Theo jadi teringat Dinara pun persis sekali seperti itu. Gadis yang tidak takut apa-apa. Pemberani dan senang menantang. Mungkin lebih tepatnya tak mau disalahkan oleh suatu hal yang bukan kesalahannya.
Theo tersenyum sendiri di sela-sela perjalanan. Hatinya masih tidak bisa mengelak bahwa ia masih sangat merindukan Dinara. Meskipun perempuan itu telah mengatakan kalimat perpisahan, tetapi bagi Theo itu bukan sebuah penghalang baginya untuk terus berusaha merebut cintanya lagi.
Terlalu sakit dan menyedihkan kalau dia melepaskan begitu saja. Setelah apa yang telah mereka lewati bersama-sama sekian tahun lamanya.
*
Sesampainya di rumah, Theo bergegas memasuki ruang tamu dan benar saja, di sana ayahnya sudah menunggu sembari melipat kaki di sofa besar. Ekspresi wajahnya terlihat gusar sekali. Theo tadinya malas untuk berbincang, hanya saja ia teringat soal mamanya.
“Ada apa, Pa?” tanya Theo tanpa berbasa-basi dan terdengar begitu datar.
Keesokan harinya, Dinara sudah bersiap-siap untuk berangkat ke Jakarta, ke rumah papanya. Semenjak menikah, Dinara jadi lebih mudah untuk bangun pagi dan bersiap untuk melakukan aktivitas apa pun.Benar kata kebanyakan orang, kalau kita berada dalam lingkungan yang baik, maka kita pun akan ikutan menjadi baik juga. Dulu sewaktu di rumah papanya, Dinara lebih banyak sendiri tak ada yang memperdulikan dirinya mau bangun kesiangan atau tidak, sudah dipaksa bangun pun tetap saja ia selalu membantah, karena merasa tak memiliki tanggung jawab pada siapa pun.Akan tetapi setelah menikah ini, Farrel cukup tegas dan disiplin. Jadilah, istrinya pun mau tidak mau harus seperti itu. Apalagi mereka tinggal bersama orang tua.Mau tidak mau Dinara pun terbawa arus yang ada di rumah itu. Walaupun terkadang ia dan Farrel bangun telat karena habis bermain semalaman, setidaknya mereka tidak pernah bangun kesiangan lebih dari jam 7 pagi.“Cantik sekali istriku.” Farrel memuji saat melihat Dinara mengenak
“Emang apa yang buat kamu semangat setiap harinya?” Dinara pura-pura tidak tahu dengan ekspresinya yang sok polos.Farrel mencondongkan tubuhnya agar lebih dekat dengan sang istri. Menatap lebih dalam hingga kedua netra mereka saling terkunci.“Di hadapan aku ini, adalah penyemangatku setiap harinya. Seperti sinar matahari yang menghangatkan suasana pagi,” ujar Farrel membuat hidung Dinara jadi kembang kempis sendiri.“Gombal ih.” Dinara hendak berdiri, tidak tahan lama-lama menatap mata indah suaminya yang selalu berhasil menghipnotisnya.Farrel meraih lengan Dinara lalu menarik lembut hingga sang istri terduduk di atas pahanya. Tubuh Dinara yang kecil tentu saja akan mudah sekali di kuasai oleh Farrel.Dalam hati, Dinara semakin berdebar-debar sekaligus terkagum dengan pesona suaminya. Dengan satu tangan yang sedang terluka saja, Farrel masih sanggup untuk terus menggoda dan merayunya. Terbayang sudah kalau pria itu sudah sembuh total. Maka setiap harinya tidak akan melewati percint
“Nah, itu mereka.” Yandra tersenyum lebar saat melihat Dinara dan Farrel menuruni anak tangga.Indira melirik singkat dan mengembuskan napas perlahan.Sepasang suami istri itu tampak sangat serasi. Hingga Indira pun beranjak dari tempat duduk lalu bersiul menggoda Dinara dan suaminya.“Kalian ngapain aja sih lama amat siap-siapnya? Emangnya gak bisa agak maleman kalau mau ninaninu?” Indira dengan enteng menceletuk.Dinara dan Farrel saling menoleh dengan ekspresi yang sulit untuk di ungkapkan. Sementara Yandra tampak menahan tawa.Dinara berdeham kecil dan mencoba menjelaskan dengan lugas. “Apaan sih, Kak. Aku tuh tadi kelamaan ganti baju. Maklum, baru pertama kali pake dress beginian.”Indira mencebikkan bibir sembari menyenggol lengan papanya. Mereka tertawa tanpa suara.“Gitu dong dari dulu.” Indira menimpal.“Kamu cantik banget. Sampe pangling papa tuh. Coba aja dari dul
Farrel membuka kotak itu dan benar saja, sebuah kalung berlian yang sangat cantik dan mahal itu kini kembali bertengger di hadapan Dinara.“Waktu itu kamu bertanya ini milik siapa, aku menjawabnya kalau kalung ini adalah milikmu. Ini hadiah dari pernikahan kita. Aku harap kamu bersedia menerimanya.” Farrel menatap dalam dan serius.Dinara terpukau.Kalung itu berkilau di bawah sinar lampu yang benderang. Farrel kemudian berdiri dan berpindah posisi ke arah Dinara. Dia berdiri di belakangnya lalu menyibak lembut rambut sang istri lalu memakaikan kalung tersebut. Meski satu tangan kirinya sedang di gips, dan terapinya berangsur baik, jadi masih bisa digunakan untuk memakaikan kalung.Dinara berdebar-debar dalam hati. Ini kali pertama ia dipakaikan sebuah kalung berlian dari seorang lelaki. Sebenarnya ini hal yang lumrah untuk semua orang, namun bagi Dinara perlakuan seperti ini sangatlah langka sepanjang hidupnya dan rasanya sungguh mendesirkan
Dinara sendiri hanya melihat dari kejauhan saat Farrel mengejar Indira yang tengah merajuk. Sejujurnya ia pun jadi tidak enak hati. Tidak seperti biasanya Indira terlihat sangat marah.“Jangan di ambil hati ucapan kakakmu, Din. Percayalah, kamu yang sekarang ini jauh lebih baik dari yang dulu.” Yandra pindah duduk di sebelah Dinara. Ia dapat melihat ekspresi sedih di wajah putri bungsunya.Dinara menghela napas dan tersenyum tipis. “Harusnya Papa khawatirkan perasaan Kak Indira. Aku sih udah biasa bertengkar sama dia, jadi aku gak mungkin baperan.”Meskipun dalam hati, tetap saja ia merasa sedikit terluka karena di anggap berubah oleh kakaknya sendiri. Namun, biarlah. Mungkin saat ini yang sangat terluka adalah Indira. Siapa pun akan merasakan hal yang sama kalau selalu di sudutkan soal status single-nya. Seolah pernikahan itu sebuah keharusan dan wajib untuk semua orang lakukan.*Indira melangkah cepat menuruni anak tangga dan sesampainya di depan pintu, Farrel berhasil mencekal len
Keesokan harinya, Yandra dan Indira sudah siap di meja makan. Mata Yandra terpaku pada wajah putrinya yang tak bersemangat di pagi itu. Walau hidangan sarapan telah disajikan dengan segala kelezatannya, tetapi Indira masih terlihat muram.“Gimana tidurnya semalam?” tanya Yandra berbasa-basi.“Biasa aja. Papa gimana?” Indira bertanya balik. Dari nada bicaranya masih terdengar santai dan tampak tenang.Yandra tersenyum dan mengangguk. “Yahh, cukup nyenyak, kok. Papa juga semalam habis mimpi indah.”Indira menaikkan kedua alis tebalnya. “Oh ya? tumben papa mimpi. Biasanya juga jarang banget. Emang mimpi apa, Pa?” kekeh Indira.“Papa mimpi kita berkumpul kembali sama mama kalian. Kita jalan-jalan, tertawa riang, pokoknya bahagia lah. Sampai akhirnya satu per satu di antara kalian pergi. Mamamu, Dinara, dan kamu. Ah, mungkin itu hanya gambaran dari kehidupan nyata saja, kenyataannya mama kalian kan s
Ia memperhatikan lamat-lamat sebuah mobil yang terparkir di bagian depan area. Tepat 100 meter dari mobil Farrel. Ia cukup familiar dengan mobil mewah itu. Mobil yang pernah ia lihat di depan gerbang rumah tetangganya, juga di depan toko bunganya.“Itu kan mobilnya lelaki yang waktu itu. Dia kok ada di sini juga?” gumam Renata dalam hatinya.Tak lama kemudian, lelaki yang dimaksud oleh Renata tampak berlari kecil menuju mobil tersebut. Ternyata benar saja dugaan Renata, lelaki itu adalah Theo.Gadis cantik itu menelan ludah dengan mata yang melebar. Benaknya menimbulkan berbagai pertanyaan. Dari penampilan terlihat jelas kalau lelaki itu pasti berkuliah di sini juga.“Dia anak kampus sini. Semester berapa dia? senior kah atau ... dia mahasiswa baru seperti aku?” Renata terdiam dengan benaknya yang sibuk menebak-nebak. Dia jadi teringat moment di mana ia meninju wajah lelaki itu sampai memar dan berdarah.Renata mendadak linu
“Sial!” Theo bergumam dengan bibir yang mengatup rapat.Rasanya sia-sia dia datang ke tempat ini. Tak ada gunanya. Theo tak ingin berdebat lagi, dia langsung pergi melewati kerumunan orang-orang yang menari dan bersorak-sorai menikmati dentuman musik di tempat itu. Hatinya semakin bergemuruh kala teringat peristiwa malam itu bersama Dinara.Theo gegas memasuki mobilnya. Ia menarik napas dalam-dalam dan kembali mengerang kesal.“Sial banget gue. Semua orang yang terlibat atas kejadian malam itu semua udah nggak ada. Ini jelas ada yang aneh. Gue makin curiga dan yakin, kalau malam itu memang ada yang sengaja mau menjebak gue dan Dinara.”“Tapi siapa pelakunya? pasti orang terdekat! Ya, siapa lagi kalau bukan si Farrel itu! emang bangsat dia!” Theo bertanya dan menjawab sendiri. Benaknya semakin penuh akan banyak pernyataan yang belum terpecahkan.“Farrel memang tidak punya kekayaan seperti papa dan papanya Di