“Tidak apa-apa. Yang terpenting kalian semua selamat.” Farrel menghela napas dan berusaha menenangkan hatinya. Ia tak mungkin marah dalam situasi seperti ini. Dia tipikal pria yang langsung mencari solusi, memastikan keadaan, daripada harus bersitegang mencari sesuatu yang bisa disalahkan.“Dari mana sumber apinya?” tanya Farrel, setelah setengah jam kemudian api berhasil dipadamkan. Dan keadaan sudah tampak lebih baik.“Belum diketahui pasti, Pak. Tapi menurut petugas pemadam, mereka menemukan sebuah korek gas di dekat penyimpanan bahan-bahan baku yang mudah terbakar. Diduga api bersumber dari sana,” papar Hadi yang menjadi penanggung jawab toko itu.“Dan ada satu pengunjung yang sejak awal kami curigai, Pak.” Sambung Hadi. Membuat Farrel menautkan kedua alis.“Kalau ada pengunjung yang kalian curigai, apakah sudah di cek CCTV?” tanya Farrel serius.Hadi menggeleng. Mereka terlalu panik dan sibuk menyelamatkan diri dan barang-barang, sehingga tidak sempat untuk melihat rekaman CCTV.
“Kak Farrel kecelakaan, Bu. Sekarang udah di RS.” Tanpa ragu Renata langsung mengatakan hal yang sebenarnya.Seketika Emma memegangi dada. Dia terkejut sekali. Firasatnya begitu tajam, mengira ada yang tidak beres malam ini. Ternyata benar, putranya tengah terluka.“Ya Tuhan, Farrel ... kok bisa?” Emma nyaris ambruk, tetapi dengan cepat Renata dan Dinara menahan tubuh wanita paruh baya itu.“Bu, kuat ya. Kak Farrel lagi butuh kita nih. Tenang aja, katanya keadaan dia nggak parah kok.” Renata mencoba menenangkan ibunya.Sementara Dinara tak bisa berkomentar apa-apa karena sesungguhnya ia pun merasa sangat syok sekali.“Parah nggak parah sama aja. Kakakmu celaka.” Emma memekik sedih. Ia pun langsung menangis karena sangat khawatir.“Bu. Sabar ya. Mendingan sekarang kita langsung berangkat aja ke RS.” Dinara buka suara. Usulnya memang sangat tepat.Daripada sedih-sedihan dan meraung, lebih baik langsung bergegas saja menemui Farrel. Memastikan bagaimana keadaannya.Mereka langsung berang
“Kenapa kamu sangat yakin kalau ada hubungannya sama orang itu?” tanya Farrel yang terlihat santai.“Siapa lagi emangnya? katanya kamu itu hidupnya penuh kedamaian. Tapi lihat nih setelah nikah sama aku? baru 3 hari nikah kamu hampir kehilangan toko sama tangan kamu!” tegas Dinara.Farrel tersenyum simpul. Dalam hati ia memang sudah menduga akan hal ini. Hanya saja, ia masih harus terus menyelidiki kebenarannya. Terlebih pesan ancaman dari nomor tak dikenal itu. Sebelumnya ia sudah mencocokkan nomor itu dengan nomor Theo yang sudah diblokir oleh Dinara, dan ternyata itu memang nomor kontak Theo.“Menurutmu andaikan dia pelakunya, apa yang akan kamu perbuat?” Pertanyaan Farrel membuat Dinara jengah sendiri.“Kenapa kamu tanya begitu?”“Ya, bagaimanapun kan dia itu bagian dari masa lalumu.” Farrel berujar datar.Dinara menoleh dan semakin tidak enak hati. “Maaf. Gara-gara aku hidup kamu jadi kacau!”“Bukan itu yang mau aku dengar, Din. Jawablah pertanyaan pertamaku!” seru Farrel.Suasan
“Apaan sih, Kak. Istirahat sana!” balas Dinara tanpa menoleh pada suaminya. Ia langsung bergegas menuju kamar mandi.“Dinara.” Farrel memanggil. Ia pun berdiri dan masuk ke dalam kamar seraya menutup pintu balkon.Farrel berjalan perlahan ke arah Dinara yang menoleh padanya.“Ada apa?” Dinara menatap mata suaminya yang mendadak terlihat sendu.“Aku masih mau ngobrol sama kamu. Bisa kamu temani aku lagi?” Farrel tersenyum dengan tangan kanannya meraih jemari Dinara.Dinara termangu. Kalau didekat Farrel, hatinya tak pernah tidak berdesir manja dan menggeliyat mengharapkan sesuatu. Sikap cueknya semata-mata hanya ingin menghindari sebuah rasa yang kian hari malah terus bertambah untuk pria mempesona yang telah menjadi suaminya itu.Farrel menarik perlahan tangan Dinara agar ia duduk di sebelahnya. Dari sikap Dinara, tampak tak ada penolakan. Mereka duduk bersama di tepi ranjang. Mereka saling pan
“Darimana kamu tau soal putriku mabuk, hem? dari anakmu yang manja itu? kalian itu bodoh sekali sebetulnya. Mau menjebak kok dikandang musuh!” balas Yandra.Marva menelan ludah. Persoalan Dinara yang mabuk dan nyaris ditiduri oleh Theo harusnya ia tidak banyak tau soal itu. Inilah kelemahan Marva, mudah sekali ceplas-ceplos dengan asal.“Mau niat memviralkan kalau anakku sudah tidur bersama pria lain sementara dia sudah punya suami begitu? lalu orang-orang akan memandang rendah keluarga dan perusahaanku begitu kan?” sambung Yandra.Marva masih terdiam dengan dada yang memanas. Soal itu dia tak bisa berkomentar lagi karena memang itu adalah salah satu rencananya yang gagal.“Tapi ujungnya malah kalian yang rugi. Sebenarnya kamu ini bisa tidak sih berpikir sedikit liar untuk menjatuhkan lawan? dengan cara elegan gitu loh, bukan dengan cara murahan seperti itu!” Yandra terus berujar dengan sombong.Marva semakin geram. Merasa dipermalukan. Salah sendiri, memancing keributan menyinggung s
“Apa aku harus percaya sama Papa?” Theo menatap datar.“Terserah. Kamu kan sudah dewasa. Cari tau saja sendiri.” Marva hanya mendelik. “Tapi sebetulnya itu hanya buang-buang waktu saja. Lebih baik kamu nggak usah kejar-kejar Dinara lagi. Dia itu udah nggak cinta sama kamu.”Theo jengah mendengarnya. Meskipun menganggap semua ucapan sang ayah itu adalah omong kosong, tetapi untuk yang satu ini entah mengapa hatinya merasa sakit.Theo merasa tidak mungkin secepat itu Dinara berpindah ke lain hati.“Itu nggak mungkin!” gumam Theo yang masih terdengar oleh ayahnya.“Tidak mungkin bagaimana? Buka mata kamu! Dinara pasti sudah muak dengan kelakuan tengil kamu ini. Apalagi kamu hampir saja membuat dia kehilangan suaminya.” Marva kembali geram dengan sikap Theo.Lelaki tampan itu tak bisa banyak bicara.“Terus gimana sama kasus ini, Pa? Aku ... ngaku salah. Tapi aku nggak mau dipenjara!” kata Theo yang gelisah.“Papa juga tidak mau kamu seperti itu. Yang ada reputasi papa juga akan hancur gar
“Papa ngomong apa sih?” bisik Theo dengan penuh keterkejutan.Yandra dan Farrel saling melirik singkat. Di sudut bibir Yandra menyunggingkan sebuah seringaian kecil. Farrel pun menghela napas dan tersenyum tipis.“Pa, jawab!” Theo mulai terpancing emosi.“Diam kamu. Ikuti saja alurnya!” tekan Marva. Theo mendengus kesal. Tak habis pikir dengan cara main ayahnya.“Apa kami tidak salah dengar?” kata Yandra meyakinkan.Marva meminta pengacaranya memberikan surat pernyataan mengenai ucapannya tadi. Ternyata semuanya sudah tertulis dengan jelas. Theo pun semakin kesal, karena dia tidak diberi tahu soal itu.Farrel dan Yandra pun membaca dengan jelas. Mereka menyetujui hal itu. Yandra sendiri hampir tak percaya, kalau Marva secepat ini mengaku kalah. Tapi dia merasa lega, akhirnya lawan bisnisnya bisa mundur perlahan. Hanya saja mungkin dia harus tetap berhati-hati.“Baiklah. Saya terima maaf dari kalian,” ucap Farrel setelah mempertimbangkan matang-matang.Theo langsung berdiri dan beranja
Dinara jadi tersenyum kikuk. “Sebenernya ini kan kado dari Renata. Aku kira ini dress biasa, eh taunya gaun tidur. Kayak kekurangan bahan nggak sih? hehe.”Dinara menarik-narik bagian bawah gaunnya karena merasa sangat pendek. Ini pertama kalinya dia menggunakan baju seperti ini. Rasanya seperti sedang telanjang bulat.Farrel tersenyum-senyum, karena bagian intinya mendadak meronta-ronta menginginkan sesuatu.‘Adikku yang satu itu sangat pintar rupanya. Tau saja hadiah yang pas untuk pengantin baru.’ Farrel bergumam dalam hati. Karena merasa Renata sudah membantunya memuluskan perjalanan indah ini.“Kamu ... mau langsung mandi kan?” Dinara memberikan handuk pada Farrel yang sudah bertelanjang dada. Melihat tatapan suaminya, ia jadi takut sendiri.“Kamu mandi nggak ngajak-ngajak sih.” Farrel berujar lembut dengan ekspresi wajah yang erotis.Dinara tersenyum geli. “Emang harus banget ya man