Alma dan Mario sengaja pergi untuk sekedar jalan-jalan setelah sarapan untuk menghindari Virza yang mungkin masih berkeliaran di hotel. Mereka yang sebenarnya tidak memiliki tujuan hanya berkeliling saja tak tentu arah. Mario terus bertanya agar membuat Alma kembali mengingat hubungan mereka empat tahun belakang, tapi nyatanya ia hanya diam memikirkan nasibnya ke depan. “Sayang, kamu tegang amat sih. Aku yakin temennya Adam pasti udah pergi kok.” Alma menoleh, “Aku cuma takut harus ribut lagi sama mas Adam.” “Kamu takut sama dia?” “Bukan gitu, Rio. Aku cuma males. Kita ribut hampir tiap hari. Lama-lama aku bisa darah tinggi ngadepin dia.” Mario melajukan mobil dengan pelan, tangan kirinya menggenggam tangan Alma dengan lembut, “Itu tandanya kalian gak cocok. Coba kamu inget-inget, selama empat tahun hubungan, kita jarang banget berantem. Ya aku setuju sih sama pendapat kalo sebuah hubungan memang butuh berantem, tapi kan cukup sesekali aja, kalo tiap hari, itu tandanya... kalian h
Virza menatap Alma, “Apapun, Ma, apapun alesannya kamu gak berhak pergi gitu aja tanpa izin suami kamu. Apa susahnya sih bilang kalo kamu marah sama Adam karena foto itu. Foto itu cuma masa lalu, dan bukan sebuah perselingkuhan.”“Bentar, aku potong. Yang bilang itu perselingkuhan siapa? Aku cuma bilang alesan aku pergi karena udah liat foto itu.”“Itu cuma salah paham, Ma. Foto itu gak bener dan—"“Aku pulang sekarang, jadi berhenti ngomong yang gak perlu."Mario menatap Alma kesal, “Sayang, kok kamu pulang sih?”Alma melirik Mario, “Aku... mau pulang. Kamu juga pulang, besok kerja ‘kan?”Virza menatap Adam yang tengah menyaksikan obrolan menggelikan istri dengan selingkuhannya. Alma ini terbilang berani melakukan itu di depan muka Adam, membuatnya tidak tahu harus berbuat apa lagi.“Iya, besok aku kerja. Ya udah, aku nurut aja sama calon istri. Yang namanya laki-laki yang mencintai dengan tulus itu emang harus banyak ngalah.” Mario melirik Adam ketika mengatakan kalimat itu p
Alma belum tidur. Matanya tak bisa terpejam karena memikirkan dari mana ia bisa mendapatkan nomor Tiara untuk mencari tahu mengenai foto itu dan syukur-syukur bisa sekalian mencari informasi senakal apa suaminya itu di masa lalu. Badannya yang memunggungi Adam dikasur bergerak perlahan. Ia membalikkan badan untuk mengecek suaminya. Ternyata suaminya sudah tidur lelap.“Dasar om-om tua. Jam segini udah tidur. Baru jam sembilan juga.”Alma bangkit dan duduk memainkan ponselnya. Ada pesan masuk dari Mario. Ia tak membalasnya. Ia sedang tidak mood untuk meladeni romansanya dengan mantan pacarnya itu. Ia juga merasa seharusnya hubungan mereka seharusnya tidak pernah ada.Saat kembali memainkan ponselnya, ia melihat story Virza yang tengah memotret dirinya yang sibuk depan laptopnya. Alma memiliki sebuah ide untuk memanfaatkan keberadaannya. Meski belum tentu sahabat Adam itu mau membantunya, tapi coba saja dulu. Alma menyentuh menu telpon. Setelah beberapa detik Virza mengangkatnya.“H
“Oaaaaak. Oaaaak.”Alma menutup kedua telinganya dengan lipatan bantal. Ia benar-benar terganggu dengan tangisan menggelegar Belle.“Oaaaaak. Oaaaak."“Belle! Berisik banget sih.” Alma terpaksa bangun dan melempar bantal. Ia yang masih ngantuk tidak berniat melanjutkan tidur. Ia hanya mengacak-acak rambutnya dengan frustasi.“Cup, cup, tenang ya, sayang.” suara bariton Adam terdengar menenangkan Belle di kamarnya.Alma menggulingkan badannya dan bergumul dengan selimut tebal. Ini masih jam enam, dan jam tidur normalnya minimal satu jam lagi baru bangun. Tapi suara Belle terdengar makin kencang sehingga boro-boro lanjut tidur, untuk tutup mata saja rasanya susah.“Dasar tuyul keriting!” umpatnya pelan.“Sayang, sayang, mau apa, hm? Kan suster Ruthnya pulang dulu. Sekarang sama papa dulu ya.”Alma membuka mata dan terduduk sekaligus. Ia nyaris saja lupa bahwa suster Ruth sedang izin pulang kampung untuk tiga hari ke depan. Dan ia dengan jumawa mengatakan akan menggantikan peran
Ting-NongTing-NongTidak ada yang membuka pintu atau menjawab telpon suster Tiwi, Suster Infal yang akan menggantikan suster Ruth tiga hari kedepan.“Kok gak ada yang buka pintu sih.”“Oaaaaak. Oaaaaaak.” “Itu Belle dari tadi nangis terus. Emang majikan Ruth kemana? Katanya ada istri pak Adam di dalem."Suster Tiwi terus menelpon Alma untuk memintanya membuka pintu. Tapi tetap tidak ada jawaban. Ia mau menelpon Adam tapi segan karena takut mengganggu. Ia tahu majikan temannya adalah seorang dokter.“Tapi kasian anaknya, gak papa deh aku telpon aja.”Tak terlihat ada hilal telponnya akan di angkat. Tapi telponnya tersambung. Berarti Adam sedang mengaktifkan telponnya ‘kan?Di tempat lain, suster Anna, suster yang bertugas menjadi asisten ketika jadwal praktek melihat ponsel Adam berdering kencang. Ada nomor baru yang menelponnya beberapa kali. Tapi ia tak berani mengangkat karena takut di nilai tidak sopan. Meski sebenarnya mungkin tidak papa karena Adam sedang tidak bisa men
Mendengar ucapan Virza pada Adam di depan ruangannya, membuat Alma yang sebenarnya tidak tidur menguping pembicaraan itu. Ia tidak menyangka bahwa Virza akan membelanya habis-habisan di depan Adam. Ya memang bukan membelanya karena ia istri temannya, tapi karena ia adalah pasiennya. Virza ternyata memperlakukan pasiennya dengan sangat baik.Dengan buru-buru setelah mendengar Virza pamitan, Alma kembali ranjang dan pura-pura tidur. Benar saja, Adam langsung masuk. Adam berjalan lunglai dan duduk di tepian kasur menggenggam lengan Alma yang terpasang selang infus.“Sayang, maafin aku ya. Aku belum bisa jadi suami yang baik buat kamu. Belum sebulan kita nikah, kamu udah masuk rumah sakit dua kali karena aku paksa kamu buat asuh Belle.”Karena tidak bisa berpura-pura lebih lama, Alma menggumam seolah-olah baru bangun tidur.“Mas.”“Sayang, kamu udah bangun?”Alma membuka matanya dan mengangguk. Ia menikmati tangannya yang di genggam Adam.“Kamu laper?”“Lumayan.”“Aku pesenin mak
Adam tidak bisa pergi kemana-mana. Ia berdiri dan menyalami mantan papa mertuanya, “Papa apa kabar?” “Ya begini, sehat." Adam melirik suster Anna yang berdiri tegang di dekat pintu. Adam memberinya kode untuk pergi dan menutup pintu ruangan. “Silakan duduk, pa.” Lelaki paruh baya itu menurut. Beliau duduk di sofa dan merapikan jasnya. Matanya berkeliling mencari sesuatu. “Papa kapan pulang dari Belanda?” Adam berusaha tenang dan duduk disamping mantan mertuanya. “Udah sebulan.” “Sebulan?” Adam mengulang jawaban papa. “Ya.” “Saya waktu itu ke rumah buat anter undangan, papa gak dateng.” “Ya, papa cuma... tiba-tiba inget Dara dan gak bisa dateng.” Adam mengangguk, “Saya ngerti.” Mantan papa mertua Adam kembali mengedarkan matanya mengelilingi ruangan, “Mana foto istri kamu?” Adam terperangah, “Oh itu. Saya... belum sempet pasang disini.” “Hm. Sesibuk itu?” “Iya, pa.” “Saya denger kamu juga ada rencana kuliah lagi untuk ambil sub spesialis." “Iya, saya akan kuliah lagi,
Papa mengernyit, “Apa maksudnya pingsan karena Belle? Dia cuma seorang bayi yang gak mungkin bisa jahatin kamu.”“Pa, aku—"Belum sempat Alma buka mulut, Adam memegangi lengan istrinya. Ketika ada suster yang melewati mereka, Adam menahannya, “Sus, tolong bawa pasien ke ruangannya.”“Mas, aku gak mau balik ke ruangan.” protes Alma.“Kamu harus banyak istirahat. Kamu tunggu disana, aku janji setelah jadwal praktek aku selesai, kita pulang.”Alma tak menjawab lagi, ia yang masih bingung dengan apa yang terjadi di depannya hanya menurut, “Pa, aku ke kamar dulu.”Papa mengangguk, “Iya, istirahat yang banyak.”“Permisi.” Suster mewakili untuk berpamitan meninggalkan Adam dan papa di depan ruangannya.Setelah Alma jauh meninggalkan mereka, papa membuka kancing kemejanya dan melonggarkan kerah bajunya, “Adam, apa maksud ucapan istri kamu? Ada apa sama Belle?”“Pa, masalahnya rumit. Saya juga ada jadwal praktek sekarang.”“Persingkat masalahnya.”Adam diam. Bagaimana caranya ia men