Home / Romansa / BUKAN KISAH SEMPURNA / PERLAKUAN KASAR

Share

PERLAKUAN KASAR

Author: Aya Arini
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Jangan bayangkan malam pertama yang akan Adinda alami adalah malam pertama layaknya pengantin baru pada umumnya. Meski Adinda sendiri juga tidak bisa membayangkan bagaimana seharausnya malam pertama, tetapi setidaknya ia yakin bukan seperti yang ia alami saat ini. Paling tidak, seharusnya ia tidur bersama laki-laki yang sudah sah menjadi suaminya. Bukan seperti saat ini, ia tidur di kamar yang berbeda dengan kamar yang Alvin tempati.

Sebenarnya Adinda tidak terlalu memikirkan itu. Ia merasa baik-baik saja dengan terpisah kamar karena pasti akan sangat canggung jika ia malah harus ssatu kamar dengan Alvin. Walaupun status mereka sudah sah menjadi suami istri di mata hukum dan agama, tetapi mereka tetap saja orang asing yang tidak sengaja dipertemukan takdir untuk menikah. Dan yang harus Adinda lakukan saat ini adalah, menyusun rencana untuk meluluhkan hati seorang Alvin.

Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari, tetapi mata Adinda belum juga bisa terpejam. Ia tipe orang yang akan susah tidur di tempat asing. Dan meski kamar ini begitu nyaman untuk ia tempati, tetapi Adinda perlu beradaptasi dengan semuanya. Belum lagi bayangan Alvaro terus saja mengusiknya. Sudah dua hari ini ia tidak menjenguk kekasihnya itu, hal yang kali ini membuat hati Adinda sungguh merasa resah. Ia telah mengkhianati Alvaro secara diam-diam, dan Adinda sendiri tidak tahu hal ini akan berlangsung sampai kapan. Enggan memikirkan apa yang terjadi nanti, wanita yang sudah mengenakan piyama tidur itu memilih bangkit. Ia lupa menyiapkan botol minum yang biasanya memang ia letakkan di dekat tempat tidurnya.

“Harusnya ngggak begini.” Suara lirih itu membuat langkah Adinda terhenti.

“Harusnya aku nolak.” Lagi, Adinda mencoba menajamkan pendengarannya, dan ia meyakini jika suara itu berasal dari kamar yang tepat berada di sampingnya.

“Gimana aku bisa melalui hari setelah ini, Sayang? Aku nggak bisa kayak gini. Aku melukai kamu.” Adinda mendekat ke pintu kamar Alvin karena itu memang suara yang berasal dari sana, dan Adinda sangat yakin jika itu adalah suara Alvin.

“Seharusnya aku tahu kalau cepat atau lambat kamu pasti akan tahu pengkhianatan yang aku lakukan.” Adinda mengerutkan kening, mencoba membaca situasi yang kini terjadi pada Alvin. Laki-laki itu seperti tengah terisak.

“Aku udah janji untuk nggak nyakitin kamu, tapi aku berbohong. Aku benar-benar nggak berguna sama sekali.” Hening, hanya terdengar bersitan hidung yang menandakan Alvin memang benar-benar tengah menangis.

“Kamu boleh marah, kamu boleh marah sama aku, Yang. Aku memang pantas menerima itu, kok. Kamu wajib marah malah.” Harusnya Adinda pergi saat itu juga sebelum Alvin menyadari ada orang yang sedang menguping di balik pintu kamarnya. Namun, entah mengapa kaki Adinda seolah sulit sekali untuk digerakkan.

“Mungkin akan lebih baik kalau kamu nampar aku, Sayang.” Nada bicara yang Alvin gunakan  benar-benar menyayat hati. Adinda yang mendengarkan langsung seperti ini, ikut merasa sedih. Bahkan ada rasa bersalah yang kini menyusup di dalam hatinya. Alvin begitu mencintai Sofia, dan kini kehadirannya apakah memang menyakiti wanita itu? Apa seharusnya ia tidak pernah berada di sini?

“Ngapain kamu?” Adinda berjengit kaget saat sosok Alvin sudah berdiri menjulang di sampingnya. Sejak kapan pintu terbuka? Dan sejak kapan sosok ini ada di sampingnya? Astaga! Kenapa Adinda sampai tidak menyadari pintu yang terbuka?

“Kamu tahu yang namanya sopan santun?” sengit Alvin pada Adinda yang hanya bisa meringis malu.

“Jangan pikir setelah kita menikah maka kamu bisa bertingkah seenaknya. Ingat satu hal, saya menikahi kamu karena terpaksa, dan saya harap kamu paham situasinya.” Alvin mengatakan itu dengan lirih, tetapi wajah yang laki-laki itu tunjukkan penuh dengan ancaman.

“Dan satu lagi.” Langkah Alvin terhenti, lalu tanpa menoleh laki-laki itu mengimbuhkan, “Jangan berusaha untuk mengambil hati saya karena itu akan menjadi percuma. Jalani saja pernikahan ini apa adanya, sampai ibu saya bosan dan kita bisa segera bercerai,” desis Alvin sembari melanjutkan langkahnya untuk menjauh.

Adinda yang memang berniat untuk mengambil minum pun turun ke dapur, dan ternyata Alvin sedang berada di tempat itu juga.

“Mas Alvin lapar?” tanya Adinda saat menyadari Alvin seperti tengah mencari-cari sesuatu.

“Bukan urusan kamu,” balas laki-laki itu dingin. Memilih untuk menuang air di dalam gelas, lalu menenggaknya. Setelah itu pergi begitu saja.

Adinda yang melihat itu hanya menghela napas, lalu membuka kulkas. Mengeluar masakan yang ia buat sore tadi. Sengaja ia memasak untuk Alvin, dan berakhir tidak tersentuh barang sedikit pun. Wajar saja jika Alvin kelaparan karena memang yang Adinda tahu, laki-laki itu tidak makan sejak siang. Adinda pun memanaskan masakan itu, dan setelahnya menyiapkan di meja.

Setela mengambil air mineral di botol, ia segera menuju kamar Alvin. Tentu saja wanita itu hanya berdiri di depan pintu kamar.

“Mas Alvin kalau mau makan sudah saya siapkan di meja. Maaf, saya ngantuk, jadi ggak bisa nemenin.” Setelah mengatakan itu, Adinda langsung masuk ke dalam kamar. Ia berdiri di depan pintu dengan telinga awas mendengarkan suara dari samping.

Detik demi detik berlalu, dan Adinda mulai menghela napas kecewa saat ternyata Alvin lebih keras kepala dari yang ia bayangkan. Namun, baru saja wanita itu hendak merebahkan tubuhnya, terdengar pintu sebelah, atau tepatnya pintu kamar Alvin terbuka, lalu tertutup.

Adinda tanpa sadar tersenyum, nyatanya Alvin hanya laki-laki biasa yang tidak akan kenyang dengan memakan gengsi.

*

“Wah, wangi sekali, Din, aromanya! Kamu masak apa?” tanya Marlina sembari melangkah ke arah dapur, tempat  di mana Adinda sedang memasak sesuatu di atas kompor.

“Di kulkas cuma ada telur, Bu. Jadi Dinda hanya bisa buat nasi goreng,” jawab wanita itu sembari mematikan kompor, lalu memindahkan nasi goreng sederhananya ke tempat lain.

“Ibu memang jarang masak, Din. Alvin pesen katering setiap harinya,” jelas Marlina yang memang dilarang Alvin untuk melakuan semua pekerjaan rumah. Ada ART yang setiap hari datang untuk bersih-bersih. Namun, untuk  memasak setiap hari, belum ada yang cocok di lidah laki-laki itu.

“Mulai sekarang Dinda aja yang masak ya, Bu. Daripada Dinda nggak ada kerjaan juga, kan?” ujar Adinda yang kini sedang merapikan piring di meja.

“Wah, Ibu malah seneng! Masakan kamu enak banget. Dan yang pasti, cocok buat Alvin. Malem aja dia lahap banget makannya.”

Eh? Adinda segera menoleh dengan raut bingung.

Marlina malah tertawa kecil. “Ibu lihat semuanya tadi malam, termasuk yang dia malam-malam makan karena kelaparan.”

Adinda ikut tersenyum karena ternyata Alvin memang benar-benar menikmati masakannya semalam. Yah, walaupun itu semua mungkin karena terpaksa, tetapi Adinda tetap merasa senang.

“Alvin suka telurnya setengah matang Din,” ujar Marlina saat melihat Adinda kembali berkutat di depan kompor untuk membuat telur ceplok.

“Iya, Bu,” jawab Adinda dengan senyuman lembut. Di mata Marlina, wanita muda ini benar-benar menantu idaman yang selama ini ia idam-idamkan. Dia dan Sofia memiliki banyak kesamaan. Dan seharusnya, Alvin akan lebih mudah untuk belajar mencintai wanita ini.

“Kamu kayaknya yang udah mahir banget ngelakuin ini semua, Din?”

Adinda kembali menunjukkan senyum lembut. “Adinda udah terbiasa hidup sendiri. Bu. Jadi mau nggak mau ya harus bisa melakukan apa pun.” Apa pun yang Adinda maksud itu benar-benar menyangkut banyak hal. Termasuk mengganti gas yang habis, mengganti lampu yang putus, mengecat tembok walau ala kadarnya, dan semua pekerjaan yang katanya tugas laki-laki ia kerjakan sendiri.

“Ibu benar-benar bangga punya menantu seperti kamu,. Nak,” ujar Marlina sungguh-sungguh. Ia semakin merasa Tuhan tidak salah mempertemukan mereka hari itu. Tentu saja tidak ada yang kebetulan, semuanya berjalan sesuai jalan yang sudah Tuhan rencanakan.

“Ibu, jangan terlalu memuji seperti itu.” Adinda paling tidak nyaman mendengar pujian terhadap dirinya. Kadang, ia takut jika seseorang menyukainya, maka nantinya akan kecewa dan berbalik membencinya saat ia melakukan kesalahan kecil.

“Ibu nggak berlebihan. Kamu itu memang wanita baik yang sudah sangat langka jumlahnya.”

Adinda malah tertawa mendengar kata langka yang Marlina katakan.

“Eh, kok langka, ya, jadi kayak apa aja kamu ini.” Marlina terkekeh saat menyadari kalimat kurang pas yang ia ucapkan sendiri. Adinda hanya tersenyum sembari menyeduh teh hangat untuk mereka bertiga.

“Kamu itu pokoknya menantu idaman lah.”

Adinda kembali hanya tersenyum, sudah dikatakan bukan, kalau dia terlalu takut saat harus mendengar pujian seperti ini.

Obrolan itu terus berlangsung seru tanpa seorang pun menyadari keberadaan laki-laki yang sejak tadi tengah menguping di balik tembok. Tangannya mengepal kesal setiap kali ibunya memuji sosok wanita yang kini sedang meletakkan cangkir berisi teh ke atas meja.

“Alvin! Sini Nak, kita makan bareng!” Laki-laki itu tersentak saat sadar ternyata keberadaannya sudah diketahui.

“Alvin harus berangkat sekarang, Bu!” elak Alvin berniat untuk pergi.

“Alvin.” Teguran itu menghentikan langkah Alvin, dan dengan sangat berat kaki itu melangkah ke arah meja makan.

“Duduk sini! Kamu harus cobain nasi goreng buatan Dinda. Ini enak banget,” puji Marlina sembari mengisyaratkan Adinda untuk melayani Alvin. Namun, baru gadis itu hendak bangkit untuk menyendokkan nasi goreng ke piring Alvin, laki-laki itu sudah mengambil sendiri dengan porsi yang sangat sedikit.

“Enak, kan?”

Alvin tidak menjawab, hanya menyuapnya sekali, lalu bangkit dari duduknya. Nafsu makannya menghilang sejak ibunya terus menyanjung wanita ini. Dan lihat saja! Wanita munafik itu sangat suka saat dipuji-puji. Alvin bisa melihat wajah Adinda yang terus merona setiap kali Marlina memujinya.

“Loh, nggak dimakan? Adinda udah capek-capek buat. loh, Vin.”

“Maaf Bu, Alvin sedang tidak berselara dengan nasi goreng.” Mulai saat ini bahkan mungkin ia akan membenci makanan itu.

“Jangan begitu, Vin, Seenggaknhya kamu hargai niat baik Dinda,” ujar Marlina berusaha sabar, sesekali melirik ke arah Adinda yang masih tampak tenang seperti biasa. Wanita itu sungguh pintar menyembunyikan perasaan yang sebenarnya.

Alvin mendengus malas, lalu tersenyum dengan wajah mencemooh ke arah Adinda. “Apa yang harus dihargai dari wanita semacam dia?” Alvin melirik sengit ke arah Adinda yang masih saja diam.

“Alvin! Jaga bicara kamu!” Marlina tampak geram dengan perkataan putranya, sementara Adinda masih saja tidak memberikan reaksi berarti. Sebenarnya Adinda hanya sedang merasa dejavu dengan semua perlakuan ini. Ia pernah mendapat perlakuan yang lebih kasar dari ini saat Alvaro mengajaknya bertemu dengan orang tua laki-laki itu.

“Bu! Jangan paksa Alvin untuk menghargai orang munafik yang Ibu bayar untuk hal yang sia-sia!” Setelah mengatakan itu Alvin segera pergi meningalkan Marlina yang tampak syok.

“Ibu nggak apa-apa?” tanya Adinda cemas.

“Bukannya seharusnya Ibu yang tanya itu ke kamu?”

Adinda tersenyum lembut, lesung pipi di sebelah kanannya membuat wajah wanita ini tampak begitu manis. “Dinda nggak apa-apa. Dinda sudah menyiapkan hati untuk perlakuan semacam ini, Jadi Dinda biasa aja.” Yang ia katakan itu memang benar adanya. Dan mulai sekarang, ia akan menambah kadar tebal muka untuk bisa menghadapi sikap kasar dan dingin yang Alvin tunjukkan.

Related chapters

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   PERJUANGAN ADINDA

    Meski hanya didasari oleh sesuatu selain cinta, tetapi pernikahan yang Adinda jalani sah menurut hukum dan agama. Jadi saat Marlina memintanya keluar dari kafe agar lebih fokus untuk mendekati Alvin, maka Adinda tidak berniat membantahnya sama sekali. Ia akan mengabdi pada ibu mertua dan suaminya dengan sepenuh hati, layaknya seorang istri. Meskipun ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada hubungan ini di depan sana nanti. Namun, untuk saat ini tugasnya adalah membayar hutangnya pada Marlina dengan cara yang sudah ditentukan.Wanita dengan rambut sebatas punggung itu masuk ke kantor Alvin. Jika kemarin-kemarin kehadirannya tidak terlalu mendapat perhatian, maka berbeda dengan hari ini. Semua karyawan Alvin tahu jika dirinya adalah istri baru laki-laki itu. Banyak yang mengangguk sopan dengan aura tulus, ada juga yang terlihat melempar tatapan nyinyir, dan masih banyak jenis tatapan yang Adinda dapat. Namun, meski begitu ia memilih untuk tidak peduli karena tujua

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   KEDATANGAN ALMIRA

    Meskipun Alvin tidak mengetahui jika makanan yang dinikmati adalah hasil karyanya, tetapi Adinda tetap merasa bahagia. Apalagi setiap kali Tari memberi laporan jika makanan tersebut selalu habis tidak tersisa. Hal yang membuat Adinda semakin merasa semangat untuk memasak, dan mengeksplor berbagai resep. Setelah berhasil menyusup secara sembunyi-sembunyi melalui masakan, Adinda mulai memikirkan cara lain.“Bi!” panggil Adinda pada ART yang sedang melangkah ke arah kamar Alvin.“Ya, Mbak Dinda. Ada yang bisa saya bantu?” jawab wanita berusia sekitar empat puluh tahunan bernama Sri itu.“Emm, Bibi mau bersihin kamar Mas Alvin?” tanya Adinda hati-hati. Ini hari Minggu dan Alvin baru saja ke luar untuk berolah raga.“Eh, iya, Mbak.” Bi Sri terlihat kebingungan juga ada aura waspada yang wanita itu tunjukkan.“Boleh saya saja,

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   PERSETUJUAN ALVIN

    “Aduh, Mbak, takuuut,” bisik Almira yang sudah berdiri di depan kamar Alvin. Sementara di tangan gadis itu, bernaung nampan berisi nasi beserta lauk dan minumannya. “Dia, kan, Mas kamu. Nggak papa.” Adinda yang memiliki ide ini, berusaha membuat Almira semangat. Padahal Adinda sendiri juga sebenarnya takut. Bisa ia bayangkan reaksi yang akan Alvin berikan nanti. Sepertinya, laki-laki itu akan marah, dan itu sebabnya ia mengajak Almira. “Ih, tapi aku beneran takut. Mbak aja!” Almira menyorongkan nampan di tangannya pada Adinda. Mereka memang baru saja saling mengenal, tetapi satu sama lain sudah tidak lagi memiliki rasa sungkan. Adinda menggeleng dengan ringisan ngeri. “Kalau sama kamu marahnya pasti nggak yang gimana-gimana. Secara kamu, kan, adiknya.” Itu kenapa Adinda merasa Almira bisa ia andalkan untuk membantunya menjalankan rencana ini. Jika dirinya sendiri yang mendekat, sudah pasti Alvin akan sangat

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   KESEMPATAN

    Alvin bersedekap sembari memperhatikan Adinda yang sedang mengajak Sofia mengobrol. Hal yang biasanya hanya ia lakukan seorang diri karena yang lainnya tidak pernah mau walaupun untuk sekadar mengecek kondisi istrinya ini. Saat ini Alvin hanya sedang memberi Adinda kesempatan, jadi dia tidak boleh lengah. Ia hanya akan mengizinkan Adinda masuk ke dalam kamar saat dirinya ada. Alvin menitipkan Sofia pada Bi Sri jika dirinya sedang tidak ada di rumah. Ia percaya pada wanita itu karena sejak dulu Sofia dan Bi Sri memang sangat akrab. Sebenarnya, ibunya dan Almira juga sangat dekat dengan Sofia. Namun, semenjak kecelakaan nahas itu, keduanya seperti kecewa dengan kondisi yang kini istrinya alami, dan tidak pernah mau untuk sekadar melihat. “Saya pamit ke kamar dulu, ya, Mas.” Adinda sudah berdiri di hadapannya dan sempat membuat Alvin terkejut karena sedari tadi pikirannya memang sedang tidak ada di tempat. “Suda

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   DURI YANG MENGGANGGU

    Adinda hanya diam, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Senantiasa berdiri di belakang laki-laki itu, meski kadang keberadaannya seperti tidak terlihat. Alvin hanya akan menjawab dengan senyum tipis, jika pertanyaan tentang siapa dirinya muncul. “Oh, ini istrinya Pak Alvin?” tanya salah satu laki-laki berusia sekitar lima puluh tahunan. Ada kumis tipis yang menghiasi wajah laki-laki itu. Sekilas tampak ramah dan sopan, tetapi entah mengapa lama kelamaan tatapan itu seakan mengandung makna lain. Seperti ada seringai menggoda yang membuat Adinda merasa risi. Alvin tidak menjawab, memilih mengalihkan topik. Membicarakan hal yang sama sekali Adinda tidak mengerti. Namun, ia tahu yang Alvin bahas adalah mengenai pekerjaan. Jadi, sudah pasti bapak-bapak genit yang masih berusaha memancing perhatiaanya ini adalah salah satu kilen Alvin. “Ada yang salah dengan istri saya, Pak?” Adinda sontak mendongak untuk mena

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   SOROT LELAH

    Adinda hanya diam, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Senantiasa berdiri di belakang laki-laki itu, meski kadang keberadaannya seperti tidak terlihat. Alvin hanya akan menjawab dengan senyum tipis, jika pertanyaan tentang siapa dirinya muncul.“Oh, ini istrinya Pak Alvin?” Contohnya yang satu ini. Seorang laki-laki berkumis dengan usia kisaran lima puluh tahunan bertanya sembari mencuri pandang kea rah Adinda. Sekilas tampak ramah dan sopan, tetapi entah mengapa lama kelamaan tatapan itu seakan mengandung makna lain. Seperti ada seringai menggoda yang membuat Adinda merasa risi.Alvin tidak menjawab, memilih mengalihkan topik. Membicarakan hal yang sama sekali Adinda tidak mengerti. Namun, ia tahu yang Alvin bahas adalah mengenai pekerjaan. Jadi, sudah pasti bapak-bapak genit yang masih berusaha memancing perhatiaannya ini adalah salah satu kilen perusahaan keluarga Alvin.“Ada yang salah d

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   RASA IBA

    Alvin berdecap kesal saat bayangan Adinda yang menyorotkan wajah penuh luka terus saja melintas di kepalanya. Padahal hal itu sudah berlalu duapuluh empat jam, dan seharusnya ia lupakan. Bahkan, percakapan terakhir mereka pun masih terekam jelas hingga saat ini. “Kenapa kamu diam saja dihina seperti itu?” tanya Alvin yang merasa bingung dengan reaksi Adinda saat mendapat penghinaan. “Saya sudah terbiasa mendapatkan cercaan. Dan lagi, saya memang bersalah kepada wanita tadi,” jelas Adinda dengan senyuman sendu. Namun, saat menoleh ke arahnya, wanita itu menghilangkan raut sendu dengan senyuman ceria yang nyatanya tidak berhasil menutupi luka yang tersirat dari netra lentik itu. “Siapa wanita tadi?” Alvin tahu seharusnya dia tidak ikut campur dan berlagak peduli seperti ini. “Maaf, saya nggak bisa menjawab pertanyaan itu. Yang jelas, dia adalah alasan saya menika

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   TERBONGKAR

    Seperti biasa, Adinda akan menyiapkan makan siang untuk Alvin dengan mengemasnya di dalam bok seperti makanan yang dipesan dari katering. Hal ini sudah berjalan hampir dua minggu dan sampai hari ini Alvin belum menyadari jika masakan yang ia santap adalah olahan Adinda. Wanita itu memang sengaja membedakan masakan yang ia masak untuk sarapan dan makan siang, jadi Alvin tidak perlu curiga sama sekali.“Ibu ke mana?” Adinda menjatuhkan mangkuk yang ia pegang karena terkejut. Alvin tiba-tiba saja muncul di dapur tanpa memberi tanda.“Ah, maaf, saya ngagetin kamu?” ringis Alvin tidak enak. Lalu dengan sigap membantu Adinda memebereskan makanan yang berantakan.“Mas Alvin kok tumben udah pulang?” tanya Adinda untuk mengalihkan rasa canggung yang tercipta. Setelah Alvin menanggalkan tatapan sinisnya, suasana yang sering terjadi di antara mereka malah penuh dengan kecanggungan.

Latest chapter

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   EPILOG

    Adinda menyibak tirai penutup jendela kaca yang membentang dari ujung ke ujung. Senyum itu merekah saat pemandangan laut lepas menjadi pemandangan indah yang kini menyejukkan mata. Rengkuhan hangat dari belakang tubuhnya membuat senyum itu merambat ke mata dan menunjukkan binar bahagia yang smakin terlihat nyata. "Gimana, suka?" tanya Alvin menciumi puncak kepala wanita yang sudah hampir dua bulan ini menjadi istrinya. Rencana bulan madu yang terus tertunda itu akhirnya terealisasi dan keduanya memutuskan untuk pergi ke Bali. Bukan memutuskan sebenarnya, Alvin mendapat tiket bulan madu gratis dari salah satu kliennya dan ternyata pelayanan yang dirinya dapat cukup berkelas. Adinda mendongak sembari menjawab, "Suka banget," katanya, lalu menepuk lengan suaminya saat satu kecupan laki-laki itu daratkan di bibirnya. Alvin hanya tertawa geli mendapat respon seperti ini. "Kamu sudah buat daftar perjalanan kita?" Laki-la

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   53. HARI BAHAGIA

    Pesta pernikahan itu digelar dengan sederhana, tetapi terasa begitu sakral dan intim. Hanya keluarga dekat yang diundang. Bahkan rekan kerja Alvin pun hanya dipilih yang benar-benar sudah bekerja sama lama dengan laki-laki itu.Sementara Adinda sendiri tidak memiliki teman yang harus dirinya undang. Hanya teman kerja yang baru-baru ini dirinya kenal dan juga beberapa tetangga yang sering menolongnya. Untuk wali nikah sendiri, Adinda menggunakan wali hakim. Karena entah kebetulan atau bagaimana, satu-satunya om yang dirinya miliki dari pihak ayah sedang ke luar negeri dan tidak tahu kapan pastinya akan kembali. Tentu saja itu menjadi hal menguntungkan bagi Adinda, karena dirinya tidak harus berurusan dengan laki-laki yang begitu kejam itu. Bahkan jika bisa, seumur hidupnya Adinda tidak ingin lagi bertemu dengan laki-laki itu.Adinda terlihat begitu bahagia dan juga cantik hari ini. Meski sebenarnya ini bukan pernikahan yang pertama, tetapi te

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   52. PERNIKAHAN SEDERHANA

    Adinda segera mengikuti langkah Alvin ke luar dari kafe. Dan kondisi yang terjadi selanjutnya adalah hening. Alvin sibuk dengan kemudi dan jalanan macet di depannya. Sementara Adinda sendiri bingung harus mulai menjelaskan perkara tadi dari mana."Tadi Alvaro cuman mau pamit," ujar wanita itu pada akhirnya. Tidak mau ada kesalah pahaman yang ia takutkan akan mengacaukan hari penting mereka."Dia mau pindah ke luar negeri, dan tadi itu cuman salam perpisahan." Wanita itu menoleh ke arah Alvin yang juga manatap ke arahnya dengan pandangan datar."Kenapa nggak ngomong dulu?" Kali ini Adinda mengerjab bingung."Mas Alvin nggak baca pesan aku?" Laki-laki itu tampak mengernyitkan dahi, lalu memeriksa ponselnya yang berada di dalam saku."Maaf aku nggak sempet pegang hape tadi." Penjelasan yang membuat Adinda merasa sedih karena dibohongi."Kan kamu telpon kalau aku

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   51. ALVARO PERGI

    Adinda berusaha untuk berpikir positif dengan apa yang Alvin lakukan. Maka alih-alih menghampiri laki-laki itu, Adinda memutuskan untuk pergi ke tujuan awalnya. Mungkin calon suaminya itu membutuhkan waktu untuk sendiri. Entah apa yang sedang Alvin pikirkan saat ini. Apakah laki-laki itu menyesal dengan keputusan pernikahan ini? Adinda menggelengkan kepalanya, mencoba menghapus pemikiran buruk itu. Mengalihkan pada kegiatannya membeli barang-barang yang ia butuhkan.Kegiatan Adinda terhenti saat ponselnya berdering. Namun, wanita itu ragu untuk mengangkatnya karena sang penelpon adalah seseorang yang sudah lama sekali tidak ia temui. Adinda memutuskan untuk mengangkat panggilan tersebut saat mengingat kembali perpisahan yang mereka jalani adalah dengan cara baik-baik."Hai, Va, ada apa?" Adinda berusaha untuk santai. Meski tidak lagi memiliki hubungan dekat dengan Alvaro, tetapi mungkin mereka masih bisa untuk menjadi teman.

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   50. PERDEBATAN

    Rasanya masih tidak percaya dengan apa yang terjadi pada hidupnya kini. Bahkan, Adinda masih sering merasa takut jika kebahagiaan yang kini dirinya rasakan hanyalah sebuah mimpi. Namun, perdebatan yang kini tengah terjadi di sampingnya seolah menyentaknya pada kenyataan hidup, di mana roda tengah berputar di atas. Bukan tentang ekonomi, tetapi roda kebahagiaan yang ia rasakan kali ini porsinya melebihi dari sekadar jumlah uang dengan nilai tinggi."Bu, Alvin sama Adinda sudah membahas ini sebelumnya, dan kami sepakat untuk menggelar pesta sederhana."Adinda yang mendengar penjelasan Alvin hanya bisa meringis bingung karena sedikit lagi akan ada yang mendebat."Nggak bisa gitu, Vin. Kita juga harus memberi kenangan buat Adinda. Meski ini bukan pernikahan pertama, tapi Adinda juga pasti ingin mengalami sesuatu yang berkesan." Marlina masih kekeh dengan pendapatnya yang dirasa benar.Adinda yang ingin m

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   49. TAKDIR YANG UNIK

    Adinda mengernyitkan dahi saat terdengar suara mobil yang tidak lagi asing berhenti di depan rumahnya. Mungkin akan menjadi hal yang biasa jika mobil itu datang di jam biasa dirinya berangkat bekerja. Namun, kali ini jam masih menunjukkan pukul lima pagi dan wanita itu baru saja melipat mukenanya demi menjalankan salat subuh.Wanita yang masih mengenakan piyama bermotif bunga itu pun segera ke luar. Membuka pintu tepat sebelum sosok Alvin mengetuk pintu rumahnya. Kini, laki-laki itu sudah berdiri di sana sembari menunjukkan senyum menawan yang akhir-akhir ini mulai menjadi mimpi indah bagi seorang Adinda."Mas Alvin ngapain?" tanya Adinda masih dengan wajah bingung. Bukannya langsung menjawab, laki-laki di depannya malah melihat ke jam yang melingkar di tangan, sebelum kembali menatap dirinya."Kamu punya waktu sepuluh menit untuk bersiap." Alvin mengatakan itu tanpa beban, seolah Adinda tidak akan dibuat bingung.

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   48. CUKUP DIAM DAN MENUNGGU

    "Wah, Dinda keren, ya, yang jemput mobilnya ganti-ganti terus," bisik salah satu rekan kerja Adinda. Tidak benar-benar berbisik sebenarnya. Terbukti dari jarak Adinda yang cukup jauh masih bisa mendengar obrolan tersebut. Bahkan salah satunya menghampiri Adinda yang sudah siap untuk melangkah ke luar karena Alvin memang sudah menunggunya. Dan lagi ini memang sudah waktunya pulang."Yang jemput orangnya sama nggak, Din?" Nada kepo terdengar jelas dari bibir wanita yang kini berdiri di samping Adinda.Adinda hanya tersenyum, enggan menjawab karena tahu apa tujuan orang-orang ini mengurusi hidupnya. "Saya duluan, ya. Kalian hati-hati," ujarnya sembari meneruskan langkah, mencoba mengabaikan cibiran tidak menyenangkan yang terdengar dari belakangnya."Capek?" Sambutan lembut dengan senyuman menenangkan ini sudah menjadi rutinitas yang Adinda dapat.Alvin memang selalu menyempatkan waktu untuk menjemputny

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   47. KOMITMEN

    Senyum terus terpatri di wajah wanita itu sejak beberapa hari ini. Adinda lupa kapan tepatnya terakhir kali ia merasakan kebahagiaan seperti ini dalam hatinya. Terkadang rasa takut itu muncul. Wanita itu takut jika semua rasa menyenangkan ini hanyalah sesuatu yang semu, atau malah yang sebenarnya terjadi ini adalah mimpi. Namun, kemunculan Alvin yang setia menjemput dan mengantarkannya ke tempat kerja membuat keyakinan Adinda muncul. Ini bukan mimpi, Alvin memang tengah menjanjikan sebuah kebahagiaan untuk masa depan yang sudah ia impikan sejak lama.'Kabahagiaan itu memang nggak abadi, adakalanya kita merasa sakit. Mungkin Tuhan hanya sedang menunjukkan bahwa Dia punya kuasa untuk membolak-balikkan kehidupan manusia pada titik mana pun. Lagi pula, bukankah kita akan mengenal rasa bahagia setelah kita merasakan sebuah sakit karena penderitaan?'Entah di mana Adinda pernah mendengar kalimat seperti itu. Rasa sakit ada untuk kita lebih belajar

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   46. MEMULAI DENGAN CARA YANG BENAR

    Adinda bisa merasakan sesuatu yang baik baru saja terjadi pada dirinya. Jika kemarin ada rasa tidak nyaman setiap kali ia bangun dari tidurnya yang tidak pernah terasa lelap. Maka kali ini rasanya sangat berbeda. Entah malam tadi ia bermimpi atau tidak. Namun, dirinya seperti merasakan kehadiran Alvin di kamar Marlina. Laki-laki itu seperti mengucapkan banyak kalimat menenangkan, dan mengecup keningnya sebelum pergi. Adinda tidak tahu itu mimpi atau bukan. Dan misalkan semua itu mimpi, sungguh itu mimpi paling nyata yang pernah ia rasakan.Maka saat dirinya keluar kamar, dan bertepatan dengan sosok Alvin yang juga baru keluar dari kamar sebelah, Adinda tidak bisa untuk tidak gugup. Namun, hal berbeda ditunjukkan oleh Alvin. Laki-laki itu tampak santai dengan senyum yang terus mengembang di bibir. Meski malam ini tidak bisa tidur dengan lelap karena terus memikirkan wanita yang sedang dihampirinya itu, tetapi Alvin merasakan jika perasaannya semakin membaik.

DMCA.com Protection Status