Dinara termangu. Selama ini dia jarang sekali mendengar pernyataan bijak dan serius. Karena memang pergaulannya dengan Theo dan teman-teman yang lain, tak pernah membahas soal masa depan, atau hal baik yang bisa membawa hidup jadi lebih terarah.
Sementara baru beberapa hari dengan Farrel, hati dan dirinya sudah mulai terbuka perlahan. Seolah memang dia membutuhkan seseorang yang jauh lebih dewasa darinya. Walaupun cinta untuk Farrel mungkin saja belum tumbuh sempurna dalam hatinya.
“Kamu beruntung, bisa menikahi seseorang yang kamu cinta.” Dinara tersenyum pahit.
“Aku belum seberuntung itu, Din. Karena aku masih mencintai sendirian.” Farrel tersenyum getir sembari menunduk. Paling tidak, hatinya merasa lega karena sudah mengungkapkan perasaan yang sebenarnya.
“Kita nggak pernah tau apa yang akan terjadi dalam hidup ini ke depannya. Aku juga gak tau, apa hatiku bakal sembuh atau tidak. Yang jelas, aku bahagia dan merasa berunt
“Apa maksud kamu? Jangan katakan kalau kamu nggak tau apa-apa tentang kejadian semalam. Bullshit!!” Dinara kembali berbalik badan dan hendak melangkah. “Din, please! Kasih kesempatan buat aku jelasin semuanya. Kita harus bicara!” Theo tak menyerah dan menggenggam lengan Dinara. Beruntung Yandra dan Farrel sedang tidak ada di rumah itu. Kalau saja ada, mungkin dia tak akan membiarkan Dinara bertemu begitu saja dengan Theo. “Oke. Waktu kita tidak banyak.” Dinara menghentakkan tangan Theo kemudian melipat tangannya di dada. Bahkan ia tak menawarkan duduk pada pria itu dan membiarkan mereka bicara di depan teras rumah saja. “Percaya sama aku, Dinara. Soal obat dalam minuman itu, aku memang tidak tahu apa-apa. Aku berniat membawa kamu pulang, tapi ... aku nggak tega lihat kamu meracau seperti itu.” Theo menjelaskan. Memasang ekspresi seolah dia tidak melakukan kesalahan apa-apa. Dinara menyeringai kecil. “Bukan nggak tega. Kamu hanya memanfaatkan situasi!” ketusnya. “Aku serius, Dinar
“Din, aku bakal buktiin sama kamu, kalau aku nggak bersalah. Kamu harus tepati janjimu buat selalu mencintai aku!” Theo menatap lurus ke arah Dinara yang malah membuang muka.Theo langsung melangkah pergi meninggalkan rumah itu. Hatinya yang terdalam tak dapat dibohongi kalau ia memang sungguhan mencintai Dinara, hanya saja silaunya harta dan kekayaan terkadang membuat mata hatinya tertutup. Terlebih ia pun selalu dihasut oleh sang ayah.“Kenapa lelaki itu berani datang menemuimu di sini? Atau jangan-jangan memang ini rencana kamu kembali ke Jakarta, untuk bertemu sama dia?” Yandra terlihat sangat marah pada Dinara.“Dia datang sendiri. Aku nggak nyuruh dia atau pun berniat bertemu sama dia!” Dinara langsung berbalik badan dan menuju ruang tamu.“Papa sudah tau apa yang terjadi dengan kalian tadi malam. Andaikan bukan Farrel yang menjelaskan semuanya, mungkin papa bisa langsung mati saat ini juga.” Yandra du
Dinara mengangguk dan bertanya. “Kamu masih suka suasana pegunungan, Kak?”“Nggak terlalu. Malah lebih suka pantai. Karena ada kamu aja, jadi suasananya semakin enak.” Farrel tersenyum lebar.Sementara Dinara langsung menaikkan kedua alisnya. “Dih, gombalan bapak-bapak banget.”Farrel tergelak mendengarnya. “Emangnya gombalan anak muda gimana, hem?”Dinara malah mencebikkan bibir sembari menahan tawa. Baginya Farrel sangat tidak jelas, meskipun tujuan suaminya hanya ini ingin menggoda dan berdua-duaan dengannya. Tetapi Dinara mencoba bersikap biasa saja. Walaupun dalam dadanya merasa berdesir dengan degup jantung yang cepat, selalu teringat kepingan ingatan kejadian tadi malam.“Kok melamun sih, Din?” tegur Farrel, saat melihat Dinara malah terdiam dengan tatapan kosong.Dinara menghela napas panjang. Lalu menggeleng pelan dan tersenyum hampa. Farrel menatap dalam istrinya yang mend
Di lain tempat, setelah selesai makan, Farrel dan Dinara kembali melanjutkan perjalanan pulang ke Bandung. Mereka sempat mampir ke minimarket untuk membeli beberapa obat-obatan ringan. Dinara pun sudah tampak lebih baik setelah makan dan meminum obat pereda mual dan kembung di perut.“Gimana? Udah enakan perutnya?” tanya Farrel di sela-sela perjalanan.Dinara mengangguk. “Udah. Better dari sebelumnya.”“Lain kali jangan sampe telat makan ya. Nanti kalau kita udah sampai rumah, aku minta Ibuku buat bikinin kamu teh rempah madu, konon bagus tuh buat penderita asam lambung kayak kamu,” ujar Farrel.Dinara menaikkan kedua alisnya, seraya berkomentar, “Masa sih? Baru dengar aku.”“Ya kalau bicara soal benar atau nggak secara umum sih ya nggak tau juga. Penelitian secara ilmiahnya pun belum ada. Tapi ini kan pengobatan tradisional, dipercaya sejak turun temurun. Selama aku nyobain sih oke oke
Yandra sendiri sangat percaya pada Farrel. Dia bisa menghidupi Dinara dengan baik. Karena pria itu pun bukan orang yang miskin harta ataupun ilmu. Karena salah satu tujuan pernikahan mereka, bukan hanya soal kekayaan. Tetapi semata-mata untuk menunjukkan arti kebahagiaan dalam hidup yang dibalut kesederhanaan.Farrel menarik napas panjang. Kemudian menjelaskan sesuatu. “Aku nggak tega ninggalin Ibu dan Renata. Setelah ayah meninggal, akulah satu-satunya lelaki di rumah ini, bisa dikatakan menggantikan sosok ayah. Mereka tidak lemah, mereka cukup mandiri. Hanya saja, aku tidak ingin meninggalkan mereka.Kamu jangan khawatir, keluargaku tidak seburuk yang kamu kira. Di luar sana memang banyak mertua dan ipar yang jahat dan suami yang tidak adil. Kamu tau semua itu karena apa?”Dinara menggeleng.“Semua perselisihan itu terjadi karena masalah ekonomi yang terbatas. Orang tua suami tidak punya pekerjaan dan hanya mengandalkan gaji sang anak
“Nggak ada yang aneh-aneh dong pasti?” Renata kembali bertanya. Mereka tak memberi ruang untuk Farrel menjelaskan.Farrel menarik napas dalam-dalam. Berusaha untuk bijak dalam menjelaskan situasi.“Nggak ada yang aneh, kok. Intinya semua udah clear. Apa pun yang terjadi kemarin, adalah masa lalu untuk Dinara. Sekarang, jangan ada yang bahas tentang itu lagi ya. Bantu Dinara untuk kembali menata dengan baik kehidupan barunya. Sikapnya yang kemarin, mohon dimaafkan. Bagaimanapun pernikahan ini bukan atas kehendaknya, jadi dia masih butuh waktu untuk bisa menerima keadaan.”Emma dan Renata saling pandang. Mereka terdiam seribu bahasa. Emma percaya pada Farrel yang sudah sangat dewasa dan selalu bijak menyikapi masalah. Renata pun mengerti dengan baik tanpa harus dijelaskan panjang lebar.Pasti sebelumnya sudah terjadi sesuatu antara Dinara dan masa lalunya, tetapi Farrel berhasil membawa Dinara kembali ke rumah itu dengan selamat.
“Kenapa tiba-tiba kebakaran? selama ini SOP keamanan sepertinya selalu terkendali.” Farrel mengatur napas. Berusaha tetap tenang. Ia pun berpikir, masalah seperti ini tidak mungkin tidak terjadi. Pasti ada saja kendala dalam sebuah usaha.Ia mengurungkan niat untuk mandi, lalu gegas meraih kunci mobil dan beranjak dari kamarnya. Dinara dan Emma yang sedang duduk di ruang makan sempat melihat Farrel keluar kamar dalam keadaan terburu-buru. Malah ia tak sempat berpamitan.“Loh, suamimu nggak makan, Din? Buru-buru banget dia?” Emma menatap heran.Dinara pun tidak tahu ada urusan apa sampai Farrel pergi mendadak bahkan dari ekspresi wajahnya pun tampak cemas.“Aku nggak tau, Bu. Tadi sih katanya mau mandi,” ujar Dinara.“Coba samperin. Tanya dia mau ke mana malam-malam begini?” titah Emma.Dinara pun berdiri dan menggeser kursi. Dengan langkah ragu, ia berjalan cepat menghampiri Farrel yang sudah a
Dinara bisa merasakan sendiri, bahwa pernikahan ini sejak awal tidak menyiksanya. Justru kehadiran Farrel seperti malaikat pelindung dalam hidupnya.Emma sempat tak enak hati. Karena akhirnya ia mengatakan hal tersebut. Akan tetapi menurutnya ini sudah waktu yang sangat tepat untuk mengatakan semuanya pada Dinara. Toh, gadis itu pun sudah menjadi menantunya sekarang.Dinara semakin tercekat. Bahkan berkelabatan dalam ingatan masa-masa ia dan Farrel kecil dulu. Lelaki itu sangat baik, perhatian dan hangat padanya.“Dulu, Farrel merasa seluruh perasaan itu sebatas persaudaraan kakak dan adik, tetapi semakin dewasa perasaannya itu tumbuh menjadi yang lebih dalam dari sekedar persaudaraan. Dia pria yang tulus dalam mencintai, Din. Percayalah. Peganglah kata-kata Ibu.” Emma tersenyum sembari mengusap jemari Dinara yang mendadak terasa dingin.Dinara tersenyum kaku. Berkali-kali ia menelan ludah. Mencari alasan mengapa Farrel begitu yakin padanya, menerimanya dengan segenap kekurangan yang