Beranda / Romansa / BUKAN KISAH SEMPURNA / PERJUANGAN ADINDA

Share

PERJUANGAN ADINDA

Penulis: Aya Arini
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Meski hanya didasari oleh sesuatu selain cinta, tetapi pernikahan yang Adinda jalani sah menurut hukum dan agama. Jadi saat Marlina memintanya keluar dari kafe agar lebih fokus untuk mendekati Alvin, maka Adinda tidak berniat membantahnya sama sekali. Ia akan mengabdi pada ibu mertua dan suaminya dengan sepenuh hati, layaknya seorang istri. Meskipun ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada hubungan ini di depan sana nanti. Namun, untuk saat ini tugasnya adalah membayar hutangnya pada Marlina dengan cara yang sudah ditentukan.

Wanita dengan rambut sebatas punggung itu masuk ke kantor Alvin. Jika kemarin-kemarin kehadirannya tidak terlalu mendapat perhatian, maka berbeda dengan hari ini. Semua karyawan Alvin tahu jika dirinya adalah istri baru laki-laki itu. Banyak yang mengangguk sopan dengan aura tulus, ada juga yang terlihat melempar tatapan nyinyir, dan masih banyak jenis tatapan yang Adinda dapat. Namun, meski begitu ia memilih untuk tidak peduli karena tujuannya ke sini adalah untuk menemui Alvin.

“Eh Bu bos,” celetuk Tari saat melihat kemunculan Adinda. Wanita ini sebenarnya tidak diundang saat acara pernikan Adinda dan Alvin. Bukan hanya Tari, tetapi memang tidak satu pun orang kantor yang diundang. Jadi, bagaimana mereka bisa tahu tentang pernikahan  yang terkesan ditutupi itu? Tidak perlu bingung karena dalang di balik semua itu sudah pasti adalah Marlina. Yang entah menggunakan media apa sehingga seluruh penghuni kantor ini langsung tahu di hari itu juga.

Adinda membalas godaan Tari dengan senyuman ramah. Hal yang membuat sekretaris Alvin itu langsung merasa nyaman saat berada di dekatnya. Tidak ada rasa sungkan karena Adinda pun tidak memberi batas untuk orang mendekatinya.

“Mas Alvin ada, Mbak?” tanya Adinda yang tetap memanggil Tari dengan sebutan ‘mbak’ meski sudah dilarang oleh wanita itu.

“Tunggu sebentar, ya! Lagi ada tamu. Kayaknya sekitar sepuluh menitan lagi selesai kok, Mbak.” Adinda mengangguk, dan memilih untuk duduk di bangku depan meja Tari.

“Wah, makan siang buat Pak Alvin, ya?” Adinda segera mengangguk mendengar pertanyaan itu. Lalu, ia pun mengeluarkan satu kotak lain dari dalam tas makanan yang ia bawa.

“Ini buat kamu.” Adinda menyorongkan kotak itu ke arah Tari yang tentu saja disambut penuh antusias.

“Ih, Mbak Dinda pake repot-repot segala,” ujar Tari dengan nada malu yang dibuat-buat, Adinda hanya tertawa kecil mendengar hal itu.

“Makasih loh, Mbak. Tahu aja aku lagi dalam mode pengiritan,” kata Tari lagi dengan kikikan geli. Adinda ikut tertawa, bersyukur karena sekretaris yang Alvin pekerjakan adalah orang sebaik ini.

“Sama-sama. Jadi, kan, bos kamu nggak ada kesempatan buat buang makanan.” Tari langsung memanyunkan bibir saat mendengar hal itu.

“Jadi itu alasannya? Aku sakit hati.” Setelahnya wanita itu malah tertawa.

“Kan kalian udah nikah, Mbak. Kali ini nggak bakalan nolak lah dianter makanan kayak gini,” ujar Tari dengan wajah kepo.

“Doain aja yang terbaik buat kita, ya, Mbak.” Adinda memilih jalur aman karena tahu maksud terselubung dari kalimat yang Tari ucapkan. Ia tidak mungkin membeberkan fakta di balik pernikahannya kepada orang yang baru ia kenal. Dan beruntungnya, Tari juga orang yang tahu diri untuk tidak mengusik lebih jauh masalah orang lain.

“Tapi dari semua cewek yang pernah ke sini, aku paling suka sama Mbak Dinda,” ujar Tari tiba-tiba. Adinda hanya tersenyum tanpa mau menanyakan lebih. Ia paling enggan membicarakan orang lain, di saat ia merasa dirinya juga bukan manusia sempurna.

“Kalau yang lain mah, sok banget tahu Mbak. Mana ada yang mau ramah tamah sama aku kaya Mbak gini?” cibir Tari yang memancing kerutan di dahi Adinda muncul.

“Kenapa begitu?”

“Ya … kan, aku cuma jongosnya Pas Alvin.”

“Huus! Jangan ngomong gitu, ah!”  tegur Adinda. Ia paling tidak suka saat mendengar orang merendahkan dirinya sendiri. Menurut Adinda, semua orang berharga dengan pekerjaan dan latar belakang yang ia miliki.

Tari meringis, lalu melanjutkan kalimatnya yang tertunda. “Dan aku seneng banget karena Pak Alvin dapetin istri kayak Mbak. Mbak itu baru pertama lihat juga sudah keliatan baik.”

Adinda tersenyum dengan gelengan pelan, dan memilih untuk tidak menanggapi. Apalagi selanjutnya pintu ruangan Alvin terbuka dan memunculkan dua laki-laki. Yang satu tentu saja Alvin, dan yang satu laki-laki yang Adinda tebak sebagai klien suaminya itu.

“Ini istri kamu, kan?” Nadanya memang berbisik, tetapi masih terdengar dari posisi Adinda dan juga Tari duduk.

Alvin tidak menjawab, malah mengalihkan topik pada hal yang tidak Adinda mengerti. Tidak lama kemudian, laki-laki yang Alvin panggil Rama itu pamit. Ada seringai nakal yang laki-laki itu tunjukkan pada Adinda, tetapi tidak wanita itu sadari. Tari yang melihatnya merasa risi karena memang dirinya juga sering mendapat tatapan tidak menyenangkan semacam itu.

“Tar, jadwal saya selanjutnya?” tanya Alvin pada Tari tanpa mau melihat ke arah Adinda.

“Kosong sampai jam satu, Pak,” jawab Tari sembari melirik ke arah Adinda yang hanya diam di tempatnya. Sementara tanpa merespon, Alvin masuk begitu saja ke ruangannya sembari menutup pintu seolah sosok Adinda tidak pernah ada.

“Mbak Tari aku masuk dulu, ya! Makasih udah ditemenin ngobrol.” Adinda mengatakan itu tanpa beban, seolah sikap yang Alvin tunjukkan tadi tidak berarti sama sekali.

“Aku loh yang makasih, Mbak. Udah dibawain makanan.”

Adinda tersenyum lembut, lalu berkata, “Sama-sama, semoga kamu suka.”

“Tunggu, Mbak!” Adinda menoleh dengan alis terangkat sebagai isyarat tanya. Bukannya melanjutkan kalimat yang belum usai, Tari malah terlihat seperti orang bingung.

“Semangat ya, Mbak! Aku ngedukung Mbak kok.” Hanya itu yang wanita itu katakan, alih-alih menyuarakan isi kepalanya. Hal yang langsung dibalas senyuman geli oleh Adinda. Namun, meski begitu Adinda tetap mengangguk, lalu berjalan ke arah ruangan Alvin yang untungnya tidak dikunci.

*

Adinda bersyukur karena Alvin tidak mengusirnya, meskipun laki-laki itu bersikap seolah tidak ada dirinya di sana. Laki-laki itu terus sibuk mengerjakan sesuatu yang ada di depannya. Waktu sudah menunjuk pukul duabelas lewat, dan seharusnyaAlvin beristirahat.

“Mas Alvin mau makan sekarang?” tanya Adinda hati-hati, sudah menyiapkan diri jika jawaban pedas yang akan ia dapat. Namun, laki-laki itu sama sekali tidak meresponnya. Masih tetap diam seolah tidak ada orang lain di ruangan itu.

Adinda tidak lantas putus asa, ia memilih menyiapkan makanan  yang ia bawa, ke atas meja di depan sofa santai ruangan tersebut. Masih ada waktu setengah jam sebelum Alvin keluar untuk bertemu klien.

“Aku tinggal ya, Mas, ini udah aku siapin makan siangnya.” Setelah itu Adinda memilih pergi. Mungkin Alvin akan memakan masakannya jika ia tidak berada di sana. Namun, pesan yang Tari beri cukup membuat Adinda kecewa. Karena Tari menjelaskan jika makanan yang sudah rapi di meja itu terpaksa diberikan pada security karena Alvin menyuruhnya untuk membuang makanan tersebut.

Adinda tidak lantas menyerah mendapat perlakuan seperti itu. Ia mencoba berpikir dan berusaha mencari cara lain. Di sini, ia dan Alvin seolah sedang bertarung, dan yang memiliki kekuatan sabar luas lah yang akan menang.

‘Mbak, aku disuruh pesan makanan buat Pak Alvin.’ Pesan yang Adinda dapat beberapa jam kemudian.

‘Memangnya Mas Alvin belum makan dari siang tadi?’ Jam padahal sudah menunjuk angka lima.

‘Belum, Mbak. Meeting-nya dialihkan ke kantor dan sejak Mbak Dinda pergi tadi Pak Alvin belum makan.’

Adinda mendesah kecil melihat barisan pesan tersebut. Lalu, ia pun memutar otak hingga mendapatkan satu ide.

 *

“Ini makan siangnya, Pak.” Tari menyorongkan makanan yang tersedia di bok dengan wajah takut. Takut rencananya dan Adinda akan terbongkar.

“Kamu beli di mana?” tanya Alvin. Ia merasa aneh dengan kotak makanan yang hanya berupa kardus putih tanpa ada logo restoran.

Tari merasa beruntung karena Adinda sudah memberinya kalimat untuk menjawab pertanyaan Alvin ini.

“Itu teman saya buka rumah makan baru, Pak. Menurut saya enak, dan Bapak suka masakan rumahan, kan?” Tari merasa jantungnya langsung kebat-kebit karena takut Alvin akan langsung curiga.

“Ya sudah, terima kasih.” Wanita itu pun mampu mengembus napas lega, dan segera keluar dari ruangan tersebut sebelum ada pertanyaan lain yang akan bosnya itu lontarkan.

Wanita dengan rambut sebahu itu pun segera menghubungi Adinda dan mengatakan jika makanannya sampai di tangan Alvin dengan selamat. Tidak lupa ada sisipan doa semoga rencana mereka berhasil. Tidak perlu bertanya dengan detail bagaimana kondisi rumah tangga yang dibangun oleh kedua manusia itu. Dengan menyaksikan semua ini juga Tari sudah bisa membaca situasinya. Dan karena Alvin orang baik, serta Adinda pun tak kalah baik, maka Tari langsung memutuskan untuk membantu menyatukan dua hati itu agar bisa bersatu.

“Tari!” Wanita itu berjengit, dan langsung berdiri dengan wajah waspada saat Alvin  tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu ruangannya.

“I-iya, Pak?” Keringat dingin sudah menitip di pelipis wanita itu.

“Yang tadi itu benar punya teman kamu?”

Jantung Tari makin berdentum kuat saat firasat buruk mulai merambat. Alvin selalu memasang wajah datar yang tidak mampu dibaca oleh lawan bicaranya. Dan Tari tidak bisa membaca apa yang sekarang laki-laki ini rasakan saat ini. Maka dari itu, ia memilih mengangguk dengan senyum tipis yang terkesan dipaksakan.

“Mulai besok tolong pesankan makanan di situ untuk makan siang saya.”

Mata Tari membulat, tetapi langsung menjawab iya saat Alvin menutup pintu ruangannya. Laki-laki itu berjalan ke arah lift sembari mengatakan jika ia harus pulang sebentar untuk menjenguk istrinya.

Tanpa menyadari apa yang Alvin katakan, Tari pun segera mengetikkan pesan pada Adinda yang langsung dibalas emoticon bahagia dari seberang.

Bab terkait

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   KEDATANGAN ALMIRA

    Meskipun Alvin tidak mengetahui jika makanan yang dinikmati adalah hasil karyanya, tetapi Adinda tetap merasa bahagia. Apalagi setiap kali Tari memberi laporan jika makanan tersebut selalu habis tidak tersisa. Hal yang membuat Adinda semakin merasa semangat untuk memasak, dan mengeksplor berbagai resep. Setelah berhasil menyusup secara sembunyi-sembunyi melalui masakan, Adinda mulai memikirkan cara lain.“Bi!” panggil Adinda pada ART yang sedang melangkah ke arah kamar Alvin.“Ya, Mbak Dinda. Ada yang bisa saya bantu?” jawab wanita berusia sekitar empat puluh tahunan bernama Sri itu.“Emm, Bibi mau bersihin kamar Mas Alvin?” tanya Adinda hati-hati. Ini hari Minggu dan Alvin baru saja ke luar untuk berolah raga.“Eh, iya, Mbak.” Bi Sri terlihat kebingungan juga ada aura waspada yang wanita itu tunjukkan.“Boleh saya saja,

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   PERSETUJUAN ALVIN

    “Aduh, Mbak, takuuut,” bisik Almira yang sudah berdiri di depan kamar Alvin. Sementara di tangan gadis itu, bernaung nampan berisi nasi beserta lauk dan minumannya. “Dia, kan, Mas kamu. Nggak papa.” Adinda yang memiliki ide ini, berusaha membuat Almira semangat. Padahal Adinda sendiri juga sebenarnya takut. Bisa ia bayangkan reaksi yang akan Alvin berikan nanti. Sepertinya, laki-laki itu akan marah, dan itu sebabnya ia mengajak Almira. “Ih, tapi aku beneran takut. Mbak aja!” Almira menyorongkan nampan di tangannya pada Adinda. Mereka memang baru saja saling mengenal, tetapi satu sama lain sudah tidak lagi memiliki rasa sungkan. Adinda menggeleng dengan ringisan ngeri. “Kalau sama kamu marahnya pasti nggak yang gimana-gimana. Secara kamu, kan, adiknya.” Itu kenapa Adinda merasa Almira bisa ia andalkan untuk membantunya menjalankan rencana ini. Jika dirinya sendiri yang mendekat, sudah pasti Alvin akan sangat

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   KESEMPATAN

    Alvin bersedekap sembari memperhatikan Adinda yang sedang mengajak Sofia mengobrol. Hal yang biasanya hanya ia lakukan seorang diri karena yang lainnya tidak pernah mau walaupun untuk sekadar mengecek kondisi istrinya ini. Saat ini Alvin hanya sedang memberi Adinda kesempatan, jadi dia tidak boleh lengah. Ia hanya akan mengizinkan Adinda masuk ke dalam kamar saat dirinya ada. Alvin menitipkan Sofia pada Bi Sri jika dirinya sedang tidak ada di rumah. Ia percaya pada wanita itu karena sejak dulu Sofia dan Bi Sri memang sangat akrab. Sebenarnya, ibunya dan Almira juga sangat dekat dengan Sofia. Namun, semenjak kecelakaan nahas itu, keduanya seperti kecewa dengan kondisi yang kini istrinya alami, dan tidak pernah mau untuk sekadar melihat. “Saya pamit ke kamar dulu, ya, Mas.” Adinda sudah berdiri di hadapannya dan sempat membuat Alvin terkejut karena sedari tadi pikirannya memang sedang tidak ada di tempat. “Suda

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   DURI YANG MENGGANGGU

    Adinda hanya diam, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Senantiasa berdiri di belakang laki-laki itu, meski kadang keberadaannya seperti tidak terlihat. Alvin hanya akan menjawab dengan senyum tipis, jika pertanyaan tentang siapa dirinya muncul. “Oh, ini istrinya Pak Alvin?” tanya salah satu laki-laki berusia sekitar lima puluh tahunan. Ada kumis tipis yang menghiasi wajah laki-laki itu. Sekilas tampak ramah dan sopan, tetapi entah mengapa lama kelamaan tatapan itu seakan mengandung makna lain. Seperti ada seringai menggoda yang membuat Adinda merasa risi. Alvin tidak menjawab, memilih mengalihkan topik. Membicarakan hal yang sama sekali Adinda tidak mengerti. Namun, ia tahu yang Alvin bahas adalah mengenai pekerjaan. Jadi, sudah pasti bapak-bapak genit yang masih berusaha memancing perhatiaanya ini adalah salah satu kilen Alvin. “Ada yang salah dengan istri saya, Pak?” Adinda sontak mendongak untuk mena

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   SOROT LELAH

    Adinda hanya diam, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Senantiasa berdiri di belakang laki-laki itu, meski kadang keberadaannya seperti tidak terlihat. Alvin hanya akan menjawab dengan senyum tipis, jika pertanyaan tentang siapa dirinya muncul.“Oh, ini istrinya Pak Alvin?” Contohnya yang satu ini. Seorang laki-laki berkumis dengan usia kisaran lima puluh tahunan bertanya sembari mencuri pandang kea rah Adinda. Sekilas tampak ramah dan sopan, tetapi entah mengapa lama kelamaan tatapan itu seakan mengandung makna lain. Seperti ada seringai menggoda yang membuat Adinda merasa risi.Alvin tidak menjawab, memilih mengalihkan topik. Membicarakan hal yang sama sekali Adinda tidak mengerti. Namun, ia tahu yang Alvin bahas adalah mengenai pekerjaan. Jadi, sudah pasti bapak-bapak genit yang masih berusaha memancing perhatiaannya ini adalah salah satu kilen perusahaan keluarga Alvin.“Ada yang salah d

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   RASA IBA

    Alvin berdecap kesal saat bayangan Adinda yang menyorotkan wajah penuh luka terus saja melintas di kepalanya. Padahal hal itu sudah berlalu duapuluh empat jam, dan seharusnya ia lupakan. Bahkan, percakapan terakhir mereka pun masih terekam jelas hingga saat ini. “Kenapa kamu diam saja dihina seperti itu?” tanya Alvin yang merasa bingung dengan reaksi Adinda saat mendapat penghinaan. “Saya sudah terbiasa mendapatkan cercaan. Dan lagi, saya memang bersalah kepada wanita tadi,” jelas Adinda dengan senyuman sendu. Namun, saat menoleh ke arahnya, wanita itu menghilangkan raut sendu dengan senyuman ceria yang nyatanya tidak berhasil menutupi luka yang tersirat dari netra lentik itu. “Siapa wanita tadi?” Alvin tahu seharusnya dia tidak ikut campur dan berlagak peduli seperti ini. “Maaf, saya nggak bisa menjawab pertanyaan itu. Yang jelas, dia adalah alasan saya menika

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   TERBONGKAR

    Seperti biasa, Adinda akan menyiapkan makan siang untuk Alvin dengan mengemasnya di dalam bok seperti makanan yang dipesan dari katering. Hal ini sudah berjalan hampir dua minggu dan sampai hari ini Alvin belum menyadari jika masakan yang ia santap adalah olahan Adinda. Wanita itu memang sengaja membedakan masakan yang ia masak untuk sarapan dan makan siang, jadi Alvin tidak perlu curiga sama sekali.“Ibu ke mana?” Adinda menjatuhkan mangkuk yang ia pegang karena terkejut. Alvin tiba-tiba saja muncul di dapur tanpa memberi tanda.“Ah, maaf, saya ngagetin kamu?” ringis Alvin tidak enak. Lalu dengan sigap membantu Adinda memebereskan makanan yang berantakan.“Mas Alvin kok tumben udah pulang?” tanya Adinda untuk mengalihkan rasa canggung yang tercipta. Setelah Alvin menanggalkan tatapan sinisnya, suasana yang sering terjadi di antara mereka malah penuh dengan kecanggungan.

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   14. JALANI, BOSAN, BERCERAI

    “Mbak Dinda ngapain?” Almira ikut duduk di lantai, berdampingan dengan Adinda yang kini terlihat sibuk mengerjakan sesuatu. “Lagi iseng aja, nggak punya kerjaan bingung aku,” jawab Adinda sembari tersenyum, lalu kembali fokus pada pekerjaan di tangannya. “Itu mau bikin tas, Mbak?” tanya Almira lagi seraya mengamati gerakan tangan Adinda di mana ada benda seperti besi kecil di tangan kanan wanita itu, sementara tangan sebelah kiri terdapat benang dengan ukuran besar yang melilit telunjuknya. “Iya, ini namanmya ngerajut,” jelas Adinda. Ia sering membuat berbagai macam benda seperti; tas, gelang, cincin, sepatu bayi. Dulu, biasanya semua barang itu ia tawarkan pada tetangga atau teman-temannya. Sekarang, ia seperti terputus dengan kontak dunia luar, sehingga apa yang ia buat memang hanya sebntuk untuk mengisi waktu luang. “Mbak Dinda itu apa si yang nggak bisa,” ujar Almira dengan tatapan kagum.

Bab terbaru

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   EPILOG

    Adinda menyibak tirai penutup jendela kaca yang membentang dari ujung ke ujung. Senyum itu merekah saat pemandangan laut lepas menjadi pemandangan indah yang kini menyejukkan mata. Rengkuhan hangat dari belakang tubuhnya membuat senyum itu merambat ke mata dan menunjukkan binar bahagia yang smakin terlihat nyata. "Gimana, suka?" tanya Alvin menciumi puncak kepala wanita yang sudah hampir dua bulan ini menjadi istrinya. Rencana bulan madu yang terus tertunda itu akhirnya terealisasi dan keduanya memutuskan untuk pergi ke Bali. Bukan memutuskan sebenarnya, Alvin mendapat tiket bulan madu gratis dari salah satu kliennya dan ternyata pelayanan yang dirinya dapat cukup berkelas. Adinda mendongak sembari menjawab, "Suka banget," katanya, lalu menepuk lengan suaminya saat satu kecupan laki-laki itu daratkan di bibirnya. Alvin hanya tertawa geli mendapat respon seperti ini. "Kamu sudah buat daftar perjalanan kita?" Laki-la

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   53. HARI BAHAGIA

    Pesta pernikahan itu digelar dengan sederhana, tetapi terasa begitu sakral dan intim. Hanya keluarga dekat yang diundang. Bahkan rekan kerja Alvin pun hanya dipilih yang benar-benar sudah bekerja sama lama dengan laki-laki itu.Sementara Adinda sendiri tidak memiliki teman yang harus dirinya undang. Hanya teman kerja yang baru-baru ini dirinya kenal dan juga beberapa tetangga yang sering menolongnya. Untuk wali nikah sendiri, Adinda menggunakan wali hakim. Karena entah kebetulan atau bagaimana, satu-satunya om yang dirinya miliki dari pihak ayah sedang ke luar negeri dan tidak tahu kapan pastinya akan kembali. Tentu saja itu menjadi hal menguntungkan bagi Adinda, karena dirinya tidak harus berurusan dengan laki-laki yang begitu kejam itu. Bahkan jika bisa, seumur hidupnya Adinda tidak ingin lagi bertemu dengan laki-laki itu.Adinda terlihat begitu bahagia dan juga cantik hari ini. Meski sebenarnya ini bukan pernikahan yang pertama, tetapi te

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   52. PERNIKAHAN SEDERHANA

    Adinda segera mengikuti langkah Alvin ke luar dari kafe. Dan kondisi yang terjadi selanjutnya adalah hening. Alvin sibuk dengan kemudi dan jalanan macet di depannya. Sementara Adinda sendiri bingung harus mulai menjelaskan perkara tadi dari mana."Tadi Alvaro cuman mau pamit," ujar wanita itu pada akhirnya. Tidak mau ada kesalah pahaman yang ia takutkan akan mengacaukan hari penting mereka."Dia mau pindah ke luar negeri, dan tadi itu cuman salam perpisahan." Wanita itu menoleh ke arah Alvin yang juga manatap ke arahnya dengan pandangan datar."Kenapa nggak ngomong dulu?" Kali ini Adinda mengerjab bingung."Mas Alvin nggak baca pesan aku?" Laki-laki itu tampak mengernyitkan dahi, lalu memeriksa ponselnya yang berada di dalam saku."Maaf aku nggak sempet pegang hape tadi." Penjelasan yang membuat Adinda merasa sedih karena dibohongi."Kan kamu telpon kalau aku

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   51. ALVARO PERGI

    Adinda berusaha untuk berpikir positif dengan apa yang Alvin lakukan. Maka alih-alih menghampiri laki-laki itu, Adinda memutuskan untuk pergi ke tujuan awalnya. Mungkin calon suaminya itu membutuhkan waktu untuk sendiri. Entah apa yang sedang Alvin pikirkan saat ini. Apakah laki-laki itu menyesal dengan keputusan pernikahan ini? Adinda menggelengkan kepalanya, mencoba menghapus pemikiran buruk itu. Mengalihkan pada kegiatannya membeli barang-barang yang ia butuhkan.Kegiatan Adinda terhenti saat ponselnya berdering. Namun, wanita itu ragu untuk mengangkatnya karena sang penelpon adalah seseorang yang sudah lama sekali tidak ia temui. Adinda memutuskan untuk mengangkat panggilan tersebut saat mengingat kembali perpisahan yang mereka jalani adalah dengan cara baik-baik."Hai, Va, ada apa?" Adinda berusaha untuk santai. Meski tidak lagi memiliki hubungan dekat dengan Alvaro, tetapi mungkin mereka masih bisa untuk menjadi teman.

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   50. PERDEBATAN

    Rasanya masih tidak percaya dengan apa yang terjadi pada hidupnya kini. Bahkan, Adinda masih sering merasa takut jika kebahagiaan yang kini dirinya rasakan hanyalah sebuah mimpi. Namun, perdebatan yang kini tengah terjadi di sampingnya seolah menyentaknya pada kenyataan hidup, di mana roda tengah berputar di atas. Bukan tentang ekonomi, tetapi roda kebahagiaan yang ia rasakan kali ini porsinya melebihi dari sekadar jumlah uang dengan nilai tinggi."Bu, Alvin sama Adinda sudah membahas ini sebelumnya, dan kami sepakat untuk menggelar pesta sederhana."Adinda yang mendengar penjelasan Alvin hanya bisa meringis bingung karena sedikit lagi akan ada yang mendebat."Nggak bisa gitu, Vin. Kita juga harus memberi kenangan buat Adinda. Meski ini bukan pernikahan pertama, tapi Adinda juga pasti ingin mengalami sesuatu yang berkesan." Marlina masih kekeh dengan pendapatnya yang dirasa benar.Adinda yang ingin m

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   49. TAKDIR YANG UNIK

    Adinda mengernyitkan dahi saat terdengar suara mobil yang tidak lagi asing berhenti di depan rumahnya. Mungkin akan menjadi hal yang biasa jika mobil itu datang di jam biasa dirinya berangkat bekerja. Namun, kali ini jam masih menunjukkan pukul lima pagi dan wanita itu baru saja melipat mukenanya demi menjalankan salat subuh.Wanita yang masih mengenakan piyama bermotif bunga itu pun segera ke luar. Membuka pintu tepat sebelum sosok Alvin mengetuk pintu rumahnya. Kini, laki-laki itu sudah berdiri di sana sembari menunjukkan senyum menawan yang akhir-akhir ini mulai menjadi mimpi indah bagi seorang Adinda."Mas Alvin ngapain?" tanya Adinda masih dengan wajah bingung. Bukannya langsung menjawab, laki-laki di depannya malah melihat ke jam yang melingkar di tangan, sebelum kembali menatap dirinya."Kamu punya waktu sepuluh menit untuk bersiap." Alvin mengatakan itu tanpa beban, seolah Adinda tidak akan dibuat bingung.

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   48. CUKUP DIAM DAN MENUNGGU

    "Wah, Dinda keren, ya, yang jemput mobilnya ganti-ganti terus," bisik salah satu rekan kerja Adinda. Tidak benar-benar berbisik sebenarnya. Terbukti dari jarak Adinda yang cukup jauh masih bisa mendengar obrolan tersebut. Bahkan salah satunya menghampiri Adinda yang sudah siap untuk melangkah ke luar karena Alvin memang sudah menunggunya. Dan lagi ini memang sudah waktunya pulang."Yang jemput orangnya sama nggak, Din?" Nada kepo terdengar jelas dari bibir wanita yang kini berdiri di samping Adinda.Adinda hanya tersenyum, enggan menjawab karena tahu apa tujuan orang-orang ini mengurusi hidupnya. "Saya duluan, ya. Kalian hati-hati," ujarnya sembari meneruskan langkah, mencoba mengabaikan cibiran tidak menyenangkan yang terdengar dari belakangnya."Capek?" Sambutan lembut dengan senyuman menenangkan ini sudah menjadi rutinitas yang Adinda dapat.Alvin memang selalu menyempatkan waktu untuk menjemputny

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   47. KOMITMEN

    Senyum terus terpatri di wajah wanita itu sejak beberapa hari ini. Adinda lupa kapan tepatnya terakhir kali ia merasakan kebahagiaan seperti ini dalam hatinya. Terkadang rasa takut itu muncul. Wanita itu takut jika semua rasa menyenangkan ini hanyalah sesuatu yang semu, atau malah yang sebenarnya terjadi ini adalah mimpi. Namun, kemunculan Alvin yang setia menjemput dan mengantarkannya ke tempat kerja membuat keyakinan Adinda muncul. Ini bukan mimpi, Alvin memang tengah menjanjikan sebuah kebahagiaan untuk masa depan yang sudah ia impikan sejak lama.'Kabahagiaan itu memang nggak abadi, adakalanya kita merasa sakit. Mungkin Tuhan hanya sedang menunjukkan bahwa Dia punya kuasa untuk membolak-balikkan kehidupan manusia pada titik mana pun. Lagi pula, bukankah kita akan mengenal rasa bahagia setelah kita merasakan sebuah sakit karena penderitaan?'Entah di mana Adinda pernah mendengar kalimat seperti itu. Rasa sakit ada untuk kita lebih belajar

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   46. MEMULAI DENGAN CARA YANG BENAR

    Adinda bisa merasakan sesuatu yang baik baru saja terjadi pada dirinya. Jika kemarin ada rasa tidak nyaman setiap kali ia bangun dari tidurnya yang tidak pernah terasa lelap. Maka kali ini rasanya sangat berbeda. Entah malam tadi ia bermimpi atau tidak. Namun, dirinya seperti merasakan kehadiran Alvin di kamar Marlina. Laki-laki itu seperti mengucapkan banyak kalimat menenangkan, dan mengecup keningnya sebelum pergi. Adinda tidak tahu itu mimpi atau bukan. Dan misalkan semua itu mimpi, sungguh itu mimpi paling nyata yang pernah ia rasakan.Maka saat dirinya keluar kamar, dan bertepatan dengan sosok Alvin yang juga baru keluar dari kamar sebelah, Adinda tidak bisa untuk tidak gugup. Namun, hal berbeda ditunjukkan oleh Alvin. Laki-laki itu tampak santai dengan senyum yang terus mengembang di bibir. Meski malam ini tidak bisa tidur dengan lelap karena terus memikirkan wanita yang sedang dihampirinya itu, tetapi Alvin merasakan jika perasaannya semakin membaik.

DMCA.com Protection Status