“Kamu itu mau jadi pengusaha hebat kok cepat banget menyerah sih? Gimana mau sukses menaklukan lawan bisnis kalau sifat kamu saja seperti pecundang!” cibir Marva.
“Dengar, jangan karena Dinara malam ini bisa tidur dengan suaminya, dia akan luluh secepat itu! Bukankah kalian saling mencintai? Gunakan alasan itu. Dan jadikan si kacung itu kambing hitam atas kejadian ini.” Marva berujar serius.
Theo sempat tak mengerti, tetapi setelah dipikir kembali, ide sang ayah cukup cemerlang juga.
“Ini bukan masalah tubuh Dinara sudah dipakai oleh suaminya atau belum, tapi soal kalian dapat bersatu atau tidak, demi perusahaan dan masa depan kalian, Theo! Rebut Dinara! Karena dia hanya milikmu, dia hanya cocok denganmu. Kalian sama-sama anak pengusaha besar. Tidak akan bisa disandingi dengan Farrel si kacung itu!” Marva terus menghujani hasutan-hasutan pada putranya agar terus berjuang.
Theo pun selalu goyah dengan hasutan halus sang
“Apa aku punya kesempatan untuk menjelaskan sesuatu sama kamu?” Farrel kembali bersuara.Mati-matian Dinara menahan tangis, pada akhirnya air mata itu tak bisa lagi ia bendung. Hatinya terlanjur sakit. Kalau semalam ia terbakar api gairah, tetapi pagi ini ia malah terbakar emosi setelah mengetahui kenyataan ini.Farrel langsung menekan tombol on di remot tv. Kemudian layar tv itu memperlihatkan sebuah rekaman video yang tampak sekilas seperti di kamar itu. Dinara mengangkat wajah dan melihat sendiri apa yang terjadi dalam video itu.“Theo?” Dinara menyipitkan mata saat ia memperhatikan dengan seksama apa yang terjadi semalam.Dia melihat sendiri bagaimana Theo yang sengaja merekam dan menghampirinya di atas kasur. Dinara malu melihat dirinya tengah kacau semalam, seperti wanita murahan yang merengek dituntaskan hasratnya. Sampai pada Farrel datang dan dua pria itu berseteru. Dalam video itu, Dinara melihat jelas Theo memuk
“Tapi papamu tadi baru saja pergi. Kamu mau bertemu siapa di rumah?” tanya Farrel.“Tidak apa. Antar saja aku ke sana. Aku hanya rindu dengan suasana rumah.” Dinara tersenyum getir.Farrel mengangguk dan berkata, “Baiklah, tapi sebelum itu, kita sarapan dulu ya?”Hening. Dinara masih tak lapar sebetulnya. Namun, Farrel terus memaksa agar ia mau makan. Karena semakin tak tega melihat wajah sang istri yang tampak pucat.“Aku khawatir kamu sakit loh, Din. Atau makanannya di siapkan di kamar aja, mau?” Farrel terus membujuk.Dinara menatap suaminya. Ia mengangguk pelan dan tersenyum tipis. Itu sudah menjadi sebuah jawaban kalau ia menyetujui usul suaminya.“Oke. Kalau gitu aku mau minta pelayan buat bawain makanan kita.” Farrel beranjak dan menghubungi pelayan hotel agar mempersiapkan makanan untuk mereka sarapan.Tak lama kemudian, makanan pun sudah tersaji di meja kamar. Dinara
Wajahnya memasang rona kemarahan dengan mata yang memicing tajam. Tangannya mengepal erat di atas wastafel. Membayangkan dirinya mencabik-cabik tubuh Theo dan melemparnya ke kandang macan yang lapar.“Awas saja kamu, Theo.” Dinara semakin mengepal erat tangannya. Hingga suara ketukan di balik pintu kamar membuyarkan khayalannya dalam misi menghancurkan Theo.“Din, kamu di dalam kan?” Farrel mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi.Dinara memejamkan mata dan membuang napas perlahan.“Iya, Kak.”“Cepatlah, aku mau bicara sama kamu,” ucap Farrel.Dinara membuka pintu kamar mandi, memperlihatkan wajahnya yang hanya bereskpresi datar dan dingin. Farrel semakin tercengang saat melihat wajah Dinara kembali pucat.“Loh, kamu kok pucat lagi, Din? Kamu sakit?” Farrel tampak cemas.Dinara sendiri sebenarnya hanya merasa kelelahan ditambah ia pun cemas karena melihat bercak darah dari b
Farrel menyunggingkan senyuman. Hatinya merasa tersentuh mendengar hal itu.“Kenapa kamu harus takut hamil? Andaikan kamu hamil kan gak masalah. Toh, kita juga sudah sah menjadi suami istri.” Farrel tampak memancing arah pembicaraan.“Kamu tau aku perempuan seperti apa, kan? Ngurus diri sendiri aja belum becus, gak kebayang kalau harus hamil dan punya anak!” Dinara menatap kosong dan gelisah.Farrel merangkul sang istri. Mengusap untaian hitam legam itu dengan lembut. Bahkan, dengan gerakan perlahan Dinara pun tak menolak sentuhan suaminya. Ia terlihat lebih tenang dan merasa nyaman jika berada di sisi Farrel. Mungkin sejak kecil ia sudah terbiasa mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari Farrel layaknya seorang kakak.Namun, untuk hal sekarang, Dinara masih tak mengerti dengan perasaannya. Apakah ia akan namai hubungan ini sebagai kakak adik, atau layaknya suami dan istri? Yang jelas, semenjak kejadian kemarin, hati Dinara seper
Dinara termangu. Selama ini dia jarang sekali mendengar pernyataan bijak dan serius. Karena memang pergaulannya dengan Theo dan teman-teman yang lain, tak pernah membahas soal masa depan, atau hal baik yang bisa membawa hidup jadi lebih terarah.Sementara baru beberapa hari dengan Farrel, hati dan dirinya sudah mulai terbuka perlahan. Seolah memang dia membutuhkan seseorang yang jauh lebih dewasa darinya. Walaupun cinta untuk Farrel mungkin saja belum tumbuh sempurna dalam hatinya.“Kamu beruntung, bisa menikahi seseorang yang kamu cinta.” Dinara tersenyum pahit.“Aku belum seberuntung itu, Din. Karena aku masih mencintai sendirian.” Farrel tersenyum getir sembari menunduk. Paling tidak, hatinya merasa lega karena sudah mengungkapkan perasaan yang sebenarnya.“Kita nggak pernah tau apa yang akan terjadi dalam hidup ini ke depannya. Aku juga gak tau, apa hatiku bakal sembuh atau tidak. Yang jelas, aku bahagia dan merasa berunt
“Apa maksud kamu? Jangan katakan kalau kamu nggak tau apa-apa tentang kejadian semalam. Bullshit!!” Dinara kembali berbalik badan dan hendak melangkah. “Din, please! Kasih kesempatan buat aku jelasin semuanya. Kita harus bicara!” Theo tak menyerah dan menggenggam lengan Dinara. Beruntung Yandra dan Farrel sedang tidak ada di rumah itu. Kalau saja ada, mungkin dia tak akan membiarkan Dinara bertemu begitu saja dengan Theo. “Oke. Waktu kita tidak banyak.” Dinara menghentakkan tangan Theo kemudian melipat tangannya di dada. Bahkan ia tak menawarkan duduk pada pria itu dan membiarkan mereka bicara di depan teras rumah saja. “Percaya sama aku, Dinara. Soal obat dalam minuman itu, aku memang tidak tahu apa-apa. Aku berniat membawa kamu pulang, tapi ... aku nggak tega lihat kamu meracau seperti itu.” Theo menjelaskan. Memasang ekspresi seolah dia tidak melakukan kesalahan apa-apa. Dinara menyeringai kecil. “Bukan nggak tega. Kamu hanya memanfaatkan situasi!” ketusnya. “Aku serius, Dinar
“Din, aku bakal buktiin sama kamu, kalau aku nggak bersalah. Kamu harus tepati janjimu buat selalu mencintai aku!” Theo menatap lurus ke arah Dinara yang malah membuang muka.Theo langsung melangkah pergi meninggalkan rumah itu. Hatinya yang terdalam tak dapat dibohongi kalau ia memang sungguhan mencintai Dinara, hanya saja silaunya harta dan kekayaan terkadang membuat mata hatinya tertutup. Terlebih ia pun selalu dihasut oleh sang ayah.“Kenapa lelaki itu berani datang menemuimu di sini? Atau jangan-jangan memang ini rencana kamu kembali ke Jakarta, untuk bertemu sama dia?” Yandra terlihat sangat marah pada Dinara.“Dia datang sendiri. Aku nggak nyuruh dia atau pun berniat bertemu sama dia!” Dinara langsung berbalik badan dan menuju ruang tamu.“Papa sudah tau apa yang terjadi dengan kalian tadi malam. Andaikan bukan Farrel yang menjelaskan semuanya, mungkin papa bisa langsung mati saat ini juga.” Yandra du
Dinara mengangguk dan bertanya. “Kamu masih suka suasana pegunungan, Kak?”“Nggak terlalu. Malah lebih suka pantai. Karena ada kamu aja, jadi suasananya semakin enak.” Farrel tersenyum lebar.Sementara Dinara langsung menaikkan kedua alisnya. “Dih, gombalan bapak-bapak banget.”Farrel tergelak mendengarnya. “Emangnya gombalan anak muda gimana, hem?”Dinara malah mencebikkan bibir sembari menahan tawa. Baginya Farrel sangat tidak jelas, meskipun tujuan suaminya hanya ini ingin menggoda dan berdua-duaan dengannya. Tetapi Dinara mencoba bersikap biasa saja. Walaupun dalam dadanya merasa berdesir dengan degup jantung yang cepat, selalu teringat kepingan ingatan kejadian tadi malam.“Kok melamun sih, Din?” tegur Farrel, saat melihat Dinara malah terdiam dengan tatapan kosong.Dinara menghela napas panjang. Lalu menggeleng pelan dan tersenyum hampa. Farrel menatap dalam istrinya yang mend