Share

BUKAN KISAH SEMPURNA
BUKAN KISAH SEMPURNA
Penulis: Aya Arini

PROLOG

Penulis: Aya Arini
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-18 06:32:19

Adinda menatap kosong taman rumah sakit yang terlihat sepi, karena memang jam besuk sudah berakhir sejak dua jam yang lalu. Di antara kekosongan yang menghias, tampak juga kebingungan di netra dengan warna cokelat itu. Di saat seperti ini, ia benar-benar merasa sendiri, dan sama sekali tidak memiliki teman. Keluarga yang seharusnya menjadi tempat ia berlari pun sudah tidak lagi ada. Ia anak tunggal, dan kedua orangtuanya sudah meninggal sejak lima tahun yang lalu.

Adinda hidup seorang diri di kota yang banyak orang bilang lebih kejam dari ibu tiri ini. Gajinya menjadi seorang pelayan kafe, tentu saja tidak akan cukup untuk membayar tagihan rumah sakit yang sudah amat membengkak.

“Maaf Mbak, tapi jika Mbak Dinda tidak bisa melunasinya besok, terpaksa kami akan mencabut segala fasilitas yang kami berikan pada pasien.”

Wanita dengan surai lembut sepanjang punggung itu memejamkan mata. Menarik napasnya yang begitu sesak. Apa yang harus ia lakukan dengan ini semua? Siapa yang bisa ia mintai tolong?

“Kamu yang menyebabkan anak kami terbaring koma di rumah sakit! Jadi kami harap kamu akan bertanggung jawab dan tidak lepas tangan begitu saja!”

Napas yang terasa sesak itu kian bertambah sesak. Nyatanya kalimat yang ibu Alvaro katakan itu benar. Alvaro, laki-laki yang menjadi kekasihnya selama satu tahun belakangan ini mengalami kecelakaan karena dirinya. Andai hari itu Alvaro tidak bertengkar dengan kedua orang tuanya, dan tidak kabur demi memilihnya, tentu saja hal semacam ini tidak akan pernah terjadi. Andai saja saat ibu Alvaro datang, dan memintanya mundur hari itu, dia memilih mundur, mungkin saja Alvaro tidak akan terbaring di ranjang rumah sakit seperti sekarang ini. Andai saja— Adinda kembali mengembus napas lirih, mencoba untuk kuat karena semua kata andai itu telah menjadi percuma.

Sekarang, yang perlu ia lakukan adalah membayar tagihan rumah sakit, agar Alvaro bisa sembuh. Namun, lagi-lagi ia bingung dari mana mendapatkan uang dengan nominal yang tidak bisa dikatakan sedikit itu?

Adinda memejamkan mata, mencoba berpikir, dan— surat rumah. Apa dia harus menjual rumah peninggalan orang tuanya?

“Boleh saya numpang duduk?” Pertanyaan itu membuyarkan semua pemikiran yang kini memenuhi kepala Adinda. Ia menoleh dan segera melempar senyuman ramah pada seorang wanita yang kini berdiri di sampingnya.

“Silahkan Tante,” ujar Adinda sembari menggeser duduk agar wanita yang berusia sekitar enam puluh tahun itu bisa duduk.

“Siapa yang sakit?” tanya wanita itu, membuat Adinda urung untuk kembali memikirkan rencana menjual rumahnya.

“Teman, Tante,” jawab Adinda kikuk. Merasa tidak nyaman jika menyebut pacar.

“Pacar, ya?” tebak wanita itu dengan senyuman lembut, tidak ada nada nyinyir ataupun sok tahu, yang membuat Adinda akhirnya mengangguk.

“Sakitnya parah, kamu keliatan sedih gitu?”

Jika dalam kondisi hati yang baik, mungkin Adinda akan memilih pamit, daripada meladeni wanita yang mulai kepo dengan apa yang ia alami ini. Namun, keadaannya sedang sangat membingungkan, dan sepertinya Adinda perlu teman untuk sekadar berbagi cerita. Toh, wanita di sampingnya ini tidak ia kenal. Mungkin tidak masalah untuk sekadar berbagi resah.

“Sudah dua minggu koma, dan sampai sekarang belum sadar.” Adinda memberikan sebuah senyuman, yang malah terlihat menyedihkan.

“Dan jika besok saya belum membayar tagihan, semua pengobatan akan dihentikan,” bisik Adinda lagi dengan wajah sendu.

“Kenapa kamu yang menanggung? Memang keluarga tidak ada?”

Adinda menunjukkan senyum kecut, dan seharusnya ia berhenti saat itu juga. Bukan malah membeberkan apa yang terjadi. Entahlah, mungkin Adinda sudah terlalu lelah dan putus asa. Atau mungkin, karena sorot mata wanita ini tidak terlihat menghakimi.

“Kok ada ya keluarga kayak gitu? Ini kan menyangkut nyawa anak mereka? Apa mereka nggak mikir andai kamu nggak bisa bayar?” Adinda hanya tersenyum mendengar semua kalimat bernada marah itu. Ia merasa, seolah ibunya kini ada di sini untuk memberinya kekuatan.

“Makasih Tante, sudah mau mendengar curhatan saya,” ujar Adinda dengan senyuman tulus. Jujur, hatinya mulai membaik, dan sepertinya ia memang harus menjual rumahnya untuk membayar tagihan rumah sakit.

“Kamu mau ke mana?” tanya wanita itu saat Adinda bangkit dari duduknya.

“Saya sepertinya sudah menemukan solusi masalah saya, Tante,” jawab Adinda dengan senyum mengembang. Ia ingat salah satu tetangganya pernah menawar rumah peninggalan orangtuanya itu. Mungkin sekarang belum terlambat untuk menawarkannya.

“Boleh Tante tahu, apa itu?” Entah mengapa wanita itu merasa khawatir. Ia takut wanita muda di sampingnya ini melakukan hal nekad.

“Saya punya rumah peninggalan orang tua saya. Rasanya itu akan cukup untuk membayar tagihan rumah sakit. Lebihnya bisa saya pakai untuk menyewa kontrakan,” jelas Adinda tanpa beban. Seolah memang itu jalan yang terbaik.

“Orangtua kamu sudah meninggal?” Dan saat anggukan kepala yang ia dapat sebagai jawaban, wanita itu merasakan kepedihan yang luar biasa.

“Saya permisi dulu ya, Tante. Mau nawarin ke tetangga saya. Waktu itu dia mau, siapa tahu masih berminat.”

“Tunggu!” Namun, langkah Adinda terpaksa terhenti saat wanita dengan penampilan elegan itu menahan lengannya. “Siapa nama kamu?”

“Saya Adinda, Tante,” jawab Adinda dengan wajah bingung.

“Kamu anak baik.”

Adinda tersenyum manis saat mendengar pujian itu. “Terima kasih,” bisiknya masih dengan raut bingung.

“Boleh Tante bantu kamu, Sayang?”

Kening Adinda mengerut bingung. “Maksud Tante?”

“Berapa tagihan rumah sakit?” tanya wanita itu sungguh-sungguh. Dan dengan wajah yang semakin bingung, Adinda pun menyebutkan nominal yang jumlahnya sangat besar. Namun, anehnya wanita itu tidak terlihat terkejut.

“Ayo kita ke resepsionis.” Wanita itu menarik lengan Adinda, tapi Adinda menahan langkahnya.

“Tante ini maksudnya gimana? Saya nggak mau nyusahin Tante. Bahkan kita juga baru kenal.”

Wanita itu tersenyum hangat. “Nama saya Marlina. Saya juga seorang ibu yang mempunyai anak. Mana saya tega setelah mendengar cerita kamu tadi?”

“Tapi Tante, itu jumlahnya nggak sedikit.” Adinda merasa menyesal karena sudah menceritakan masalahnya pada orang asing. Sungguh, ia tidak berniat sampai ke arah sini.

“Tante tahu, dan Tante bisa bantu kamu,” ujar Marlina dengan senyum lembut keibuan. Membuat Adinda semakin merasa bersalah. Wanita ini begitu baik, dan dia tidak boleh memanfaatkannya.

“Tapi Tan—“

“Kamu bisa anggap ini hutang, dan mencicilnya pelan-pelan,” potong Marlina cepat.

Namun, Adinda menggeleng. “Saya hanya pelayan kafe, nggak akan bisa membayar hutang sebesar itu.” Adinda mencoba untuk berpikir realistis.

“Kalau begitu, kamu bisa membayar dengan cara lain,” ujar Marlina, kali ini ada sorot penuh harap yang terpancar dari mata itu. Hal yang sejak tadi tidak bisa mata Adinda tangkap, wanita ini kini seolah menunjukkan ruang rapuh yang terus disembunyikan.

“Apa itu Tante?” tanya Adinda yang merasa trenyuh saat melihat mata wanita itu mulai berkaca-kaca.

“Menikahlah dengan anak saya.” Mata Adinda pun melebar saat itu juga.

“Uang itu akan saya jadikan mahar, jadi kamu tidak perlu mengembalikannya.”

Jantung Adinda pun perlahan berdetak cepat. Ada rasa takut, bingung, putus asa, yang kembali menyerangnya. Awalnya Adinda meminta waktu untuk berpikir, tapi nyatanya waktu tidak memihak padanya. Dan saat tetangga yang ia harap bisa menolong dengan membeli rumahnya ternyata baru saja membeli rumah di lokasi lain, maka Adinda tidak punya jalan keluar, selain menghubungi wanita itu.

“Oke, besok kita bertemu di rumah sakit dan saya akan melunasi semuanya.”

“Tante, tolong buat surat perjanjian. Saya takut nantinya hati saya goyah,” ujar Adinda yang merasa takut akan berbuat curang jika ada yang membuatnya tidak nyaman nanti.

“Baiklah, saya rasa saya memang tidak salah memilih. Kamu adalah orang yang tepat untuk menjadi pendamping anak saya.”

Adinda hanya tersenyum tipis, menyerahkan kehidupannya di depan sana pada Tuhan. Semoga, semuanya berjalan lebih mudah dari yang ia duga. Namun, nyatanya jalan mudah itu tidak pernah ada, karena laki-laki yang harus ia nikahi adalah laki-laki yang masih begitu mencintai istrinya. Yah, laki-laki itu bukan single seperti yang Adinda kira.

Bab terkait

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   STATUS ALVIN

    Lesung pipi di sebelah kanan itu tercetak, saat sebuah senyum lega tampak di wajah cantik, yang baru beberapa bulan lalu menginjak usia duapuluhlima tahun. Ada beban yang seolah terangkat dari pundaknya, setelah segala kerumitan yang beberapa hari ini mengganggu pikirannya terpecahkan.‘Din, saya tunggu di depan.’Adinda Larisa, nama wanita dengan rambut sepunggung itu segera memasukkan ponsel ke dalam tas. Ia bersiap untuk membayar konsekuensi dari segala yang sudah ia dapat. Adinda tidak tahu jalan seperti apa yang akan ia hadapi di depan sana nanti. Namun, yang pasti satu masalah sudah terselesaikan, dan ia akan menjalankan garis takdir yang sudah Tuhan tulis untuk hidupnya.“Al, aku pergi dulu,” ujarnya kepada laki-laki yang kini terbaring dengan berbagai alat terpasang di tubuh. “Mungkin setelah ini aku bakalan jarang nemenin kamu. Tapi aku janji bakal usahain untuk datang setiap hari k

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-19
  • BUKAN KISAH SEMPURNA   PROSES PENDEKATAN

    “Maaf, Dinda. Tante nggak bermaksud untuk bohongin kamu. Tante hanya lupa untuk memberikan informasi penting tersebut.”Adinda yang memang langsung menemui Marlina selepas pertemuannya dengan Alvin hanya bisa tersenyum kecut. Lupa? Hal sepenting itu bisa Marlina lupakan? Namun, sayangnya Adinda bukan tipe wanita yang mudah meledakkan emosi. Sejak kecil ia dididik dengan cara lembut oleh mama dan papanya. Kedua orangtua yang akan selalu menjadi panutannya sepanjang sisa hidup yang Tuhan beri untuknya. Namun, rasa kecewa dan penyesalan ini tentu saja masih terus membuat Adinda ingin menarik waktu ke belakang. Seharusnya ia usahakan rumahnya terjual bagaimana pun caranya. Bukan malah menerima tawaran yang akhirnya membuatnya terjerat pada hal rumit semacam ini.Menjadi madu bagi wanita lain tentu saja bukan hal yang bisa ia bayangkan akan terjadi pada hidupnya. Apakah ia memiliki dosa di masa lalu yang begitu besar? Sehingga terjeba

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-19
  • BUKAN KISAH SEMPURNA   SEBUAH ANCAMAN

    “Kamu bersedia untuk dimadu?” Adinda hanya diam mendengar kalimat dengan nada mencemooh itu ditujukan untuk dirinya. Marlina sudah memperingatkannya untuk tidak memasukkan apa yang anak laki-lakinya katakan ke dalam hati.“Wanita baik mana yang mau dijadikan istri kedua?” Lagi, Adinda masih diam. Ia tahu Alvin hanya sedang menggoyahkan pendiriannya. Maka tugasnya hanya diam, dan mendengarkan.“Sofia memang tidak lagi sempurna. Tapi itu tidak berarti saya akan meninggalkannya begitu saja. Apalagi menduakannya, sungguh saya tidak pernah berpikir ataupun sekadar membayangkannya.” Alvin menatap sengit Adinda, yang hanya diam tanpa merespon ucapannya. Namun, laki-laki itu tahu wanita ini akan berakhir sama dengan yang lainnya. Kabur saat sudah tidak tahan saat harus mendapat sikap dingin darinya.“Apalagi pada wanita mata duitan kayak kamu.” Alvin tersenyum miring, ada dengusan sinis yang terdengar, saat melihat tangan

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-19
  • BUKAN KISAH SEMPURNA   PERLAKUAN KASAR

    Jangan bayangkan malam pertama yang akan Adinda alami adalah malam pertama layaknya pengantin baru pada umumnya. Meski Adinda sendiri juga tidak bisa membayangkan bagaimana seharausnya malam pertama, tetapi setidaknya ia yakin bukan seperti yang ia alami saat ini. Paling tidak, seharusnya ia tidur bersama laki-laki yang sudah sah menjadi suaminya. Bukan seperti saat ini, ia tidur di kamar yang berbeda dengan kamar yang Alvin tempati.Sebenarnya Adinda tidak terlalu memikirkan itu. Ia merasa baik-baik saja dengan terpisah kamar karena pasti akan sangat canggung jika ia malah harus ssatu kamar dengan Alvin. Walaupun status mereka sudah sah menjadi suami istri di mata hukum dan agama, tetapi mereka tetap saja orang asing yang tidak sengaja dipertemukan takdir untuk menikah. Dan yang harus Adinda lakukan saat ini adalah, menyusun rencana untuk meluluhkan hati seorang Alvin.Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari, tetapi mata Adinda belum jug

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-22
  • BUKAN KISAH SEMPURNA   PERJUANGAN ADINDA

    Meski hanya didasari oleh sesuatu selain cinta, tetapi pernikahan yang Adinda jalani sah menurut hukum dan agama. Jadi saat Marlina memintanya keluar dari kafe agar lebih fokus untuk mendekati Alvin, maka Adinda tidak berniat membantahnya sama sekali. Ia akan mengabdi pada ibu mertua dan suaminya dengan sepenuh hati, layaknya seorang istri. Meskipun ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada hubungan ini di depan sana nanti. Namun, untuk saat ini tugasnya adalah membayar hutangnya pada Marlina dengan cara yang sudah ditentukan.Wanita dengan rambut sebatas punggung itu masuk ke kantor Alvin. Jika kemarin-kemarin kehadirannya tidak terlalu mendapat perhatian, maka berbeda dengan hari ini. Semua karyawan Alvin tahu jika dirinya adalah istri baru laki-laki itu. Banyak yang mengangguk sopan dengan aura tulus, ada juga yang terlihat melempar tatapan nyinyir, dan masih banyak jenis tatapan yang Adinda dapat. Namun, meski begitu ia memilih untuk tidak peduli karena tujua

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-24
  • BUKAN KISAH SEMPURNA   KEDATANGAN ALMIRA

    Meskipun Alvin tidak mengetahui jika makanan yang dinikmati adalah hasil karyanya, tetapi Adinda tetap merasa bahagia. Apalagi setiap kali Tari memberi laporan jika makanan tersebut selalu habis tidak tersisa. Hal yang membuat Adinda semakin merasa semangat untuk memasak, dan mengeksplor berbagai resep. Setelah berhasil menyusup secara sembunyi-sembunyi melalui masakan, Adinda mulai memikirkan cara lain.“Bi!” panggil Adinda pada ART yang sedang melangkah ke arah kamar Alvin.“Ya, Mbak Dinda. Ada yang bisa saya bantu?” jawab wanita berusia sekitar empat puluh tahunan bernama Sri itu.“Emm, Bibi mau bersihin kamar Mas Alvin?” tanya Adinda hati-hati. Ini hari Minggu dan Alvin baru saja ke luar untuk berolah raga.“Eh, iya, Mbak.” Bi Sri terlihat kebingungan juga ada aura waspada yang wanita itu tunjukkan.“Boleh saya saja,

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-26
  • BUKAN KISAH SEMPURNA   PERSETUJUAN ALVIN

    “Aduh, Mbak, takuuut,” bisik Almira yang sudah berdiri di depan kamar Alvin. Sementara di tangan gadis itu, bernaung nampan berisi nasi beserta lauk dan minumannya. “Dia, kan, Mas kamu. Nggak papa.” Adinda yang memiliki ide ini, berusaha membuat Almira semangat. Padahal Adinda sendiri juga sebenarnya takut. Bisa ia bayangkan reaksi yang akan Alvin berikan nanti. Sepertinya, laki-laki itu akan marah, dan itu sebabnya ia mengajak Almira. “Ih, tapi aku beneran takut. Mbak aja!” Almira menyorongkan nampan di tangannya pada Adinda. Mereka memang baru saja saling mengenal, tetapi satu sama lain sudah tidak lagi memiliki rasa sungkan. Adinda menggeleng dengan ringisan ngeri. “Kalau sama kamu marahnya pasti nggak yang gimana-gimana. Secara kamu, kan, adiknya.” Itu kenapa Adinda merasa Almira bisa ia andalkan untuk membantunya menjalankan rencana ini. Jika dirinya sendiri yang mendekat, sudah pasti Alvin akan sangat

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-30
  • BUKAN KISAH SEMPURNA   KESEMPATAN

    Alvin bersedekap sembari memperhatikan Adinda yang sedang mengajak Sofia mengobrol. Hal yang biasanya hanya ia lakukan seorang diri karena yang lainnya tidak pernah mau walaupun untuk sekadar mengecek kondisi istrinya ini. Saat ini Alvin hanya sedang memberi Adinda kesempatan, jadi dia tidak boleh lengah. Ia hanya akan mengizinkan Adinda masuk ke dalam kamar saat dirinya ada. Alvin menitipkan Sofia pada Bi Sri jika dirinya sedang tidak ada di rumah. Ia percaya pada wanita itu karena sejak dulu Sofia dan Bi Sri memang sangat akrab. Sebenarnya, ibunya dan Almira juga sangat dekat dengan Sofia. Namun, semenjak kecelakaan nahas itu, keduanya seperti kecewa dengan kondisi yang kini istrinya alami, dan tidak pernah mau untuk sekadar melihat. “Saya pamit ke kamar dulu, ya, Mas.” Adinda sudah berdiri di hadapannya dan sempat membuat Alvin terkejut karena sedari tadi pikirannya memang sedang tidak ada di tempat. “Suda

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-01

Bab terbaru

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   EPILOG

    Adinda menyibak tirai penutup jendela kaca yang membentang dari ujung ke ujung. Senyum itu merekah saat pemandangan laut lepas menjadi pemandangan indah yang kini menyejukkan mata. Rengkuhan hangat dari belakang tubuhnya membuat senyum itu merambat ke mata dan menunjukkan binar bahagia yang smakin terlihat nyata. "Gimana, suka?" tanya Alvin menciumi puncak kepala wanita yang sudah hampir dua bulan ini menjadi istrinya. Rencana bulan madu yang terus tertunda itu akhirnya terealisasi dan keduanya memutuskan untuk pergi ke Bali. Bukan memutuskan sebenarnya, Alvin mendapat tiket bulan madu gratis dari salah satu kliennya dan ternyata pelayanan yang dirinya dapat cukup berkelas. Adinda mendongak sembari menjawab, "Suka banget," katanya, lalu menepuk lengan suaminya saat satu kecupan laki-laki itu daratkan di bibirnya. Alvin hanya tertawa geli mendapat respon seperti ini. "Kamu sudah buat daftar perjalanan kita?" Laki-la

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   53. HARI BAHAGIA

    Pesta pernikahan itu digelar dengan sederhana, tetapi terasa begitu sakral dan intim. Hanya keluarga dekat yang diundang. Bahkan rekan kerja Alvin pun hanya dipilih yang benar-benar sudah bekerja sama lama dengan laki-laki itu.Sementara Adinda sendiri tidak memiliki teman yang harus dirinya undang. Hanya teman kerja yang baru-baru ini dirinya kenal dan juga beberapa tetangga yang sering menolongnya. Untuk wali nikah sendiri, Adinda menggunakan wali hakim. Karena entah kebetulan atau bagaimana, satu-satunya om yang dirinya miliki dari pihak ayah sedang ke luar negeri dan tidak tahu kapan pastinya akan kembali. Tentu saja itu menjadi hal menguntungkan bagi Adinda, karena dirinya tidak harus berurusan dengan laki-laki yang begitu kejam itu. Bahkan jika bisa, seumur hidupnya Adinda tidak ingin lagi bertemu dengan laki-laki itu.Adinda terlihat begitu bahagia dan juga cantik hari ini. Meski sebenarnya ini bukan pernikahan yang pertama, tetapi te

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   52. PERNIKAHAN SEDERHANA

    Adinda segera mengikuti langkah Alvin ke luar dari kafe. Dan kondisi yang terjadi selanjutnya adalah hening. Alvin sibuk dengan kemudi dan jalanan macet di depannya. Sementara Adinda sendiri bingung harus mulai menjelaskan perkara tadi dari mana."Tadi Alvaro cuman mau pamit," ujar wanita itu pada akhirnya. Tidak mau ada kesalah pahaman yang ia takutkan akan mengacaukan hari penting mereka."Dia mau pindah ke luar negeri, dan tadi itu cuman salam perpisahan." Wanita itu menoleh ke arah Alvin yang juga manatap ke arahnya dengan pandangan datar."Kenapa nggak ngomong dulu?" Kali ini Adinda mengerjab bingung."Mas Alvin nggak baca pesan aku?" Laki-laki itu tampak mengernyitkan dahi, lalu memeriksa ponselnya yang berada di dalam saku."Maaf aku nggak sempet pegang hape tadi." Penjelasan yang membuat Adinda merasa sedih karena dibohongi."Kan kamu telpon kalau aku

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   51. ALVARO PERGI

    Adinda berusaha untuk berpikir positif dengan apa yang Alvin lakukan. Maka alih-alih menghampiri laki-laki itu, Adinda memutuskan untuk pergi ke tujuan awalnya. Mungkin calon suaminya itu membutuhkan waktu untuk sendiri. Entah apa yang sedang Alvin pikirkan saat ini. Apakah laki-laki itu menyesal dengan keputusan pernikahan ini? Adinda menggelengkan kepalanya, mencoba menghapus pemikiran buruk itu. Mengalihkan pada kegiatannya membeli barang-barang yang ia butuhkan.Kegiatan Adinda terhenti saat ponselnya berdering. Namun, wanita itu ragu untuk mengangkatnya karena sang penelpon adalah seseorang yang sudah lama sekali tidak ia temui. Adinda memutuskan untuk mengangkat panggilan tersebut saat mengingat kembali perpisahan yang mereka jalani adalah dengan cara baik-baik."Hai, Va, ada apa?" Adinda berusaha untuk santai. Meski tidak lagi memiliki hubungan dekat dengan Alvaro, tetapi mungkin mereka masih bisa untuk menjadi teman.

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   50. PERDEBATAN

    Rasanya masih tidak percaya dengan apa yang terjadi pada hidupnya kini. Bahkan, Adinda masih sering merasa takut jika kebahagiaan yang kini dirinya rasakan hanyalah sebuah mimpi. Namun, perdebatan yang kini tengah terjadi di sampingnya seolah menyentaknya pada kenyataan hidup, di mana roda tengah berputar di atas. Bukan tentang ekonomi, tetapi roda kebahagiaan yang ia rasakan kali ini porsinya melebihi dari sekadar jumlah uang dengan nilai tinggi."Bu, Alvin sama Adinda sudah membahas ini sebelumnya, dan kami sepakat untuk menggelar pesta sederhana."Adinda yang mendengar penjelasan Alvin hanya bisa meringis bingung karena sedikit lagi akan ada yang mendebat."Nggak bisa gitu, Vin. Kita juga harus memberi kenangan buat Adinda. Meski ini bukan pernikahan pertama, tapi Adinda juga pasti ingin mengalami sesuatu yang berkesan." Marlina masih kekeh dengan pendapatnya yang dirasa benar.Adinda yang ingin m

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   49. TAKDIR YANG UNIK

    Adinda mengernyitkan dahi saat terdengar suara mobil yang tidak lagi asing berhenti di depan rumahnya. Mungkin akan menjadi hal yang biasa jika mobil itu datang di jam biasa dirinya berangkat bekerja. Namun, kali ini jam masih menunjukkan pukul lima pagi dan wanita itu baru saja melipat mukenanya demi menjalankan salat subuh.Wanita yang masih mengenakan piyama bermotif bunga itu pun segera ke luar. Membuka pintu tepat sebelum sosok Alvin mengetuk pintu rumahnya. Kini, laki-laki itu sudah berdiri di sana sembari menunjukkan senyum menawan yang akhir-akhir ini mulai menjadi mimpi indah bagi seorang Adinda."Mas Alvin ngapain?" tanya Adinda masih dengan wajah bingung. Bukannya langsung menjawab, laki-laki di depannya malah melihat ke jam yang melingkar di tangan, sebelum kembali menatap dirinya."Kamu punya waktu sepuluh menit untuk bersiap." Alvin mengatakan itu tanpa beban, seolah Adinda tidak akan dibuat bingung.

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   48. CUKUP DIAM DAN MENUNGGU

    "Wah, Dinda keren, ya, yang jemput mobilnya ganti-ganti terus," bisik salah satu rekan kerja Adinda. Tidak benar-benar berbisik sebenarnya. Terbukti dari jarak Adinda yang cukup jauh masih bisa mendengar obrolan tersebut. Bahkan salah satunya menghampiri Adinda yang sudah siap untuk melangkah ke luar karena Alvin memang sudah menunggunya. Dan lagi ini memang sudah waktunya pulang."Yang jemput orangnya sama nggak, Din?" Nada kepo terdengar jelas dari bibir wanita yang kini berdiri di samping Adinda.Adinda hanya tersenyum, enggan menjawab karena tahu apa tujuan orang-orang ini mengurusi hidupnya. "Saya duluan, ya. Kalian hati-hati," ujarnya sembari meneruskan langkah, mencoba mengabaikan cibiran tidak menyenangkan yang terdengar dari belakangnya."Capek?" Sambutan lembut dengan senyuman menenangkan ini sudah menjadi rutinitas yang Adinda dapat.Alvin memang selalu menyempatkan waktu untuk menjemputny

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   47. KOMITMEN

    Senyum terus terpatri di wajah wanita itu sejak beberapa hari ini. Adinda lupa kapan tepatnya terakhir kali ia merasakan kebahagiaan seperti ini dalam hatinya. Terkadang rasa takut itu muncul. Wanita itu takut jika semua rasa menyenangkan ini hanyalah sesuatu yang semu, atau malah yang sebenarnya terjadi ini adalah mimpi. Namun, kemunculan Alvin yang setia menjemput dan mengantarkannya ke tempat kerja membuat keyakinan Adinda muncul. Ini bukan mimpi, Alvin memang tengah menjanjikan sebuah kebahagiaan untuk masa depan yang sudah ia impikan sejak lama.'Kabahagiaan itu memang nggak abadi, adakalanya kita merasa sakit. Mungkin Tuhan hanya sedang menunjukkan bahwa Dia punya kuasa untuk membolak-balikkan kehidupan manusia pada titik mana pun. Lagi pula, bukankah kita akan mengenal rasa bahagia setelah kita merasakan sebuah sakit karena penderitaan?'Entah di mana Adinda pernah mendengar kalimat seperti itu. Rasa sakit ada untuk kita lebih belajar

  • BUKAN KISAH SEMPURNA   46. MEMULAI DENGAN CARA YANG BENAR

    Adinda bisa merasakan sesuatu yang baik baru saja terjadi pada dirinya. Jika kemarin ada rasa tidak nyaman setiap kali ia bangun dari tidurnya yang tidak pernah terasa lelap. Maka kali ini rasanya sangat berbeda. Entah malam tadi ia bermimpi atau tidak. Namun, dirinya seperti merasakan kehadiran Alvin di kamar Marlina. Laki-laki itu seperti mengucapkan banyak kalimat menenangkan, dan mengecup keningnya sebelum pergi. Adinda tidak tahu itu mimpi atau bukan. Dan misalkan semua itu mimpi, sungguh itu mimpi paling nyata yang pernah ia rasakan.Maka saat dirinya keluar kamar, dan bertepatan dengan sosok Alvin yang juga baru keluar dari kamar sebelah, Adinda tidak bisa untuk tidak gugup. Namun, hal berbeda ditunjukkan oleh Alvin. Laki-laki itu tampak santai dengan senyum yang terus mengembang di bibir. Meski malam ini tidak bisa tidur dengan lelap karena terus memikirkan wanita yang sedang dihampirinya itu, tetapi Alvin merasakan jika perasaannya semakin membaik.

DMCA.com Protection Status