diatur, sudah jelas dia memilih untuk menyendiri dan menarik dirinya dari apapun. "Al..." Tino memanggil Aldrich dan mengetuk pintu kamarnya. Pintu itu terbuka sedikit, hingga Tino masuk ke dalam kamar tersebut. Di sana, Aldrich berbaring lagi
Tiana membolak-balikkan halaman buku yang sejak tadi dia baca. Dia merasa jenuh bila berlama-lama di dalam kamar, Maminya sedang pergi membeli makanan, Papinya bekerja, apalagi dua kembarannya yang sibuk dengan kegiatan masing-masing. "Hahh... Bosan sekali rasanya," gumam Tiana menyergah napas panjang. Gadis itu menutup buku bersampul merah muda di pangkuannya dan meletakkan di atas nakas. Tiana meraih kaca mata miliknya, dia juga menyibak selimut dan perlahan turun dari atas ranjang. Sudah tiga hari Tiana berada di dalam ruangan itu, dia tidak bisa ke mana-mana dan hanya diam di sana saja. Tapi kini Tiana keluar dari dalam kamar berjalan perlahan-lahan menahan pening di kepalanya. "Sepinya, gelap," cicit gadis itu melangkah berjalan di lorong membawa tiang tempat kantong infus. Tiana berdiri di depan dinding kaca rumah sakit, kamar inapnya berada di lantai delapan. Sangat tinggi dan dingin. "Hujan, setiap hari selalu saja hujan." Tiana duduk di sebuah kursi, dia melamun menata
Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan
Tino dan Irish benar-benar bepergian bersama ke Salzburg. Mereka berdua sudah sampai di sana beberapa jam yang lalu, dan Paman Caesar lah orang yang menjemput mereka berdua saat ini. Sembari menunggu Paman Caesar, Irish melihat pemandangan sekitar yang memang sangat indah dan jauh dari hiruk pikuk seperti di kota asalnya. "Bagus ya, di sa-sana pegunungan kelihatan," ujar gadis itu menunjuk-nunjuk ke sana dan ke sini."Kau tidak pernah ke sini sama sekali, Sayang?" tanya Tino menatapnya. "Tidak, Mama dan Pa-papa yang sering ke sini. A-aku harus belajar yang gi-giat di rumah. Ja-jadi tidak pernah pergi ke ma-manapun." Tino yang mendengar itu merasa kasihan. Irish memang anak orang sangat terpandang, namun kehidupannya tidak seindah seperti yang Tino bayangkan. "Sekarang kan aku sudah mengajakmu ke sini," ujar laki-laki itu tersenyum. "Heem, tempat yang indah. Rasanya aku tidak mau pulang." Irish mengatakan tanpa gagap sedikitpun seraya memeluk Tino. Perasaan Tino menjadi sedikit
Pagi-pagi sekali Tino datang ke kediaman Sebastian. Ia ingin mengabari Papanya kalau dia ingin liburan beberapa hari di Austria. Sebelumnya Irish terlihat sangat cemas, sepanjang perjalanan mengunjungi kediaman mertuanya, gadis itu terus mengoceh panik kalau Sebastian diam mengizinkan Tino. "Tumben datang ke sini? Biasanya juga sibuk sendiri-sendiri, sampai istri dikurung di rumah!" Kalimat sarkastik itu terucap dari bibir Tiano, yang ternyata sedang datang berkunjung. "Apa kau tidak punya cermin?! Kau sendiri juga tidak akan datang ke sini kalau tidak ditelfon dulu! Memang kau ini tipe-tipe seleb!" maki Tino duduk di sofa bersama istrinya. Irish nampak begitu senang akhirnya ia bertemu lagi dengan Sora, mereka berdua seolah mempunyai dunia sendiri dan berbincang kesenangan menceritakan banyak hal. "Tino, Irish, sebentar lagi kalian akan punya keponakan baru," ujar Shela menatap Tino. "Ke-keponakan baru?" Irish mengerjap bingung. "Iya Sayang, Irish sedang hamil sekarang." Shela
Beberapa hari berlalu, Irish sangat bekerja keras untuk mempersiapkan penampilannya dalam acara sebuah pertunjukan. Hari yang dia tunggu-tunggu pun akhirnya datang. Gadis itu sangat gugup, ia berada di belakang panggung pertunjukan sendirian. Irish perlu menenangkan diri sebelum keluar bersama beberapa temannya. "Huufffttt... Rasanya gu-gugup sekali!" Irish menepuk dadanya berkali-kali dan menarik napasnya dalam-dalam. "Bagaimana ini, bagaimana nanti kalau aku jatuh tiba-tiba?" Wajah Irish menjadi cemberut, gadis itu memainkan jemarinya di lantai sebelum ia merasakan seseorang menyentuh pipinya dari belakang. "Eh..." Irish mendongakkan kepalanya menatap siapa seseorang itu. Ternyata suaminya yang datang, Tino memberikan sebotol air mineral padanya. "Kenapa malah diam di sini, hem?" Tino ikut menekuk lututnya di samping Irish. "Aku masih mengumpulkan keberanian," jawab gadis itu. "Hemm? Mengumpulkan keberanian, kenapa? Kau tidak tampil sendirian. Ada beberapa temanmu yang ikut