Lesung pipi di sebelah kanan itu tercetak, saat sebuah senyum lega tampak di wajah cantik, yang baru beberapa bulan lalu menginjak usia duapuluhlima tahun. Ada beban yang seolah terangkat dari pundaknya, setelah segala kerumitan yang beberapa hari ini mengganggu pikirannya terpecahkan.
‘Din, saya tunggu di depan.’
Adinda Larisa, nama wanita dengan rambut sepunggung itu segera memasukkan ponsel ke dalam tas. Ia bersiap untuk membayar konsekuensi dari segala yang sudah ia dapat. Adinda tidak tahu jalan seperti apa yang akan ia hadapi di depan sana nanti. Namun, yang pasti satu masalah sudah terselesaikan, dan ia akan menjalankan garis takdir yang sudah Tuhan tulis untuk hidupnya.
“Al, aku pergi dulu,” ujarnya kepada laki-laki yang kini terbaring dengan berbagai alat terpasang di tubuh. “Mungkin setelah ini aku bakalan jarang nemenin kamu. Tapi aku janji bakal usahain untuk datang setiap hari kok.” Bibir tanpa pulasan lipstick itu tersenyum, meski lawan bicaranya tidak pernah memberi tanggapan. Mata itu masih tertutup rapat seperti biasa.
“Kamu baik-baik, ya.” Setelah mengatakan itu Adinda segera bangkit, merapikan rambut keunguan laki-laki yang masih menjadi kekasihnya itu, lalu pergi sebelum wanita baik yang menunggunya di luar sana kembali mengirimkan pesan.
*
“Dulu dia nggak seperti itu,” ujar Marlina dengan sorot sedih yang begitu kentara. “Dia selalu tersenyum ramah pada semua orang,” lanjutnya sembari menoleh ke arah samping.
Adinda yang sejak tadi fokus pada laki-laki jangkung di depan sana sontak menggerakkan kepalanya ke arah Marlina yang kini menatapnya. Memberikan senyum lembut sebagai penguat bagi ibu dari laki-laki yang sejak tadi mereka perhatikan.
“Sekarang sikapnya dingin sekali. Hanya bisa ramah saat sedang berhadapan dengan klien saja.” Marlina menghela napas, membetulkan kaca mata hitam yang bertengger di pangkal hidung bangirnya. Tanpa harus melihat langsung pun, Adinda tahu kini mata itu tengah berkaca-kaca.
“Beberapa kandidat yang selama ini Tante sodorkan, selalu saja gagal,” ujar Marlina kembali. Adinda hanya diam mendengarkan, sembari menyimpan semua informasi penting itu ke dalam kepalanya.
“Selama ini, wanita-wanita itu silau pada jumlah uang yang Alvin tawarkan. Atau, mereka tidak akan tahan dengan sikap dingin Alvin yang sudah mengarah ke kasar.”
Kali ini Adinda yang menghela napasnya, ada setitik rasa takut yang mulai menyusup. Namun, saat tangan Marlina menggenggamnya, seolah tahu keresahan yang ada di hatinya kini, wanita itu berusaha untuk menunjukkan senyum penuh keyakinan.
“Kamu, akan bertahan kan, Dinda?” Marlina menurunkan kaca mata hitamnya, dan tampaklah sorot putus asa seorang ibu yang tengah mencari secerca kebahagiaan untuk anak laki-lakinya.
Adinda menghela napas, lalu membalas remasan tangan Marlina dengan senyum tenang yang akan membuat siapapun menyukainya.
“Dinda akan berusaha Tante. Dinda sudah punya gambaran, dan Dinda harap Dinda akan tahan banting nanti.” Wanita itu tersenyum lebar, berusaha memberi keyakinan bahwa dirinya tidak akan menyerah begitu saja.
“Tante yakin Tuhan mempertemukan kita bukan tanpa alasan. Tante yakin kamu adalah wanita tepat yang akan bisa menolong Alvin.” Secercah harap tampak tersorot di mata Marlina. Sejak dipertemukan dengan Adinda hari itu, Marlina yakin wanita ini berbeda.
“Dinda akan berusaha untuk nggak mengecewakan Tante,” bisik wanita itu dengan senyum yang semakin tampak manis, saat satu lekukan tercetak di pipi sebelah kanannya.
“Tante percaya kamu bisa. Dan, apa boleh Tante minta sesuatu?”
Senyum Adinda menghilang, ada sedikit rasa khawatir tentang permintaan yang belum tersebut itu. “Apa itu?” Adinda menunjukkan senyum tipis, agar keresahannya tidak terbaca oleh mata Marlina.
“Belajar lah untuk mencintai Alvin. Tante rasa, itu cara mudah untuk meluluhkan hatinya.” Marlina kembali menunjukkan binar harap di matanya. “Mungkin, dengan sebuah ketulusan, anak Tante akan luluh sama kamu.”
Mulut Adinda hanya bisa membuka dan menutup tanpa bisa mengatakan apapun. Belajar mencintai? Adinda tidak memikirkan hal ini sampai detik ia menandatangani surat kesepakatan mereka tadi. Sebelum akhirnya Marlina membayar semua tagihan rumah sakit, bahkan perawatan untuk Alvaro beberapa bulan ke depan, sudah wanita itu bayarkan.
“Tidak perlu terburu-buru, dengan berjalannya waktu, Tante yakin kamu bisa mengambil hatinya.”
Ini, tugasnya sebenarnya apa? Kenapa Adinda baru menyadari jika hatinya harus diserahkan juga di sini. Ia harus membuat Alvin jatuh cinta kepadanya, demi melupakan sosok istri bernama Sofia. Lalu? Lalu setelah itu? Kenapa Adinda tidak memikirkan semua ini? Setelah Alvin jatuh cinta kepadanya, tidak mungkin bukan ia tinggalkan begitu saja?
“Kamu, mulai ragu, ya?” Marlina sepertinya membaca keraguan dan kegamangan yang kini memenuhi kepala Adinda. Namun, wanita itu malah menggeleng untuk menyanggah tebakan Marlina.
“Aku sudah menerima uangnya, dan aku sudah siap dengan konsekuensinya, Tante,” ujar Adinda dengan senyum yang tampak dipaksakan. Bukankah seharusnya seperti itu? Ia sudah menerima uang yang Marlina janjikan, dan tugasnya adalah membayar itu semua dengan syarat yang sudah Marlina berikan. Tidak ada lagi jalan mundur, dan apapun resiko di depan nanti yang menghadangnya, Adinda harus bersiap sepenuh hati untuk menyambutnya.
“Tante menaruh harapan besar sama kamu, Din.”
Adinda kembali memaksakan senyumnya untuk muncul. Yah, dia tidak mungkin mundur karena segalanya sudah dimulai.
“Jalan, Pak,” ujar Marlina pada supirnya, lalu mobil itupun melaju membelah keramaian.
Mata Adinda lantas bergerak ke arah di mana Alvin masih tampak serius di kafe seberang sana. Sosok itu terlihat ramah saat sedang berbicara dengan laki-laki yang tadi Marlina sebut klien perusahaan mereka. Mungkin, laki-laki itu pada kenyataannya tidak semenyeramkan yang ia bayangkan.
*
Agenda Adinda selama beberapa hari ini adalah mengikuti Alvin. Dia harus tahu keseharian laki-laki itu. Meski Marlina sudah menyebutkan daftar kegiatan anak laki-lakinya yang sebenarnya hanya berurusan dengan pekerjaan, tapi Adinda ingin tahu lebih banyak tentang laki-laki itu secara langsung.
“Kegiatan Alvin setiap harinya selalu sama. Kalau nggak kerja ya paling dia di rumah. Tapi, beberapa hari ini dia lagi lembur terus soalnya ada kerja sama dengan perusahaan baru."
Informasi tersebut menjawab pertanyaan yang tidak sempat muncul di kepala Adinda, tentang kenapa Alvin selalu pulang tengah malam.
Sebenarnya sampai detik ini Adinda masih bingung, kenapa laki-laki seperti Alvin harus dijodohkan. Alvin yang ada di bayangannya dengan Alvin yang ia kenal sekarang, tentu saja berbeda. Awalnya Adinda pikir Alvin adalah laki-laki kolot yang mungkin susah dekat dengan lawan jenis, maka Alvin yang terlihat di mata Adinda adalah sosok yang akan dengan mudah menarik lawan jenis.
Marlina tidak menjelaskan apa alasan Alvin dan Sofia bisa berpisah. Wanita itu hanya bercerita, jika Alvin berubah menjadi dingin terhadap lawan jenis, semenjak Sofia pergi begitu saja. Yang Adinda tangkap dari cerita tersebut adalah, Alvin trauma pada lawan jenis, mungkin karena mantan istrinya itu mengkhianati Alvin. Dan Alvin menganggap semua wanita sama saja. Yah, Adinda tahu sebenarnya bisa saja ia menanyakan cerita utuhnya pada Marlina. Namun, hutang budi yang sudah ia terima, membuat Adinda sungkan untuk bersikap kepo seperti itu. Dia hanya perlu menjalankan tugas, dan jika sudah berhasil, maka akan ia pikirkan nanti jalan apa yang selanjutnya perlu ia ambil.
Adinda menunduk pada buku menu saat sosok yang sejak tadi ia perhatikan itu menoleh ke arahnya. Jangan sampai ia memiliki kesan tidak baik di saat mereka bahkan belum saling mengenal.
Alvin sejak tadi terlihat hanya duduk melamun di salah satu meja kafe sembari menatap kosong ke arah jalan. Laki-laki itu sesekali menyeruput kopi di hadapannya. Bisa Adinda lihat beberapa pelayan kafe yang sejak tadi mencuri pandang ke arah laki-laki itu. Yah, seperti yang tadi ia bilang, Alvin akan mudah menyedot perhatian lawan jenis dengan begitu mudah. Tidak hanya tampan, Alvin juga memiliki badan tegap dan tinggi seperti model yang sering muncul di televisi. Belum lagi garis ramah yang membuat wajah Alvin akan bertambah tampan andai saja mau tersenyum.
“Sepertinya dari tadi saya lihat kamu terus melihat ke arah saya.” Adinda sontak mendongak dengan mata melebar saat sosok jangkung itu tiba-tiba sudah berdiri menjulang di depannya. Tatapan dingin dan tajam itu langsung menghujam tepat di manik matanya.
“Atau, kamu wanita baru yang ibu saya kirim?” Seharusnya Adinda bisa menguasai diri, seharusnya ia tidak kembali melebarkan mata, karena dengan begitu Alvin akan dengan mudah menebak jika jawaban dari pertanyaan yang laki-laki lontarkan itu adalah ‘ya’.
Ada dengusan sinis yang bisa Adinda tangkap dari tempatnya. Terlalu terkejut membuat kerja syaraf otaknya seolah lumpuh saat itu juga. Tidak sepatah katapun bisa ia ucapkan. Apalagi Alvin terus menyerangnya dengan tatapan dingin yang begitu menakutkan.
“Jangan buang waktu kamu untuk hal yang tidak akan membuahkan hasil. Sebelum kamu membuang tenaga kamu itu, saya peringatkan untuk mundur.” Alvin terlihat masih tenang, dan kali ini melirik arlojinya. Setelah itu, ia pun segera pergi tanpa mengatakan apapun.
Adinda yang seolah baru menemukan fungsi tubuhnya dengan baik, segera berlari keluar mengejar sosok Alvin yang sudah berdiri di samping mobilnya.
“Mas Alvin tunggu!” Bisa Adinda lihat tangan laki-laki itu mengepal, sebelum akhirnya wajah itu bergerak ke arahnya.
“Kasih saya kesempatan,” ujar Adinda dengan senyum penuh percaya diri.
Alvin memberikan senyum, bukan jenis senyum yang akan orang sukai. Dari senyum yang ia berikan itu, berapa wanita langsung mundur teratur dari niat untuk mendekatinya.
“Kesempatan untuk melukai wanita lain?”
Kening Adinda tampak mengerut bingung. “Maksud Mas Alvin?”
“Jadi Ibu saya tidak cerita?”
“Cerita? Maksudnya?” Ada waswas yang kini menguasai hati Adinda.
“Jadi kamu nggak tahu status laki-laki yang akan kamu dekati?” Alvin tertawa dengan nada meremehkan.
"Tahu. Mas Alvin sudah pernah menikah." Adinda mengatakan itu dengan kepercayaan diri yang tinggi.
Awalnya kening Alvin tampak berkerut, seperti tengah mencerna apa maksud dari kalimat yang Adinda lontarkan. Dan saat satu kesimpulan laki-laki itu dapat, sontak senyum kecut itu muncul begitu saja.
"Saya bukannya pernah menikah, tapi sampai sekarang saya masih menyandang status sebagai seorang suami," ujar Alvin dengan nada dingin.
Adinda yang bingung hanya mengedipkan mata. Jadi, ini maksudnya?
"Saya belum, dan tidak akan pernah bercerai dengan Sofia," jelas laki-laki itu lagi sebelum membuka pintu mobil. Namun, kepala itu kembali bergerak ke arah Adinda yang semakin tampak kebingungan.
"Dan kalau kamu mau tahu. Istri saya masih ada di rumah, dengan kondisi yang tidak memungkinkan untuk ke luar. Dia hanya bisa terbaring selepas kecelakaan yang terjadi satu tahun yang lalu."
Mata Adinda kembali melebar, tetapi tidak bisa memberikan respon lebih dari itu karena sosok Alvin sudah menjauh dengan mobil yang laki-laki itu kendarai. Jadi, ia ditipu?
“Maaf, Dinda. Tante nggak bermaksud untuk bohongin kamu. Tante hanya lupa untuk memberikan informasi penting tersebut.”Adinda yang memang langsung menemui Marlina selepas pertemuannya dengan Alvin hanya bisa tersenyum kecut. Lupa? Hal sepenting itu bisa Marlina lupakan? Namun, sayangnya Adinda bukan tipe wanita yang mudah meledakkan emosi. Sejak kecil ia dididik dengan cara lembut oleh mama dan papanya. Kedua orangtua yang akan selalu menjadi panutannya sepanjang sisa hidup yang Tuhan beri untuknya. Namun, rasa kecewa dan penyesalan ini tentu saja masih terus membuat Adinda ingin menarik waktu ke belakang. Seharusnya ia usahakan rumahnya terjual bagaimana pun caranya. Bukan malah menerima tawaran yang akhirnya membuatnya terjerat pada hal rumit semacam ini.Menjadi madu bagi wanita lain tentu saja bukan hal yang bisa ia bayangkan akan terjadi pada hidupnya. Apakah ia memiliki dosa di masa lalu yang begitu besar? Sehingga terjeba
“Kamu bersedia untuk dimadu?” Adinda hanya diam mendengar kalimat dengan nada mencemooh itu ditujukan untuk dirinya. Marlina sudah memperingatkannya untuk tidak memasukkan apa yang anak laki-lakinya katakan ke dalam hati.“Wanita baik mana yang mau dijadikan istri kedua?” Lagi, Adinda masih diam. Ia tahu Alvin hanya sedang menggoyahkan pendiriannya. Maka tugasnya hanya diam, dan mendengarkan.“Sofia memang tidak lagi sempurna. Tapi itu tidak berarti saya akan meninggalkannya begitu saja. Apalagi menduakannya, sungguh saya tidak pernah berpikir ataupun sekadar membayangkannya.” Alvin menatap sengit Adinda, yang hanya diam tanpa merespon ucapannya. Namun, laki-laki itu tahu wanita ini akan berakhir sama dengan yang lainnya. Kabur saat sudah tidak tahan saat harus mendapat sikap dingin darinya.“Apalagi pada wanita mata duitan kayak kamu.” Alvin tersenyum miring, ada dengusan sinis yang terdengar, saat melihat tangan
Jangan bayangkan malam pertama yang akan Adinda alami adalah malam pertama layaknya pengantin baru pada umumnya. Meski Adinda sendiri juga tidak bisa membayangkan bagaimana seharausnya malam pertama, tetapi setidaknya ia yakin bukan seperti yang ia alami saat ini. Paling tidak, seharusnya ia tidur bersama laki-laki yang sudah sah menjadi suaminya. Bukan seperti saat ini, ia tidur di kamar yang berbeda dengan kamar yang Alvin tempati.Sebenarnya Adinda tidak terlalu memikirkan itu. Ia merasa baik-baik saja dengan terpisah kamar karena pasti akan sangat canggung jika ia malah harus ssatu kamar dengan Alvin. Walaupun status mereka sudah sah menjadi suami istri di mata hukum dan agama, tetapi mereka tetap saja orang asing yang tidak sengaja dipertemukan takdir untuk menikah. Dan yang harus Adinda lakukan saat ini adalah, menyusun rencana untuk meluluhkan hati seorang Alvin.Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari, tetapi mata Adinda belum jug
Meski hanya didasari oleh sesuatu selain cinta, tetapi pernikahan yang Adinda jalani sah menurut hukum dan agama. Jadi saat Marlina memintanya keluar dari kafe agar lebih fokus untuk mendekati Alvin, maka Adinda tidak berniat membantahnya sama sekali. Ia akan mengabdi pada ibu mertua dan suaminya dengan sepenuh hati, layaknya seorang istri. Meskipun ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada hubungan ini di depan sana nanti. Namun, untuk saat ini tugasnya adalah membayar hutangnya pada Marlina dengan cara yang sudah ditentukan.Wanita dengan rambut sebatas punggung itu masuk ke kantor Alvin. Jika kemarin-kemarin kehadirannya tidak terlalu mendapat perhatian, maka berbeda dengan hari ini. Semua karyawan Alvin tahu jika dirinya adalah istri baru laki-laki itu. Banyak yang mengangguk sopan dengan aura tulus, ada juga yang terlihat melempar tatapan nyinyir, dan masih banyak jenis tatapan yang Adinda dapat. Namun, meski begitu ia memilih untuk tidak peduli karena tujua
Meskipun Alvin tidak mengetahui jika makanan yang dinikmati adalah hasil karyanya, tetapi Adinda tetap merasa bahagia. Apalagi setiap kali Tari memberi laporan jika makanan tersebut selalu habis tidak tersisa. Hal yang membuat Adinda semakin merasa semangat untuk memasak, dan mengeksplor berbagai resep. Setelah berhasil menyusup secara sembunyi-sembunyi melalui masakan, Adinda mulai memikirkan cara lain.“Bi!” panggil Adinda pada ART yang sedang melangkah ke arah kamar Alvin.“Ya, Mbak Dinda. Ada yang bisa saya bantu?” jawab wanita berusia sekitar empat puluh tahunan bernama Sri itu.“Emm, Bibi mau bersihin kamar Mas Alvin?” tanya Adinda hati-hati. Ini hari Minggu dan Alvin baru saja ke luar untuk berolah raga.“Eh, iya, Mbak.” Bi Sri terlihat kebingungan juga ada aura waspada yang wanita itu tunjukkan.“Boleh saya saja,
“Aduh, Mbak, takuuut,” bisik Almira yang sudah berdiri di depan kamar Alvin. Sementara di tangan gadis itu, bernaung nampan berisi nasi beserta lauk dan minumannya. “Dia, kan, Mas kamu. Nggak papa.” Adinda yang memiliki ide ini, berusaha membuat Almira semangat. Padahal Adinda sendiri juga sebenarnya takut. Bisa ia bayangkan reaksi yang akan Alvin berikan nanti. Sepertinya, laki-laki itu akan marah, dan itu sebabnya ia mengajak Almira. “Ih, tapi aku beneran takut. Mbak aja!” Almira menyorongkan nampan di tangannya pada Adinda. Mereka memang baru saja saling mengenal, tetapi satu sama lain sudah tidak lagi memiliki rasa sungkan. Adinda menggeleng dengan ringisan ngeri. “Kalau sama kamu marahnya pasti nggak yang gimana-gimana. Secara kamu, kan, adiknya.” Itu kenapa Adinda merasa Almira bisa ia andalkan untuk membantunya menjalankan rencana ini. Jika dirinya sendiri yang mendekat, sudah pasti Alvin akan sangat
Alvin bersedekap sembari memperhatikan Adinda yang sedang mengajak Sofia mengobrol. Hal yang biasanya hanya ia lakukan seorang diri karena yang lainnya tidak pernah mau walaupun untuk sekadar mengecek kondisi istrinya ini. Saat ini Alvin hanya sedang memberi Adinda kesempatan, jadi dia tidak boleh lengah. Ia hanya akan mengizinkan Adinda masuk ke dalam kamar saat dirinya ada. Alvin menitipkan Sofia pada Bi Sri jika dirinya sedang tidak ada di rumah. Ia percaya pada wanita itu karena sejak dulu Sofia dan Bi Sri memang sangat akrab. Sebenarnya, ibunya dan Almira juga sangat dekat dengan Sofia. Namun, semenjak kecelakaan nahas itu, keduanya seperti kecewa dengan kondisi yang kini istrinya alami, dan tidak pernah mau untuk sekadar melihat. “Saya pamit ke kamar dulu, ya, Mas.” Adinda sudah berdiri di hadapannya dan sempat membuat Alvin terkejut karena sedari tadi pikirannya memang sedang tidak ada di tempat. “Suda
Adinda hanya diam, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Senantiasa berdiri di belakang laki-laki itu, meski kadang keberadaannya seperti tidak terlihat. Alvin hanya akan menjawab dengan senyum tipis, jika pertanyaan tentang siapa dirinya muncul. “Oh, ini istrinya Pak Alvin?” tanya salah satu laki-laki berusia sekitar lima puluh tahunan. Ada kumis tipis yang menghiasi wajah laki-laki itu. Sekilas tampak ramah dan sopan, tetapi entah mengapa lama kelamaan tatapan itu seakan mengandung makna lain. Seperti ada seringai menggoda yang membuat Adinda merasa risi. Alvin tidak menjawab, memilih mengalihkan topik. Membicarakan hal yang sama sekali Adinda tidak mengerti. Namun, ia tahu yang Alvin bahas adalah mengenai pekerjaan. Jadi, sudah pasti bapak-bapak genit yang masih berusaha memancing perhatiaanya ini adalah salah satu kilen Alvin. “Ada yang salah dengan istri saya, Pak?” Adinda sontak mendongak untuk mena
Adinda menyibak tirai penutup jendela kaca yang membentang dari ujung ke ujung. Senyum itu merekah saat pemandangan laut lepas menjadi pemandangan indah yang kini menyejukkan mata. Rengkuhan hangat dari belakang tubuhnya membuat senyum itu merambat ke mata dan menunjukkan binar bahagia yang smakin terlihat nyata. "Gimana, suka?" tanya Alvin menciumi puncak kepala wanita yang sudah hampir dua bulan ini menjadi istrinya. Rencana bulan madu yang terus tertunda itu akhirnya terealisasi dan keduanya memutuskan untuk pergi ke Bali. Bukan memutuskan sebenarnya, Alvin mendapat tiket bulan madu gratis dari salah satu kliennya dan ternyata pelayanan yang dirinya dapat cukup berkelas. Adinda mendongak sembari menjawab, "Suka banget," katanya, lalu menepuk lengan suaminya saat satu kecupan laki-laki itu daratkan di bibirnya. Alvin hanya tertawa geli mendapat respon seperti ini. "Kamu sudah buat daftar perjalanan kita?" Laki-la
Pesta pernikahan itu digelar dengan sederhana, tetapi terasa begitu sakral dan intim. Hanya keluarga dekat yang diundang. Bahkan rekan kerja Alvin pun hanya dipilih yang benar-benar sudah bekerja sama lama dengan laki-laki itu.Sementara Adinda sendiri tidak memiliki teman yang harus dirinya undang. Hanya teman kerja yang baru-baru ini dirinya kenal dan juga beberapa tetangga yang sering menolongnya. Untuk wali nikah sendiri, Adinda menggunakan wali hakim. Karena entah kebetulan atau bagaimana, satu-satunya om yang dirinya miliki dari pihak ayah sedang ke luar negeri dan tidak tahu kapan pastinya akan kembali. Tentu saja itu menjadi hal menguntungkan bagi Adinda, karena dirinya tidak harus berurusan dengan laki-laki yang begitu kejam itu. Bahkan jika bisa, seumur hidupnya Adinda tidak ingin lagi bertemu dengan laki-laki itu.Adinda terlihat begitu bahagia dan juga cantik hari ini. Meski sebenarnya ini bukan pernikahan yang pertama, tetapi te
Adinda segera mengikuti langkah Alvin ke luar dari kafe. Dan kondisi yang terjadi selanjutnya adalah hening. Alvin sibuk dengan kemudi dan jalanan macet di depannya. Sementara Adinda sendiri bingung harus mulai menjelaskan perkara tadi dari mana."Tadi Alvaro cuman mau pamit," ujar wanita itu pada akhirnya. Tidak mau ada kesalah pahaman yang ia takutkan akan mengacaukan hari penting mereka."Dia mau pindah ke luar negeri, dan tadi itu cuman salam perpisahan." Wanita itu menoleh ke arah Alvin yang juga manatap ke arahnya dengan pandangan datar."Kenapa nggak ngomong dulu?" Kali ini Adinda mengerjab bingung."Mas Alvin nggak baca pesan aku?" Laki-laki itu tampak mengernyitkan dahi, lalu memeriksa ponselnya yang berada di dalam saku."Maaf aku nggak sempet pegang hape tadi." Penjelasan yang membuat Adinda merasa sedih karena dibohongi."Kan kamu telpon kalau aku
Adinda berusaha untuk berpikir positif dengan apa yang Alvin lakukan. Maka alih-alih menghampiri laki-laki itu, Adinda memutuskan untuk pergi ke tujuan awalnya. Mungkin calon suaminya itu membutuhkan waktu untuk sendiri. Entah apa yang sedang Alvin pikirkan saat ini. Apakah laki-laki itu menyesal dengan keputusan pernikahan ini? Adinda menggelengkan kepalanya, mencoba menghapus pemikiran buruk itu. Mengalihkan pada kegiatannya membeli barang-barang yang ia butuhkan.Kegiatan Adinda terhenti saat ponselnya berdering. Namun, wanita itu ragu untuk mengangkatnya karena sang penelpon adalah seseorang yang sudah lama sekali tidak ia temui. Adinda memutuskan untuk mengangkat panggilan tersebut saat mengingat kembali perpisahan yang mereka jalani adalah dengan cara baik-baik."Hai, Va, ada apa?" Adinda berusaha untuk santai. Meski tidak lagi memiliki hubungan dekat dengan Alvaro, tetapi mungkin mereka masih bisa untuk menjadi teman.
Rasanya masih tidak percaya dengan apa yang terjadi pada hidupnya kini. Bahkan, Adinda masih sering merasa takut jika kebahagiaan yang kini dirinya rasakan hanyalah sebuah mimpi. Namun, perdebatan yang kini tengah terjadi di sampingnya seolah menyentaknya pada kenyataan hidup, di mana roda tengah berputar di atas. Bukan tentang ekonomi, tetapi roda kebahagiaan yang ia rasakan kali ini porsinya melebihi dari sekadar jumlah uang dengan nilai tinggi."Bu, Alvin sama Adinda sudah membahas ini sebelumnya, dan kami sepakat untuk menggelar pesta sederhana."Adinda yang mendengar penjelasan Alvin hanya bisa meringis bingung karena sedikit lagi akan ada yang mendebat."Nggak bisa gitu, Vin. Kita juga harus memberi kenangan buat Adinda. Meski ini bukan pernikahan pertama, tapi Adinda juga pasti ingin mengalami sesuatu yang berkesan." Marlina masih kekeh dengan pendapatnya yang dirasa benar.Adinda yang ingin m
Adinda mengernyitkan dahi saat terdengar suara mobil yang tidak lagi asing berhenti di depan rumahnya. Mungkin akan menjadi hal yang biasa jika mobil itu datang di jam biasa dirinya berangkat bekerja. Namun, kali ini jam masih menunjukkan pukul lima pagi dan wanita itu baru saja melipat mukenanya demi menjalankan salat subuh.Wanita yang masih mengenakan piyama bermotif bunga itu pun segera ke luar. Membuka pintu tepat sebelum sosok Alvin mengetuk pintu rumahnya. Kini, laki-laki itu sudah berdiri di sana sembari menunjukkan senyum menawan yang akhir-akhir ini mulai menjadi mimpi indah bagi seorang Adinda."Mas Alvin ngapain?" tanya Adinda masih dengan wajah bingung. Bukannya langsung menjawab, laki-laki di depannya malah melihat ke jam yang melingkar di tangan, sebelum kembali menatap dirinya."Kamu punya waktu sepuluh menit untuk bersiap." Alvin mengatakan itu tanpa beban, seolah Adinda tidak akan dibuat bingung.
"Wah, Dinda keren, ya, yang jemput mobilnya ganti-ganti terus," bisik salah satu rekan kerja Adinda. Tidak benar-benar berbisik sebenarnya. Terbukti dari jarak Adinda yang cukup jauh masih bisa mendengar obrolan tersebut. Bahkan salah satunya menghampiri Adinda yang sudah siap untuk melangkah ke luar karena Alvin memang sudah menunggunya. Dan lagi ini memang sudah waktunya pulang."Yang jemput orangnya sama nggak, Din?" Nada kepo terdengar jelas dari bibir wanita yang kini berdiri di samping Adinda.Adinda hanya tersenyum, enggan menjawab karena tahu apa tujuan orang-orang ini mengurusi hidupnya. "Saya duluan, ya. Kalian hati-hati," ujarnya sembari meneruskan langkah, mencoba mengabaikan cibiran tidak menyenangkan yang terdengar dari belakangnya."Capek?" Sambutan lembut dengan senyuman menenangkan ini sudah menjadi rutinitas yang Adinda dapat.Alvin memang selalu menyempatkan waktu untuk menjemputny
Senyum terus terpatri di wajah wanita itu sejak beberapa hari ini. Adinda lupa kapan tepatnya terakhir kali ia merasakan kebahagiaan seperti ini dalam hatinya. Terkadang rasa takut itu muncul. Wanita itu takut jika semua rasa menyenangkan ini hanyalah sesuatu yang semu, atau malah yang sebenarnya terjadi ini adalah mimpi. Namun, kemunculan Alvin yang setia menjemput dan mengantarkannya ke tempat kerja membuat keyakinan Adinda muncul. Ini bukan mimpi, Alvin memang tengah menjanjikan sebuah kebahagiaan untuk masa depan yang sudah ia impikan sejak lama.'Kabahagiaan itu memang nggak abadi, adakalanya kita merasa sakit. Mungkin Tuhan hanya sedang menunjukkan bahwa Dia punya kuasa untuk membolak-balikkan kehidupan manusia pada titik mana pun. Lagi pula, bukankah kita akan mengenal rasa bahagia setelah kita merasakan sebuah sakit karena penderitaan?'Entah di mana Adinda pernah mendengar kalimat seperti itu. Rasa sakit ada untuk kita lebih belajar
Adinda bisa merasakan sesuatu yang baik baru saja terjadi pada dirinya. Jika kemarin ada rasa tidak nyaman setiap kali ia bangun dari tidurnya yang tidak pernah terasa lelap. Maka kali ini rasanya sangat berbeda. Entah malam tadi ia bermimpi atau tidak. Namun, dirinya seperti merasakan kehadiran Alvin di kamar Marlina. Laki-laki itu seperti mengucapkan banyak kalimat menenangkan, dan mengecup keningnya sebelum pergi. Adinda tidak tahu itu mimpi atau bukan. Dan misalkan semua itu mimpi, sungguh itu mimpi paling nyata yang pernah ia rasakan.Maka saat dirinya keluar kamar, dan bertepatan dengan sosok Alvin yang juga baru keluar dari kamar sebelah, Adinda tidak bisa untuk tidak gugup. Namun, hal berbeda ditunjukkan oleh Alvin. Laki-laki itu tampak santai dengan senyum yang terus mengembang di bibir. Meski malam ini tidak bisa tidur dengan lelap karena terus memikirkan wanita yang sedang dihampirinya itu, tetapi Alvin merasakan jika perasaannya semakin membaik.