Beranda / Romansa / BUKAN KISAH SEMPURNA / PROSES PENDEKATAN

Share

PROSES PENDEKATAN

Penulis: Aya Arini
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Maaf, Dinda. Tante nggak bermaksud untuk bohongin kamu. Tante hanya lupa untuk memberikan informasi penting tersebut.”

Adinda yang memang langsung menemui Marlina selepas pertemuannya dengan Alvin hanya bisa tersenyum kecut. Lupa? Hal sepenting itu bisa Marlina lupakan? Namun, sayangnya Adinda bukan tipe wanita yang mudah meledakkan emosi. Sejak kecil ia dididik dengan cara lembut oleh mama dan papanya. Kedua orangtua yang akan selalu menjadi panutannya sepanjang sisa hidup yang Tuhan beri untuknya. Namun, rasa kecewa dan penyesalan ini tentu saja masih terus membuat Adinda ingin menarik waktu ke belakang. Seharusnya ia usahakan rumahnya terjual bagaimana pun caranya. Bukan malah menerima tawaran yang akhirnya membuatnya terjerat pada hal rumit semacam ini.

Menjadi madu bagi wanita lain tentu saja bukan hal yang bisa ia bayangkan akan terjadi pada hidupnya. Apakah ia memiliki dosa di masa lalu yang begitu besar? Sehingga terjebak pada situasi di mana ia tidak bisa mundur meski jika maju jalannya akan menjadi salah.

“Tapi semua yang terjadi tidak seperti yang kamu pikirkan, Sayang. Tante tidak mungkin mengambil keputusan tanpa memikirkan konsekuensinya.” Marlina terlihat takut jika Adinda akan mundur setelah mendengar cerita yang terucap dari bibir Alvin.

“Sekarang kamu ikut Tante!” Marlina berdiri, dan segera berjalan ke arah mobil yang terparkir di pinggir jalan. Dan tanpa mengatakan apapun, Adinda mengekor langkah Marlina yang entah akan mengajaknya ke mana.

*

Adinda mamandang sosok Alvaro yang masih terbaring koma di tempat tidurnya. Kilasan kalimat yang Marlina ceritakan tadi terus berdengung di telinganya. Nyatanya, apa yang akan Adinda hadapi di sana jauh lebih pelik dari apa yang ia bayangkan.

Adinda kira, ia hanya akan menghadapi seorang laki-laki dingin yang enggan mengenal wanita. Namun, ternyata sosok Alvin bersikap dingin karena ingin mempertahankan cinta yang ia jaga untuk istrinya.

Tentu saja itu akan lebih sulit karena hati Alvin sudah dipenuhi oleh nama Sofia. Dan siapapun wanita yang mendekat, akan dianggap sebagai ancaman bagi istri yang sangat ia cintai itu. Laki-laki itu tidak sedang menjaga hatinya, tetapi menjaga hati lain agar tidak terluka jika dia menggeser tempatnya.

“Sofia adalah cinta pertama Alvin. Mereka sangat lama berpacaran hingga akhirnya memutuskan untuk menikah. Tapi, kecelakaan itu merenggut semua hal yang Alvin rancang untuk masa depannya dengan Sofia.”

Adinda menghela napas, Alvin sebenarnya hanyalah pribadi yang terluka. Pribadi yang sangat rapuh, dan menutupi kerapuhannya melalui sikap dinginnya itu. Jika dipikirkan lagi, sebenarnya mereka berdua tidak jauh berbeda. Alvin melindungi Sofia dengan sikap dinginnya itu. Dan Adinda melakukan segala cara untuk bisa mempertahankan Alvaro agar tetap hidup. Mereka hanya dua manusia biasa yang sedang mempertahankan apa yang mereka anggap penting.

“Tolong Tante, Adinda. Buat mata Alvin terbuka agar mau melanjutkan hidup dengan cara yang benar.”

Andai saja permohonan itu tidak pernah ia dengar. Dan andai saja pertolongan itu tidak pernah ia terima. Tentu saja Adinda akan memilih untuk tidak mengusik dunia yang sudah Alvin bangun bersama Sofia. Namun, bagaimana mungkin ia bisa menolak permohonan wanita baik yang sudah mau mengulurkan tangan untuknya? Bagaimana ia bisa abai pada keinginan seorang ibu yang ingin melihat anak laki-lakinya bahagia? Walaupun Adinda sendiri ragu, apakah ia benar-benar bisa membawa kebahagiaan bagi Alvin?

Entah sudah berapa kali Adinda menghela napas untuk hari ini. dan ia terus mengulang itu seolah beban berat di dadanya bisa berkurang dengan cara itu.

“Al, jangan kecewa dengan apa yang aku lakukan sekarang, karena aku benar-benar nggak punya pilihan lain. Aku melakukan ini untuk mempertahankan jantung kamu agar tetap berdetak.” Satu bulir menetes, Adinda tidak tahu apa yang akan ia jelaskan nanti jika Alvaro tiba-tiba bangun.

“Aku janji akan segera menyelesaikan ini, dan akan kita bahas semuanya dengan pikiran tenang jika kamu bangun nanti.” Wanita itu mengusap air matanya, lalu memasang senyum manis yang selalu menjadi favorit Alvaro.

“Kamu cepet bangun, ya. Aku kangen banget kamu jailin. Aku kangen banget sama masakan asin kamu.” Adinda terkekeh dengan bulir yang kian menetes. Tidak tahu apakah tangisan itu memang untuk kerinduannya untuk Alvaro, atau sebagai bentuk lain dari pelarian kebingungan yang kini melandanya. Ia sudah memutuskan untuk melangkah maju karena memang tidak memiliki jalan mundur.

*

“Alvin itu paling suka sama masakan pedas dan berkuah. Apalagi yang ala rumahan. Dulu Sofia pinter masak soalnya,” jelas Marlina suatu hari. Dan hari ini, Adinda pun membuat masakan untuk laki-laki itu.

Adinda sendiri sudah tidak asing dengan kegiatan memasak seperti ini, karena memang sudah terbiasa hidup sendiri. Biasanya ia akan menikmati hasil masakannya bersama Alvaro, dan selama ini lidah laki-laki itu sangat cocok dengan masakan yang ia buat. Sementara kali ini, Adinda ragu Alvin akan menyukai masakannya. Apalagi setelah ia tahu jika Sofia adalah seorang chef yang begitu handal. Dan bahkan, setelah menikah Alvin berencana ingin membuka restoran dengan nama istrinya tapi tidak terealisasi sampai sekarang.

“Enak loh, ini mirip banget sama yang Sofia bikin,” ujar Marlina saat Adinda meminta pendapatnya tentang makanan yang ia buat. Wanita itu tentu saja tidak akan nekad memberikan masakan itu langsung kepada Alvin.

“Tante yakin?” Adinda takut Marlina hanya sedang membesarkan hatinya dengan memuji masakannya seperti itu.

“Sangat yakin, Alvin pasti akan terkejut saat mencicipinya nanti.”

Adinda tersenyum senang, dan berharap memang begitu adanya. Maka, setelah menemui Marlina, ia pun menuju ke kantor di mana Alvin bekerja. Ia tidak memiliki kesulitan karena Marlina memberinya akses masuk dengan mudah.

Perusahaan yang Alvin kelola memang milik keluarga, yang sekarang menjadi tanggung jawabnya untuk terus dikembangkan setelah ayahnya meninggal dunia. Dia anak sulung dari dua bersaudara, dan tidak mungkin meminta bantuan atau malah menyerahkan tanggung jawab besar ini pada Almira, adik perempuannya itu lebih berminat pada dunia traveling.

*

Alvin memandang kotak makanan di depannya dengan alis berkerut. Merasa janggal dengan kotak berwarna biru itu yang tiba-tiba saja ada di tempatnya. Padahal ibunya sama sekali tidak memberi kabar akan mengirim makan siang.

“Tari, ini makanan dari siapa?” tanya laki-laki itu pada sekretarisnya melalui interkom.

“Nggak nyebutin nama yang kasih, Pak. Katanya Pak Alvin bakalan tahu.”

Alvin berdecak malas, “Lain kali kalau nggak mau nyebutin nama, jangan kamu terima! Langsung buang kalau perlu!” sentak laki-laki itu dengan nada pedas, lalu memutus sambungan tanpa menunggu jawaban dari seberang.

Tidak perlu menduga, ini pasti ulah wanita baru yang mamanya bayar untuk mendekatinya. Nyatanya ibunya masih belum menyerah untuk menjodohkannya dengan wanita itu.

“Ibu kan juga pengin nimang cucu dari kamu, Vin.”

Alvin mendengus kesal saat mengingat perkataan yang ibunya ucapkan tempo hari. Hal yang pasti akan membuat Sofia sedih jika sampai mendengar itu.

“Aku harap Ibu nggak pernah mengatakan itu di depan Sofia,” balasnya yang langsung pergi ke kamar tanpa mau mendengar kalimat ceramah yang pasti akan keluar jika ia masih tetap duduk dengan ibunya.

Tangan Alvin sudah berniat untuk memberikan makanan itu pada sekretarisnya, tetapi matanya menangkap satu kertas terselip di sana.

‘Kalau dibuang, berarti Mas Alvin takut jatuh cinta sama masakan saya.’

Degusan sinis kembali terdengar saat kalimat itu terbaca olehnya. Mana mungkin Alvin akan terpancing oleh jebakan konyol semacam itu? Maka laki-laki itupun segera bangkit, dan menyerahkan kotak makan itu pada Tari yang tentu saja langsung menerimanya dengan senang hati.

“Ini baunya enak sekali loh, Pak. Bapak yakin mau kasih ke saya?” tanya Tari yang tidak sedang mengada-ada. Aroma masakan di dalam kotak itu memang langsung tercium tanpa harus membuka tutupnya.

“Saya alergi sama daging,” ketus laki-laki itu sembari melirik ke arah tembok pembatas. Di mana seseorang yang kini bersembunyi di sana ia yakini akan kecewa melihat apa yang ia lakukan.

Alvin pikir wanita itu akan berhenti setelah ia tolak. Namun, sepertinya ia harus bersikap lebih kasar dari ini. Atau, dengan cara lembut berbentuk uang dengan nilai banyak? Alvin tersenyum miring, nyatanya cara itu memang selalu berhasil.

Maka, saat keesokan harinya makanan itu kembali ada di mejanya, Alvin segera menemui wanita yang sedang berjalan ke arah lift itu untuk membuat sebuah kesepakatan.

“Sepertinya kita perlu bicara agar kamu mau mundur tanpa perlu saya kasari,” ujar Alvin pada wanita berwajah manis yang— Alvin menggeleng, lalu segera memutar langkah.

“Ikut ke ruangan saya.” Laki-laki itu tidak perlu mengulang kata-katanya, karena bisa ia dengar langkah kaki yang mengikutinya kini.

Bab terkait

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   SEBUAH ANCAMAN

    “Kamu bersedia untuk dimadu?” Adinda hanya diam mendengar kalimat dengan nada mencemooh itu ditujukan untuk dirinya. Marlina sudah memperingatkannya untuk tidak memasukkan apa yang anak laki-lakinya katakan ke dalam hati.“Wanita baik mana yang mau dijadikan istri kedua?” Lagi, Adinda masih diam. Ia tahu Alvin hanya sedang menggoyahkan pendiriannya. Maka tugasnya hanya diam, dan mendengarkan.“Sofia memang tidak lagi sempurna. Tapi itu tidak berarti saya akan meninggalkannya begitu saja. Apalagi menduakannya, sungguh saya tidak pernah berpikir ataupun sekadar membayangkannya.” Alvin menatap sengit Adinda, yang hanya diam tanpa merespon ucapannya. Namun, laki-laki itu tahu wanita ini akan berakhir sama dengan yang lainnya. Kabur saat sudah tidak tahan saat harus mendapat sikap dingin darinya.“Apalagi pada wanita mata duitan kayak kamu.” Alvin tersenyum miring, ada dengusan sinis yang terdengar, saat melihat tangan

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   PERLAKUAN KASAR

    Jangan bayangkan malam pertama yang akan Adinda alami adalah malam pertama layaknya pengantin baru pada umumnya. Meski Adinda sendiri juga tidak bisa membayangkan bagaimana seharausnya malam pertama, tetapi setidaknya ia yakin bukan seperti yang ia alami saat ini. Paling tidak, seharusnya ia tidur bersama laki-laki yang sudah sah menjadi suaminya. Bukan seperti saat ini, ia tidur di kamar yang berbeda dengan kamar yang Alvin tempati.Sebenarnya Adinda tidak terlalu memikirkan itu. Ia merasa baik-baik saja dengan terpisah kamar karena pasti akan sangat canggung jika ia malah harus ssatu kamar dengan Alvin. Walaupun status mereka sudah sah menjadi suami istri di mata hukum dan agama, tetapi mereka tetap saja orang asing yang tidak sengaja dipertemukan takdir untuk menikah. Dan yang harus Adinda lakukan saat ini adalah, menyusun rencana untuk meluluhkan hati seorang Alvin.Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari, tetapi mata Adinda belum jug

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   PERJUANGAN ADINDA

    Meski hanya didasari oleh sesuatu selain cinta, tetapi pernikahan yang Adinda jalani sah menurut hukum dan agama. Jadi saat Marlina memintanya keluar dari kafe agar lebih fokus untuk mendekati Alvin, maka Adinda tidak berniat membantahnya sama sekali. Ia akan mengabdi pada ibu mertua dan suaminya dengan sepenuh hati, layaknya seorang istri. Meskipun ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada hubungan ini di depan sana nanti. Namun, untuk saat ini tugasnya adalah membayar hutangnya pada Marlina dengan cara yang sudah ditentukan.Wanita dengan rambut sebatas punggung itu masuk ke kantor Alvin. Jika kemarin-kemarin kehadirannya tidak terlalu mendapat perhatian, maka berbeda dengan hari ini. Semua karyawan Alvin tahu jika dirinya adalah istri baru laki-laki itu. Banyak yang mengangguk sopan dengan aura tulus, ada juga yang terlihat melempar tatapan nyinyir, dan masih banyak jenis tatapan yang Adinda dapat. Namun, meski begitu ia memilih untuk tidak peduli karena tujua

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   KEDATANGAN ALMIRA

    Meskipun Alvin tidak mengetahui jika makanan yang dinikmati adalah hasil karyanya, tetapi Adinda tetap merasa bahagia. Apalagi setiap kali Tari memberi laporan jika makanan tersebut selalu habis tidak tersisa. Hal yang membuat Adinda semakin merasa semangat untuk memasak, dan mengeksplor berbagai resep. Setelah berhasil menyusup secara sembunyi-sembunyi melalui masakan, Adinda mulai memikirkan cara lain.“Bi!” panggil Adinda pada ART yang sedang melangkah ke arah kamar Alvin.“Ya, Mbak Dinda. Ada yang bisa saya bantu?” jawab wanita berusia sekitar empat puluh tahunan bernama Sri itu.“Emm, Bibi mau bersihin kamar Mas Alvin?” tanya Adinda hati-hati. Ini hari Minggu dan Alvin baru saja ke luar untuk berolah raga.“Eh, iya, Mbak.” Bi Sri terlihat kebingungan juga ada aura waspada yang wanita itu tunjukkan.“Boleh saya saja,

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   PERSETUJUAN ALVIN

    “Aduh, Mbak, takuuut,” bisik Almira yang sudah berdiri di depan kamar Alvin. Sementara di tangan gadis itu, bernaung nampan berisi nasi beserta lauk dan minumannya. “Dia, kan, Mas kamu. Nggak papa.” Adinda yang memiliki ide ini, berusaha membuat Almira semangat. Padahal Adinda sendiri juga sebenarnya takut. Bisa ia bayangkan reaksi yang akan Alvin berikan nanti. Sepertinya, laki-laki itu akan marah, dan itu sebabnya ia mengajak Almira. “Ih, tapi aku beneran takut. Mbak aja!” Almira menyorongkan nampan di tangannya pada Adinda. Mereka memang baru saja saling mengenal, tetapi satu sama lain sudah tidak lagi memiliki rasa sungkan. Adinda menggeleng dengan ringisan ngeri. “Kalau sama kamu marahnya pasti nggak yang gimana-gimana. Secara kamu, kan, adiknya.” Itu kenapa Adinda merasa Almira bisa ia andalkan untuk membantunya menjalankan rencana ini. Jika dirinya sendiri yang mendekat, sudah pasti Alvin akan sangat

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   KESEMPATAN

    Alvin bersedekap sembari memperhatikan Adinda yang sedang mengajak Sofia mengobrol. Hal yang biasanya hanya ia lakukan seorang diri karena yang lainnya tidak pernah mau walaupun untuk sekadar mengecek kondisi istrinya ini. Saat ini Alvin hanya sedang memberi Adinda kesempatan, jadi dia tidak boleh lengah. Ia hanya akan mengizinkan Adinda masuk ke dalam kamar saat dirinya ada. Alvin menitipkan Sofia pada Bi Sri jika dirinya sedang tidak ada di rumah. Ia percaya pada wanita itu karena sejak dulu Sofia dan Bi Sri memang sangat akrab. Sebenarnya, ibunya dan Almira juga sangat dekat dengan Sofia. Namun, semenjak kecelakaan nahas itu, keduanya seperti kecewa dengan kondisi yang kini istrinya alami, dan tidak pernah mau untuk sekadar melihat. “Saya pamit ke kamar dulu, ya, Mas.” Adinda sudah berdiri di hadapannya dan sempat membuat Alvin terkejut karena sedari tadi pikirannya memang sedang tidak ada di tempat. “Suda

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   DURI YANG MENGGANGGU

    Adinda hanya diam, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Senantiasa berdiri di belakang laki-laki itu, meski kadang keberadaannya seperti tidak terlihat. Alvin hanya akan menjawab dengan senyum tipis, jika pertanyaan tentang siapa dirinya muncul. “Oh, ini istrinya Pak Alvin?” tanya salah satu laki-laki berusia sekitar lima puluh tahunan. Ada kumis tipis yang menghiasi wajah laki-laki itu. Sekilas tampak ramah dan sopan, tetapi entah mengapa lama kelamaan tatapan itu seakan mengandung makna lain. Seperti ada seringai menggoda yang membuat Adinda merasa risi. Alvin tidak menjawab, memilih mengalihkan topik. Membicarakan hal yang sama sekali Adinda tidak mengerti. Namun, ia tahu yang Alvin bahas adalah mengenai pekerjaan. Jadi, sudah pasti bapak-bapak genit yang masih berusaha memancing perhatiaanya ini adalah salah satu kilen Alvin. “Ada yang salah dengan istri saya, Pak?” Adinda sontak mendongak untuk mena

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   SOROT LELAH

    Adinda hanya diam, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Senantiasa berdiri di belakang laki-laki itu, meski kadang keberadaannya seperti tidak terlihat. Alvin hanya akan menjawab dengan senyum tipis, jika pertanyaan tentang siapa dirinya muncul.“Oh, ini istrinya Pak Alvin?” Contohnya yang satu ini. Seorang laki-laki berkumis dengan usia kisaran lima puluh tahunan bertanya sembari mencuri pandang kea rah Adinda. Sekilas tampak ramah dan sopan, tetapi entah mengapa lama kelamaan tatapan itu seakan mengandung makna lain. Seperti ada seringai menggoda yang membuat Adinda merasa risi.Alvin tidak menjawab, memilih mengalihkan topik. Membicarakan hal yang sama sekali Adinda tidak mengerti. Namun, ia tahu yang Alvin bahas adalah mengenai pekerjaan. Jadi, sudah pasti bapak-bapak genit yang masih berusaha memancing perhatiaannya ini adalah salah satu kilen perusahaan keluarga Alvin.“Ada yang salah d

Bab terbaru

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   EPILOG

    Adinda menyibak tirai penutup jendela kaca yang membentang dari ujung ke ujung. Senyum itu merekah saat pemandangan laut lepas menjadi pemandangan indah yang kini menyejukkan mata. Rengkuhan hangat dari belakang tubuhnya membuat senyum itu merambat ke mata dan menunjukkan binar bahagia yang smakin terlihat nyata. "Gimana, suka?" tanya Alvin menciumi puncak kepala wanita yang sudah hampir dua bulan ini menjadi istrinya. Rencana bulan madu yang terus tertunda itu akhirnya terealisasi dan keduanya memutuskan untuk pergi ke Bali. Bukan memutuskan sebenarnya, Alvin mendapat tiket bulan madu gratis dari salah satu kliennya dan ternyata pelayanan yang dirinya dapat cukup berkelas. Adinda mendongak sembari menjawab, "Suka banget," katanya, lalu menepuk lengan suaminya saat satu kecupan laki-laki itu daratkan di bibirnya. Alvin hanya tertawa geli mendapat respon seperti ini. "Kamu sudah buat daftar perjalanan kita?" Laki-la

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   53. HARI BAHAGIA

    Pesta pernikahan itu digelar dengan sederhana, tetapi terasa begitu sakral dan intim. Hanya keluarga dekat yang diundang. Bahkan rekan kerja Alvin pun hanya dipilih yang benar-benar sudah bekerja sama lama dengan laki-laki itu.Sementara Adinda sendiri tidak memiliki teman yang harus dirinya undang. Hanya teman kerja yang baru-baru ini dirinya kenal dan juga beberapa tetangga yang sering menolongnya. Untuk wali nikah sendiri, Adinda menggunakan wali hakim. Karena entah kebetulan atau bagaimana, satu-satunya om yang dirinya miliki dari pihak ayah sedang ke luar negeri dan tidak tahu kapan pastinya akan kembali. Tentu saja itu menjadi hal menguntungkan bagi Adinda, karena dirinya tidak harus berurusan dengan laki-laki yang begitu kejam itu. Bahkan jika bisa, seumur hidupnya Adinda tidak ingin lagi bertemu dengan laki-laki itu.Adinda terlihat begitu bahagia dan juga cantik hari ini. Meski sebenarnya ini bukan pernikahan yang pertama, tetapi te

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   52. PERNIKAHAN SEDERHANA

    Adinda segera mengikuti langkah Alvin ke luar dari kafe. Dan kondisi yang terjadi selanjutnya adalah hening. Alvin sibuk dengan kemudi dan jalanan macet di depannya. Sementara Adinda sendiri bingung harus mulai menjelaskan perkara tadi dari mana."Tadi Alvaro cuman mau pamit," ujar wanita itu pada akhirnya. Tidak mau ada kesalah pahaman yang ia takutkan akan mengacaukan hari penting mereka."Dia mau pindah ke luar negeri, dan tadi itu cuman salam perpisahan." Wanita itu menoleh ke arah Alvin yang juga manatap ke arahnya dengan pandangan datar."Kenapa nggak ngomong dulu?" Kali ini Adinda mengerjab bingung."Mas Alvin nggak baca pesan aku?" Laki-laki itu tampak mengernyitkan dahi, lalu memeriksa ponselnya yang berada di dalam saku."Maaf aku nggak sempet pegang hape tadi." Penjelasan yang membuat Adinda merasa sedih karena dibohongi."Kan kamu telpon kalau aku

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   51. ALVARO PERGI

    Adinda berusaha untuk berpikir positif dengan apa yang Alvin lakukan. Maka alih-alih menghampiri laki-laki itu, Adinda memutuskan untuk pergi ke tujuan awalnya. Mungkin calon suaminya itu membutuhkan waktu untuk sendiri. Entah apa yang sedang Alvin pikirkan saat ini. Apakah laki-laki itu menyesal dengan keputusan pernikahan ini? Adinda menggelengkan kepalanya, mencoba menghapus pemikiran buruk itu. Mengalihkan pada kegiatannya membeli barang-barang yang ia butuhkan.Kegiatan Adinda terhenti saat ponselnya berdering. Namun, wanita itu ragu untuk mengangkatnya karena sang penelpon adalah seseorang yang sudah lama sekali tidak ia temui. Adinda memutuskan untuk mengangkat panggilan tersebut saat mengingat kembali perpisahan yang mereka jalani adalah dengan cara baik-baik."Hai, Va, ada apa?" Adinda berusaha untuk santai. Meski tidak lagi memiliki hubungan dekat dengan Alvaro, tetapi mungkin mereka masih bisa untuk menjadi teman.

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   50. PERDEBATAN

    Rasanya masih tidak percaya dengan apa yang terjadi pada hidupnya kini. Bahkan, Adinda masih sering merasa takut jika kebahagiaan yang kini dirinya rasakan hanyalah sebuah mimpi. Namun, perdebatan yang kini tengah terjadi di sampingnya seolah menyentaknya pada kenyataan hidup, di mana roda tengah berputar di atas. Bukan tentang ekonomi, tetapi roda kebahagiaan yang ia rasakan kali ini porsinya melebihi dari sekadar jumlah uang dengan nilai tinggi."Bu, Alvin sama Adinda sudah membahas ini sebelumnya, dan kami sepakat untuk menggelar pesta sederhana."Adinda yang mendengar penjelasan Alvin hanya bisa meringis bingung karena sedikit lagi akan ada yang mendebat."Nggak bisa gitu, Vin. Kita juga harus memberi kenangan buat Adinda. Meski ini bukan pernikahan pertama, tapi Adinda juga pasti ingin mengalami sesuatu yang berkesan." Marlina masih kekeh dengan pendapatnya yang dirasa benar.Adinda yang ingin m

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   49. TAKDIR YANG UNIK

    Adinda mengernyitkan dahi saat terdengar suara mobil yang tidak lagi asing berhenti di depan rumahnya. Mungkin akan menjadi hal yang biasa jika mobil itu datang di jam biasa dirinya berangkat bekerja. Namun, kali ini jam masih menunjukkan pukul lima pagi dan wanita itu baru saja melipat mukenanya demi menjalankan salat subuh.Wanita yang masih mengenakan piyama bermotif bunga itu pun segera ke luar. Membuka pintu tepat sebelum sosok Alvin mengetuk pintu rumahnya. Kini, laki-laki itu sudah berdiri di sana sembari menunjukkan senyum menawan yang akhir-akhir ini mulai menjadi mimpi indah bagi seorang Adinda."Mas Alvin ngapain?" tanya Adinda masih dengan wajah bingung. Bukannya langsung menjawab, laki-laki di depannya malah melihat ke jam yang melingkar di tangan, sebelum kembali menatap dirinya."Kamu punya waktu sepuluh menit untuk bersiap." Alvin mengatakan itu tanpa beban, seolah Adinda tidak akan dibuat bingung.

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   48. CUKUP DIAM DAN MENUNGGU

    "Wah, Dinda keren, ya, yang jemput mobilnya ganti-ganti terus," bisik salah satu rekan kerja Adinda. Tidak benar-benar berbisik sebenarnya. Terbukti dari jarak Adinda yang cukup jauh masih bisa mendengar obrolan tersebut. Bahkan salah satunya menghampiri Adinda yang sudah siap untuk melangkah ke luar karena Alvin memang sudah menunggunya. Dan lagi ini memang sudah waktunya pulang."Yang jemput orangnya sama nggak, Din?" Nada kepo terdengar jelas dari bibir wanita yang kini berdiri di samping Adinda.Adinda hanya tersenyum, enggan menjawab karena tahu apa tujuan orang-orang ini mengurusi hidupnya. "Saya duluan, ya. Kalian hati-hati," ujarnya sembari meneruskan langkah, mencoba mengabaikan cibiran tidak menyenangkan yang terdengar dari belakangnya."Capek?" Sambutan lembut dengan senyuman menenangkan ini sudah menjadi rutinitas yang Adinda dapat.Alvin memang selalu menyempatkan waktu untuk menjemputny

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   47. KOMITMEN

    Senyum terus terpatri di wajah wanita itu sejak beberapa hari ini. Adinda lupa kapan tepatnya terakhir kali ia merasakan kebahagiaan seperti ini dalam hatinya. Terkadang rasa takut itu muncul. Wanita itu takut jika semua rasa menyenangkan ini hanyalah sesuatu yang semu, atau malah yang sebenarnya terjadi ini adalah mimpi. Namun, kemunculan Alvin yang setia menjemput dan mengantarkannya ke tempat kerja membuat keyakinan Adinda muncul. Ini bukan mimpi, Alvin memang tengah menjanjikan sebuah kebahagiaan untuk masa depan yang sudah ia impikan sejak lama.'Kabahagiaan itu memang nggak abadi, adakalanya kita merasa sakit. Mungkin Tuhan hanya sedang menunjukkan bahwa Dia punya kuasa untuk membolak-balikkan kehidupan manusia pada titik mana pun. Lagi pula, bukankah kita akan mengenal rasa bahagia setelah kita merasakan sebuah sakit karena penderitaan?'Entah di mana Adinda pernah mendengar kalimat seperti itu. Rasa sakit ada untuk kita lebih belajar

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   46. MEMULAI DENGAN CARA YANG BENAR

    Adinda bisa merasakan sesuatu yang baik baru saja terjadi pada dirinya. Jika kemarin ada rasa tidak nyaman setiap kali ia bangun dari tidurnya yang tidak pernah terasa lelap. Maka kali ini rasanya sangat berbeda. Entah malam tadi ia bermimpi atau tidak. Namun, dirinya seperti merasakan kehadiran Alvin di kamar Marlina. Laki-laki itu seperti mengucapkan banyak kalimat menenangkan, dan mengecup keningnya sebelum pergi. Adinda tidak tahu itu mimpi atau bukan. Dan misalkan semua itu mimpi, sungguh itu mimpi paling nyata yang pernah ia rasakan.Maka saat dirinya keluar kamar, dan bertepatan dengan sosok Alvin yang juga baru keluar dari kamar sebelah, Adinda tidak bisa untuk tidak gugup. Namun, hal berbeda ditunjukkan oleh Alvin. Laki-laki itu tampak santai dengan senyum yang terus mengembang di bibir. Meski malam ini tidak bisa tidur dengan lelap karena terus memikirkan wanita yang sedang dihampirinya itu, tetapi Alvin merasakan jika perasaannya semakin membaik.

DMCA.com Protection Status