"Al, kau yakin ingin tetap menikahi Tiana? Dia memiliki penyakit keras. Bagaimana masa depanmu nanti?" Roghan menatap putranya yang kini duduk bergeming, mereka hanya duduk berdua di teras samping rumah menikmati malam yang gelap. Sedangkan Aldrich mulai jengah dan kesal menghadapi Papanya. "Lalu, apa yang Papa mau? Membatalkan perjodohanku dengan Tiana?" tanya Aldrich menoleh dengan tatapan dingin. "Al..." "Papa yang memintaku untuk terus mengingat Tiana!" pekik Aldrich marah. "Papa tidak tahu apa yang aku rasakan!" "Papa tahu nak, Papa paham! Dengarkan Papa dulu!" Roghan berdiri di hadapan Aldrich. Dari dalam rumah, Emma muncul. Wanita itu mendekati putranya dan menyentuh pundak Aldrich dengan lembut. "Dengarkan Papamu dulu, Aldrich." "Kalau kalian hanya memintaku untuk meninggalkan Tiana, lebih baik jangan bicara denganku lagi!" pekik Aldrich menyentak pelan tangan sang Mama. "Al, ini demi masa depanmu. Kami tidak melarangmu menikahi Tiana, tapi pikirkan tentang kondisiny
Aldrich duduk di kursi kerjanya di dalam ruangan Presdir, ruangan pribadinya. Laki-laki muda itu sibuk menatapi kotak cincin yang baru saja pagi tadi dia beli. Senyumannya mengembang mengingat senyuman Tiana yang terasa seperti terlintas tak henti-henti di depan matanya. "Dia pasti menyukai cincin ini, aku tidak sabar memberikan ini padamu, Tiana..." Aldrich kembali memejamkan matanya dan duduk bersandar dengan santai. Pintu ruangan kerja Aldrich terketuk, laki-laki itu langsung mengangkat kepalanya dan melihat Sam, anak buahnya masuk ke dalam ruangan tersebut. "Pak Aldrich ada acara kah?" tanya Sam menatap Aldrich. "Iya. Aku akan menemui kekasihku hari ini." Aldrich beranjak dari duduknya dan menyahut mantel tebalnya di atas punggung kursi kerja. Wajah Sam menjadi sedikit ragu, seolah-olah dia melarang Aldrich pergi. "Tapi Pak Aldrich, Tuan Hubert meminta pada saya untuk memberitahu Pak Aldrich untuk tidak ke mana-mana, satu jam lagi ada tamu dari Madrid," ujar Sam menyampaik
PYAAARR..."Ada apa, Sayang?!" Sebastian berteriak saat mendengar suara pecahan beling dari arah dapur. Laki-laki itu berlari ke belakang dan melihat Shela memecahkan gelas berisi susu cokelat. "Padahal aku menaruhnya sedikit ke tengah," ujar Shela mengambil beberapa beling. "Sudah, sudah... Biar Bibi saja yang membersihkannya, nanti tanganmu luka, Shela." Sebastian menarik pundak sang istri. Shela berdiri dan mencuci tangannya. Wanita itu merasakan sesuatu yang tidak beres, seperti ada yang ganjal di benaknya, ada sesuatu yang kurang pas, dan tidak mengenakkan hati."Ada apa ya? Kenapa pikiranku jadi kacau begini? Tino sedang ke pertemuan, Tiano pergi dengan Laksamana Abin, dan Tiana... Tiana bersama Aldrich, kan?" gumam Shela, entah dia bertanya pada siapa. Shela langsung kembali lagi ke depan, dia menatap Sebastian yang kini duduk baru saja menutup laptopnya. "Sayang, coba hubungi Aldrich. Apa Tiana dengan Aldrich? Aku kepikiran Tiana," ujar Shela pada suaminya. "Loh, bukann
Aldrich melangkah masuk ke dalam rumah dengan wajah datar, rambut cokelatnya basah, tuxedo hitam yang dia sampirkan di lengan kirinya pun juga basah. Sang Mama pun langsung mendekatinya, Emma tidak tahu kenapa Aldrich diam saja dan tidak menyapa sama sekali. "Al, kenapa basah-basahan begini? Kau dari mana saja? Papamu sudah pulang sejak tadi, kau-""Jangan mengangguku, Ma," sela Aldrich dengan nada datar dan dingin. "Aldrich, Mama sedang bicara! Papamu tad-"Ucapan Emma terhenti saat Aldrich menatapnya dalam-dalam, seolah-olah tengah memberitahu pada Emma untuk diam lewat tatapan mata dingin Aldrich yang langsung menciutkan nyali sang Mama. Dan tidak ada lagi kata-kata yang keluar dari bibir Emma setelahnya, wanita itu diam dan menatap punggung tegap Aldrich yang kini menghilang seiring pintu kamarnya tertutup. "Ada apa dengannya?" gumam Emma mulai khawatir dan cemas. "Apa Roghan memarahinya? Tidak biasanya dia seperti ini." Sedangkan Aldrich di dalam kamarnya, pemuda itu menut
Tino mendatangi kediaman Aldrich, dia bertemu dengan Emma dan Roghan. Nampak kedua orang itu menatap kedatangan Tino dengan tidak biasa. "Tino..." "Siang Om, Tante, Aldrich ada?" tanya Tino. Emma mengangguk. "Ada di kamarnya, sejak semalam kemarin dia tidak keluar sama sekali. Dia juga tidak makan, Tante juga tidak tahu apa yang terjadi." "Dia bertengkar dengan Tiana?" tanya Roghan. "Dengan Papi, bukan Tiana." Tino menjawab dengan santai. Roghan dan Emma bersamaan menatap Tino dengan sorot mata terkejut. Namun mereka diam dan membiarkan Tino menemui Aldrich di kamarnya. Sedangkan Tino tidak menyangka kalau Aldrich akan mengurung diri seperti anak perempuan begini. Tapi mungkin itu bentuk kekecewaan yang dia rasakan, Aldrich juga enggan diatur, sudah jelas dia memilih untuk menyendiri dan menarik dirinya dari apapun. "Al..." Tino memanggil Aldrich dan mengetuk pintu kamarnya. Pintu itu terbuka sedikit, hingga Tino masuk ke dalam kamar tersebut. Di sana, Aldrich berbaring lagi
Tiana membolak-balikkan halaman buku yang sejak tadi dia baca. Dia merasa jenuh bila berlama-lama di dalam kamar, Maminya sedang pergi membeli makanan, Papinya bekerja, apalagi dua kembarannya yang sibuk dengan kegiatan masing-masing. "Hahh... Bosan sekali rasanya," gumam Tiana menyergah napas panjang. Gadis itu menutup buku bersampul merah muda di pangkuannya dan meletakkan di atas nakas. Tiana meraih kaca mata miliknya, dia juga menyibak selimut dan perlahan turun dari atas ranjang. Sudah tiga hari Tiana berada di dalam ruangan itu, dia tidak bisa ke mana-mana dan hanya diam di sana saja. Tapi kini Tiana keluar dari dalam kamar berjalan perlahan-lahan menahan pening di kepalanya. "Sepinya, gelap," cicit gadis itu melangkah berjalan di lorong membawa tiang tempat kantong infus. Tiana berdiri di depan dinding kaca rumah sakit, kamar inapnya berada di lantai delapan. Sangat tinggi dan dingin. "Hujan, setiap hari selalu saja hujan." Tiana duduk di sebuah kursi, dia melamun menata
"Bas, sepertinya perjodohan anak kita tidak bisa dilanjutkan." Ucapan serius itu terucap dengan jelas dari bibir Roghan. Laki-laki berkaca mata yang duduk berhadapan dengan Sebastian di ruang tamu. Sebastian sudah menduga kedatangan Roghan ke rumahnya kali ini bukan menjenguk Tiana yang baru saja dibawa pulang, melainkan ingin membahas hal ini. "Ya, tidak masalah. Lagipula mereka juga masih labil, apalagi putriku juga tidak pantas bersanding dengan anakmu itu!" jawab Sebastian sedikit sarkastik. Di sana, Emma hanya tertunduk saja. Sedangkan Shela juga tidak bersuara, wanita itu memangku bantal dan sesekali melirik ke arah kamar Tiana yang tertutup. Untunglah Tiana sedang tidur. "Tiana juga masih sangat muda, masa depannya masih panjang." Emma menyahuti. "Iya." Shela mengangguk dengan suara lemah. "Anak belasan tahun kan tidak mungkin mau segera dinikahkan. Aldrich sendiri juga sudah dewasa, jadi-" "Itu terserah padamu, aku awalnya juga tidak menunjuk-nunjukkan anakku untuk din
Rambut panjang sepinggang kini menjadi pendek di atas punggung, sebenarnya Tiana tidak setuju dengan ini, namun semua demi kesehatannya. Belum lagi dia kembarannya yang super posesif terus menceramahi karyawan salon. "Ini baru cantik!" seru Tiano mengacungkan jempolnya di hadapan Tiana. "Kalau dilihat-lihat kita ini sangat mirip," seru Tino membungkukkan badannya di belakang Tiana dan mereka menatap cermin di dalam salon tersebut. "Kan kita kembar, Kakak!" pekik Tiana menarik telinga Tino hingga mereka semua tertawa. Ketiganya pun kini keluar dari dalam tempat tersebut setelah Tino membayari semuanya. Baik Tino ataupun Tiano, ingin menyenangkan Tiana. Mereka berdua mengajak Tiana jalan-jalan di mall, bersenang-senang, dan Tino akan mengeluarkan banyak uangnya demi sang adik, begitu pula dengan Tiano yang tidak pelit sama sekali. "Mau beli apa?" tanya Tiano yang kini berjalan merangkul Tiana dan mengusap pucuk Kepalanya. "Jangan boneka terus, sudah dewasa kita ini!" sahut Tino