“Papa ngomong apa sih?” bisik Theo dengan penuh keterkejutan.Yandra dan Farrel saling melirik singkat. Di sudut bibir Yandra menyunggingkan sebuah seringaian kecil. Farrel pun menghela napas dan tersenyum tipis.“Pa, jawab!” Theo mulai terpancing emosi.“Diam kamu. Ikuti saja alurnya!” tekan Marva. Theo mendengus kesal. Tak habis pikir dengan cara main ayahnya.“Apa kami tidak salah dengar?” kata Yandra meyakinkan.Marva meminta pengacaranya memberikan surat pernyataan mengenai ucapannya tadi. Ternyata semuanya sudah tertulis dengan jelas. Theo pun semakin kesal, karena dia tidak diberi tahu soal itu.Farrel dan Yandra pun membaca dengan jelas. Mereka menyetujui hal itu. Yandra sendiri hampir tak percaya, kalau Marva secepat ini mengaku kalah. Tapi dia merasa lega, akhirnya lawan bisnisnya bisa mundur perlahan. Hanya saja mungkin dia harus tetap berhati-hati.“Baiklah. Saya terima maaf dari kalian,” ucap Farrel setelah mempertimbangkan matang-matang.Theo langsung berdiri dan beranja
Dinara jadi tersenyum kikuk. “Sebenernya ini kan kado dari Renata. Aku kira ini dress biasa, eh taunya gaun tidur. Kayak kekurangan bahan nggak sih? hehe.”Dinara menarik-narik bagian bawah gaunnya karena merasa sangat pendek. Ini pertama kalinya dia menggunakan baju seperti ini. Rasanya seperti sedang telanjang bulat.Farrel tersenyum-senyum, karena bagian intinya mendadak meronta-ronta menginginkan sesuatu.‘Adikku yang satu itu sangat pintar rupanya. Tau saja hadiah yang pas untuk pengantin baru.’ Farrel bergumam dalam hati. Karena merasa Renata sudah membantunya memuluskan perjalanan indah ini.“Kamu ... mau langsung mandi kan?” Dinara memberikan handuk pada Farrel yang sudah bertelanjang dada. Melihat tatapan suaminya, ia jadi takut sendiri.“Kamu mandi nggak ngajak-ngajak sih.” Farrel berujar lembut dengan ekspresi wajah yang erotis.Dinara tersenyum geli. “Emang harus banget ya man
“Ishh, kamu bikin aku kaget aja sih.” Dinara terperanjat saat Farrel tiba-tiba mendekapnya dari belakang. Ia langsung berbalik badan, dan merasakan ada tonjolan hangat dari bagian bawah.“Mau mandi bareng. Boleh kan?” goda Farrel dengan tatapan sensual. Dinara menelan ludah saat melihat area kebanggaan suaminya kembali menegang sempurna.Dinara hanya menatap dan tersenyum malu. Mereka berdiri di bawah kucuran air shower. Saling menatap dan perlahan kembali menautkan bibir. Farrel melingkarkan tangan kanannya di pinggang Dinara, sementara kedua tangan Dinara melingkar di tengkuk suaminya.Bahkan Farrel membiarkan gips di tangannya terkena air. Karena memang jenis gips yang ia gunakan adalah yang berbahan anti air.Saat itu, mereka pun kembali melakukan aktivitas panas dan saling bertukar cairan kembali. Rasa nikmatnya seolah tak akan pernah habis dan selalu ingin melakukannya lagi dan lagi.Setelah cukup lama mereka sama-sama
Semenjak menikah, Dinara semakin giat berkuliah dan lebih serius menyelesaikan skripsinya. Karena Farrel pun turut membantu dan sangat mendukungnya, tak jarang ia selalu di antar jemput oleh suaminya itu.Begitu juga dengan progres penyembuhan Farrel. Dinara selalu mengantarnya untuk melakukan terapi dan kontrol ke rumah sakit. Setelah apa yang terjadi, rasa iba dan cinta terasa tipis perbedaannya di hati Dinara. Yang jelas, dia tidak pernah merasa keberatan dan selalu ada untuk suaminya itu.Di bagian hati Dinara seringkali berkata, ‘Pria seperti Farrel memang pantas untuk diperjuangkan.’ Apalagi ketika dia tahu tentang perasaan Farrel padanya, jadi tak perlu diragukan lagi ketulusan cinta dari pria itu.*Di sela-sela perjalanan, Farrel tampak sibuk dengan gadget-nya. Dia sedang berbalas pesan dengan manager toko untuk membahas soal pekerjaan. Terutama mengenai urusan di toko yang kemarin sempat mengalami musibah.Sementara Dinara yan
“Ih, malu ah. Di tempat kayak begini kok ciuman!” keluh Dinara yang mulai merasa gerah jika tengah di goda dan ditatap penuh sensual seperti itu. Ia memilih untuk langsung menyalakan mesin mobil saja.“Loh, kenapa? ini kan di dalam mobil. Nggak akan keliatan juga dari luar. Ayo, mumpung lagi sepi.” Farrel terus merengek. Ia bahkan memasang ekspresi yang jahil.Dinara terdiam beberapa detik. Ia kembali menoleh pada suaminya yang terus menatap dengan dalam dan penuh keinginan. Pesonanya membuat ia tak mungkin menolak apa yang diinginkan oleh sang suami. Jadilah, dengan gerakan cepat, Dinara meraih kedua sisi wajah Farrel lalu menautkan bibir mereka.Farrel tersenyum tipis nyaris tidak terlihat. Ia pun langsung melingkarkan tangan kanannya di tengkuk Dinara agar ciuman mereka semakin dalam dan menuntut.Dinara pun sempat memejamkan mata menikmati penyatuan bibir mereka, sampai kemudian dia kembali membuka mata dan melirik ke arah lain
Theo jadi teringat Dinara pun persis sekali seperti itu. Gadis yang tidak takut apa-apa. Pemberani dan senang menantang. Mungkin lebih tepatnya tak mau disalahkan oleh suatu hal yang bukan kesalahannya.Theo tersenyum sendiri di sela-sela perjalanan. Hatinya masih tidak bisa mengelak bahwa ia masih sangat merindukan Dinara. Meskipun perempuan itu telah mengatakan kalimat perpisahan, tetapi bagi Theo itu bukan sebuah penghalang baginya untuk terus berusaha merebut cintanya lagi.Terlalu sakit dan menyedihkan kalau dia melepaskan begitu saja. Setelah apa yang telah mereka lewati bersama-sama sekian tahun lamanya.*Sesampainya di rumah, Theo bergegas memasuki ruang tamu dan benar saja, di sana ayahnya sudah menunggu sembari melipat kaki di sofa besar. Ekspresi wajahnya terlihat gusar sekali. Theo tadinya malas untuk berbincang, hanya saja ia teringat soal mamanya.“Ada apa, Pa?” tanya Theo tanpa berbasa-basi dan terdengar begitu datar.
Keesokan harinya, Dinara sudah bersiap-siap untuk berangkat ke Jakarta, ke rumah papanya. Semenjak menikah, Dinara jadi lebih mudah untuk bangun pagi dan bersiap untuk melakukan aktivitas apa pun.Benar kata kebanyakan orang, kalau kita berada dalam lingkungan yang baik, maka kita pun akan ikutan menjadi baik juga. Dulu sewaktu di rumah papanya, Dinara lebih banyak sendiri tak ada yang memperdulikan dirinya mau bangun kesiangan atau tidak, sudah dipaksa bangun pun tetap saja ia selalu membantah, karena merasa tak memiliki tanggung jawab pada siapa pun.Akan tetapi setelah menikah ini, Farrel cukup tegas dan disiplin. Jadilah, istrinya pun mau tidak mau harus seperti itu. Apalagi mereka tinggal bersama orang tua.Mau tidak mau Dinara pun terbawa arus yang ada di rumah itu. Walaupun terkadang ia dan Farrel bangun telat karena habis bermain semalaman, setidaknya mereka tidak pernah bangun kesiangan lebih dari jam 7 pagi.“Cantik sekali istriku.” Farrel memuji saat melihat Dinara mengenak
“Emang apa yang buat kamu semangat setiap harinya?” Dinara pura-pura tidak tahu dengan ekspresinya yang sok polos.Farrel mencondongkan tubuhnya agar lebih dekat dengan sang istri. Menatap lebih dalam hingga kedua netra mereka saling terkunci.“Di hadapan aku ini, adalah penyemangatku setiap harinya. Seperti sinar matahari yang menghangatkan suasana pagi,” ujar Farrel membuat hidung Dinara jadi kembang kempis sendiri.“Gombal ih.” Dinara hendak berdiri, tidak tahan lama-lama menatap mata indah suaminya yang selalu berhasil menghipnotisnya.Farrel meraih lengan Dinara lalu menarik lembut hingga sang istri terduduk di atas pahanya. Tubuh Dinara yang kecil tentu saja akan mudah sekali di kuasai oleh Farrel.Dalam hati, Dinara semakin berdebar-debar sekaligus terkagum dengan pesona suaminya. Dengan satu tangan yang sedang terluka saja, Farrel masih sanggup untuk terus menggoda dan merayunya. Terbayang sudah kalau pria itu sudah sembuh total. Maka setiap harinya tidak akan melewati percint