Yandra sendiri sangat percaya pada Farrel. Dia bisa menghidupi Dinara dengan baik. Karena pria itu pun bukan orang yang miskin harta ataupun ilmu. Karena salah satu tujuan pernikahan mereka, bukan hanya soal kekayaan. Tetapi semata-mata untuk menunjukkan arti kebahagiaan dalam hidup yang dibalut kesederhanaan.
Farrel menarik napas panjang. Kemudian menjelaskan sesuatu. “Aku nggak tega ninggalin Ibu dan Renata. Setelah ayah meninggal, akulah satu-satunya lelaki di rumah ini, bisa dikatakan menggantikan sosok ayah. Mereka tidak lemah, mereka cukup mandiri. Hanya saja, aku tidak ingin meninggalkan mereka.
Kamu jangan khawatir, keluargaku tidak seburuk yang kamu kira. Di luar sana memang banyak mertua dan ipar yang jahat dan suami yang tidak adil. Kamu tau semua itu karena apa?”
Dinara menggeleng.
“Semua perselisihan itu terjadi karena masalah ekonomi yang terbatas. Orang tua suami tidak punya pekerjaan dan hanya mengandalkan gaji sang anak
“Nggak ada yang aneh-aneh dong pasti?” Renata kembali bertanya. Mereka tak memberi ruang untuk Farrel menjelaskan.Farrel menarik napas dalam-dalam. Berusaha untuk bijak dalam menjelaskan situasi.“Nggak ada yang aneh, kok. Intinya semua udah clear. Apa pun yang terjadi kemarin, adalah masa lalu untuk Dinara. Sekarang, jangan ada yang bahas tentang itu lagi ya. Bantu Dinara untuk kembali menata dengan baik kehidupan barunya. Sikapnya yang kemarin, mohon dimaafkan. Bagaimanapun pernikahan ini bukan atas kehendaknya, jadi dia masih butuh waktu untuk bisa menerima keadaan.”Emma dan Renata saling pandang. Mereka terdiam seribu bahasa. Emma percaya pada Farrel yang sudah sangat dewasa dan selalu bijak menyikapi masalah. Renata pun mengerti dengan baik tanpa harus dijelaskan panjang lebar.Pasti sebelumnya sudah terjadi sesuatu antara Dinara dan masa lalunya, tetapi Farrel berhasil membawa Dinara kembali ke rumah itu dengan selamat.
“Kenapa tiba-tiba kebakaran? selama ini SOP keamanan sepertinya selalu terkendali.” Farrel mengatur napas. Berusaha tetap tenang. Ia pun berpikir, masalah seperti ini tidak mungkin tidak terjadi. Pasti ada saja kendala dalam sebuah usaha.Ia mengurungkan niat untuk mandi, lalu gegas meraih kunci mobil dan beranjak dari kamarnya. Dinara dan Emma yang sedang duduk di ruang makan sempat melihat Farrel keluar kamar dalam keadaan terburu-buru. Malah ia tak sempat berpamitan.“Loh, suamimu nggak makan, Din? Buru-buru banget dia?” Emma menatap heran.Dinara pun tidak tahu ada urusan apa sampai Farrel pergi mendadak bahkan dari ekspresi wajahnya pun tampak cemas.“Aku nggak tau, Bu. Tadi sih katanya mau mandi,” ujar Dinara.“Coba samperin. Tanya dia mau ke mana malam-malam begini?” titah Emma.Dinara pun berdiri dan menggeser kursi. Dengan langkah ragu, ia berjalan cepat menghampiri Farrel yang sudah a
Dinara bisa merasakan sendiri, bahwa pernikahan ini sejak awal tidak menyiksanya. Justru kehadiran Farrel seperti malaikat pelindung dalam hidupnya.Emma sempat tak enak hati. Karena akhirnya ia mengatakan hal tersebut. Akan tetapi menurutnya ini sudah waktu yang sangat tepat untuk mengatakan semuanya pada Dinara. Toh, gadis itu pun sudah menjadi menantunya sekarang.Dinara semakin tercekat. Bahkan berkelabatan dalam ingatan masa-masa ia dan Farrel kecil dulu. Lelaki itu sangat baik, perhatian dan hangat padanya.“Dulu, Farrel merasa seluruh perasaan itu sebatas persaudaraan kakak dan adik, tetapi semakin dewasa perasaannya itu tumbuh menjadi yang lebih dalam dari sekedar persaudaraan. Dia pria yang tulus dalam mencintai, Din. Percayalah. Peganglah kata-kata Ibu.” Emma tersenyum sembari mengusap jemari Dinara yang mendadak terasa dingin.Dinara tersenyum kaku. Berkali-kali ia menelan ludah. Mencari alasan mengapa Farrel begitu yakin padanya, menerimanya dengan segenap kekurangan yang
“Tidak apa-apa. Yang terpenting kalian semua selamat.” Farrel menghela napas dan berusaha menenangkan hatinya. Ia tak mungkin marah dalam situasi seperti ini. Dia tipikal pria yang langsung mencari solusi, memastikan keadaan, daripada harus bersitegang mencari sesuatu yang bisa disalahkan.“Dari mana sumber apinya?” tanya Farrel, setelah setengah jam kemudian api berhasil dipadamkan. Dan keadaan sudah tampak lebih baik.“Belum diketahui pasti, Pak. Tapi menurut petugas pemadam, mereka menemukan sebuah korek gas di dekat penyimpanan bahan-bahan baku yang mudah terbakar. Diduga api bersumber dari sana,” papar Hadi yang menjadi penanggung jawab toko itu.“Dan ada satu pengunjung yang sejak awal kami curigai, Pak.” Sambung Hadi. Membuat Farrel menautkan kedua alis.“Kalau ada pengunjung yang kalian curigai, apakah sudah di cek CCTV?” tanya Farrel serius.Hadi menggeleng. Mereka terlalu panik dan sibuk menyelamatkan diri dan barang-barang, sehingga tidak sempat untuk melihat rekaman CCTV.
“Kak Farrel kecelakaan, Bu. Sekarang udah di RS.” Tanpa ragu Renata langsung mengatakan hal yang sebenarnya.Seketika Emma memegangi dada. Dia terkejut sekali. Firasatnya begitu tajam, mengira ada yang tidak beres malam ini. Ternyata benar, putranya tengah terluka.“Ya Tuhan, Farrel ... kok bisa?” Emma nyaris ambruk, tetapi dengan cepat Renata dan Dinara menahan tubuh wanita paruh baya itu.“Bu, kuat ya. Kak Farrel lagi butuh kita nih. Tenang aja, katanya keadaan dia nggak parah kok.” Renata mencoba menenangkan ibunya.Sementara Dinara tak bisa berkomentar apa-apa karena sesungguhnya ia pun merasa sangat syok sekali.“Parah nggak parah sama aja. Kakakmu celaka.” Emma memekik sedih. Ia pun langsung menangis karena sangat khawatir.“Bu. Sabar ya. Mendingan sekarang kita langsung berangkat aja ke RS.” Dinara buka suara. Usulnya memang sangat tepat.Daripada sedih-sedihan dan meraung, lebih baik langsung bergegas saja menemui Farrel. Memastikan bagaimana keadaannya.Mereka langsung berang
“Kenapa kamu sangat yakin kalau ada hubungannya sama orang itu?” tanya Farrel yang terlihat santai.“Siapa lagi emangnya? katanya kamu itu hidupnya penuh kedamaian. Tapi lihat nih setelah nikah sama aku? baru 3 hari nikah kamu hampir kehilangan toko sama tangan kamu!” tegas Dinara.Farrel tersenyum simpul. Dalam hati ia memang sudah menduga akan hal ini. Hanya saja, ia masih harus terus menyelidiki kebenarannya. Terlebih pesan ancaman dari nomor tak dikenal itu. Sebelumnya ia sudah mencocokkan nomor itu dengan nomor Theo yang sudah diblokir oleh Dinara, dan ternyata itu memang nomor kontak Theo.“Menurutmu andaikan dia pelakunya, apa yang akan kamu perbuat?” Pertanyaan Farrel membuat Dinara jengah sendiri.“Kenapa kamu tanya begitu?”“Ya, bagaimanapun kan dia itu bagian dari masa lalumu.” Farrel berujar datar.Dinara menoleh dan semakin tidak enak hati. “Maaf. Gara-gara aku hidup kamu jadi kacau!”“Bukan itu yang mau aku dengar, Din. Jawablah pertanyaan pertamaku!” seru Farrel.Suasan
“Apaan sih, Kak. Istirahat sana!” balas Dinara tanpa menoleh pada suaminya. Ia langsung bergegas menuju kamar mandi.“Dinara.” Farrel memanggil. Ia pun berdiri dan masuk ke dalam kamar seraya menutup pintu balkon.Farrel berjalan perlahan ke arah Dinara yang menoleh padanya.“Ada apa?” Dinara menatap mata suaminya yang mendadak terlihat sendu.“Aku masih mau ngobrol sama kamu. Bisa kamu temani aku lagi?” Farrel tersenyum dengan tangan kanannya meraih jemari Dinara.Dinara termangu. Kalau didekat Farrel, hatinya tak pernah tidak berdesir manja dan menggeliyat mengharapkan sesuatu. Sikap cueknya semata-mata hanya ingin menghindari sebuah rasa yang kian hari malah terus bertambah untuk pria mempesona yang telah menjadi suaminya itu.Farrel menarik perlahan tangan Dinara agar ia duduk di sebelahnya. Dari sikap Dinara, tampak tak ada penolakan. Mereka duduk bersama di tepi ranjang. Mereka saling pan
“Darimana kamu tau soal putriku mabuk, hem? dari anakmu yang manja itu? kalian itu bodoh sekali sebetulnya. Mau menjebak kok dikandang musuh!” balas Yandra.Marva menelan ludah. Persoalan Dinara yang mabuk dan nyaris ditiduri oleh Theo harusnya ia tidak banyak tau soal itu. Inilah kelemahan Marva, mudah sekali ceplas-ceplos dengan asal.“Mau niat memviralkan kalau anakku sudah tidur bersama pria lain sementara dia sudah punya suami begitu? lalu orang-orang akan memandang rendah keluarga dan perusahaanku begitu kan?” sambung Yandra.Marva masih terdiam dengan dada yang memanas. Soal itu dia tak bisa berkomentar lagi karena memang itu adalah salah satu rencananya yang gagal.“Tapi ujungnya malah kalian yang rugi. Sebenarnya kamu ini bisa tidak sih berpikir sedikit liar untuk menjatuhkan lawan? dengan cara elegan gitu loh, bukan dengan cara murahan seperti itu!” Yandra terus berujar dengan sombong.Marva semakin geram. Merasa dipermalukan. Salah sendiri, memancing keributan menyinggung s
Renata dan Emma terkikik melihat ekspresi Dinara yang tampak malu-malu.“Cemburu itu wajar loh. Katanya kalau cemburu itu tanda sayang!” kata Emma dengan senyuman lembut.Dinara sendiri hanya bisa tersenyum, karena tujuan utamanya adalah untuk mencaritahu siapa seseorang dibalik kejadian yang menimpanya malam itu. Entahlah, kalau melibatkan keluarga pastinya akan seperti ini. Pikiran mereka melayang jauh. Tapi biarlah.“Ren, langsung berangkat yuk. Aku udah hampir telat nih!” Dinara langsung berdiri dan memilih untuk bergegas.Renata pun mengangguk dan setelah berpamitan, mereka langsung menuju teras. Renata dan Dinara memilih untuk naik motor berboncengan agar lebih cepat sampai ke kampus sekaligus menghindari kemacetan.Kali ini Dinara yang membawa motor berjenis matic itu. Renata sangat terkejut ketika pertama kali di bonceng oleh Dinara yang mengendarai dengan kecepatan tinggi sekaligus tak segan salip-menyalip.&
Dinara merasa serba salah, di bagian hatinya yang lain ia seperti bisa merasakan kalau Theo tidak sepenuhnya bersalah, tapi di sisi lain, bukti kejahatan Theo sudah sangat jelas terlihat.“Aku gak tau apa mauku. Andaikan aku mau sesuatu, tentu saja aku tidak akan pernah mendapatkannya lagi.” Entah mengapa Dinara mendadak jadi melankolis. Matanya mulai pun berembun.“Aku tau kamu masih sangat mencintainya, Dinara. Aku hanya orang ketiga yang hadir di antara kalian. Aku yang harusnya minta maaf, karena sampai aku berada di ambang kematian pun, nyatanya perasaanmu tetap miliknya!” Farrel pun menjadi sangat perasa saat ini.Mungkin ada kalanya ia merasa lelah karena memperjuangkan cintanya itu. Sejauh ini, ia pikir Dinara akan benar-benar melupakan Theo, tapi kenyataannya Dinara masih mendengar baik apa yang dikatakan oleh mantan kekasihnya itu.“Aku gak seperti itu, Kak. Dia gak akan datang lagi. Dia sudah pergi!” tegas Di
Pada malam harinya, Farrel merasa ada yang berbeda dengan istrinya. Harusnya Dinara gegas ke meja makan, karena sedari tadi Emma dan Renata sudah menunggu mereka. Namun, sampai setengah makanan Renata dan Emma hampir habis, Dinara belum juga keluar kamar.“Farrel, ke mana istrimu?” tanya Emma.Farrel yang sedang melahap puding pun hanya menggeleng. “Tadi sih lagi mandi. Nggak tau kalau sekarang.”“Panggilkan gih. Emang gak mau makan malem?” kata Emma.Farrel pun mengangguk dan beranjak dari ruang makan menuju kamarnya. Sementara Renata memperhatikannya dengan tatapan aneh. Tentu saja dia berpikir kalau Farrel dan istrinya tengah bertengkar karena masalah tadi pagi.“Bu, tau nggak?” Renata berbicara pelan-pelan. Sembari menilik ke arah pintu kamar Farrel yang sudah tertutup.“Ada apa?” Emma penasaran.“Itu loh, tadi pagi ada cowok datang ke rumah. Nanyain Kak Dinara,&rdq
Dinara termangu mendengarnya. Melihat cara Theo menyampaikan itu semua, membuat Dinara jadi berpikir. Sejauh ini pria itu terus bersikeras membuktikan bahwa ia tidak bersalah atas kejadian malam itu, dan mungkin saja yang dikatakannya benar.Sementara di tempat lain, Renata rupanya tidak benar-benar bergegas ke sekolah. Ia berputar arah dan memilih untuk memperhatikan dari kejauhan apa yang sebenarnya terjadi dengan pria itu dan kakak iparnya. Perasaannya mendadak tidak enak, tentu saja pikirannya melayang jauh.“Keterlaluan kalau sampai lelaki itu beneran pacarnya Kak Dinara! kalau dulu Kak Dinara berani kabur, artinya gak menutup kemungkinan sekarang juga mereka ada niatan untuk kabur. Duh, semoga aja Kak Farrel cepat datang!” Renata bersembunyi di balik tembok rumah tetangga dan terus mengawasi.Sebelumnya, gadis itu pun sudah menghubungi Farrel, dan memberitahukan kalau ada seorang lelaki yang mengaku kekasihnya Dinara datang ke rumah mereka. Ten
Theo langsung terdiam dengan mata yang melotot.“Apa? jadi anak ingusan ini adiknya si Farrel?” gumam Theo masih tak percaya. Berarti semua sesuai dugaan awalnya, kalau gadis berseragam SMA ini adalah adiknya Farrel.Renata masih menatap tajam ke arah Theo yang malah bergeming. Mungkin masih syok dan merasa bersalah karena main tuduh begitu saja. Sudah salah, berani ngotot pula.“Kenapa diem?” gertak Renata.Theo mengerjapkan mata. “Siapa yang diem.”“Idih, dasar orang nggak jelas. Emang situ siapa sih muncul terus di depan saya?” Renata masih tak kalah geram.Theo jadi bingung harus berkata apa. Faktanya gadis yang menantangnya ini ternyata pemilik rumah itu juga. Dia jadi mati kutu.“Lah, malah bengong! situ cari siapa sih?” tanya Renata tak sabaran.“Lo seriusan adiknya si kacung itu?” Tanpa berpikir, Theo langsung bertanya demikian, bahkan tak segan men
Theo masih berdiri menyaksikan perbincangan ayahnya yang sangat mencurigakan itu. Namun, dia tidak terlalu bodoh untuk bisa menyimpulkan apa yang sudah terjadi ini.“Tidak salah lagi. Papa benar-benar ada kaitannya dengan kejadian di klub malam itu. Dan, sepertinya dia tidak bekerja sendiri. Melainkan ada seseorang yang turut terlibat dalam masalah ini.” Theo bergumam dengan mata yang awas.“Sudahlah. Lebih baik kau istirahat saja, Nyonya. Kumpulkan tenagamu untuk rencana besar nanti. Kali ini aku memang tidak akan banyak terlibat, tapi aku akan tetap memantau. Aku yakin, ide yang satu ini pasti akan membuat hubungan Dinara dan Farrel segera berakhir.” Marva terkekeh.“Tapi apa kau tidak takut, kalau Dinara berpisah dengan suaminya, lalu perempuan itu akan kembali pada putramu?” tanya wanita itu di seberang panggilan.Marva tergelak. “Tidak akan terjadi. Theo akan segera berangkat ke New York. Dia akan bahagia di
“Sial!” Theo bergumam dengan bibir yang mengatup rapat.Rasanya sia-sia dia datang ke tempat ini. Tak ada gunanya. Theo tak ingin berdebat lagi, dia langsung pergi melewati kerumunan orang-orang yang menari dan bersorak-sorai menikmati dentuman musik di tempat itu. Hatinya semakin bergemuruh kala teringat peristiwa malam itu bersama Dinara.Theo gegas memasuki mobilnya. Ia menarik napas dalam-dalam dan kembali mengerang kesal.“Sial banget gue. Semua orang yang terlibat atas kejadian malam itu semua udah nggak ada. Ini jelas ada yang aneh. Gue makin curiga dan yakin, kalau malam itu memang ada yang sengaja mau menjebak gue dan Dinara.”“Tapi siapa pelakunya? pasti orang terdekat! Ya, siapa lagi kalau bukan si Farrel itu! emang bangsat dia!” Theo bertanya dan menjawab sendiri. Benaknya semakin penuh akan banyak pernyataan yang belum terpecahkan.“Farrel memang tidak punya kekayaan seperti papa dan papanya Di
Ia memperhatikan lamat-lamat sebuah mobil yang terparkir di bagian depan area. Tepat 100 meter dari mobil Farrel. Ia cukup familiar dengan mobil mewah itu. Mobil yang pernah ia lihat di depan gerbang rumah tetangganya, juga di depan toko bunganya.“Itu kan mobilnya lelaki yang waktu itu. Dia kok ada di sini juga?” gumam Renata dalam hatinya.Tak lama kemudian, lelaki yang dimaksud oleh Renata tampak berlari kecil menuju mobil tersebut. Ternyata benar saja dugaan Renata, lelaki itu adalah Theo.Gadis cantik itu menelan ludah dengan mata yang melebar. Benaknya menimbulkan berbagai pertanyaan. Dari penampilan terlihat jelas kalau lelaki itu pasti berkuliah di sini juga.“Dia anak kampus sini. Semester berapa dia? senior kah atau ... dia mahasiswa baru seperti aku?” Renata terdiam dengan benaknya yang sibuk menebak-nebak. Dia jadi teringat moment di mana ia meninju wajah lelaki itu sampai memar dan berdarah.Renata mendadak linu
Keesokan harinya, Yandra dan Indira sudah siap di meja makan. Mata Yandra terpaku pada wajah putrinya yang tak bersemangat di pagi itu. Walau hidangan sarapan telah disajikan dengan segala kelezatannya, tetapi Indira masih terlihat muram.“Gimana tidurnya semalam?” tanya Yandra berbasa-basi.“Biasa aja. Papa gimana?” Indira bertanya balik. Dari nada bicaranya masih terdengar santai dan tampak tenang.Yandra tersenyum dan mengangguk. “Yahh, cukup nyenyak, kok. Papa juga semalam habis mimpi indah.”Indira menaikkan kedua alis tebalnya. “Oh ya? tumben papa mimpi. Biasanya juga jarang banget. Emang mimpi apa, Pa?” kekeh Indira.“Papa mimpi kita berkumpul kembali sama mama kalian. Kita jalan-jalan, tertawa riang, pokoknya bahagia lah. Sampai akhirnya satu per satu di antara kalian pergi. Mamamu, Dinara, dan kamu. Ah, mungkin itu hanya gambaran dari kehidupan nyata saja, kenyataannya mama kalian kan s