“Kamu bersedia untuk dimadu?” Adinda hanya diam mendengar kalimat dengan nada mencemooh itu ditujukan untuk dirinya. Marlina sudah memperingatkannya untuk tidak memasukkan apa yang anak laki-lakinya katakan ke dalam hati.
“Wanita baik mana yang mau dijadikan istri kedua?” Lagi, Adinda masih diam. Ia tahu Alvin hanya sedang menggoyahkan pendiriannya. Maka tugasnya hanya diam, dan mendengarkan.
“Sofia memang tidak lagi sempurna. Tapi itu tidak berarti saya akan meninggalkannya begitu saja. Apalagi menduakannya, sungguh saya tidak pernah berpikir ataupun sekadar membayangkannya.” Alvin menatap sengit Adinda, yang hanya diam tanpa merespon ucapannya. Namun, laki-laki itu tahu wanita ini akan berakhir sama dengan yang lainnya. Kabur saat sudah tidak tahan saat harus mendapat sikap dingin darinya.
“Apalagi pada wanita mata duitan kayak kamu.” Alvin tersenyum miring, ada dengusan sinis yang terdengar, saat melihat tangan Adinda mencengkeram ponsel yang wanita itu genggam dengan begitu keras. Sedikit lagi, ia akan berhasil menggagalkan rencana ibunya.
“Berapa yang Ibu saya tawarkan? Saya akan memberi lebih,” ujar Alvin langsung pada intinya, ia yakin ibunya memberi wanita ini banyak uang untuk merayunya. Dan Alvin yakin dengan jumlah yang lebih banyak, wanita ini akan mundur secara sukarela. Seperti yang terjadi beberapa waktu kemarin. Wanita-wanita itu, langsung mundur saat ia beri sikap dingin, dan kadang ia perlu menambahkan sedikit nominal di atas yang ibunya beri.
“Tulis berapa pun nominal yang kamu mau, saya akan kasih.” Alvin melempar cek ke hadapan Adinda, dan merasa semuanya akan selesai begitu saja. Namun, sepertinya kali ini tidak akan berjalan seperti biasa, karena wanita di depannya hanya diam. Bahkan masih terlihat tenang, tidak gentar sedikitpun dengan sikapnya.
“Maaf Mas Alvin, kamu salah menilai saya.” Gerakan Alvin pun terhenti, dan laki-laki itu memicingkan mata pada Adinda yang kini tersenyum ke arahnya.
“Saya akan tetap membantu ibu Mas Alvin.” Adinda berusaha untuk tetap tenang walaupun kini Alvin menunjukkan emosinya akan meledak.
“Ibu Mas Alvin sangat baik. Saya nggak mungkin mengecewakan beliau.”
Alvin mendengus kasar, merasa muak dengan wajah lemah lembut yang kini Adinda tunjukkan.
“Sepertinya Ibu saya memberi harga yang teramat tinggi.”
Adinda menggeleng, “Bukan tinggi, tapi apa yang ibu Mas Alvin berikan pada saya sangat berharga.”
Alvin hanya mendengus, dalam hati terus mencari cara untuk bisa membuat wanita ini mundur.
“Maka apapun yang terjadi, saya akan tetap maju.”
“Apa kamu tidak pernah berpikir bagaimana perasaan istri saya?” Alvin menoleh dan mendapati wajah Adinda tetap tenang. Bahkan ada senyum tipis yang membayang di sana, wanita macam apa yang ibunya kirim ini?
“Bagaimana kalau kamu ada di posisinya?”
“Saya akan merelakan Mas Alvin bahagia dengan yang lain,” jawab Adinda cepat, dan wajah Alvin seolah tercekat saat itu juga.
“Saya yakin istri Mas Alvin pasti wanita berhati mulia, hingga Mas Alvin tidak mau menyakitinya.”
Alvin hanya diam, bahkan matanya terlempar ke arah lain. Enggan menyaksikan kemunafikan yang sedang Adinda pertontonkan.
“Untuk itu, izinkan saya untuk meringankan bebannya. Istri Mas Alvin pasti akan bahagia melihat suaminya bahagia.” Kalimat itu berhenti bersamaan dengan satu gelas yang melayang ke arah tembok. Adinda hanya bisa memejamkan mata, mencoba meredam ketakutan yang tiba-tiba hadir. Dia harus kuat, dia harus kuat.
“Bahagianya adalah saat cintanya tidak terbagi dengan siapapun!” teriak Alvin dengan mata menyala marah. “Kamu hanya wanita munafik, merasa tahu apa yang istri saya inginkan! Bagaimana kamu bisa yakin keputusan ini bisa membuatnya bahagia, kalau kamu sendiri tidak pernah mengenalnya,” geram Alvin dengan emosi yang tidak bisa lagi terkontrol.
Adinda sendiri menelan ludah, menjaga senyum tenangnya tetap nampak. Dia tidak boleh mundur karena Marlina sudah sangat baik.
“Kalau begitu, izinkan saya untuk mengenalnya,” kata Adinda dengan senyum mengembang. Berharap ketakutan tidak terpancar di matanya kini.
*
“Alvin, Ibu mau bicara sama kamu.” Marlina sengaja menunggu di depan kamar Alvin, karena anak laki-lakinya itu sejak beberapa hari ini terus menghindarinya. Tepatnya sejak Adinda menemui Alvin, dan wanita itu tidak mau mundur seperti wanita lain sebelum ini.
“Apalagi? Alvin kan udah bilang sama Ibu, sampai kapanpun Alvin nggak mau menduakan Sofia.” Laki-laki itu berusaha untuk tidak bersikap kasar pada wanita yang melahirkannya ini.
“Sofia pasti akan bahagia dengan keputusan Ibu ini, Nak.”
Alvin tertawa miris. “Hanya karena Sofia nggak lagi bisa menjadi wanita normal, Ibu menyingkirkannya?”
“Alvin sadarlah, Nak. Ini yang terbaik buat kamu.”
Alvin menggeleng tegas. “Alvin nggak mau!”
“Apa kamu mau melihat Ibu mati dulu baru kamu akan menuruti kata-kata Ibu?” Kalimat itu menghentikan langkah Alvin, dan laki-laki itu menoleh dengan wajah terkejut.
“Ibu jangan mengancam Alvin,” ujar laki-laki itu dengan sorot takut.
“Ibu nggak mengancam, tapi Ibu bisa mati menderita melihat kamu yang seperti ini.”
Alvin menghela napas pelan, lalu mendekati sang ibu. “Minta yang lain, tapi tolong jangan yang satu ini. Alvin nggak bisa menduakan Sofia, di saat dia nggak bisa melakukan apapun seperti sekarang, Bu.”
Marlina ikut menghela napas, “Percaya sama Ibu, Nak. Sofia akan bahagia jika kamu mau menuruti Ibu.”
Alvin memejamkan matanya, mencoba menahan emosi yang selalu tersulut jika kata-kata seperti ini selalu saja keluar. Orang-orang mendadak menjadi peramal, yang seolah tahu apa yang terbaik bagi istrinya.
*
“Alvin.” Laki-laki yang baru saja pulang dari tempat kerja itu pun segera menghampiri ibu mertuanya yang terlihat duduk berhadapan dengan sang ibu. Mencium punggung tangannya, lalu ikut duduk.
“Mama mau menjenguk Sofia?” tanya Alvin dengan senyum mengembang.
Wanita yang telah melahirkan cinta pertamanya itu tampak tersenyum lembut, lalu mengusap lengan Alvin dengan penuh sayang. “Sudah, Mama sudah bicara banyak sama dia.”
Alvin mengernyitkan kening, merasa ada yang janggal “Bicara banyak?”
Wanita itu mengangguk, “Dan satu pesan yang Sofia beri ke Mama.”
Wajah Alvin berubah penuh waspada, ia merasa seperti ada konspirasi di sini.
“Menikah lah dengan wanita pilihan ibu kamu. Itu yang Sofia inginkan.”
Alvin segera bangkit, menatap dua wanita seusia itu dengan tatapan tidak mengerti. Lalu tanpa mengatakan apapun, ia bangkit untuk menemui sang istri.
Laki-laki itu menelan ludah, menarik napas sepelan mungkin, lalu saat berhasil menetralkan emosi yang menguasainya, ia pun masuk ke dalam kamar yang selalu temaram itu.
“Hai,” sapanya pada wanita yang masih saja terlihat cantik, meski harus terbaring tidak berdaya karena sebuah kecelakaan yang menimpanya dulu.
“Maaf ya aku telat, tadi kerjaan di kantor banyak banget,” ujar laki-laki itu lagi dengan senyuman lembut. Hal yang sudah lama sekali tidak pernah ia tunjukkan pada siapapun termasuk ibu dan juga adiknya.
“Kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi. Maaf, aku harus membuat hati kamu kembali terluka,” bisik Alvin seraya mengusap lembut rambut sang istri yang tetap lembut meski tidak pernah lagi terawat seperti dulu.
“Aku akan menyelesaikan ini dengan cepat.” Alvin tetap berbicara meski tidak ada jawaban. Itu tidak masalah baginya, yang terpenting sang istri masih terus bersamanya.
“Aku—“ kalimat Alvin terhenti saat jeritan sang mertua menggema dari luar.
*
Alvin memijat pangkal hidungnya yang terasa berdenyut, lalu berkacak pinggang. Merasa tertekan dengan kondisi yang ada sekarang. Meski dokter mengatakan sayatan di pergelangan tangan itu tidak dalam, tapi tetap saja melihat darah merembes dari tangan sang ibu nyaris membuatnya gila.
“Alvin!” Alvin segera menoleh, dan mendapati ibu mertuanya keluar dari kamar rawat sang ibu.
“Mama pulang dulu, ya, Nak. Jaga ibu kamu, jangan membuatnya tertekan,” ujar wanita itu, yang hanya dibalas anggukan oleh Alvin. Dan setelah mengantar ibu Sofia sampai ke parkiran mobil, laki-laki itu kembali ke dalam kamar rawat ibunya.
Sosok yang tidak ingin ia lihat ada di sana, dan Alvin memutuskan untuk berdiri di pintu. Dari sini, Alvin masih bisa mendengarkan percakapan sang ibu dengan Adinda.
“Tapi tindakan Tante ini sangat ekstrim, Dinda takut banget pas denger kabar Tante masuk rumak sakit tadi.” Adinda menggenggam tangan Marlina dengan ketakutan yang begitu nyata.
“Habisnya Ibu sudah kehilangan akal. Biarin Ibu mati aja kalau Alvin nggak mau menuruti permintaan Ibu.”
“Bu!” Alvin sontak masuk saat mendengar kalimat itu, dan kedua wanita yang ada di dalam pun menoleh bersamaan.
Alvin menelan ludah, lalu berjalan masuk untuk mendekati sang ibu. “Jangan lagi kayak gini,” ujarnya dengan raut putus asa yang begitu nyata. “Ibu benar-benar membuat Alvin ketakutan,” bisik laki-laki itu seraya menjatuhkan kepalanya di pinggir tempat tidur.
Adinda yang menyaksikan itu merasa tidak tega. Namun, ia memilih diam karena ini bukan ranahnya.
“Kalau begitu turuti permintaan Ibu.” Marlina menggunakan kesempatan ini untuk menekan Alvin. Ia yakin rencananya akan berhasil.
Alvin mendongak, menatap wajah sang ibu, lalu berganti menatap Adinda yang langsung melempar pandang ke arah lain.
“Baik, aku akan menikahi dia.” Alvin masih menatap Adinda dengan sorot yang menakutkan di mata wanita itu. Seolah, banyak ancaman tak terucap yang keluar dari sana.
“Tapi jangan sampai Sofia tahu. Alvin nggak mau nyakitin dia,” ujar laki-laki itu lagi, yang tentu saja langsung memunculkan senyum di bibir sang ibu.
“Baik, itu nggak masalah buat Ibu. Besok Ibu akan mengurus semuanya,” kata Marlina dengan mata berbinar.
Alvin mengangguk, “Nggak usah ada pesta. Alvin mau ke nemuin dokter dulu.” Setelah mengucapkan itu Alvinpun segera pergi.
“Din.” Adinda yang menatap kepergian Alvin dengan tatapan gamang, akhirnya menoleh ke arah Marlina.
“Coba kamu lihat Alvin masih ada di luar nggak.” Meski bingung dengan permintaan itu, Adinda memilih untuk menurutinya tanpa banyak bertanya. Wanita itu bangkit, lalu saat memastikan sosok Alvin sudah tidak ada, wanita itu kembali mendekat ke arah ranjang.
“Mas Alvinnya udah nggak ada, Tan,” ujar Adinda yang bertambah bingung saat Marlina langsung duduk tegak, seolah tidak merasakan sakit.
“Kamu itu, panggil Ibu dong, Din.” Adinda meringis sungkan, lalu mencoba untuk mengikuti permintaan wanita ini.
“Ibu nggak papa, kan?”
“Nggak papa, sehat banget malah.”
“Jadi, sebenarnya?”
Adinda menatap ngeri saat Marlina malah membuka perban di pergelangan tangan dengan begitu cepat. Namun, saat hanya ada sedikit luka gores, wanita itu melongo bingung.
“Ibu nggak seekstrim itu sampai menyayat nadi lah Dinda. Ini cuma luka kecil, darahnya juga sedikit.” Marlina terkikik saat dokter yang menanganinya tadi terlihat bingung, karena ia bisa pingsan hanya karena luka gores silet yang tidak mencapai satu senti.
“Ibu.” Dinda mengembus napas lega, dan ikut tersenyum geli saat sadar permainan macam apa yang wanita ini buat.
*
Pernikahan itu akhirnya digelar dengan sangat sederhana. Adinda tampak begitu cantik dengan kebaya putih dan make up yang terlihat natural. Namun, tidak ada kebahagiaan yang terpancar, karena ia tahu ini semua adalah palsu. Ia memiliki satu tujuan yang sebenarnya membutuhkan ketulusan.
“Buat dia melupakan Sofia. Dan menjadikan kamu satu-satunya.” Pesan yang Marlina berikan beberapa hari lalu. Hal yang membuat Adinda merasa seperti seorang penjahat. Bagaimana caranya ia bisa mendapatkan hati Alvin, sementara laki-laki itu terlihat begitu membencinya?
Seharusnya cara yang ia dan Marlina pakai tidak seperti ini. Namun, semuanya sudah terlanjur dan ia hanya bisa mengikuti alur. Berharap semua misi ini akan berjalan lancar. Dan tanpa sadar, Adinda tidak memikirkan bagaimana jika Alvaro tiba-tiba saja sadar. Apa yang harus ia jelaskan pada laki-laki itu nanti?
Ijab kabul berakhir lancar, meskipun Alvin harus dua kali mengulang, karena nama Sofia terus saja berdengung di kepalanya.
Tidak ada pesta, karena Alvin langsung mengajak keluarganya pulang setelah semua acara sakral itu selesai. Ada dengusan jengah, saat akhirnya ia tahu berapa jumlah yang telah ibunya bayar untuk wanita itu. Nilai yang cukup besar untuk dijadikan mahar. Pantas saja Adinda berjuang dengan begitu kekeh untuk bisa menjadi istrinya.
“Kamu memang menjadi istri saya sekarang, tapi jangan berpikir kamu akan pernah mendapatkan hati saya. Jadi jangan mencoba hal yang hanya akan berakhir dengan percuma,” ujar Alvin sebelum membanting pintu kamarnya tepat di depan wajah Adinda.
Jangan bayangkan malam pertama yang akan Adinda alami adalah malam pertama layaknya pengantin baru pada umumnya. Meski Adinda sendiri juga tidak bisa membayangkan bagaimana seharausnya malam pertama, tetapi setidaknya ia yakin bukan seperti yang ia alami saat ini. Paling tidak, seharusnya ia tidur bersama laki-laki yang sudah sah menjadi suaminya. Bukan seperti saat ini, ia tidur di kamar yang berbeda dengan kamar yang Alvin tempati.Sebenarnya Adinda tidak terlalu memikirkan itu. Ia merasa baik-baik saja dengan terpisah kamar karena pasti akan sangat canggung jika ia malah harus ssatu kamar dengan Alvin. Walaupun status mereka sudah sah menjadi suami istri di mata hukum dan agama, tetapi mereka tetap saja orang asing yang tidak sengaja dipertemukan takdir untuk menikah. Dan yang harus Adinda lakukan saat ini adalah, menyusun rencana untuk meluluhkan hati seorang Alvin.Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari, tetapi mata Adinda belum jug
Meski hanya didasari oleh sesuatu selain cinta, tetapi pernikahan yang Adinda jalani sah menurut hukum dan agama. Jadi saat Marlina memintanya keluar dari kafe agar lebih fokus untuk mendekati Alvin, maka Adinda tidak berniat membantahnya sama sekali. Ia akan mengabdi pada ibu mertua dan suaminya dengan sepenuh hati, layaknya seorang istri. Meskipun ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada hubungan ini di depan sana nanti. Namun, untuk saat ini tugasnya adalah membayar hutangnya pada Marlina dengan cara yang sudah ditentukan.Wanita dengan rambut sebatas punggung itu masuk ke kantor Alvin. Jika kemarin-kemarin kehadirannya tidak terlalu mendapat perhatian, maka berbeda dengan hari ini. Semua karyawan Alvin tahu jika dirinya adalah istri baru laki-laki itu. Banyak yang mengangguk sopan dengan aura tulus, ada juga yang terlihat melempar tatapan nyinyir, dan masih banyak jenis tatapan yang Adinda dapat. Namun, meski begitu ia memilih untuk tidak peduli karena tujua
Meskipun Alvin tidak mengetahui jika makanan yang dinikmati adalah hasil karyanya, tetapi Adinda tetap merasa bahagia. Apalagi setiap kali Tari memberi laporan jika makanan tersebut selalu habis tidak tersisa. Hal yang membuat Adinda semakin merasa semangat untuk memasak, dan mengeksplor berbagai resep. Setelah berhasil menyusup secara sembunyi-sembunyi melalui masakan, Adinda mulai memikirkan cara lain.“Bi!” panggil Adinda pada ART yang sedang melangkah ke arah kamar Alvin.“Ya, Mbak Dinda. Ada yang bisa saya bantu?” jawab wanita berusia sekitar empat puluh tahunan bernama Sri itu.“Emm, Bibi mau bersihin kamar Mas Alvin?” tanya Adinda hati-hati. Ini hari Minggu dan Alvin baru saja ke luar untuk berolah raga.“Eh, iya, Mbak.” Bi Sri terlihat kebingungan juga ada aura waspada yang wanita itu tunjukkan.“Boleh saya saja,
“Aduh, Mbak, takuuut,” bisik Almira yang sudah berdiri di depan kamar Alvin. Sementara di tangan gadis itu, bernaung nampan berisi nasi beserta lauk dan minumannya. “Dia, kan, Mas kamu. Nggak papa.” Adinda yang memiliki ide ini, berusaha membuat Almira semangat. Padahal Adinda sendiri juga sebenarnya takut. Bisa ia bayangkan reaksi yang akan Alvin berikan nanti. Sepertinya, laki-laki itu akan marah, dan itu sebabnya ia mengajak Almira. “Ih, tapi aku beneran takut. Mbak aja!” Almira menyorongkan nampan di tangannya pada Adinda. Mereka memang baru saja saling mengenal, tetapi satu sama lain sudah tidak lagi memiliki rasa sungkan. Adinda menggeleng dengan ringisan ngeri. “Kalau sama kamu marahnya pasti nggak yang gimana-gimana. Secara kamu, kan, adiknya.” Itu kenapa Adinda merasa Almira bisa ia andalkan untuk membantunya menjalankan rencana ini. Jika dirinya sendiri yang mendekat, sudah pasti Alvin akan sangat
Alvin bersedekap sembari memperhatikan Adinda yang sedang mengajak Sofia mengobrol. Hal yang biasanya hanya ia lakukan seorang diri karena yang lainnya tidak pernah mau walaupun untuk sekadar mengecek kondisi istrinya ini. Saat ini Alvin hanya sedang memberi Adinda kesempatan, jadi dia tidak boleh lengah. Ia hanya akan mengizinkan Adinda masuk ke dalam kamar saat dirinya ada. Alvin menitipkan Sofia pada Bi Sri jika dirinya sedang tidak ada di rumah. Ia percaya pada wanita itu karena sejak dulu Sofia dan Bi Sri memang sangat akrab. Sebenarnya, ibunya dan Almira juga sangat dekat dengan Sofia. Namun, semenjak kecelakaan nahas itu, keduanya seperti kecewa dengan kondisi yang kini istrinya alami, dan tidak pernah mau untuk sekadar melihat. “Saya pamit ke kamar dulu, ya, Mas.” Adinda sudah berdiri di hadapannya dan sempat membuat Alvin terkejut karena sedari tadi pikirannya memang sedang tidak ada di tempat. “Suda
Adinda hanya diam, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Senantiasa berdiri di belakang laki-laki itu, meski kadang keberadaannya seperti tidak terlihat. Alvin hanya akan menjawab dengan senyum tipis, jika pertanyaan tentang siapa dirinya muncul. “Oh, ini istrinya Pak Alvin?” tanya salah satu laki-laki berusia sekitar lima puluh tahunan. Ada kumis tipis yang menghiasi wajah laki-laki itu. Sekilas tampak ramah dan sopan, tetapi entah mengapa lama kelamaan tatapan itu seakan mengandung makna lain. Seperti ada seringai menggoda yang membuat Adinda merasa risi. Alvin tidak menjawab, memilih mengalihkan topik. Membicarakan hal yang sama sekali Adinda tidak mengerti. Namun, ia tahu yang Alvin bahas adalah mengenai pekerjaan. Jadi, sudah pasti bapak-bapak genit yang masih berusaha memancing perhatiaanya ini adalah salah satu kilen Alvin. “Ada yang salah dengan istri saya, Pak?” Adinda sontak mendongak untuk mena
Adinda hanya diam, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Senantiasa berdiri di belakang laki-laki itu, meski kadang keberadaannya seperti tidak terlihat. Alvin hanya akan menjawab dengan senyum tipis, jika pertanyaan tentang siapa dirinya muncul.“Oh, ini istrinya Pak Alvin?” Contohnya yang satu ini. Seorang laki-laki berkumis dengan usia kisaran lima puluh tahunan bertanya sembari mencuri pandang kea rah Adinda. Sekilas tampak ramah dan sopan, tetapi entah mengapa lama kelamaan tatapan itu seakan mengandung makna lain. Seperti ada seringai menggoda yang membuat Adinda merasa risi.Alvin tidak menjawab, memilih mengalihkan topik. Membicarakan hal yang sama sekali Adinda tidak mengerti. Namun, ia tahu yang Alvin bahas adalah mengenai pekerjaan. Jadi, sudah pasti bapak-bapak genit yang masih berusaha memancing perhatiaannya ini adalah salah satu kilen perusahaan keluarga Alvin.“Ada yang salah d
Alvin berdecap kesal saat bayangan Adinda yang menyorotkan wajah penuh luka terus saja melintas di kepalanya. Padahal hal itu sudah berlalu duapuluh empat jam, dan seharusnya ia lupakan. Bahkan, percakapan terakhir mereka pun masih terekam jelas hingga saat ini. “Kenapa kamu diam saja dihina seperti itu?” tanya Alvin yang merasa bingung dengan reaksi Adinda saat mendapat penghinaan. “Saya sudah terbiasa mendapatkan cercaan. Dan lagi, saya memang bersalah kepada wanita tadi,” jelas Adinda dengan senyuman sendu. Namun, saat menoleh ke arahnya, wanita itu menghilangkan raut sendu dengan senyuman ceria yang nyatanya tidak berhasil menutupi luka yang tersirat dari netra lentik itu. “Siapa wanita tadi?” Alvin tahu seharusnya dia tidak ikut campur dan berlagak peduli seperti ini. “Maaf, saya nggak bisa menjawab pertanyaan itu. Yang jelas, dia adalah alasan saya menika
Adinda menyibak tirai penutup jendela kaca yang membentang dari ujung ke ujung. Senyum itu merekah saat pemandangan laut lepas menjadi pemandangan indah yang kini menyejukkan mata. Rengkuhan hangat dari belakang tubuhnya membuat senyum itu merambat ke mata dan menunjukkan binar bahagia yang smakin terlihat nyata. "Gimana, suka?" tanya Alvin menciumi puncak kepala wanita yang sudah hampir dua bulan ini menjadi istrinya. Rencana bulan madu yang terus tertunda itu akhirnya terealisasi dan keduanya memutuskan untuk pergi ke Bali. Bukan memutuskan sebenarnya, Alvin mendapat tiket bulan madu gratis dari salah satu kliennya dan ternyata pelayanan yang dirinya dapat cukup berkelas. Adinda mendongak sembari menjawab, "Suka banget," katanya, lalu menepuk lengan suaminya saat satu kecupan laki-laki itu daratkan di bibirnya. Alvin hanya tertawa geli mendapat respon seperti ini. "Kamu sudah buat daftar perjalanan kita?" Laki-la
Pesta pernikahan itu digelar dengan sederhana, tetapi terasa begitu sakral dan intim. Hanya keluarga dekat yang diundang. Bahkan rekan kerja Alvin pun hanya dipilih yang benar-benar sudah bekerja sama lama dengan laki-laki itu.Sementara Adinda sendiri tidak memiliki teman yang harus dirinya undang. Hanya teman kerja yang baru-baru ini dirinya kenal dan juga beberapa tetangga yang sering menolongnya. Untuk wali nikah sendiri, Adinda menggunakan wali hakim. Karena entah kebetulan atau bagaimana, satu-satunya om yang dirinya miliki dari pihak ayah sedang ke luar negeri dan tidak tahu kapan pastinya akan kembali. Tentu saja itu menjadi hal menguntungkan bagi Adinda, karena dirinya tidak harus berurusan dengan laki-laki yang begitu kejam itu. Bahkan jika bisa, seumur hidupnya Adinda tidak ingin lagi bertemu dengan laki-laki itu.Adinda terlihat begitu bahagia dan juga cantik hari ini. Meski sebenarnya ini bukan pernikahan yang pertama, tetapi te
Adinda segera mengikuti langkah Alvin ke luar dari kafe. Dan kondisi yang terjadi selanjutnya adalah hening. Alvin sibuk dengan kemudi dan jalanan macet di depannya. Sementara Adinda sendiri bingung harus mulai menjelaskan perkara tadi dari mana."Tadi Alvaro cuman mau pamit," ujar wanita itu pada akhirnya. Tidak mau ada kesalah pahaman yang ia takutkan akan mengacaukan hari penting mereka."Dia mau pindah ke luar negeri, dan tadi itu cuman salam perpisahan." Wanita itu menoleh ke arah Alvin yang juga manatap ke arahnya dengan pandangan datar."Kenapa nggak ngomong dulu?" Kali ini Adinda mengerjab bingung."Mas Alvin nggak baca pesan aku?" Laki-laki itu tampak mengernyitkan dahi, lalu memeriksa ponselnya yang berada di dalam saku."Maaf aku nggak sempet pegang hape tadi." Penjelasan yang membuat Adinda merasa sedih karena dibohongi."Kan kamu telpon kalau aku
Adinda berusaha untuk berpikir positif dengan apa yang Alvin lakukan. Maka alih-alih menghampiri laki-laki itu, Adinda memutuskan untuk pergi ke tujuan awalnya. Mungkin calon suaminya itu membutuhkan waktu untuk sendiri. Entah apa yang sedang Alvin pikirkan saat ini. Apakah laki-laki itu menyesal dengan keputusan pernikahan ini? Adinda menggelengkan kepalanya, mencoba menghapus pemikiran buruk itu. Mengalihkan pada kegiatannya membeli barang-barang yang ia butuhkan.Kegiatan Adinda terhenti saat ponselnya berdering. Namun, wanita itu ragu untuk mengangkatnya karena sang penelpon adalah seseorang yang sudah lama sekali tidak ia temui. Adinda memutuskan untuk mengangkat panggilan tersebut saat mengingat kembali perpisahan yang mereka jalani adalah dengan cara baik-baik."Hai, Va, ada apa?" Adinda berusaha untuk santai. Meski tidak lagi memiliki hubungan dekat dengan Alvaro, tetapi mungkin mereka masih bisa untuk menjadi teman.
Rasanya masih tidak percaya dengan apa yang terjadi pada hidupnya kini. Bahkan, Adinda masih sering merasa takut jika kebahagiaan yang kini dirinya rasakan hanyalah sebuah mimpi. Namun, perdebatan yang kini tengah terjadi di sampingnya seolah menyentaknya pada kenyataan hidup, di mana roda tengah berputar di atas. Bukan tentang ekonomi, tetapi roda kebahagiaan yang ia rasakan kali ini porsinya melebihi dari sekadar jumlah uang dengan nilai tinggi."Bu, Alvin sama Adinda sudah membahas ini sebelumnya, dan kami sepakat untuk menggelar pesta sederhana."Adinda yang mendengar penjelasan Alvin hanya bisa meringis bingung karena sedikit lagi akan ada yang mendebat."Nggak bisa gitu, Vin. Kita juga harus memberi kenangan buat Adinda. Meski ini bukan pernikahan pertama, tapi Adinda juga pasti ingin mengalami sesuatu yang berkesan." Marlina masih kekeh dengan pendapatnya yang dirasa benar.Adinda yang ingin m
Adinda mengernyitkan dahi saat terdengar suara mobil yang tidak lagi asing berhenti di depan rumahnya. Mungkin akan menjadi hal yang biasa jika mobil itu datang di jam biasa dirinya berangkat bekerja. Namun, kali ini jam masih menunjukkan pukul lima pagi dan wanita itu baru saja melipat mukenanya demi menjalankan salat subuh.Wanita yang masih mengenakan piyama bermotif bunga itu pun segera ke luar. Membuka pintu tepat sebelum sosok Alvin mengetuk pintu rumahnya. Kini, laki-laki itu sudah berdiri di sana sembari menunjukkan senyum menawan yang akhir-akhir ini mulai menjadi mimpi indah bagi seorang Adinda."Mas Alvin ngapain?" tanya Adinda masih dengan wajah bingung. Bukannya langsung menjawab, laki-laki di depannya malah melihat ke jam yang melingkar di tangan, sebelum kembali menatap dirinya."Kamu punya waktu sepuluh menit untuk bersiap." Alvin mengatakan itu tanpa beban, seolah Adinda tidak akan dibuat bingung.
"Wah, Dinda keren, ya, yang jemput mobilnya ganti-ganti terus," bisik salah satu rekan kerja Adinda. Tidak benar-benar berbisik sebenarnya. Terbukti dari jarak Adinda yang cukup jauh masih bisa mendengar obrolan tersebut. Bahkan salah satunya menghampiri Adinda yang sudah siap untuk melangkah ke luar karena Alvin memang sudah menunggunya. Dan lagi ini memang sudah waktunya pulang."Yang jemput orangnya sama nggak, Din?" Nada kepo terdengar jelas dari bibir wanita yang kini berdiri di samping Adinda.Adinda hanya tersenyum, enggan menjawab karena tahu apa tujuan orang-orang ini mengurusi hidupnya. "Saya duluan, ya. Kalian hati-hati," ujarnya sembari meneruskan langkah, mencoba mengabaikan cibiran tidak menyenangkan yang terdengar dari belakangnya."Capek?" Sambutan lembut dengan senyuman menenangkan ini sudah menjadi rutinitas yang Adinda dapat.Alvin memang selalu menyempatkan waktu untuk menjemputny
Senyum terus terpatri di wajah wanita itu sejak beberapa hari ini. Adinda lupa kapan tepatnya terakhir kali ia merasakan kebahagiaan seperti ini dalam hatinya. Terkadang rasa takut itu muncul. Wanita itu takut jika semua rasa menyenangkan ini hanyalah sesuatu yang semu, atau malah yang sebenarnya terjadi ini adalah mimpi. Namun, kemunculan Alvin yang setia menjemput dan mengantarkannya ke tempat kerja membuat keyakinan Adinda muncul. Ini bukan mimpi, Alvin memang tengah menjanjikan sebuah kebahagiaan untuk masa depan yang sudah ia impikan sejak lama.'Kabahagiaan itu memang nggak abadi, adakalanya kita merasa sakit. Mungkin Tuhan hanya sedang menunjukkan bahwa Dia punya kuasa untuk membolak-balikkan kehidupan manusia pada titik mana pun. Lagi pula, bukankah kita akan mengenal rasa bahagia setelah kita merasakan sebuah sakit karena penderitaan?'Entah di mana Adinda pernah mendengar kalimat seperti itu. Rasa sakit ada untuk kita lebih belajar
Adinda bisa merasakan sesuatu yang baik baru saja terjadi pada dirinya. Jika kemarin ada rasa tidak nyaman setiap kali ia bangun dari tidurnya yang tidak pernah terasa lelap. Maka kali ini rasanya sangat berbeda. Entah malam tadi ia bermimpi atau tidak. Namun, dirinya seperti merasakan kehadiran Alvin di kamar Marlina. Laki-laki itu seperti mengucapkan banyak kalimat menenangkan, dan mengecup keningnya sebelum pergi. Adinda tidak tahu itu mimpi atau bukan. Dan misalkan semua itu mimpi, sungguh itu mimpi paling nyata yang pernah ia rasakan.Maka saat dirinya keluar kamar, dan bertepatan dengan sosok Alvin yang juga baru keluar dari kamar sebelah, Adinda tidak bisa untuk tidak gugup. Namun, hal berbeda ditunjukkan oleh Alvin. Laki-laki itu tampak santai dengan senyum yang terus mengembang di bibir. Meski malam ini tidak bisa tidur dengan lelap karena terus memikirkan wanita yang sedang dihampirinya itu, tetapi Alvin merasakan jika perasaannya semakin membaik.